Share

Hamil

Author: Rafasya
last update Last Updated: 2024-08-19 20:05:00

Semalam, aku tak bisa tidur dengan nyenyak. Ada banyak hal yang mengganggu pikiranku. Aku takut Namira mengendap-endap keluar dari kamar menuju kamar Ayah seperti malam kemarin.

Aku memijat pelipis, kemudian melirik ke arah Namira yang terlihat pucat hari ini.

Apa dia juga tak bisa tidur semalam, karena terus memikirkan Ayahku?

“Mas, aku tak bisa membuat sarapan pagi ini. Badanku rasanya pegal-pegal dan mual.”

“Hmm, ya.” jawabku dengan datar. Aku segera turun dari ranjang, menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Butuh waktu lima belas menit untuk aku menyelesaikannya. Setelah itu keluar dengan handuk yang melilit di pinggang.

Aku memperhatikan setiap sudut mencari keberadaan Namira, tetapi wanita itu sudah tidak ada di sana. Bukankah dia bilang sedang tak enak badan? Lalu kemana pagi-pagi begini?

Aku segera memakai pakaian kerjaku. Kemudian turun ke bawah untuk mencari keberadaan istriku itu.

“Hahahaha!”

Di tangga, aku mendengar suara tawa renyah dari ruang tamu. Aku segera berjalan dengan cepat, kemudian menghampiri mereka.

Disana ada Ayah dan juga istriku.

“Mas, kamu sudah selesai?”

Aku melirik ke arah meja. Di sana sudah tersedia roti bakar dengan selai coklat. Kemudian menatap ke arah Namira, meminta jawaban.

“Bukannya kamu sedang tidak enak badan?” tanyaku, seraya tersenyum kecut.

“Em, ta--tadi Ayah bilang dia lapar. Jadi, aku buatkan roti bakar untuk ayah. Tidak lama, hanya sebentar langsung jadi. Kamu mau, Mas? Biar aku buatkan juga?”

Aku menggeleng. Rasanya sudah tak berselera makan masakan Namira.

“Tidak perlu, aku sarapan di kantor saja. Kamu urus saja ayahku. Bila perlu semua kebutuhannya.” sindirku.

Aku segera pergi dari sana.

“Mas ... tunggu, Mas!” teriak Namira mengejarku. Aku tak perduli dan segera masuk ke dalam mobil.

Aku mengendarai mobilku dengan cepat, rasanya dadaku terbakar. Aku sangat marah dan juga kecewa. Aku ingin menghajar mereka berdua, tetapi tak bisa melakukan apapun.

***

[Di kantor]

“Kamu kenapa sih, Dan? Lesu banget?” tanya Hana saat kami selesai rapat.

Aku menggeleng, seraya membereskan dokumen di atas meja.

“Aku hanya kurang tidur, Han. Tidak apa-apa, nanti juga seperti semula lagi.” kilahku. Aku tidak tau sampai kapan aku akan terus seperti ini?

“Kalau ada masalah, cerita sama aku? Hem?” Hana menyentuh tanganku. Biasanya aku menepis, ingin menjaga perasaan istriku. Tapi sekarang, kubiarkan saja. Toh, Namira juga telah berkhianat. Bukan hanya berpegangan tangan. Bahkan tubuhnya-pun sudah dia berikan.

“Aku belum bisa cerita sekarang.”

“Baiklah, kalau begitu. Kita makan siang bersama, bagaimana?”

“Boleh.”

Kami segera keluar dari kantor menuju kantin atau cafe terdekat.

Setiba di sana, Hana langsung memesankan makanan untukku. Wanita itu memang tau, apa yang aku suka dan tidak suka.

“Han, aku—”

“Sttt, sudah aku pesankan. Seperti biasa.”

Selama makan, aku hanya mengaduk-aduk makananku saja. Beberapa hari belakangan rasa lapar, menaguar begitu saja.

"Aidan, ayok dimakan.” ucap Hana padakku.

Aku hanya tersenyum menanggapinya, kemudian mengangguk.

“Aku suapi, ya?”

