Share

4. Nyawa yang Berharga

Auteur: A. Rietha
last update Dernière mise à jour: 2025-04-21 18:18:01

Miranti mengeluh pelan. Kepalanya terasa berat. Miranti mendengar berbagai suara, tapi tidak bisa mencerna kata-katanya.

Miranti mencoba membuka mata, tapi kelopak matanya terasa berat. Tubuhnya ringan seperti mengambang di antara sadar dan tidak, seperti terapung di permukaan air yang perlahan menariknya ke bawah.

Apa aku sudah mati? Tapi kenapa aku masih bisa mendengar?

Pertanyaan itu melintas dalam benaknya yang berkabut. Bukankah seharusnya semuanya sudah berakhir?

”...Tidak mungkin... apa yang dipikirkannya...”

Suara-suara di sekitarnya semakin jelas. Miranti melenguh pelan. Lengan kirinya berdenyut-denyut nyeri. Ia berusaha menggerakkan jari-jarinya, merasakan sensasi aneh di punggung tangannya.

Dengan usaha yang luar biasa, Miranti akhirnya membuka mata. Pandangannya kabur, hanya menangkap bayangan-bayangan dan sinar lampu yang terlalu terang. Ia mengangkat tangannya yang terasa berat.

Selang infus. Kalau begitu, ia masih hidup?

”Sudah sadar rupanya?”

Suara itu—tajam dan gemetar—membuat Miranti menoleh. Bu Sinta berdiri di samping tempat tidurnya, dengan tatapan yang belum pernah Miranti lihat sebelumnya. Bukan tatapan prihatin atau kasihan, melainkan tatapan penuh amarah.

”Bu...”

”Diam!” Bu Sinta memotong. Tangannya memukul tepian tempat tidur dengan keras, "Apa yang kau pikirkan, Miranti? Apa? JAWAB AKU!"

Miranti terkesiap, lalu menangis. Ia belum pernah melihat Bu Sinta semarah ini. Bu Sinta yang biasanya tenang dan ramah, yang selalu menjaga sikap dan penampilannya, kini tampak berantakan.

Rambutnya yang selalu tergelung rapi kini terurai tidak karuan. Wajahnya pucat, dengan bekas air mata di bawah matanya.

”Maaf...” Miranti berbisik, suaranya serak.

”Maaf? MAAF?” Suara Bu Sinta meninggi, ”Apa kau pikir dengan 'maaf' bisa mengembalikan nyawamu? Bagaimana kalau aku terlambat menemukanmu? Apa kau pikir dengan 'maaf' semuanya akan baik-baik saja?”

Air mata Miranti semakin deras bercucuran. Tenggorokannya terasa panas dan perih.

”Kau tahu berapa banyak tablet yang kau telan? Kau menelan semua obat! Semuanya! Apa yang ada di kepalamu? Apa masalahmu sudah tidak ada jalan keluar sampai harus nekad mengakhiri hidupmu dengan cara seperti ini?”

Bu Sinta terus membentak dan berteriak, tidak peduli mereka berada di IGD rumah sakit dengan tirai tipis sebagai satu-satunya pembatas dengan pasien lain

Miranti ingin menjawab, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Hanya isakan tertahan yang lolos dari bibirnya yang kering.

”Aku menemukanmu tergeletak di kamar, hampir tidak bernapas! Kau tahu bagaimana rasanya? Aku pikir kau sudah...” Bu Sinta tiba-tiba berhenti, suaranya terputus. Ia mengusap wajahnya dengan kasar. ”Aku pikir kau sudah pergi.”

Untuk pertama kalinya, Miranti melihat ketakutan di mata wanita paruh baya itu. Di balik kemarahan Bu Sinta, ada ketakutan dalam sorot matanya.

”Maaf...” hanya itu yang bisa Miranti ucapkan, air matanya kembali mengalir deras.

”Hidup itu sangat berharga, Miranti,” Bu Sinta mencengkeram tepi tempat tidur hingga buku-buku jarinya memutih, ”Kau masih muda. Masih punya masa depan. Dan kau mau membuangnya begitu saja? Untuk apa? Karena suamimu selingkuh? Karena utangmu yang menumpuk? Karena harus kehilangan anakmu? Apapun itu, tidak ada yang layak untuk kau tukar dengan nyawamu!"

