Akad nikah itu diucapkan dengan lantang dan lancar oleh pria yang mengenakan kemeja putih berbalut jas senada. Di sambut sorak Sorai para tamu undangan dengan ucapan "Syah". Tapi aksara itu sama sekali tidak keluar dari bibirku. Kulihat pengantin wanita dengan hijab syar'i berwarna putih itu terlihat berseri-seri. Diraihnya tangan Gus Al dan kemudahan mencium punggung tangan pria kekar itu. Tidak lupa Gus Al pun menjatuhkan ciuman di pucuk kencing Wanita itu hingga wajahnya bersemu merah menahan malu. Abah dan umi yang mendampingi pun terlihat terharu mereka saling berpandangan dan tersenyum. begitu juga dengan pria yang duduk di sebelah Puspa pasti itu ayah dari pengantin wanitanya. Berkali-kali pria itu mengusap lembut sudut netranya yang basah.
Sementara aku hanya mampu duduk di antara barisan para tamu undangan. Menatap pria yang menjanjikan manisnya pernikahan padaku namun itu hanyalah ceritanya belaka. Ternyata dia justru meni
POV DESINamaku Desi Anggraini, orang-orang mengenalku dengan panggilan Desi. Aku adalah wanita keturunan Jawa. Ibuku asli orang Purwodadi dan ayah kandung asli Pacitan. Namun, ketika aku berusia empat tahun ayah kandungku meninggal dunia. Kata ibu, ayah meninggal karena serangan jantung. Semenjak itu beban kehidupan bertumpu di pundak ibuku. Beban ekonomi yang semakin mencekik membuat ibu memutuskan untuk merantau di Jakarta.Hampir tiga tahun ibu berjualan di warung kelontong yang buka selama 24 jam. Jangan bayangkan keadaan kami yang hanya tinggal di trotoar jalanan ibukota. Sudah pasti hal itu sangat memprihatikan. Hingga suatu ketika ibu kenal dengan seorang pria bertubuh tegap dangan kulit hitam legam yang membuatnya jatuh cinta.Saat itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar dan aku harus menerima keputusan ibu untuk menikah dengan ayah baruku. Awalnya pria yang bernama Joko itu sangat lembut padaku. Bahkan
POV DESI 2Aku tak hanya singgah di satu tempat hiburan saja. Banyak tempat hiburan yang paling ramai sekali pun telah aku jajaki di kota Jakarta. Hingga diriku sampai di kota Cilegon dan mengenal mami Dian dan Riri sahabat karipku itu. Dan di DINASTI inilah aku merasa nyaman menjalani lakonku sebagai seorang wanita malam. Perindustrian yang maju pesat membuat dunia hiburan di kota kecil ujung pulau Jawa itu pun memiliki omset lebih besar daripada kota lainnya.Bercinta dengan banyak pria membuatku semakin babal dan nyaman menjalani peranku tanpa harus mencintai. Namun, tak selamanya menjadi wanita malam itu selalu menyenangkan terkadang banyak juga dari kami yang tumbang karena penyakit seksual yang mematikan. Terkadang kami juga harus berebut pelanggan dengan anak kesayangan sang mucikari. Ah, Dunia malam tak selalu indah seperti yang mereka bayangkan.Indahnya polesan dan senyum yang mengembang di wajahku itu hany
Aku masih duduk di amben yang terletak di belakang gedung pondok pesantren. Beberapa amben berjajar rapi yang berhadapan langsung dengan kolam ikan milik pondok pesantren.Wanita yang sedang duduk di sampingku itu terlihat sendu. Wajah mungilnya selalu terulas senyuman setiap kali kami berpapasan.Jantungku berdebar kencang, mungkin saat ini wajah'ku terlihat pucat menunggu wanita itu menyampaikan tujuannya kepadaku.Kulihat tatapan sendu wanita itu terlihat santai. Tak terlukiskan ekspresi apapun dari wajahnya. Mungkin dia lebih pandai menyimpan rasanya dari pada aku."Des," ucap Puspa meraih punggung tanganku yang berada di pangkuanku, menjatuhkan tatapan hangat padaku yang gugup."Iya," sahutku sedikit terkejut dengan wanita yang usianya lebih tua dariku itu. Meskipun tubuh mungilnya membuatnya masih terlihat awet muda."Aku ingin melamarmu untuk
