Kuedarkan pandanganku ke sekeliling kafe tempatku berada. Pesan yang sudah kukirimkan pada Bang Arsya masih saja bercentang satu. Apakah Bang Arsya membohongiku lagi. Aku mendengus berat, aku harap ini hanyalah rasa kekhawatiranku saja.
Sebuah tangan tiba-tiba menutup kedua mataku. Aku terkejut untuk sesaat. Aroma maskulin yang bergitu akrab dengan indera penciumanku membuatku tidak kesulitan untuk menebak siapa yang berada di belakang punggungku.
"Abang!" ucapku.
"Mariyah!" Bang Arsya melepaskan tangan yang menutupi kedua mataku. "Kok kamu tahu kalau itu, Abang!" serunya memutar tubuh bejalan menuju bangku yang berada di samping kiriku. Senyuman merekah pada kedua sudut bibir Bang Arsya.
Meja kafe yang berbetuk persegi memiliki empat bangku pada setiap mejanya. Dengan beberapa lampu yang menggantung di setiap atas meja. Jika malam, kafe ini akan terlihat semakin indah dengan beberapa lampu hias yang lainy
"Yuma!" Bang Arsya tercekat melihat kehadiran wanita berbadan dua yang berjalan menuju ke arah meja kami.Yuma menjatuhkan tubuh duduk pada bangku. Wajahnya terus saja menunduk tidak berani menatap kepadaku ataupun Bang Arsya."Maksud kamu apalagi, Mariyah?" Rahang Bang Arsya mengertak menatap tajam kepadaku.Aku membisu dengan membalas tatapan datar pada Bang Arsya. "Beberapa waktu lalu vonis mengejutkan datang dari Bilal. Dokter Iman mengatakan bahwa Bilal mengalami kelainan genetik. Dimana Bilal di katakan mandul seumur hidup.""Apa?" Bang Arsya mengerang menekan meja dengan kedua tangannya. Menatap padaku dan juga Arsya dengan tatapan tajam."Jangan gila kamu, Mariyah?" desis Bang Arsya bangkit dengan wajah merah menyala."Gila bagaimana, Bang?" sergahku mendongak dengan rahang menggertak."Apakah kamu saat ini sedang menuduhku?" kelakar Bang Arsya. Ur
Keadaan Bilal masih sama seperti dulu. Seumur hidupnya ia akan menjadi seorang lelaki yang lumpuh. Tapi sedikitpun Bilal tidak pernah mengeluhkan keadaannya. Lelaki yang menjadi tongkat estafet pondok harus berganti padaku. Kini akulah yang meneruskan dakwah keluar kota setiap kali ada undangan yang datang."Kak!" Bilal yang berjalan menghampiriku menuju teras rumah."Apa Bilal!" sahutku masih berfokus pada layar ponsel. Mengecek jadwal undangan yang sudah masuk."Sepertinya kakak harus menghentikan dakwah kakak!" tutur Bilal dengan suara parau.Seketika aku mengalihkan tatapanku pada lelaki yang duduk pada bangku di sampingku."Kakak butuh seorang pendamping. Kakak adalah wanita, dan sebaik-baiknya wanita adalah berada di dalam rumah," imbuh Bilal terdengar seperti sedang menasehatiku.Aku meletakkan ponsel di atas meja yang membelah antara aku dan Bilal. "Bilal, ini buka
Aku berdiri di samping ranjang Bang Arsya. Menjatuhkan tatapan lekat pada lelaki bertubuh kurus yang terbaring lemas di atas ranjang. Sementara Yuma, terus saja terisak melihat' kondisi Bang Arsya yang semakin kritis."Kata Dokter, Bang Arsya masih terpengaruh dengan obat bius. Bersabarlah dulu, nanti setelah efek dari obat bius itu habis pasti Bang Arsya akan siuman," dustaku menenangkan Yuma. Aku tidak ingin Yuma semakin menyiksa dirinya jika mengetahui keadaan Bang Arsya yang sesungguhnya.Wanita dengan gamis lusuh berwarna kecoklatan itu mengangguk lembut seraya mengusap pipinya yang basah."Makanlah dulu, pasti Ais juga lapar," ucapku mengingat Yuma pada balita yang masih menggantungkan air susunya."Tapi Bang Arsya!" Yuma menjatuhkan tatapan ragu padaku. Rasa sayang pada Bang Arsya tergambar jelas pada wajah Yuma."Tenang saja! Biar aku yang menjaga Bang Arsya," sahutku tersenyum pad
