Share

Sialan!

last update Last Updated: 2021-09-05 13:35:06

Bab 12

"Zeyn, kamu kenapa?" Tiba-tiba Dina menghampiri sembari memegang pundakku.

"Ish, kaget aku. Aku kenapa? Kenapa gimana, Din? Aneh, ah," elakku.

"Jujur saja, Zeyn. Apa kamu juga menyukai Nunu? Maaf," ucapnya, dengan dugaan salah.

Setiap ucapan telah membuat pikiran kembali lagi. Dina terlalu memperhatikan gelagatku. Entah apa maksudnya, bingung. Mencoba membenahi diri, agar tidak menyalahkan. Bukan hanya sekedar ingin ketenangan, tetapi juga bahagia ada bersamaku.

"Aku gak apa-apa, kok, Din. Percayalah." Lagi-lagi aku berbohong untuk menenangkan Dina.

Sepertinya Dina merasakan kegundahan hatiku. Terlihat dari gelagat dan mimik wajah yang tak bisa dibohongi. Itulah seorang Zeyndra. Gadis aneh pemilik Vespa tua berhati mulia, baik, ramah, juga perhatian. Ah, pujian itu terlalu berlebihan.

Hujan turun membasahi bumi. Rintiknya membuat cuaca sejuk, sesejuk hatiku saat ini. Dari kaca jendela kamar, air yang turun dari langit dipandangi. Hati tenang meski sedikit terbawa arus. Teringat dengan seseorang yang pernah mengisi hati ini. Sungguh menyayanginya, kini entah di mana keberadaannya. Tak mungkin kucari dia, terlepas aku adalah seorang wanita. Memiliki harga diri.

Sebuah pesan singkat W******p masuk dari Nunu.

[Hai, Zeyn.]

[Di sana hujan juga, ya.]

Mengabaikan chat itu mungkin lebih baik karena tak ingin membuat persahabatan retak. Aku menghargai Naya. Terlebih persahabatan kami sudah terbilang lama dari pada mengenali Nunu.

[Balas, dong, Zeyn.]

[Baca, doang.] Nunu memberi emot wajah sedih.

Ahh ... Nunu sungguh membuat jengkel. Secara aku tak bisa mengabaikan chat dari seseorang yang dikenal.

[Kita berdekatan, Bang.]

[Masa iya, hujannya berbeda?] Ada emot wajah pertanda heran.

[Yaelah, cantik. Jangan marah, dong.]

[Nanti makin manis kamu, Zeyn.]

[Love you.]

Setelah membaca chat itu, benda pipih model lama pemberian Mak kutaruh di atas nakas. Perut terasa kosong, sejak pagi belum makan apa-apa, kecuali sarapan. Itu pun cuma lontong sayur yang dibeli dari tetangga sebelah.

Hari ini lauknya sangat enak, ada rendang daging sapi, sambal terasi, tumis buncis dan wortel. Juga tersedia jus alpukat buatan Dina. Dokter muda itu rajin membuat jus, katanya demi kesehatan. Tau sendirilah, orang kesehatan itu seperti apa. Semua diperhatikan tanpa ada pengecualian.

Ponsel berdering kembali saat suapan kelima di mulut. Terdengar dari nadanya, itu adalah suara pesan singkat W******p.

'Pasti dari Nunu,' pikirku.

Suara itu tak berhenti. Mumpung masih enak makan, kuteruskan saja dan tidak ambil pusing akan nada yang menggangu. Nunu benar-benar sudah kelewatan. Tidak bisa menghargai cinta dari kekasihnya.

Enak sekali rasanya makanan ini. Kalau sudah begini, Ayah juga sering lapar karena jarang memakannya. Keuangan kami tidak seperti dulu, ketika masih ada Mak.

Setelah selesai, kubasuh tangan dengan air dan sabun. Agar sisa bumbu tidak menempel. Bising sekali suara ponsel itu, cepat kuraih dan memastikan siapa gerangan.

[Zeyn, apa maksudmu?]

[Tak bisakah kamu menjaga perasaanku?]

[Masih adakah jiwa persahabatan dalam dirimu?]

[Kenapa tega melakukan ini?]

[Jangan sok suci di hadapanku, Zeyn!]

