Prank!
Ponsel yang menempel pada telinga Bilal tiba-tiba terjatuh. Begitu juga dengan tongkat yang menyangga tubuh Bilal. Lelaki itu terhuyun jatuh bersandar dari pada dinding tembok dan terisak.
"Bilal!" Uma berhambur menghampiri Bilal. Begitu juga dengan aku dan Dejah. Serta beberapa orang yang sedang membantu di rumah untuk mempersiapkan pesta pertunangan adik bungsuku, Dejah.
"Bilal, ada apa?" Uma panik melihat keringat dingin bercucuran dari tubuh Bilal yang menangis.
"Abang, ada apa Bang!" Dejah yang berada di samping kanan Bilal pun terlihat panik.
"Mang sholeh, tolong ambilkan minum! Kalian mundur berikan udara untuk Bilal," ucapku pada beberapa orang yang mengerumuni Bilal.
Beberapa saat kemudian mang Soleh menyodorkan segelas air putih kepadaku dan aku segera memberikannya kepada Bilal.
"Minum dulu Bilal!" ucapku membantu Bilal untuk meneguk air
Enam tahun kemudianMeskipun masih berusia tujuh tahun. Tapi kemampuan Ais menjadi hafiz Alquran tidak perlu diragukan lagi. Gadis kecil itu pernah menjuarai lomba Hafiz tingkat nasional dan mendapatkan juara satu."Ais, jangan lupa beroda ya!" tuturku seraya mengusap kerudung yang Ais kenakan."Iya Bude," sahutnya dengan nada semangat.Tangan Ais menggapai-gapai ke arahku yang duduk di sampingnya."Ais mau apa?" tanyaku menyetuh tangan Ais."Aku ingin memegang perut Bude!" sahutnya.Aku tersenyum lebar pada Ais, lalu mengarahkan tangan kecilnya menyentuh perutku yang sudah membesar."Adek, doakan Kakak Ais ya!" ucap gadis kecil yang mengenakan kerudung berwarna merah muda itu.Aku tersenyum kecil, megusap perutku yang membesar. Kemungkinan beberapa hari lagi aku akan segera melahirkan.
Siapa bilang seorang pelacur tak mempunyai cinta. Siapa bilang seorang pelacur akan selamanya menjadi pelacur. Jika Tuhan telah menghendaki, kalian bisa apa? Seseorang membelai tubuhku, mencumbu leher jenjangku, mencium bibirku, bahkan menyetuh bagian intim ku. Ia melampiaskan segala hasratnya padaku. Terkadang mereka melakukannya dengan lembut, terkadang juga mereka melakukannya dengan cara bengis, asalkan mampu memuaskan mereka dan semua itu kulakukan demi lembaran uang. Tanpa memperdulikan ada seorang wanita yang sedang berjihad di rumah menunggu kepulangan lelaki yang kini sedang menikmati indah nafsu bersamaku. Aku biarkan air membasahi tubuhku. Kuputar kran yang berada disamping tubuhku, agar air yang keluar dari shower itu mengalir lebih deras lagi. Rasanya begitu segar, masih terasa geli dan jijik sekali dalam benakku ketika seorang lelaki bertub
Gus Al masih memandangi wanita yang berjalan terseok-seok di ujung jalan. Di bawah temaram lampu yang remang remang hingga yang terlihat hanyalah bayangan wanita itu. Subuh memang sebentar lagi. Masih terdengar suara qiro' seorang santriwati yang merdu dari dalam masjid, yang menandakan bahwa sebentar lagi akan memasuki waktu subuh.Dua orang bertubuh besar menghampiri wanita di ujung gang. Mencoba untuk mengodanya. Wanita berpostur tubuh tinggi ramping itu terlihat beberapa kali menepis tangan dari laki laki bertubuh besar yang hendak menyentuh area sensitifnya. Gus Al masih belum beranjak dari sembari masjid, tapi tangan lelaki itu terlihat sudah mulai mengepal siap untuk menghajar dua preman yang terus menggoda gadis di bawah temaram lampu jalan."Jangan!" teriak wanita itu memukul kepala plontos lelaki yang hendak menciumnya dengan tas. Suaranya nyaring terdengar hingga ke tempat Gus Al berada.