Prank!Ponsel yang menempel pada telinga Bilal tiba-tiba terjatuh. Begitu juga dengan tongkat yang menyangga tubuh Bilal. Lelaki itu terhuyun jatuh bersandar dari pada dinding tembok dan terisak."Bilal!" Uma berhambur menghampiri Bilal. Begitu juga dengan aku dan Dejah. Serta beberapa orang yang sedang membantu di rumah untuk mempersiapkan pesta pertunangan adik bungsuku, Dejah."Bilal, ada apa?" Uma panik melihat keringat dingin bercucuran dari tubuh Bilal yang menangis."Abang, ada apa Bang!" Dejah yang berada di samping kanan Bilal pun terlihat panik."Mang sholeh, tolong ambilkan minum! Kalian mundur berikan udara untuk Bilal," ucapku pada beberapa orang yang mengerumuni Bilal.Beberapa saat kemudian mang Soleh menyodorkan segelas air putih kepadaku dan aku segera memberikannya kepada Bilal."Minum dulu Bilal!" ucapku membantu Bilal untuk meneguk air
Enam tahun kemudianMeskipun masih berusia tujuh tahun. Tapi kemampuan Ais menjadi hafiz Alquran tidak perlu diragukan lagi. Gadis kecil itu pernah menjuarai lomba Hafiz tingkat nasional dan mendapatkan juara satu."Ais, jangan lupa beroda ya!" tuturku seraya mengusap kerudung yang Ais kenakan."Iya Bude," sahutnya dengan nada semangat.Tangan Ais menggapai-gapai ke arahku yang duduk di sampingnya."Ais mau apa?" tanyaku menyetuh tangan Ais."Aku ingin memegang perut Bude!" sahutnya.Aku tersenyum lebar pada Ais, lalu mengarahkan tangan kecilnya menyentuh perutku yang sudah membesar."Adek, doakan Kakak Ais ya!" ucap gadis kecil yang mengenakan kerudung berwarna merah muda itu.Aku tersenyum kecil, megusap perutku yang membesar. Kemungkinan beberapa hari lagi aku akan segera melahirkan.
Siapa bilang seorang pelacur tak mempunyai cinta. Siapa bilang seorang pelacur akan selamanya menjadi pelacur. Jika Tuhan telah menghendaki, kalian bisa apa? Seseorang membelai tubuhku, mencumbu leher jenjangku, mencium bibirku, bahkan menyetuh bagian intim ku. Ia melampiaskan segala hasratnya padaku. Terkadang mereka melakukannya dengan lembut, terkadang juga mereka melakukannya dengan cara bengis, asalkan mampu memuaskan mereka dan semua itu kulakukan demi lembaran uang. Tanpa memperdulikan ada seorang wanita yang sedang berjihad di rumah menunggu kepulangan lelaki yang kini sedang menikmati indah nafsu bersamaku. Aku biarkan air membasahi tubuhku. Kuputar kran yang berada disamping tubuhku, agar air yang keluar dari shower itu mengalir lebih deras lagi. Rasanya begitu segar, masih terasa geli dan jijik sekali dalam benakku ketika seorang lelaki bertub
Gus Al masih memandangi wanita yang berjalan terseok-seok di ujung jalan. Di bawah temaram lampu yang remang remang hingga yang terlihat hanyalah bayangan wanita itu. Subuh memang sebentar lagi. Masih terdengar suara qiro' seorang santriwati yang merdu dari dalam masjid, yang menandakan bahwa sebentar lagi akan memasuki waktu subuh.Dua orang bertubuh besar menghampiri wanita di ujung gang. Mencoba untuk mengodanya. Wanita berpostur tubuh tinggi ramping itu terlihat beberapa kali menepis tangan dari laki laki bertubuh besar yang hendak menyentuh area sensitifnya. Gus Al masih belum beranjak dari sembari masjid, tapi tangan lelaki itu terlihat sudah mulai mengepal siap untuk menghajar dua preman yang terus menggoda gadis di bawah temaram lampu jalan."Jangan!" teriak wanita itu memukul kepala plontos lelaki yang hendak menciumnya dengan tas. Suaranya nyaring terdengar hingga ke tempat Gus Al berada.
Kepalaku masih terasa sangat berat. Rasa kantuk ini menyergaku terus menerus. Aku mencoba membuka kedua mataku yang masih terasa lengket. Tetapi yang ada alam bawah sadar masih menari nari dalam pikiranku."Argh ... Sial!" decihku memegangi kepalaku yang terasa nyut nyutan. Sepertinya semalam aku terlalu banyak minum alkohol hingga membuatku seperti ini."Sudah bangun Mbak?" Suara seseorang berkata padaku memaksaku untuk tersadar.Aku mencoba membuka mataku perlahan. Sepertinya suara itu bukan suara Riri yang sedang membangunkanku. Suara ini begitu lembut sekali. Tidak seperti suara sahabatku yang bagaikan kaleng rombeng.Netraku melihat' bayangan perempuan sedang duduk di sampingku sambil meletakkan secangkir teh pada nakas. Benar saja ternyata dia bukan Riri. Gadis di depanku ini sepertinya lebih tua dariku melihat dandanannya yang begitu