[Aku tahu, kamu juga menyukai Nunu kan]

[Tak perlu dijawab!]

[Aku tahu semuanya.] Emot sedih.

Masih banyak lagi isi chat dari Naya, tak bisa dituliskan satu per satu. Itu artinya kalau Naya telah membaca semua pesan W******p di ponsel Nunu. Gawat! Bisa berabe jadinya.

Hatiku kacau, pikiran kembali terusik. Ada rasa was-was dalam diri ini. Sungguh membuat tak nyaman. Setega itu Nunu menghianati cintanya.

Sepertinya Dina memanggil, sama sekali tak begitu jelas karena hujan masih mengguyur kota Rantau Prapat. Kemudian dia masuk ke kamarku.

"Zeyn, ada tamu, tuh."

"Tamu? Hujan-hujan begini? Serius kamu, Din," tanyaku heran.

"Iya ...," bisiknya.

"Siapa, sih? Kok, berbisik? Nakutin aja, deh."

Tanpa pikir panjang, lalu menuju ke ruang tamu. Netra ini membulat sempurna bak bulan purnama. Sungguh tak percaya siapa yang datang. Darah berdesir mengikuti perasaan kacau, jantung berdegup kencang, napas seakan mengajak untuk berkejaran.

Kenapa ini? Seserius inikah jalannya rasa penasaran padaku? Aku gugup dengan kedatangan tamu. Yakin kalau akan terjadi pertikaian di antara kami.

***

Hati mulai bimbang, takut, resah, khawatir bercampur jadi satu. Lutut lemas, hampir tak sanggup berdiri menahan tubuh ini. Terus mengucap agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.

"Zeyn!" teriak Naya di teras rumah.

"Ehh, Naya. Tumben hujan-hujan ke mari," ucapku, untuk mengalihkan perhatian.

"Gak usah basa-basi,. Zeyn. kamu juga menyukai Nunu? Aku tahu semuanya, ya, semuanya."

Tak kujawab pertanyaan itu. Karena chatan tidak ada yang mengandung saling suka. Lagian Nunu juga sebatas mengucapkan, "Love you."

"Tenang, dong, Nay. Katanya mau main ke mari, tapi, kok, malah begini ...," gerutu Nunu.

"Sudahlah, Nu! Kamu juga, gak usah belain Zeyn." Mata Naya melekat tertuju ke arah calon tunangannya.

"Sebenarnya ada apa, sih? Kok, tiba-tiba marah?" Dina heran.

"Hei! Tolong bilang sama sepupumu ini, ya. Jaga hati dan perasaannya. Jangan sampai menghancurkan hubungan orang lain."

Emosi Naya benar-benar sudah tak terkontrol. Begitulah bila ada yang dekat dengan kekasihnya. Bukan menegur pujaannya, malah meneror sahabat yang tak tahu apa-apa. Dasar egois!

"Nay, aku mau tanya, sebenarnya apa yang sedang kamu lakukan ini? Aku gak paham," tanya Nunu.

"Apa chatan kalian kurang menjelaskan? Ha?" cetus Naya.

"Chatan apa, Nay? Apa?" Sepertinya Nunu tidak mengetahui atau pura-pura bego.

"Sudahlah! Kalian itu ngeselin! Kuperingatkan, ya, Zeyn, Nu. Jangan lagi bermain api di belakangku." Ucapan itu sungguh membuat tak nyaman. Terlebih karena sedikit pun aku tak pernah membalas chatan Nunu dengan serius. Ah, entahlah!

"Aku tidak punya hubungan apa-apa dengan Nunu. Iya kan? Dan aku tidak ingin terlibat dalam masalah percintaan kalian berdua." Kalimat itu menjelaskan bahwa aku tidak ingin ikut campur.

Tanpa berpamitan, mereka berdua pulang. Di wajah Nunu terlihat ada sedikit rasa malu. Aku bisa memastikan dari warnanya yang merah padam. Tak bisa disembunyikan, meski bagaimana pun.

Aku terpaku sendiri di sudut kamar sembari memandangi rintik hujan yang belum reda. Pikiran kacau, hati terluka, batin ingin rasanya menangis. Serasa sesak dada ini.

