Menjelang sore, atas perintah Amar Mea Malawi, dokter Adam Mizeaz memindahkan Mary Aram ke kediaman Amar Mea Malawi.
Dalam pengaruh obat tidur, Mary Aram tidak menyadari jika dirinya telah berpindah tempat. Ketika terbangun, ia sudah berada di sebuah ruangan kamar yang sangat luas dan harum. Ada seorang pelayan yang sedang sibuk memindahkan pakaian dan menatanya ke dalam lemari."Di mana aku?" Suara halus Mary Aram memecah kesunyian. Gadis itu bingung dengan suasana barunya, kepalanya masih pusing dan sekujur tubuhnya pun terasa kaku dan sakit."Anda sudah bangun Nona?" Sang pelayan tersenyum ramah meninggalkan pekerjaannya."Di mana aku?" Mary Aram berusaha untuk bangun."Anda berada di kediaman Mea Malawi. Mulai hari ini, Nona tinggal di rumah ini," pelayan itu mengambil segelas air, dengan penuh perhatian pelayan itu membantu Mary Aram minum."Tinggal di sini?" Mary Aram bingung mendengarnya, ia berusaha fokus di tengah rasa pusing yang melanda."Ya, kepala rumah tangga telah mengambil seluruh barang Anda dari asrama," pelayan itu menyuapkan sesendok madu ke mulut Mary Aram."Ini tidak baik! Aku seorang gadis, mana boleh tinggal di kediaman seorang pria yang tidak dikenal?" Mary Aram berusaha bangkit. Namun kondisi tubuhnya tidak mau diajak kompromi, dunia kembali berputar membuatnya tergeletak kembali ke tempat tidur."Anda sangat beruntung Nona! Dari sekian banyak gadis dan wanita yang ingin dekat dengan tuan muda, hanya Nona yang mendapat perhatian dari Tuan Muda Amar Mea Malawi," pelayan itu tersenyum membelai rambut Mary Aram."Beruntung apanya? Aku tidak mengenal tuan muda Amar Mea Malawi, dan aku tidak pernah ingin dekat dengannya," Mary Aram mendengus kesal."Akulah yang beruntung telah mendapatkanmu," tiba-tiba Amar Mea Malawi telah berada di ambang pintu, tampak berwibawa meski mengenakan piyama dan mantel tidur. Pria itu melangkah masuk dan meletakkan surat kabar sore di atas meja."Terima kasih Patrice, kau boleh meninggalkan kami. Kami akan makan malam di kamar saja," Amar Mea Malawi membungkuk mengecup kening Mary Aram."Baik Tuan Muda Mea Malawi, Patrice akan kembali pukul tujuh," pelayan itu segera membereskan pekerjaannya, lalu keluar meninggalkan kamar.Hati Mary Aram menjadi cemas mendapati dirinya hanya berdua di dalam kamar bersama seorang pria asing.Jantung Mary Aram berdebar sangat kencang, meski pria di hadapannya sangat ramah, namun dirinya sangat takut. Dirinya tidak mengenal pria itu, dan tidaklah pantas berada di rumah seorang pria apalagi hanya berdua saja di dalam kamar."Bagaimana keadaanmu? Apakah sudah terasa nyaman?" Amar Mea Malawi naik ke atas tempat tidur. Sambil berbaring miring, dengan santai pria itu membelai anak rambut di kening Mary Aram.Aroma maskulin pria itu justru membuat Mary Aram semakin takut. Gadis itu menghindari belaian tangan Amar Mea Malawi."Kembalikan aku ke asrama. Ini sangatlah tidak benar, pria dan wanita tanpa ikatan apapun berada di ruangan tertutup," Mary Aram memejamkan mata menyembunyikan rasa takut."Ini adalah hal yang benar, karena aku telah mendaftarkan pernikahan kita di balai pernikahan," Amar Mea Malawi berbisik sangat lembut."Mana bisa? Tanpa persetujuan dari aku, kau tidak bisa mendaftarkan pernikahan," Mary Aram membuka mata dan melotot menatap tajam mata Amar Mea Malawi.Amar Mea Malawi tersenyum, jemari tangannya terus menjelajahi wajah cantik Mary Aram, "Tentu saja bisa, aku menemukan salinan surat-surat penting dalam kopermu dan aku menggunakannya untuk mendaftarkan pernikahan.""Lancang! Berani sekali kau melangkahi otoritas ayahku!" Wajah Mary Aram semburat merah padam, ia sangat