Arga POVDibalik sikapnya yang dingin, ada hati yang rapuh. Aku mengerti. Dibalik sikapnya yang terkadang kasar, ada kelemahan yang dia sembunyikan. Atau mungkin faktor kerasnya kehidupan yang membuat moodnya berantakan. Ratih.Perempuan yang dua tahun lebih tua dariku. Terpaksa menerima jalan hidup yang tidak seberuntung wanita lain di luar sana. Aku melihat bagaimana dia menyayangi anaknya. Aku melihat sendiri bagaimana dia berusaha kuat dihadapan anaknya hanya agar anaknya tidak bersedih melihatnya di aniaya. Yang menjadi pertanyaanku... Kenapa suaminya tega menyakiti. Kenapa tega memilih wanita lain dan menyia-nyiakan wanita yang pernah bersimbah darah untuk melahirkan anaknya? Bukankah itu tidak adil? Saat aku menariknya masuk kedalam dekapan. Dapat kurasakan tubuhnya berguncang karena isak tangisnya. Dia tidak menolak, mungkin karena hatinya sudah terlalu sesak. Kubiarkan dia menumpahkan semuanya. Meski debar di dada mungkin bisa di rasakannya. Wanita yang malang. Aku m
"Sumpah! Aku nggak ngapa-ngapin," ucapku saat Ratih menjauhkan diri. Debar di dada masih terasa saat Ratih menindih tubuhku tadi. Wanita itu menyipitkan mata, masih menatapku curiga. "Terus ngapain kamu tiba-tiba ada disini?" "Numpang tidur. Semalem suara geledek kayak berasa mau kiamat, Tih. Aku takut." "Hah?" Ratih terperangah mendengar penjelasanku. Sejurus kemudian wanita itu menarik bajuku dan menyeretku keluar. "Pulang sana!" "Eh.. Kok gitu?" ucapku sedikit terhuyung. "Aku mau kerja. Mending kamu pulang.Suara geledek aja kamu takut, Sok-sok an mau ngelindungi aku dan anakku?" Brak, Ratih menutup pintu dengan kasar. Aku hanya mengusap dada pelan. Merasa di remehkan sekarang. "Belum bisa bayar, Mas?" Aku menoleh pada sumber suara, kemudian terkejut melihat seorang wanita dengan balutan tanktop dan hotpants. Dadanya nyaris menyembul keluar. "Astaga.... " "Kok astaga?" katanya heran. "Pakek baju yang bener, Mbak. Kaget saya." "Ini udah bener, kok. Masak iya, mau ngelo
"Tuh, kan sedih. Dari muka kamu aja keliatan kalau suka sama brondong itu." Mbak Nadia terkikik setelah mengucapkan kata yang menurutku konyol. Aku menatapnya kesal. "Apa sih Mbak. Ratih nggak ada suka sama tuh anak. Masih labil dia. Paling cuma penasaran aja sama Ratih." "Terserah deh. Ego kamu emang gak bisa di turunin sedikit," ucap Mbak Nadia. Di sela perdebatan kami. Terdengar suara keributan dari luar. Kegaduhan yang ternyata berasal dari geduran pintu kontrakan yang aku tempati. Samar-samar, suara teriakan seorang wanita dari luar. Memanggil namaku sekaligus mengumpati. "Keluar kamu Ratih! Dasar sialan! Gak tahu diri!" Aku dan Mbak Nadia saling menatap bingung. Siapa kiranya orang lancang yang telah berani meneriaki namaku. "Siapa Tih?" "Nggak tahu. Ratih juga penasaran," ucapku segera berdiri dan membuka pintu. Saat pintu terbuka, suara teriakan itu semakin jelas terdengar dan belum sempat aku mengingat wajahnya.. Plak, satu tamparan mengenai wajahku. Seketika aku
ARGA POVSudah hampir seharian aku menemani Aurin sejak kemarin. Seperti janji kami sebelumnya. Namun sialnya pikiranku tak luput dari Ratih. Wanita yang baru satu hari tidak kutemui. Rasanya rindu sekali. "Ga." "Hm?" Aku menoleh. Kusadari sejak tadi tak menanggapi ocehan Aurin. Sibuk mengemudi dengan pikiran melayang. Kami menuju jalan pulang. Maksudku mengantar Aurin pulang. "Kamu ada rencana nikah, kapan?" "Enggak tahu. Belum kepikiran sampe sana," ucapku tanpa menoleh ke arahnya. Mobil berbelok ke arah kanan kemudian berhenti sebab kami telah sampai. Aku menunggu gadis itu turun, namun sepertinya masih ada yang ingin dia sampaikan. "Makasih udah nemenin aku hari ini. Dan untuk pertanyaan tadi... Kalau kamu berubah pikiran, Ada orang yang selalu nungguin kamu kapanpun kamu siap." Aku mengerti. Sebab itulah aku hanya tersenyum tipis menanggapinya. Sejurus kemudian tanpa aku duga, Aurin menciumku. Tepat di bibir dengan lembut. Aku tidak menolak, namun tidak juga membalasn
