Share

Keraguan Pada Diriku Sendiri

Bab 7

Ponsel berdering dan kuabaikan saja. Panggilan itu datang bertubi-tubi sampai akhirnya dia menyerah dan berhenti menghubungi lagi.

Sebuah pesan singkat W******p masuk. Sungguh terkejut dengan isi pesan itu. Hati gundah tidak karuan. Semudah itu Naya bisa mencerna suara orang lain.

"Papa ... siang ini aku dan Zeyn ke Aek Siraisan, ya? Udah lama gak ke sana. Boleh, Pa?" tanya Naya, dengan suara manja.

"Kalian berdua?" jawab Tulangku, tanpa melihat ke arah putrinya.

"Ya, iya lah. Sama siapa lagi? Papa ...," rengek Naya.

Sedikit pun pria bertubuh kekar itu tak bergeming dengan rengekan Dina. Sebab masih asyik bercerita dengan ayahku. Begitu pun, dia tetap merengek dan berharap permintaannya diiyakan.

"Pa, Papa ...," rengek Dina pada papanya.

"Apa, Din? Ya, udah. Pergilah sama Zeyn, tapi ingat! Jangan macem-macem, ya," pesan Tulangku.

Wajah Dina berubah menjadi riang gembira. Kegirangan karena telah mendapat persetujuan dari pria tajir itu. Biasanya tidak semudah itu Dina bisa pergi. Kali ini ada sebuah keringanan.

Mobil berwarna putih telah membawa kami ke tempat wisata alam Aek Siraisan. Pemandangan begitu asri, sejuk mata memandang. Jurang yang terdapat hamparan sawah juga aliran sungai menambah keindahan.

Sekitar lima belas menit, kami sampai di tempat tujuan. Udara dingin, sungai dikelilingi bukit-bukit. Tiba-tiba pandanganku tertuju ke sosok pria yang sepertinya dikenali. Namun, kenapa dia juga ada di sini? Apakah Dina dan Nunu janjian? Pertanyaan itu menggerayangi pikiranku.

Sengaja tidak memberitahukan pada sepupuku. Mungkin ini ketepatan. Lagian, aku sudah berjanji untuk tidak kenal apalagi dekat dengan tunangan Naya.

Tanpa peduli, kakiku melangkah ke sungai dan ingin merasakan kembali kesejukan airnya. Sudah lama tidak menikmati keindahan alam ciptaan Tuhan yang satu ini.

"Hai, sama siapa?" Seseorang menyapa, seraya menepuk pundakku pelan.

Bukannya menjawab pertanyaan itu. Mataku malah membulat sempurna ketika melihat sosok itu. Sungguh terkejut, ternyata beliau sangat ramah dan mudah mengenali siapa pun. Bukan hanya wajah tampan yang dia miliki, tetapi juga bersikap baik.

"Jawab, dong," pintanya.

"Ada Dina, tuh," jawabku, sembari mencari keberadaan orang yang dia tanya.

Tidak lagi terlihat di mana Dina sekarang. Sama sekali dia tidak pamit padaku. Mataku liar mencari keberadaannya. Terperangah dengan keadaan yang ada. Dina kemana? Bagaimana nanti aku pulang?

"Mana, sih? Udahlah, bentar lagi dia pasti datang. Paling juga cari makanan," sahut Nunu, menenangkan hatiku yang hampir panik.

"Tadi ada, Bang .... Beneran, deh." Aku meyakinkan ucapanku.

"Kamu kuliah di mana? Boleh tau?" Pertanyaan itu mampu menembus jantung dan perasaanku. Meskipun itu murni pertanyaan dan bukan ledekan.

"Mmm ... aku gak kuliah, Bang. Nungguin panggilan kerja." Dia memberikan senyuman indah.  Ada rasa berbeda. Entahlah!

"Aku gak percaya. Masa cewek secantik kamu gak kuliah. Jangan bohong, deh," gerutunya.

Belum sempat aku membalas ucapan Nunu, ponsel berbunyi karena ada panggilan masuk dari sahabatku. Aku sedikit menjauh dari pria itu. Bagaimana pun, tak ingin pembicaraan itu diketahui Nunu. Karena belum tahu betul bagaimana sifatnya.

"Zeyn, di mana? Kerumahku lah. Kangen aku," tanya Naya.

"Aku sama--, eeeee ... sama Dina, kok." Bingung cara menjawab pertanyaan itu. Takut bila jujur.

"Kok, jawabnya ragu? Kok, aku kenal dengan suara itu?" balasnya.