marah. "Aku telah memiliki tunangan, kau mencoreng wajah ayahku di hadapan calon besannya, serta masyarakat Muara Mua.""Jika wajahmu semburat merah padam, dengan urat menegang pada leher. Tampaklah sangat mengesankan menggugah hasrat jiwa," telunjuk jari Amar Mea Malawi menelusuri leher Mary Aram, mengabaikan ucap protes gadis itu."Akhiri pertunanganmu! Kita akan segera menikah!" Tanpa banyak bicara, pria itu mengeluarkan sapu tangan putih dan sebotol kecil berisi aroma terapi beraroma bunga mawar dari saku mantel tidurnya.Amar Mea Malawi menuang setetes aroma terapi pada saputangan dan menyentuhkan ke hidung Mary Aram. Dengan penuh kecemasan Mary Aram berusaha menahan tangis. Andai dirinya bisa leluasa bergerak, tentunya ia sudah menendang jauh tubuh Amar Mea Malawi."Aku mohon jangan!" Mary Aram berusaha untuk bergerak menghindar, "Ini tidak benar!""Ini benar! Karena aku sudah mendaftarkan pernikahan, dan besok adalah pengesahan pernikahan secara hukum adat dan negara," perlahan Amar Mea Malawi membuka satu persatu pita pengikat blouse Mary Aram, serta kain tenun gadis itu. Dalam sekejap gadis itu menjadi polos dalam keindahan."Jangan sentuh aku!" Mary Aram berusaha menutupi tubuh polosnya dengan selimut. Kepanikan mulai melanda, dirinya terpaku tidak dapat bergerak."Mary Aram?" Boa Moza terkejut menatap ambang pintu utama rumah persemayaman jenazah. "Bukan kah yang di sana tadi, Mary Aram?"Boa Moza menoleh menatap perawat Patsy, dengan tatapan tidak mengerti. Perawat Patsy juga masih tertegun bingung, dengan apa yang dilihatnya. "Ya, benar! Yang barusan kita lihat adalah Nona Besar!" Perawat Patsy segera berlari menuju pintu utama rumah persemayaman. "Cepat sekali menghilang? Tidak ada siapa-siapa di luar?"Sejenak ia menjelajahi taman kecil di depan rumah persemayaman jenazah. Tidak ada siapa pun di sekitar taman. Tanpa banyak bicara Boa Moza kembali ke ruangan Mary Aram di rawat. "Mary Aram, kau membuatku ikut terkena serangan jantung!"Langkah lebarnya, mempersingkat waktu. Sesampai di ruang perawatan Mary Aram, tirai merah telah disingkirkan. Sebab jenazah tuan besar Felix Aram telah dipindahkan ke gedung persemayaman jenazah."Mary Aram? Kau telah bangun?" Boa Moza menggeser pintu dan menyibak tirai pemisah ruangan.Seorang perawat me
"Tuan Besar Boa Moza! Dokter Felix Aram telah berpulang kepada SANG PENCIPTA, tiga puluh menit yang lalu," seorang dokter senior menandatangani selembar kertas. "Maafkan kami, Tuan Besar Boa Moza," dokter senior membungkuk memberi hormat, tanda berduka."Tidak mungkin!" Boa Moza sangat terkejut. Sebab tidak ada tanda-tanda atau firasat jika kakaknya itu akan berpulang kepada Yang Maha Agung SANG PENCIPTA."Kakakku tidak mungkin meninggal! Semalam kami berbincang santai, bahkan kakakku bercanda dengan cucu-cucunya," Boa Moza tidak percaya apa yang dilihat dan didengarnya. "Kakakku itu tertawa bahagia saat menidurkan anak dokter Miseaz di pangkuannya.""Kesedihan mendalam akan nona besar Aram dan tuan muda Mea Malawi putra adatnya, merupakan tekanan berat bagi dokter Felix Aram. Hal itu memicu terjadinya serangan jantung.""Sekali lagi! Ini tidak mungkin!" Boa Moza sangat terpukul, mendapati Dokter Felix Aram berbaring memeluk Mary Aram putri tunggalnya yang koma hampir empat bulan.P