Biarlah air mataku menyatu dengan hujan, agar tak terlihat. Kepiluan akan disimpan tanpa memberitahu bahwa aku sedang terluka. Menjerit tiada guna, berteriak apalagi.

Kepada hujan, sedikit banyak ada yang akan disampaikan. Aroma yang biasa orang rindukan, genangan telah menciptakan kenangan, rinai kini berjatuhan. Hujan adalah misteri Ilahi yang tidak bisa dipungkiri. Ia tidak bisa diprediksi kapan akan terjadi. Terheran, aku mengamati. Ada yang menghindar takut terbasahi, bahkan ada yang sengaja menantang diri agar terjatuhi.

Aromanya kata orang sangat dirindukan, apalagi bagi pemilik kenangan tak terlupakan dengan orang yang bersangkutan. Bagiku, ini adalah aroma yang tak bisa kudefinisikan. Aroma terkutuk dan sialan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CINCIN TAK BERTUAN   Ada Apa Gerangan?

    Bab 61Sebelum dibuka, aku duduk di sofa. Dengan berlahan membuka kertas kado. Dirobek dan perekatnya diambil agar secepatnya bisa melihat isinya. Gladis juga sibuk membantuku. Aku jadi tersenyum melihat kelakuan putri kami yang mulai aktif-aktifnya bergerak.Mata yang tadinya memandang biasa saja, kini membulat sempurna karena tidak percaya dengan apa yang dilihat. Apakah aku bermimpi? Dari mana Jafra tahu kalau pandangan mataku tadinya ke arah benda ini?"Gimana, Sayang? Kamu suka?" tanya Jafra memegang benda ini."Mas, ini terlalu mahal untukku. Aku nggak enak.""Jangankan benda semahal ini, hatiku saja akan Mas berikan padamu. Bahkan bila kau kehilangan bagian dari tubuhmu, Mas rela memberikannya. Karena apa? Mas sangat mencintaimu, Zeyn.""Tapi, Mas ...."Aku salut dengan cintanya melebihi cintanya Arul sewaktu masih hidup bersamaku."Selamat sore," ucap seseorang dari luar. Kami kedatangan tamu sore ini.

  • CINCIN TAK BERTUAN   Hadiah Dari Jafra Tak Bisa Kutolak

    Bab 60Aku diam dan tak ingin lagi bicara. Terlebih karena awal pernikahanku sudah ada wanita lain selain aku. Apa ini memang sudah nasibku? Ya, Allah ... jangan beri aku ujian yang kesekian kalinya. Aku memohon pada-Mu, ya, Allah.Gladis yang mulai bosan di dalam showroom, mengajakku keluar. Sementara Jafra masih ragu dengan pilihanku."Sayang, tunggu, dong. Kok, pergi?""Pilih aja sendiri, Mas. Lagian Gladis udah bosen di sini. Aku keluar aja, ya." Terlihat kalau aku mulai akrab dengan sapaan mas dan kata aku, bukan saya lagi.Hati yang sudah menaruh rasa cemburu, rasanya pengin pulang saja dan berdiam di rumah. Abang dan adik sama saja. Tidak bisa dengan satu wanita. Heran aku."Zeyn, kasi aja sama Husna. Setelah itu kamu masuk lagi, ya. Mas mau kamu yang milih," imbuhnya sembari memegang pundakku.Aku berlalu keluar ruangan dan memberikan putriku pada Husna. Kembali menemui Jafra sesuai permintaan suamiku."Ze

  • CINCIN TAK BERTUAN   Pernikahanku Berjalan Dengan Lancar

    Bab 59"Apa? Jangan suka buat orang penasaran," ucapku.Papa dan mama mertuaku tertawa pelan melihat mimik wajahku setelah mengucapkan kalimat itu. Jafra juga menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Aku jadi malu karena merasa bertingkah seperti anak kecil."Santai, dong, Sayang," ucap Jafra dengan menyapa sayang. Astaga. Apa dia tidak segan pada orangtuanya dengan kata sayang? Apalagi belum resmi menjadi suamiku."Sayang? Huss! Sembarangan Anda," marahku, kupalingkan wajahku ke arah Gladis yang masih makan disuapi Husna dan Titin secara bergantian."Ha-ha-ha-ha, okelah, Bu Zeyn yang saya hormati. Begini, saya nggak mau mendengar kalau Ibu berteman dengan orang yang tidak dikenal sama sekali. Dan saya nggak mau Anda terus terlarut dalam kejadian yang telah menimpa rumah tangga Ibu. Hati-hatilah pada siapa pun. Terutama saudara sendiri, Bu.""Biasa aja, nggak usah panggil Ibu," sahutku, lalu memandang ke langit-langit restoran dengan menaik