Miranti menutup matanya, membiarkan kata-kata Bu Sinta menusuk-nusuk hatinya. Wanita itu tidak mengerti. Tidak akan ada yang bisa mengerti kekalutan hidupnya. Kekosongan yang tidak bisa diisi kembali, yang membuatnya merasa seperti cangkang kosong yang hanya berpura-pura hidup.

”Permisi.”

Suara seorang pria memecah situasi tegang itu. Seorang dokter berjas putih dengan stetoskop menggantung di lehernya mendekati tempat tidur Miranti.

”Bagaimana perasaan Anda, Nona Miranti?” Dokter itu bertanya dengan nada profesionalnya.

”Lemas dan mual,” Miranti menjawab lemah.

Dokter itu mengangguk, ”Wajar terjadi untuk kasus Anda. Kami tadi telah melakukan lavage—mencuci lambung Anda—untuk mengeluarkan sisa obat yang belum terserap. Anda beruntung dibawa ke sini dengan cepat.”

Bu Sinta mendengus pelan di sampingnya.

”Dalam 24 jam ke depan, Anda mungkin akan merasakan mual, muntah, pusing, dan dehidrasi yang ekstrem. Ini efek samping dari prosedur dan juga sisa obat dalam sistem pencernakan Anda," jelas dokter itu sambil memeriksa tetesan infus, ”Kami juga memberikan activated charcoal untuk menyerap racun yang tersisa.”

Miranti hanya mengangguk lemah.

”Anda akan dirawat setidaknya dua atau tiga hari untuk observasi. Setelah kondisi fisik Anda stabil, akan ada evaluasi psikologis.”

”Psikologis?” Bu Sinta bertanya, suaranya sedikit melunak.

”Standar prosedur untuk kasus percobaan bunuh diri,” jawab dokter itu, ”Kita perlu memastikan Nona Miranti mendapatkan bantuan yang dibutuhkan.”

Bu Sinta mengangguk pelan, tatapannya kembali pada Miranti yang masih menolak membalas pandangannya.

”Saya akan kembali nanti untuk pemeriksaan lanjutan. Anda bisa istirahat sambil menunggu dipindahkan ke kamar rawat,” kata dokter itu sebelum berlalu.

Setelah beberapa saat, Bu Sinta menghela napas panjang dan duduk di kursi samping tempat tidur. Kemarahan di wajahnya perlahan berubah menjadi kelelahan dan kesedihan.

”Mir, aku tahu hidup kadang terasa tidak adil. Tapi percayalah, mengakhiri hidupmu bukanlah jawaban,” ujarnya kali ini lebih lembut.

Miranti masih terdiam, matanya menatap kosong ke langit-langit.

”Kau tahu,” Bu Sinta melanjutkan, ”dulu aku juga pernah berada di titik terendah dalam hidupku. Saat suamiku diam-diam menikah lagi, rasanya seluruh dunia runtuh. Aku kehilangan pegangan. Tapi aku bertahan, dan sekarang aku bersyukur karena mampu bertahan.”

Kata-kata Bu Sinta mengambang di udara, tidak sepenuhnya meresap dalam pikiran Miranti yang masih kabur. Mual di perutnya semakin menjadi dan kepalanya terasa berputar.

”Kau pikir dengan mengakhiri hidupmu, rasa sakitmu akan hilang? Tidak. Kau hanya memindahkan rasa sakit itu kepada orang-orang yang menyayangimu. Kepada keluargamu. Kepadaku,” ujar Bu Sinta lagi.

Miranti merasakan setetes air mata mengalir dari sudut matanya. Bu Sinta peduli padanya—benar-benar peduli. Selama ini, Bu Sinta tak hanya sekadar induk semang, tapi juga ibu bagi Miranti.

”Aku marah padamu, Miranti. Sangat marah. Bukan hanya karena tindakanmu yang bodoh itu, tapi karena kau tidak datang padaku saat kau merasa terpuruk. Bukankah aku selalu bilang, pintu rumahku selalu terbuka untukmu?”

Miranti menggigit bibirnya, menahan isakan. Ia tidak pernah berpikir bahwa ada orang yang benar-benar peduli. Ia telah terbiasa menghadapi segalanya sendiri, memendam semuanya hingga akhirnya meledak.

”Jangan pernah—” suara Bu Sinta tercekat, ”—jangan pernah lagi kau berpikir untuk meninggalkan dunia ini, mengerti? Selama ada aku, kau punya tempat untuk mengeluh. Selalu.”