Terdengar helaan nafas dari Bang Lukman. Kini dia menatapku teduh. Ah, pasti ada kotbah baru lagi. Aku membuang wajah, malas. "Mau statusnya berubah seperti apapun, tidak akan menjamin dia untuk tidak menjadi gunjingan orang lain, Ga. Yang namanya hidup gak akan bebas dari penilaian manusia," ucap Bang Lukman sembari menyentuh bahuku. "Reaksimu dalam menyikapi masalah wanita itu bisa saja memancing hal positif, pun dengan hal negatif. Kau bisa membuat masalahnya semakin berat, meski niatmu sebenarnya ingin menyelesaikan masalah wanita itu." Aku menoleh. "Salah satu contohnya. Kau bisa saja menjadi penyebab wanita itu menjadi gunjingan karena terlalu dekat denganya. Mantan suaminya bisa saja mengambil keuntungan dari hal itu, dan mereka bisa berhasil merebut hak asuh atas anaknya." "Terus... Arga harus gimana, Bang?" Bang Lukman hanya tersenyum tipis. Namun aku tahu, dia siap membantuku. Dengan caranya sendiri. ***RATIH POVHari berlalu begitu saja. Pekerjaanku semakin hari sem
Arga Pov Setelah menyaksikan dari kejauhan perdebatan Ratih dan mantan suaminya. Kami berdua duduk di kursi panjang di bawah pohon yang ada di pinggir jalan. Terlihat jelas olehku tubuh Ratih baik-baik saja, Namun tidak dengan hatinya. Wajahnya begitu masam. Ada kekhawatiran dari raut wajahnya. Dan aku... Ikut merasakannya. "Lebih baik kamu pulang. Aku ingin sendiri," ucapnya. Aku menghela nafas saat menatapnya dengan teduh. Ratih tetap tak mau membalas tatapanku. Dia hanya menunduk dengan segudang pikiran. "Kenapa kamu selalu ngusir aku, Tih?" Aku bertanya dengan perasaan sesak. Sejauh ini, hanya Ratih yang mengusik perasaanku. Itulah sebabnya saat dia ingin aku pergi, aku merasa tak di inginkan. Dan itu menyakitkan. "Karena mulai detik ini aku nggak akan percaya lagi sama kebaikan yang ditunjukkan seseorang padaku. Bukan masalah pikiran negatif. Hanya saja aku percaya bahwa setiap orang memiliki topeng versi mereka sendiri. Kapan saatnya topeng itu di pakai dan di lepas la
"Menurut kamu bagaimana? Apa yang membuat kamu yakin dengan wanita itu?" Aku diam sejenak. Menerawang memikirkan bagaimana Ratih harus berjuang untuk anaknya. Dengan peluh membasahi tubuh. Bagaimana caranya menjaga putranya agar tidak terluka barang sedikit saja. Aku tertegun. "Karena aku tahu, wanita seperti Ratih berhak bahagia." Aku bergumam dengan seulas senyum tipis. "Kebahagiaan seperti apa?" Mama bertanya lagi. "Kebahagiaan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Akan aku tunjukkan padanya bahwa ketidak sempurnaan dalam diri, bukan berarti tak pantas bahagia." Mama tersenyum lembut padaku. "Pernikahan bukanlah hal yang mudah, Nak. Tidak semata karena cinta dan dengan tujuan bahagia. Banyak pasangan yang gagal, sebab kurangnya pengetahuan. Ilmu agama juga tidak kalah penting dalam pernikahan. Pikirkan matang-matang sebelum mengambil tanggung jawab besar. Apalagi kamu bilang dia punya anak. Apa kamu bersedia, menerima anaknya dan memperlakukan seperti anak sendiri? Sebel
Ratih Pov***"Mana Raka?" ucapku pada wanita yang kini menjadi istri dari Prasetyo. Winda menatapku dengan senyum sinis. Sembari melipat tangan di dada. Dia pasti merasa sudah menang. "Ada," sautnya singkat. "Mana? Aku mau ketemu." Aku sedikit melongo kedalam rumah. Mataku mencari-cari sosok kecil yang baru satu hari tak bertemu. Aku sangat rindu. "Ada di dalem. Tapi kamu nggak perlu masuk. Panggil aja dari luar." Aku mendengus. "Raka....!" Tak ada jawaban. Apa Raka sedang tidur? "RAKA... INI BUNDA DATENG." "Duh... Siapa sih! Berisik banget." Aku berdecak kesal. Bukannya yang keluar Raka, malah nenek gila ini! "Ratih? Mau ngapain kesini?" ucapnya sinis. Seolah-olah kedatanganku untuk berhutang uang padanya. "Mau ketemu Raka. Saya ibunya," ucapku datar. Dia memutar mata. "Oalah. Mau ngapain emang? Raka kayaknya bahagia banget disini, ketimbang sama kamu." Dahiku berkerut, entah apa maksud ucapannya. "Mau bahagia atau enggak, aku cuma mau liat anakku." "Ratih? Ada apa i