Aku langsung menggeleng kuat, “Tidak Hana, aku tak enak dengan pegawai lain. Bagaimana jika mereka melihat kita.”

Hana tertawa kecil. “Abaikan saja. Toh, aku sepupumu. Mereka tidak akan berpikiran yang macam-macam.”

Hana menyodorkan masakan itu padaku. Aku-pun menerima suapannya dengan terpaksa.

***

Malam hari, aku memainkan ponsel mengecek pesan masuk di Aplikasi hijau. Tak menanggapi Namira yang terus bicara. Menceritakan apa yang terjadi di rumah setiap harinya.

Aku sengaja mengabaikan Namira, tak menghiraukan ucapannya, biarlah dia melakukan apapun sesuka hatinya, aku sudah tidak perduli, lebih tepatnya Aku berusaha untuk tidak peduli! Aku berniat untuk menggugat cerai Namira dalam waktu dekat. Percuma saja membina rumah tangga, namun ia berkhianat di dalamnya.

Setelah perselingkuhannya dengan Ayah kubongkar, aku akan langsung menceraikannya nanti.

"Mas ...," panggilnya.

Aku menoleh sebentar, kemudian kembali lagi menatap ponsel.

"Ada yang ingin aku katakan," ucapnya dengan ragu-ragu.

Namira tak pernah seperti itu sebelumnya. Dia langsung to the point selama membicarakan sesuatu. Kali ini berbeda. Apa dia akan mengaku telah menjalin hubungan dengan ayahku?

"Mas ... Aku hamil,"

Namira menggigit bibir, kemudian menunjukkan tes kehamilan dengan dua garis di sana.

Aku melirik benda pipih itu sekilas, kemudian menghela napas perlahan.

"Anak siapa?" Aku menatap datar ke arahnya.

Senyum di wajah Namira pudar, dari menatap wajahku dengan lekat. Mungkin sedang mencari keseriusan di mataku.

Jika sebelumnya, Namira tidak ketahuan selingkuh. Mungkin aku akan bahagia dan langsung memeluknya. Tapi kini, tidak! Aku tidak yakin jika yang di dalam rahimnya adalah anakku.

"Apa maksudmu, Mas?" tanya Namira dengan mata nanar menatapku.

"Aku hanya bertanya itu anak siapa, memang apa salahnya?"

"Pertanyaanmu itu tidak masuk akal!"

"Lalu pertanyaan yang masuk akal itu, seperti apa?"

"Atau ... aku harus bertanya, siapa Ayah bayi itu? Iya?"

Kulihat mata Namira berkaca-kaca, apa dia terluka? Atau hanya pura-pura agar aku percaya?

“Mas, kenapa kamu bertanya seperti itu? Kamu menyakitiku!”

Aku mengabaikannya lalu fokus memainkan ponselku lagi.

Namira mengambil sweater miliknya, kemudian memakainya dan keluar dari kamar. Mau kemana dia malam-malam seperti ini? Apa dia mau menemui kekasihnya itu dan mengadu?

Adukan saja, aku tak perduli!

***

Aku menenggak beberapa minuman alkohol di bar, sesungguhnya aku sangat terluka mengetahui Namira hamil.

Aku tidak tahu itu Anakku atau bukan, pikiranku sangat kacau. Aku tak bisa berpikir dengan jernih.

Aku tertawa sumbang dan menangis di sana, beberapa pengunjung memandangku dengan aneh, aku begitu sangat ... terluka.

Tak berselang lama, seseorang datang menghampiriku yang tak lain adalah Hana. Dia menatapku dengan iba.

"Aidan kenapa kau sekacau ini?"

Aku terisak. Menatap Hana dengan mata berkaca-kaca. "Namira, Han. Namira ...,"

"Ada apa dengannya?"

"Namira selingkuh ... dia menghianatiku!"

Hana menghela napas. "Sudah kubilang, Namira memang bukan wanita baik-baik."

"Kau tau Hana, yang jadi selingkuhan Namira adalah ayahku ... ayahku Hana! Aku harus bagaimana? Haruskah aku bahagia?" Aku kembali meraung.

APA!