  • CINCIN TAK BERTUAN   Seseorang Melamarku

    Bab 58"A-apa lagi? Jangan nakut-nakuti, ya?""Saat ini Naya ingin menghancurkan bisnis Arul yang sekarang dikelola oleh papa mertuamu. Kamu tahu atas nama siapa semua wisma dan hotel milik Arul?""Ya, atas nama papanya lah.""Ha-ha-ha-ha, Zeyn ... Zeyn ... polos bener kamu." Dia tertawa sambil menutupi mulutnya."Nggak usah sok akrab!""Ya, udah. Aku pergi aja. Dan aku nggak akan temui dan kasi tau apa pun rahasia jahat mereka ke kamu.""Aduuuh, apaan, sih? Aneh!""Ok. Ya, atas nama kamulah. Ih!""Parah Anda. Saya nggak percaya kalau masalah nama. Oya, kenapa ... Naya dan Dina menyarankan Meta untuk meminta pertanggungjawaban pada Arul. Kan dia tau siapa yang menghamilinya.""Gini, awalnya Meta menolak saran Naya. Tapi tidak ada satu pun laki-laki yang dia kencani menanggungjawabinya. Terpaksa dia datang pada Arul. Nah, saat Meta meninggal, anak ada pada kamu kan? Dina dan Naya tepuk tangan, Zeyn. M

  • CINCIN TAK BERTUAN   Rul, Tega Sekali Mereka Menyakiti Aku

    Bab 57Di hari yang sama, aku ke kamar Husna dan Titin untuk menanyakan perihal tentang isi chat dari Dina."Husna, Titin, saya mau bicara sesuatu. Ayo, ke depan TV," ucapku dengan pelan agar mereka tidak tersinggung.Setelah mereka duduk di atas karpet, aku bertanya, "Kalian jawab dengan jujur, ya. Siapa yang menyampaikan pada Dina kalau saya dan Naya berkelahi di pasar?"Husna dan Titin saling pandang dan sama-sama menceritakan kening. Aku tidak tahu apakah mereka pura-pura heran atau memang tidak tahu."Maksudnya, Bu?" Husna masih mengernyitkan keningnya."Baca," ucapku, sembari memberikan ponselku pada mereka untuk menunjukkan isi chat dari Dina."Lho, kok, Bu Dina tau?" Titin kembali heran. "Apa kau yang ngasi tau, Na?""Mana ada, Tin. Sumpah mati aku, iya. Paling haram samaku nyampein cerita apa pun tentang Bu Zeyn. Nggak ada untungnya samaku, Tin."Aku percaya dengan omongan Husna. Lalu siapa? Nah, aku yakin ini p

  • CINCIN TAK BERTUAN   Biadabnya Naya dan Dina (2)

    Bab 56Sebuah benda berbahan dasar tanah liat yang ada di dekatku kulemparkan. Emosiku semakin memuncak karena ucapannya. Tidak seharusnya dia mengatakan itu pada sahabatnya. Sudah menyakiti, ditambah lagi akan berbuat kasar."Wadawwww ...."Benda itu mengenai kepalanya. Lalu kuseret dia ke luar rumah. Najis kalau wanita yang tidak berakhlak dan jauh dari sopan santun masuk ke rumahku.Kujambak rambutnya dengan kencang dan berkata, "Sekali lagi kau datang padaku dengan niat buruk, kubunuh kau! Paham!""Lepaskan! SAKIT, ZEYN! LEPAAAS!" teriaknya sembari memegang tanganku agar terlepas dari rambutnya."Nggak akan kulepas sebelum kau iyakan permintaanku!""I-iya, iya!""Jawab yang tulus biadab!""Iyaaa!"Barulah kulepaskan jambakanku. Kudorong dia ke luar pagar, lalu kututup kembali pagarnya. Saat berbalik arah, dia malah berteriak seperti orang gila. Anak orang tajir dan punya pendidikan tinggi, bisa-bisanya s