"Adam Miseaz? Bagaimana bisa, kau ada di sini?" Desis Boa Moza menahan sakit yang mulai menguasai tubuh. Samar-samar wajah Adam Mizeaz tersenyum ada di depan mata. Senyuman itu terasa aneh, mengandung banyak makna. 'Bagaimana bisa dokter itu berada di St. John? Bukankah seharusnya berada di St. Martin?'Bau anyir darah bercampur obat menguasai ruangan, denting peralatan medis saling beradu.Di tengah setengah kesadarannya, Boa Moza merasakan jika dokter Adam Mizeaz mulai melakukan operasi."Kau heran Boa Moza, mengapa aku bisa di sini?" Suara tenang Adam Mizeaz memecah keheningan, dengan santai ia menangani operasi pengambilan peluru di bahu Boa Moza. "Tentu saja aku harus berada di sini, sebab orang yang sangat aku cintai sedang melangsungkan pernikahan.""Apa maksudmu Adam Mizeaz?" Gumam Boa Moza, hatinya sangat tidak nyaman dengan sikap Adam Mizeaz. "Ya! Aku sangat mencintai Mary Aram! Ia adalah obsesiku! Karena Mary Aram lah, aku berniat menjadi dokter. Agar derajatku sepadan
Sangat sakit! Kaku! Sakit yang luar biasa pada punggung itu begitu dominan, membuat sekujur tubuh yang lain mati rasa. Perlahan tubuh menjadi basah oleh cairan hangat! Mary Aram pun tumbang ke lantai.'Keterlaluan! Sungguh keterlaluan! Apa salahku? Mengapa orang-orang begitu kejam padaku?''Tidak cukupkah ayahku, berbuat kebaikan kepada mereka? Mengapa mereka menginginkan nyawaku?'Di tengah perasaan sakit dan malu, Mary Aram berusaha untuk bangkit. Seulas senyum tersungging di sudut bibirnya. 'Ya SANG PENCIPTA Yang Maha Agung, ampunilah orang-orang ini! Aku serahkan perbuatan mereka ke dalam tanganMU SANG PENCIPTAku Yang Maha Agung. '"Istriku!" Boa Moza segera mengangkat Mary Aram, bersamaan dengan Abee Bong Moja."Mary Aram!" Abee Bong Moja berusaha mengambil alih tubuh Mary Aram."Menyingkir! Kau tidak ada hak atas istriku!" Boa Moza mendesak tubuh Abee Bong Moja agar menjauh dari istrinya."Boa Moza! Ia tunanganku!" Abee Bong Moja bersikeras merebut tubuh Mary Aram."Hah! Lihatl
Dari tangga ruang lonceng dapat terlihat jelas ritual pernikahan suaminya dengan Alda Bong Moja.Tangis pilu Mary Aram semakin tidak terbendung, melihat Alda Bong Moja menerima dupa wangi dari biksu kepala lalu berjalan mengitari Boa Moza. Dari balik cadar pengantin yang transparan, dapat terlihat jelas senyum manis mengembang di wajah wanita itu."Suamiku apapun yang terjadi, aku percaya kepadamu. Namun hatiku tidak bisa menerima wanita itu, dia akan menjadi duri dalam rumah tangga kita.""Ini rumah tangga kita, keluarga kita! Sangat keterlaluan berbagi tempat tidur bersama wanita lain."Dupa wangi telah mengitari pengantin pria, saatnya berganti dengan nyala api mengitari pengantin wanita.Hati Mary Aram semakin tersayat kepedihan, melihat suaminya membawa api dalam bokor tembaga berjalan mengitari pengantin wanita. "Mary Aram, kau harus percaya pada suamimu!" Wanita itu menangis seorang diri, sambil memukul-mukul bahunya. "Aku harus percaya! Aku harus percaya suamiku!"Doa-doa ri
"Kalian bawa anakku ke menara Timur.""Baik Nyonya besar."Perawat Ellen membawa Hegan Boa keluar, sesampai di ambang pintu ia menoleh. Perawat itu mencemaskan Mary Aram, hatinya tidak tega mendapati suami majikannya direbut paksa tepat pada hari pernikahan. "Namun, apakah Nyonya besar tidak masalah jika kami tinggal?""Kalian jangan cemas, aku baik-baik saja," Mary Aram tersenyum, wajahnya tampak tenang, namun tampak jika sedang mengendalikan perasaan luka. Berlalunya kedua perawat, Mary Aram membuka kotak kayu di hadapan di atas meja. Ia mengeluarkan seuntai kalung dan sebuah cincin perak. Pada liontin kalung serta cincin itu berlambang burung Cendrawasih.Selain itu masih ada sebuah cincin emas berlambang kepala singa. Kedua cincin itu adalah cincin pria, yang longgar di jari Mari Aram. Ia menyematkan kedua cincin itu pada kalung perak, lalu mengenakannya.Lonceng pernikahan kembali terdengar. Mary Aram menarik napas dalam, lalu beranjak meninggalkan kediamannya melalui balkon.