"Memang benar-benar si Namira, itu!" Hana terlihat kesal.

"Kenapa tidak kamu balas saja si Namira dengan menyelingkuhinya balik?"

Aku menatap Hana lekat. Terpengaruh dengan kata-katanya. Benar, tidak ada salahnya jika aku berselingkuh, toh, Namira yang memulainya lebih dulu.

"Ma--maksudmu?" Tanyaku berpura-pura tidak mengerti.

"Namira menyakitimu dengan berkhianat, kenapa kau tidak membalasnya dengan selingkuh juga."

Aku bergeming, mempertimbangkan.

"Dengan siapa aku melakukannya? Aku tidak memiliki kenalan wanita, ada ... tapi tidak terlalu dekat. Rasanya canggung meskipun sekedar berpura-pura."

“Aku tau dengan siapa.” jawab Hana.

Aku menatapnya dengan lekat. Menunggu jawabannya. “Siapa?” tanyaku.

Hana tersenyum "Denganku." jawabnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CHAT NAKAL ISTRIKU   _END_

    Beberapa bulan kemudian, saat hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, Safira mengalami kontraksi yang membawa mereka berdua ke rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Azka setia berada di sisinya, menggenggam erat tangan Safira sambil berusaha menenangkan perasaannya sendiri. Meskipun ia tahu bahwa setiap detik berlalu membawa mereka semakin dekat pada momen yang luar biasa, hatinya berdebar hebat. Sepanjang proses persalinan, Azka terus mendampingi Safira, memberi dukungan yang selama ini bahkan tak pernah ia bayangkan bisa ia berikan. Ini adalah sesuatu yang baru baginya, namun ia tahu bahwa ia ingin ada di sisi wanita yang dicintainya, di setiap detik yang berarti.Saat akhirnya bayi mereka lahir, dan tangisan kecil memenuhi ruangan, waktu seakan berhenti bagi Azka. Perasaan haru yang tak pernah ia bayangkan tiba-tiba membanjiri hatinya. Ia menatap bayi kecil yang sedang berada dalam dekapan Safira, begitu rapuh dan mungil, tetapi terasa begitu kuat menarik dirinya. Air matanya p

  • CHAT NAKAL ISTRIKU   Menghabiskan malam bersama

    Masa pemulihan Azka dan Safira selesai. Hari itu, keduanya meninggalkan rumah sakit dengan perasaan yang bercampur, antara lega dan sedikit gentar. Mereka tahu, kali ini mereka akan benar-benar memulai perjalanan sebagai suami istri dengan hati yang lebih terbuka. Di perjalanan menuju rumah, Azka menggenggam tangan Safira erat, seolah-olah ingin meyakinkan dirinya bahwa ia tidak akan melepaskan wanita itu lagi.Setibanya di rumah, mereka saling menatap, lalu Safira tersenyum dan berkata dengan hangat, “Selamat datang di kehidupan kita yang baru, Azka.” Ucapan sederhana itu membuat hati Azka terasa hangat. Dia mengangguk dan membalas senyumnya, kemudian mereka pun masuk ke rumah mereka yang terasa berbeda, lebih hangat, lebih penuh harapan.Hari-hari berlalu, dan mereka mulai menjalani pernikahan dengan sepenuh hati. Azka berusaha menunjukkan kasih sayangnya dalam berbagai hal kecil—seperti membuatkan teh hangat untuk Safira saat pagi, mempersiapkan makan malam bersama, atau sekadar me

  • CHAT NAKAL ISTRIKU   Rumah sakit

    Setelah kecelakaan yang nyaris merenggut nyawa mereka, Azka dan Safira sama-sama dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi luka-luka. Selama beberapa hari mereka harus menjalani masa pemulihan. Setiap hari Azka selalu bangun lebih awal untuk melihat keadaan Safira, memastikan ia baik-baik saja. Rasa sakit dari tubuhnya sendiri terasa tak ada artinya dibandingkan kekhawatiran yang ia rasakan terhadap Safira.Kecelakaan itu telah menjadi titik balik bagi Azka. Dia merenung panjang, memikirkan semua sikapnya selama ini terhadap Safira, semua penolakan dan kebekuan yang ia biarkan tumbuh di antara mereka. Dalam keheningan kamarnya, Azka mulai menyadari betapa dalam dirinya sebenarnya ada perasaan lebih dari sekadar tanggung jawab atau ikatan pernikahan.Suatu pagi, setelah dokter memastikan kondisinya cukup stabil, Azka memutuskan untuk mengunjungi kamar Safira. Dia membuka pintu perlahan, dan mendapati Safira yang masih berbaring lemah di ranjang. Azka duduk di kursi sampingnya, matanya men

