Share

CEMBURU YANG KEKANAK-KANAKAN

Matahari pagi menyusup masuk ke dalam kamar Sinta membuat Sinta merasa silau dan berusaha menutup wajahnya dengan bantal. Namun aksi tersebut terhenti saat Sinta menyadari tidak ada sosok Nino disampingnya. Beberapa hari terakhir ini Sinta sudah terbiasa dengan kehadiran Nino. Sinta cemas, takut Nino pergi dari kehidupannya dan tidak kembali seperti apa yang dilakukan Mario. Setidaknya dengan kehadiran Nino, Sinta tidak merasa kesepian. Nino terlonjak dari tempat tidurnya. Membehasi wajah dan pakaiannya kemudian melangkah anggun keluar kamar. Sinta tersentak tidak menemukan Nino dimanapun, tidak ada di sofa apalagi di dapur. Sinta panik dan bergegas membuka pintu apartemen. Sinta menarik nafas lega saat melihat Nino berdiri memegang kantong berisikan sarapan mereka.

“Kenapa tidak memecet bel?” tanya Sinta jengkel.

“Aku takut menganggu tidurmu,” kata Nino dengan tatapan penuh kasih sayang. Sinta merasakan betapa Nino sangat menyayanginya terbukti Nino tidak ingin menganggunya. Sinta mengendus kesal.

“Masuklah,” kata Sinta. Nino bergegas masuk ke apartemen dan langsung ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Sinta memeluk Nino dari belakang. Nino ingin membalikkan tubuhnya namun ditahan oleh Sinta.

“Tetaplah seperti ini untuk sesaat,” kata Sinta. Nino hanya mengangguk dan diam sejenak memberikan waktu pada Sinta.

“ulang tahunku, kode apartemen ini,” ujar Sinta.

“Tapi kau tidak tahu ulang tahunku kan?” tanya Sinta kecewa.

“19 november,” jawab Nino. Sinta melepaskan pelukannya. Nino berbalik dan menatap Sinta dalam-dalam.

“Apa yang tidak aku ketahui tentangmu sayang?” tanya Nino, Sinta makin terbuai dengan tatapan Nino yang cukup intens. Nino medekatkan bibirnya dan siap mencium Sinta, namun Sinta menutup bibirnya. Nino mengalihkan ciuman yang tadinya ingin dia labuhkan pada bibir Sinta, kini Nino mencium pipi Sinta.

“Aku belum sikat gigi,” kata Sinta yang membuat Nino terbahak-bahak.

“Tidak apa-apa,” kata Nino namun Sinta tetap bertahan dan menutup bibirnya dengan kedua telapak tangannya.

“Kalau begitu aku akan menunggu kamu siap,” ujar Nino kemudian berbalik menyiapkan sarapan mereka. Nino dan Sinta menikmati sarapan mereka dengan sumringah.

***###***

Nino sedang duduk di sebuah tanam dengan Sinta yang bersandar manja di bahunya. Saking asiknya dengan dunia mereka tanpa mereka sadari sepasang kaki jenjang melangkah mendekati mereka.

“Perempuan murahan, baru saja pisah dengan Mario sekarang bermesraan dengan laki-laki lain,” teriak Anggun mengagetkan Sinta dan Nino.

“Lebih jalang dirimu yang merenggut kekasih orang,” bentak Sinta. Dia tidak ingin dipermalukan apalagi di depan Nino. Anggun tertawa merendahkan.

“apa kamu bilang? Kekasih? Kau itu hanya selir dan aku permaisurinya,” kata Anggun tegas sambil menunjukkan berlian yang bertengker dijemari manisnya. “Aku akan menikah dengan Mario,” lanjut Anggun yang langsung membuat Sinta down.

“Tapi aku kasihan padamu. Lepas dari lelaki hebat malah jatuh ke tangan seorang bocah ingusan,” kata Anggun.

“Dia bukan kekasihku,” kata Sinta dengan bibir bergetar.

“Aku tidak peduli,” kata Anggun lalu melangkah meninggalkan Sinta dan Nino.

“Dia bukan kekasihku. Dia hanya bocah ingusan,” teriak Sinta kemudian menangis histeris. Nino sendiri menatap Sinta dengan terluka.

***&&&&****

Seharian menangis membuat kepala Sinta sakit dan akhirnya tertidur pulas. Sinta belum siap kehilangan Mario namun membuat Mario kembali dalam hidupnya adalah hal yang mustahil, sebab Sinta tidak pernah tahu dimana keberadaan Mario. Bahkan majalah bisnis sekalipun tidak ada yang membahas keberadaan Mario.