Kepalaku masih terasa sangat berat. Rasa kantuk ini menyergaku terus menerus. Aku mencoba membuka kedua mataku yang masih terasa lengket. Tetapi yang ada alam bawah sadar masih menari nari dalam pikiranku."Argh ... Sial!" decihku memegangi kepalaku yang terasa nyut nyutan. Sepertinya semalam aku terlalu banyak minum alkohol hingga membuatku seperti ini."Sudah bangun Mbak?" Suara seseorang berkata padaku memaksaku untuk tersadar.Aku mencoba membuka mataku perlahan. Sepertinya suara itu bukan suara Riri yang sedang membangunkanku. Suara ini begitu lembut sekali. Tidak seperti suara sahabatku yang bagaikan kaleng rombeng.Netraku melihat' bayangan perempuan sedang duduk di sampingku sambil meletakkan secangkir teh pada nakas. Benar saja ternyata dia bukan Riri. Gadis di depanku ini sepertinya lebih tua dariku melihat dandanannya yang begitu
Cekrek!Terdengar seseorang membuka knop pintu. Namun rasanya aku malas sekali untuk bangun dan melihatnya. Aku masih ingin bermalas malasan di kasurku yg empuk menyaksikan acara komedian laki laki berambut merah yang sedari tadi mengocok perutku."Desi, ih kamu ini!" sergah Riri dengan wajah kesal sambil menenteng banyak kantong kresek di tangannya menghampiriku."Apa sih Ri, Aku masih sibuk nonton TV nih," balasku tanpa menoleh sedikitpun pada Riri."Bantuin dong ih!" protes Riri."Iya, iya Ih!" Aku segera mengerjap bangun dan mengambil sebagian kantong yang ada di tangan riri dan meletakannya di atas meja makan."Lagian kamu belanja banyak banget sih Ri. Kan nyusahin diri kamu sendiri." Aku kembali menjauhkan tubuhku pada sofa yang berada di depan televisi."Heh, ini tu mu
Aku masih duduk di tepi danau. Menikmati pemandangan beberapa orang yang sedang menghabiskan waktunya di danau ini. Terdengar tawa mereka berderai derai. Ada yang sibuk memancing, sibuk bermain dengan anak-anak mereka atau sekedar memadu kasih."Hay, Desi!" sapa seseorang yang membuatku terkejut. Aku memcoba melihat ke sekeliling. Tapi tidak siapapun yang berada di sekitarku."Apakah aku salah dengar?" Aku bermonolog dengan diriku sendiri."Tidak kok, aku di sini!" Seseorang berdiri tepat di belakang punggungku ."Kenapa lelaki itu?" batinku semakin riuh ramai saat melihat kehadiran lelaki tampan itu. Perlahan ia berjalan mendekatiku, lalu menjatuhkan tubuhnya tidak jauh dari tempatku berada. Membuatku semakin gugup saja."Desi!" panggil Gus Al meluluhkan hatiku yang se
Ini hari pertamaku berada di pondok pesantren lelaki yang mengajaku ta'aruf. Aku masih sibuk membantu wanita paruh baya bertubuh tambun.Orangnya cukup ramah dan juga baik. Aku hanya membantu memasukan nasi ke dalam piring piring yang sudah disediakan untuk para santri yang akan sarapan pagi ini. Dari subuh buta Bik Nah sudah membangunkanku. Padahal waktu subuh adalah waktu yang paling enak untuk tidur, tapi sudahlah hidup tidak melulu begitu."Neng itu tolong piring piringnya ditata di meja sana! Biar anak-anak tidak berebut nantinya," ucap Bik Nah menujuk deratan meja panjang yang berjajar di hadapanku.Segera aku memindahkan piring piring yang sudah di isi nasi tadi ke atas meja seperti yang Bik Nah perintahkan.Segerombolan anak-anak santri menyerbu kemudian duduk rapi di kursi yang telah disediakan. Aku pun segera berjalan menuju balik meja tinggi pembatas dapur, cukup agar aku tidak terlihat siapa
Aku masih duduk di pinggir kolam ikan yang terletak di belakang pondok pesantren. Kolam yang berbentuk persegi panjang dengan jumlah 6 petak dan dikelilingi oleh pohon mangga. Aku duduk di atas amben (ranjang yang terbuat dari bambu) yang terletak di bawah pohon mangga menghadap langsung ke arah kolam. Berkali kali kumelempar kerikil kecil ke dalam kolam sehingga menimbulkan riak riak kecil. Aku berharap kekesalan dalam hatiku akan segera menghilang. Karena ucapan Bik Nah yang terang-terangan melarangku mendekati Gus Al terus terngiang di telingaku. Aku tahu maksud Bik Nah baik, hanya saja hatiku seolah tak ingin berdamai.Kulemparkan batu yang lebih besar agar menimbulkan riak atau bahkan ombak yang mampu melegakan kegundahanku. Padahal aku tau itu tidak mungkin. Sorot kemuning senja hampir menghilang seolah malam yang gelap akan segera menenggelamkanku dalam kehancuran.