Kata-kata itu menyentuh bagian terdalam hati Miranti, bagian yang telah lama ia kunci rapat-rapat. Untuk pertama kalinya sejak ia terbangun, ia memberanikan diri menatap wajah Bu Sinta. Wanita itu terlihat begitu lelah, begitu khawatir dan begitu tulus.

”Terima kasih, Bu,” bisik Miranti.

Bu Sinta menggenggam tangannya yang tidak terpasang infus. Genggamannya hangat dan kuat, seperti jangkar yang menahan Miranti agar tidak terhanyut.

”Sebenarnya aku tadi ingin memberitahumu sesuatu. Tapi melihat kondisimu, lebih baik kau sekarang istirahat. Kita bisa bicara lagi nanti,” Bu Sinta beranjak berdiri, ”Aku akan mencari kopi dan mengurus administrasi.”

Saat Bu Sinta hampir mencapai tirai saat Miranti memanggilnya, ”Bu?”

Wanita itu berhenti dan menoleh.

”Maaf sudah membuat Bu Sinta khawatir dan terima kasih sudah menyelamatkan saya,” kata Miranti pelan.

Bu Sinta menatapnya lama sebelum mengangguk kecil dan melangkah keluar.

Sendirian, Miranti kembali menatap langit-langit, mencoba mencerna semua yang terjadi. Ia masih hidup—fakta yang beberapa jam lalu ingin ia ubah. Apakah ini kesempatan kedua? Ataukah hanya perpanjangan masa dari penderitaannya?

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Related chapter

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   5. Tawaran Ibu Susu

    Miranti kembali mengecek pesan whatsapp di HP-nya. Meyakinkan sekali lagi kalau ia sudah berada di alamat yang benar.Sekeluar dari rumah sakit, Bu Sinta mengenalkannya kepada Bu Kanti, seorang agensi penyalur wet nurse eksklusif bagi keluarga kaya.Miranti sangat bersyukur karena ASI-nya yang melimpah bisa memberikan jalan keluar untuk masalah finansial yang kini tengah membelitnya. Asalkan tidak menjual dirinya, Miranti rela melakukan apa saja yang menghasilkan uang.Mianti menekan tombol intercom yang terdapat di gerbang rumah mewah berlantai dua itu. Menurut Bu Kanti, Miranti harus menemui seorang bernama Maharini, yang tinggal di rumah mewah ini.”Ya, mencari siapa?” tanya seseorang melalui intercom.”Saya Miranti, saya ada janji dengan Ibu Maharini,” jawab Miranti.Tak menunggu berapa lama, gerbang rumah mewah itu pun terbuka. Seorang laki-laki mengenakan seragam satpam membukakan pintu untuknya.”Bu Rini sudah menunggu di dalam,” ujar singkat satpam itu pada Miranti.Miranti me

    Dernière mise à jour : 2025-04-21
  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   6. Pertemuan Tak Terduga

    Adrian menegetuk-ngetukkan jari di atas meja kerjanya. Pertemuan yang sangat tidak ia duga. Setelah lima tahun, ia bertemu kembali dengan Miranti. Meskipun sudah lima tahun berlalu, tapi Adrian tak akan pernah melupakan wajah ayu itu.Adrian memang tidak salah mengenali. Perempuan yang hampir ditabraknya di lorong rumah sakit waktu itu memang Miranti. Dan sekarang ia kembali dipertemukan dengan Miranti yang bekerja sebagai wet nurse bagi anaknya.Pintu ruang kerjanya terbuka dan sosok Miranti masuk ke dalam ruang kerja yang terletak di seberang kamar Bianca. Adrian memandangi Miranti yang terlihat kurus.Garis wajahnya masih sama seperti yang ia ingat, namun ada sesuatu yang berbeda. Miranti yang lima tahun lalu terlihat ceria, sekarang tampak murung dan sayu.”Silakan duduk!” kata Adrian, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tak beraturan.Miranti mengangguk pelan sambil duduk di hadapan Adrian. Tangannya saling meremas di pangku

    Dernière mise à jour : 2025-04-30
  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   7. Sentuhan Lembut