Sinta bangun dari tidurnya dengan kepala masih pusing, dia keluar kamar dan mengambil dari di lemari es. Setelah menenguk segelas air Sinta melangkah sempoyongan ke arah Sofa dan duduk di samping Nino dan memasang wajah tegas dan penuh amarah.

“Apa maksudmu perkataanmu,” kata Nino dengan muka tegang. Sinta hanya melirik sekilas lalu mengalihkan pandangannya ke TV.

“Ada apa lagi denganmu?” tanya Sinta cuek.

“Kau bilang aku bocah. Kau bilang aku bukan kekasihmu,” tegas Nino menatap tajam Sinta, darah Nino makin mendidih melihat sikap cuek Sinta.

“Emang bukan,” jawab Sinta santai.

“Lalu ciuman itu apa?” desak Nino.

“Menurutmu?” membuat Sinta mulai naik pitam. Dia membalas tatapan tajam Nino dengan tatapan yang tidak kalah tajamnya.

“I..itu ta..ndanya kita pa...caran,”jawab Nino gelagapan.

“dasar bocah,” kemudian tawa Sinta meledak. Nino makin jengkel kemudian membungkam mulut Sinta dengan ciuman tentu saja Sinta hanya terbelalak menanggapi ciuman Nino yang tidak berlangsung lama.

“loh tuh yang kekanak-kanakan,” kata Nino saat ciuman mereka lepas.

“Perempuan itu butuh kepastian dan kejelasan, bukannya samar-samar. Kamu nggak pernah bilang suka. Nggak pernah ngajak jalan. Dan perlakuan kamu ke semua wanita sama saja,” jelas Sinta.

Nino dengan wajah serius memegang pundank Sinta, memaksa Sinta untuk menatapnya dan dengan wajah gugup mulai berbicara.

“Maukah kau menjadi pacarku?” tanya Nino yang diiringi oleh nafas lega. Sinta terbahak-bahak dibuatnya.

“Berhenti ketawa nggak? Kalau nggak aku cium nih,” ancam Nino. Seketika Sinta membekap mulutnya sendiri dengan punggung tangannya. Nino tersenyum kemudian mengelus lembut rambut Sinta.

“Jadi sekarang kita pacaran ya,” bujuk Nino.

“Aku belum menjawabnya,” kata Sinta sengaja menggoda Nino.

“Makanya jawab Iya,” bujuk Nino lagi.

“Liat entar aja deh,” kata Sinta membuat Nino terbelalak.

“Kenapa sih harus menggantung gitu?” rengek Nino.

“Bukannya cewek emang gitu,” jawab Sinta santai kemudian kembali menatap layar TV.

“Nggak seru,” kata Nino.

“Lah.. kamu kudu berjuang dulu. Masa langsung diterima. Aku mau liat kesungguhan kamu. Lagian aku tidak ada rasa, masih untung aku memberi kamu kesempatan untuk perjuangin aku. Kalau langsung aku tolak gimana?” kata Sinta yang membuat Nino maki merunggut. Sinta tersenyum geli melihat tingkah Nino.

****####***

Ting...ting..tong..

Bunyi bel. Nino dan Sinta saling menatap heran. Mereka tidak sedang memesan makanan. Tidak sedang menunggu seseorang.

“Mungkin salah apartemen kali,” kata Sinta bangkit dari duduknya menuju pintu dan membukanya. Sinta terbelalak ketika melihat Melinda dengan pakaian seksi bukannya memberi salam namun menerobos masuk ke dalam apartemen.

“Nino,” teriak Melinda kemudian menghujani Nino dengan ciuman dan pelukan. Sinta terbelalak. Baru saja Nino menyatakan cinta padanya, Kini Nino dengan wajah bahagia menerima ciuman dan pelukan Melinda.

“Dasar bocah,” kata Melinda namun tiba-tiba dia merasakan debaran aneh. Ada kebencian saat Melinda begitu manja pada Nino. Sinta mengalihkan tatapannya.

“Aku tinggal dulu ya,” kata Sinta berusaha tersenyum pada Melinda dan Nino. Sinta masuk ke kamarnya, kemudian menguncinya.

Sinta berdiri di balik pintu, bersandar pada pintu kamar. Tiba-tiba kakinya terasa lemas, air matanya mengalir ada ngilu yang sama dirasakan dibalik dada Sinta.

“Apakah aku akan kehilangan lagi? Apakah semua yang mencintaiku hanya mempermainkan hatiku?” tanya Sinta pada diri sendiri. Air matanya bercucuran. Sinta terduduk. Dia berusaha menutup mulutnya dengan punggung tangannya agar tidak ada sedikitpun suara yang keluar dari bibir kelunya. Tubuh Sinta terguncang menahan tangis. Sungguh sangat perih menyaksikan mereka yang datang dengan cinta namun pergi dengan meninggalkan luka.

***&&&&***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status