Suara? Ternyata, Nunu dan Naya sedang berbicara. Suara mereka terdengar. Memang, suara apa pun mudah tertangkap oleh ponsel. Spontan kutekan gambar bulatan kecil berwarna merah. Tidak ingin kesalahpahaman terjadi kedua kali.

Ponsel kembali berdering dan kuabaikan. Panggilan itu datang bertubi-tubi sampai akhirnya menyerah.

Sebuah pesan singkat W******p masuk. Sungguh terkejut dengan isi pesan itu. Hati gundah tak karuan. Semudah itu Naya bisa mencerna suara orang lain.

Ponsel kembali berdering. Hati ini sungguh bimbang. Diterima atau diabaikan panggilan masuk dari Naya. Khawatir kalau Naya berpikiran negatif nantinya.

Aku paling tidak bisa berbohong. Apalagi ini murni kebetulan dan tidak ada perencanaan sebelumnya. Jika Naya tahu, bakalan rusak lagi persahabatan yang sudah terjalin.

Terpaksa kutekan tombol off agar ponsel tak bisa dihubungi lagi. Jika Naya kembali menelepon, bingung harus bilang apa. Hati ini kadang terasa gundah. Tak jarang hadir kata lelah. Memaksakan tenang dan nyaman dalam menghadapi masalah. Hingga akhirnya perasaan semakin menyerah, tetapi bukan karena kalah.

Hari masih saja cerah. Matahari memamerkan sinarnya dengan membawa ceria. Cahaya mampukan mata untuk melepas semua pandangan ke segala arah. Itulah keagungan Tuhan.

"Zeyn, pulang, yuk. Udah bosen," ajak Dina, seraya merapikan pakaiannya yang sedikit kusut.

"Cepat amat, Din. Masih jam tiga sore, lho," sahut Nunu.

Aku diam dan mengikuti saja ajakan itu.

"Bosen, Nu," timpal dokter muda nan cantik.

"Yuk, lah. Lagian sudah lama kita di sini." Syukur bila Dina mengajak pulang. Sebab, berlama-lama di sungai juga tidak baik.

Aku merasa kalau Nunu terus memandangiku. Entah itu perasaan atau hanya sekedar bayangan semata. Seumur hidup, cuma sekali punya hubungan spesial dengan seorang pria. Itu pun entah kenapa bisa terjadi, akhirnya terpisah dan tak tahu di mana dia sekarang.

Malam pun tiba. Langit yang cerah kini berubah menjadi gelap. Suara jangkrik mulai terdengar bersahutan. Hujan sepertinya akan turun karena geluduk juga terdengar dari kejauhan. Ternyata panasnya siang tadi mengundang mendung.

Setelah melaksanakan salat Magrib, secarik kertas dan pulpen kuraih dari atas nakas. Lalu menuliskan sesuatu sebagai coretan tak berarti. Begitulah kelakuanku bila tak ada kesibukan. Merangkai kata menjadi kalimat indah, meski sederhana.

Malam semakin larut

Dingin menyentuh kulit

Ingin rasanya hati menjerit

Sembari memandangi burung yang terbang di langit

Bintang bertebaran tiada dapat dihitung

Sungguh kita sangat beruntung

Akan keindahan malam nan sepi

Memberikan kenikmatan cahaya manjakan mata ini

Dua bait saja sudah membuat perasaan plong. Coretan kecil mampu hilangkan kejenuhan. Tak lama daun pintu kamar diketuk. Dina memanggilku agar membukakan pintu. Berdiri dan bersegera membukanya.

"Zeyn, aku mau cerita," bisik Dina.

"Cerita apa, sih? Pelan amat ngomongnya," imbuhku.

"Tapi kamu jangan bilang ke Nunu, ya? Janji, lho," pintanya, sembari memberikan jari kelingkingnya.

"Iya, ih. Kek, aku gak bisa pegang janji aja," balasku, dengan menyambut jemari itu.

"Aku suka sama Nunu. Aku gak tau kenapa. Kok, setiap di dekatnya, nyaman banget, Zeyn. Apakah aku juga mencintainya? Aduh, tolong aku, Zeyn. Apalagi dia sudah tunangan, rasanya di luar kemungkinan ini akan terjadi." Dina menjelaskan perasaannya yang tersimpan.

"Ish, kok, suka? Emang, kamu gak punya pacar, apa? Cantik-cantik taunya ngerebut kekasih orang," ucapku bernada datar.

"Tapi aku beneran, Zeyn. Setiap bertemu dia, darahku berdesir. Hmmmm ... aku bingung sendiri, masa iya bisa suka sama temen sendiri. Huh!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status