  • CINCIN TAK BERTUAN   Biadabnya Naya dan Dina (1)

    Bab 55 [Ya, ini aku. D I N A.][Kaget?] 'Sepupu tidak berakhlak!' makiku dalam hati. Aku mengabaikan chat Dina dengan tidak membalasnya. Masih ada duka dalam hatiku, tapi Dina setega itu padaku. Bukannya ikutan bersedih, malah mengucapkan selamat dan memberikan react ketawa. Dokter gila! [Zeyn, balas, dong.][Owh, aku tau kalau kamu lagi nangis, ya.][Cup-cup-cup-cup.][Mirip dengan bayi yang bukan anakmu.][Ahhaaayy.] [Nggak pantes!] Celaan demi celaan terus dilontarkan Dina melalui pesan singkat. Aku memblokir nomor itu dengan terpaksa. Biar saja Dina bingung dengan keegoisannya. Aku tidak menyangka kalau Dina setega itu. Bukankah selama ini dia baik-baik saja padaku? Ponsel Arul yang ditinggalkannya, kini untukku. Sayangnya, aku tidak tahu kode membuka kunci kedua ponsel ini. Aku tidak pernah menyentuh barang-barang miliknya. Termasuk ponsel. Di keheningan, aku teringat dengan suaranya y

  • CINCIN TAK BERTUAN   Dukaku Teramat Dalam

    Bab 54Wanita ini selalu saja mengganggu konsentrasiku dalam segala hal. Cocoknya, orang seperti ini dimusnahkan dari permukaan bumi. Agar tidak ada lagi yang terluka selain aku. Dia bagaikan racun bagiku dan rumah tanggaku. Dia adalah sahabat dekat yang tega merampas kebahagiaanku bersama suami. Siapa lagi kalau bukan Naya. Anak orang tajir, miskin hati."Ya, ini aku, Zeyn. A-aku banyak salah sama kamu," akunya."Ngapain kau ke mari! Haa?!" bentakku di depan jenazah Arul."Ma-maafkan aku. Siksa saja aku, Zeyn. Siksa.""Aku bukan manusia laknat seperti kau! Aku masih punya hati nurani. Tau kau!""Zeyn, sudah berapa kali kubilang, maafkan aku. Ini memang salahku. Tapi, semua ini karena harta. Ya, aku nggak mau kau merasakan nikmatnya dunia. Aku nggak ingin kekayaan yang kau miliki melebihi yang dimiliki ayahku. Ka-karena, akulah yang selama ini di atasmu, Zeyn." Dia tertunduk dan meneteskan air mata."Nggak usah menyesal

  • CINCIN TAK BERTUAN   Arul ....

    Bab 53"Aduh kenapa? Halaaaahhhh, basa-basi!"Arul pergi ke arah mobilnya, lalu membawa dua kotak kecil. Dia memberikannya pada Gladis dan aku. Kubuka kotak untuk Gladis, isinya ada seperangkat perhiasan. Gelang tangan, anting, cincin, dan kalung. Setelah itu, kotak untukku juga kubuka, isinya sama juga bentuknya. Aku memakainya. Kalau urusan perhiasan mahal, istri mana yang menolak? Pertengkaran hebat pun bisa aman."Zeyn, maaf, ya. Cuma itu yang bisa aku berikan saat ini ke kalian berdua. Tadinya aku bingung mau ngasi apa. Kalau ngajak kamu, pasti kamu bawaannya marah terus. Males berantem sama perempuan yang mudah emosian, kek, kamu.""Apaan, sih? Kek, aku tukang marah aja. Gini-gini aku punya sisi lembut, lho." Aku memiringkan bibirku. Sambil bersungut-sungut."Ya udah, aku ngalah. Kan kata orang di pasar, yang waras ngalah. Ha-ha-ha," ledek Arul memancing tawa.Entah sudah berapa lama candaan seperti ini hilang. Aku juga tidak tahu kapa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status