Aku masih duduk di ruang tamu kediaman Abah dan umi, pemilik pondok pesantren. Hari ini adalah jadwal yang sudah Puspa atur untukku bertemu dan memohon ridho kepada kedua orang tua Gus Al. Pria yang sampai detik ini belum juga menampakkan dirinya."Duduk dulu, Des! Aku panggil Abah dan Umi dulu," izin wanita dengan gamis tosca yang membuat kulit putihnya samakin terpancar.Aku mengangguk, dengan tersenyum kecil.Kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruang tamu rumah minimalis itu. Selama aku tinggal di pondok baru kali ini aku memasuki kediaman rumah orang tua Gus Al yang terletak di sudut kompleks pesantren. Ternyata lebih tenang dari riuh suara para anak-anak santri. Apalagi di halaman depan rumah berlantai dua ini ada sedikit taman kecil yang dipenuhi tumbuhan hijau sehingga terlihat begitu asri."Des!" Puspa yang berjalan dari dalam ruangan hampir saja mengagetkanku."Iya!" Pandanganku s
"Des, kamu suka model yang mana?" tanya Puspa menunjukkan kedua baju pengantin berwarna putih itu padaku."Model yang sederhana saja, Teh," sahutku tanpa memilih satupun dari kedua model baju pengantin syar'i yang Puspa berikan padaku."Ya sudah, yang ini saja ya Des! Sepertinya cocok di badanmu." Puspa menempelkan baju pengantin dengan sedikit hiasan mutiara di bagian roknya di badanku."Sip, kamu cantik sekali Des!" ujar Puspa antusias. Seolah dia sedang mempersiapkan pesta pernikahan untuk dirinya sendiri. Ia tidak ingin ada satupun yang kurang dariku."Kalau untuk Abi, kamu suka yang mana?" Kini Puspa menunjukkan model pakaian pengantin pria yang dikenakan manekin di hadapan kami."Ehm, terserah Teteh saja, deh," ucapku tak bersemangat. Aku tidak tau bagaimana harus menjalani rumah tangga jika hati ini saja selalu terasa sakit setiap melihat Puspa dan Gus Al bermesraan.
Kujatuhkan tubuhku memeluk pria yang berdiri di hadapanku. Pria yang selalu ku lrindukan disetiap malamku. Tak perduli dia suka atau tidak, aku hanya ingin meluapkan rasa lelah dalam hidupku saat ini.Sepertinya Gus Al terkejut. Terdengar jelas detak jantungnya yang berpacu lebih cepat. Aku masih terus menempelkan wajahku pada dada bidangnya dengan menangis tersedu-sedu. Melewati kejamnya hidup ini sendiri membuatku merasa lelah dan hampir putus asa.Sejenak pria itu membiarkan aku menangis dalam pelukannya. Meskipun ia tahu bersentuhan dengan yang bukan mahramnya adalah sebuah larangan. Tapi entah mengapa pria yang telah mencukur bulu halus di sekitar rahangnya itu membiarkan aku berada dalam pelukannya."Kamu kenapa menangis?" Pria itu mengusap rambut panjangku.Segera kutarik tubuhku dari pelukannya. Kemudian menatap lekat wajah sendu pria yang memiliki tinggi hampir sama denganku itu.
POV PuspaNamaku Anisa Puspa Sanjaya, Nama itu diambil dari nama ayah dan almarhumah ibuku. Anisa adalah nama ibuku dan Sanjaya adalah nama ayahku. Kata ayah aku adalah hadiah terindah yang pernah ibu berikan kepadanya sebelum akhirnya ibu meninggalkanku untuk selamanya.Saat ini usiaku memang sudah hampir menginjak kepala tiga. Hidupku terlalu sibuk membantu ayah mengembangkan perusahaannya di bidang travel haji dan usaha ayah yang lainnya. Bolak balik Jakarta arabsaudi membuatku lupa dengan pernikahan yang seharusnya sudah aku lakukan diusiaku ini.Dibesarkan oleh orang tua tunggal membuatku sangat menyanyangi ayah. Bahkan jika aku harus memilih, aku tidak ingin menikah, aku hanya ingin menemani ayahku hingga beliau menua dan wafat. Aku tidak ingin jika ayahku menghabiskan hidupnya sendirian, meskipun berkali-kali aku memintanya untuk menikah tetapi ayah tetap ingin menjaga hatinya untuk ibu seumur hidupnya.
Setelah acara pesta pernikahan itu usai aku segera membersihkan diri. Di rumah minimalis yang telah Gus Al hadiahkan untukku sebagai tempat tinggal kami setelah menikah.Suara sound yang mengiringi pernikahan kami telah usai. Hanya tinggal keheningan di malam yang pekat dan suara jangkrik yang saling bersahutan.Sudah kuhias wajahku semenarik mungkin dengan balutan make-up natural tentunya. Ditambah dengan wewangian yang sengaja aku semprotkan ke seluruh tubuhku agar Gus Al bisa tertarik kepadaku.Namun, pria yang hampir setangah jam berada di dalam kamar mandi itu tak kunjung membuka pintunya. Aku sempat lelah untuk menunggu pria itu keluar dari dalam kamar mandi. Hingga akhirnya pria dengan balutan handuk dari pusar hingga paha itu menunjuk batang hidungnya."Mas, nih sudah aku siapkan baju ganti untuk mu," ucapku kepada Gus Al, pria itu tersenyum teduh padaku. Wajahnya yang sedari tadi muram kini kembali ceria. Entahlah, pria itu mudah sekali berubah.