  • CHAT NAKAL ISTRIKU   Kecelakaan

    Sesampainya di rumah orang tua Safira, Azka dan Safira turun dari mobil. Azka, yang selama ini memiliki sikap keras dan cenderung angkuh, kini tampak penuh kehormatan saat menyalami Hana dan Fadil. Dia membungkukkan badan, menatap keduanya dengan senyuman sopan. Hana dan Fadil saling berpandangan, tak menyangka bahwa Azka yang dulu mereka kenal sebagai sosok pemberontak kini terlihat penuh hormat di depan mereka.“Selamat sore, Bu Hana, Pak Fadil,” sapa Azka dengan nada hangat, tak ragu untuk memanggil Fadil dengan sebutan “Ayah” layaknya Safira.Keduanya tampak terharu dan sedikit tercengang. Hana tersenyum sambil menyilakan mereka masuk ke dalam rumah. Safira segera memeluk ibunya dengan hangat, seakan melepas rindu yang lama terpendam. Sementara itu, Azka mengobrol santai dengan Fadil, bertanya tentang keseharian dan kondisi kesehatan ayah mertuanya itu. Keakraban Azka dengan Fadil membuat Hana dan Safira tersenyum melihatnya, seakan dinding yang dulu menghalangi hubungan mereka pe

  • CHAT NAKAL ISTRIKU   Kantor

    Pagi hari .... Azka duduk di meja makan dengan segelas kopi di tangan, mengenakan setelan jas rapi dan dasi yang tampak sedikit miring. Wajahnya tampak tenang, namun sorot matanya menyiratkan ketegasan—hari ini adalah hari pertamanya secara resmi menggantikan ayahnya, Aidan, untuk sementara mengelola perusahaan keluarga. Perasaan gugup dan antusias bercampur menjadi satu di dadanya.Safira memperhatikan dari ujung meja, merasa ada yang berbeda dari sosok Azka pagi ini. Ada keseriusan yang tidak biasa dalam tatapannya. Ia berjalan mendekat, menatapnya lembut, lalu berkata, "Kamu ambil cuti kuliah selama satu minggu, Azka?"Azka mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, Safira. Mulai hari ini, aku akan menggantikan Papa. Dia mempercayakan perusahaan kepadaku selama dia di New York, dan aku… aku tidak mau mengecewakannya."Safira menyunggingkan senyum kecil, merasakan kebanggaan sekaligus haru. Ia paham, keputusan ini bukan hal yang mudah bagi Azka. Ia ingin mendukungnya sepenuhnya, mesk

  • CHAT NAKAL ISTRIKU   Kampus bersama

    Pagi hari ....Sinar matahari perlahan menembus tirai kamar, menciptakan pancaran lembut yang menyelimuti tubuh Safira yang masih terbungkus selimut. Azka, yang sudah lebih dulu bangun, duduk di tepi ranjang dan menatap wajah Safira yang terlelap. Ada kedamaian yang menyelimuti hati Azka saat melihat wanita yang kini menjadi istrinya terlelap di sisinya, begitu tenang, seolah semua ketegangan di antara mereka seakan larut dalam kehangatan malam tadi.Perlahan, Azka mencondongkan tubuhnya dan mengecup pucuk kepala Safira dengan lembut, membiarkan bibirnya menyentuh rambut Safira beberapa kali, seperti sebuah ungkapan kasih yang masih terasa asing baginya. Sentuhannya membuat tidur Safira terusik, dan akhirnya matanya membuka perlahan. Ketika kesadarannya mulai terkumpul, Safira terlonjak, panik, merasa bahwa dirinya mungkin sudah kesiangan. “Jam berapa sekarang?” tanyanya cepat dengan mata yang masih setengah terbuka.Azka tersenyum kecil melihat kepanikan di wajah Safira. “Jam tujuh p

  • CHAT NAKAL ISTRIKU   Kehangatan

    Tanpa sadar, Azka mendekat, dia langsung memeluk Safira tanpa aba-aba, membuat wanita itu terkejut.Mereka berdua terdiam dalam pelukan yang hangat namun penuh beban. Azka memejamkan mata, menghirup aroma lembut rambut Safira yang entah kenapa terasa begitu menenangkan. Rasanya sudah lama ia tak merasakan kehangatan seperti ini, sesuatu yang ia butuhkan namun tak pernah ia akui.Safira, yang awalnya terkejut, perlahan-lahan meresapi pelukan Azka. Ada kehangatan yang mengalir, seolah pelukan itu membawa ketulusan yang selama ini hilang dari hubungan mereka. Ia tak tahu mengapa, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa ada harapan di antara mereka, meskipun samar dan tak pasti.“Beri aku kesempatan,” bisik Azka di telinga Safira, suaranya parau namun penuh harap. Safira tak menjawab dengan kata-kata, ia hanya mengangguk perlahan. Meskipun hatinya masih terluka, ia sadar bahwa dalam dekapan Azka, ada sesuatu yang tulus, yang ia tak ingin sia-siakan begitu saja.Safira menarik napas dalam, m

  • CHAT NAKAL ISTRIKU   Suara lelaki

    Saat perjalanan pulang menuju apartemen, Azka masih merasakan hangatnya percakapan dengan sang ayah, Aidan. Di sepanjang perjalanan, ia tersenyum sendiri, merasakan perasaan yang berbeda—seperti ada semangat baru yang membara di dalam dadanya. Kepercayaan yang diberikan oleh Papanya tadi begitu berarti baginya. Ia berjanji pada diri sendiri untuk memikul tanggung jawab itu dengan baik, menunjukkan pada keluarganya bahwa ia bisa diandalkan.Langkahnya cepat saat ia memasuki gedung apartemen, mengabaikan orang-orang yang ia lewati di koridor. Namun, saat hampir tiba di depan pintu, langkahnya terhenti ketika mendengar suara Safira. Samar-samar, ia menangkap suaranya yang lembut dan terdengar sedikit manja, berbicara dengan seseorang di telepon.“Ah, kamu bisa saja.”“Aku tak secantik itu. Hahaha, ah Anton. sudahlah jangan menggombal terus.”Azka mendekatkan telinganya pada pintu, tanpa sadar menahan napas. Meskipun ia tak bisa mendengar setiap kata dengan jelas, nada suara Safira sudah

  • CHAT NAKAL ISTRIKU   Mencoba berbagi rasa

    Azka duduk diam di ujung sofa, menatap kosong ke arah jendela besar yang memamerkan pemandangan malam kota yang berkilauan. Apartemen itu begitu sunyi, hanya suara detik jarum jam yang terdengar perlahan, seolah menghitung detik-detik keheningan di antara mereka. Safira duduk di seberang ruangan, sibuk dengan bukunya, atau setidaknya berusaha tampak sibuk. Sesekali ia membalik halaman, namun Azka tahu bahwa pikiran wanita itu melayang ke tempat yang jauh. Azka tidak mengerti mengapa ia merasa begitu kikuk di dekat Safira. Ia merasa tersesat dalam keheningan, dalam jarak yang seolah mustahil dijembatani. Safira selalu terlihat begitu tenang, tenang hingga membuatnya merasa seperti dirinya adalah satu-satunya yang terpenjara dalam rasa kebingungan.Dia pikir, mungkin, ini hanya masalah waktu. Mereka baru mengenal satu sama lain, dan Safira memiliki hak untuk butuh waktu. Namun, ada sesuatu dalam sikap Safira yang terasa lebih dari sekadar keengganan membuka diri. Ada kebekuan yang begi

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status