    Suara Bianca yang menangis keras terdengar jelas dari dalam ruang kerja Adrian. Membuat laki-laki tiga puluh tahun itu melesat secepat kilat menuju kamar Bianca.Miranti mengikut di belakangnya. Tak ada orang di dalam kamar Bianca saat mereka berdua tiba di kamar itu. Mungkin Maharini sedang ke lantai bawah. Jadi, tidak mendengar saat bayi itu menangis.”Ya Tuhan, Bianca, ada apa, Sayang?” Adrian berusaha menenangkan putrinya.Adrian membuka kelambu yang menutup ranjang bayinya. Ia ingin menggendong untuk menenangkan Bianca, tapi tanganya terlihat kaku. Ia tak tahu bagaimana harus mengangkat bayinya dari dalam box.”Biar aku saja,” ujar Miranti mengambil alih.Miranti mengangkat tubuh mungil yang wajahnya merah padam itu ke dalam pelukannya. Tangisan Bianca tidak mereda, malah semakin keras. Diayunnya bayi mungil supaya sedikit tenang.”Sepertinya dia lapar, Pak,” ujar Miranti, ”susunya di mana?&rdqu

    Dernière mise à jour : 2025-05-01
  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   8. Kos Baru

    Siang itu Miranti berjalan menyusuri trotoar, lalu membelok ke gang sempit yang dimaksud dalam petunjuk alamat di ponselnya.Kemarin Miranti sudah bersepakat dengan Adrian. Miranti akan tetap menjadi wet nurse bagi Bianca, tetapi dengan syarat ia tidak tinggal di rumah majikannya.Syarat yang nyaris mustahil untuk wet nurse pada umumnya, tapi Miranti bersikeras bahwa itu yang terbaik untuk mereka saat ini. Dan kini, ia harus segera menemukan tempat tinggal baru.Gang yang dilewati Miranti cukup lebar, dengan tembok tinggi di salah satu sisinya. Rumah dengan berbagai bentuk dan ukuran berjajar di sisi kiri jalan. Namun, berbagai aroma bercampur aduk. Goreng-gorengan, air cucian, dan sampah yang belum diangkut.Miranti memeriksa kembali alamat yang tertera di ponselnya sambil berjalan perlahan. Jarak dari rumah Adrian memang tidak jauh, kurang dari 500 meter. Dengan berjalan kaki pun tak akan memakan waktu lebih dari sepuluh menit.”Ini dia,&rd

    Dernière mise à jour : 2025-05-02
  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   9. Bapak Kos yang Genit

    Miranti membuang napas berat. Jantungnya berdegup kencang, ia belum siap menghadapi siapa pun saat ini, apalagi jika itu adalah bapak kosnya. Tapi orang yang sangat ia hindari pagi-pagi begini sudah berdiri di dekat tangga.”Miranti? Kau sudah datang?” terdengar suara Darto yang terdengar tidak merdu di telinga Miranti.Mau tak mau Miranti melangkah sambil menyeret kopernya. Kardusnya ia tinggal di ujung lorong.”Wah, ternyata sudah sampai ya. Cepat sekali,” ujar Darto, matanya menelusuri sosok Miranti dari atas ke bawah. ”Tidak bilang-bilang dulu kalau mau datang pagi-pagi begini.”’Dan kau malah sudah stand by di sini pagi-pagi sekali’ gerutu Miranti dalam hati.Darto melangkah mendekati Miranti. Diambilnya koper dari tangan Miranti bermaksud membawakannya ke atas.”Biar kubantu. Koper ini pasti berat untuk wanita secantik kamu,” kata Darto sambil mengangkat koper dan meletakkanny

    Dernière mise à jour : 2025-05-03
  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   10. Bianca yang Rewel

    Pukul enam pagi, Miranti sudah berdiri di depan pintu gerbang rumah Adrian. Ia menekan bel interkom. Hari ini adalah hari pertamanya secara resmi sebagai ibu susu untuk Bianca.”Siapa?” terdengar suara lelaki dari interkom.”Saya Miranti, pengasuh Bianca,” jawabnya.Pintu gerbang terbuka secara otomatis. Miranti melangkah masuk ke dalam rumah dan menuju kamar Bianca. Di sana melihat Asti, pengasuh Bianca, yang menatapnya dengan wajah lelah. Kantung hitam terlihat jelas di bawah matanya.”Pagi sekali, Mbak,” sapa Asti.”Selamat pagi, Asti. Pak Adrian meminta saya datang pagi,” balas Miranti.”Pak Adrian baru saja berangkat. Ada meeting pagi katanya,” balas Asti yang menggendong Bianca.Asti mengayun Bianca yang terlihat rewel. Bayi mungil itu menangis dengan suara lemah, wajahnya memerah.”Bagaimana tadi malam?” tanya Miranti, mendekati Asti yang sedan

    Dernière mise à jour : 2025-05-04
  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   9. Bapak Kos yang Genit

    Miranti membuang napas berat. Jantungnya berdegup kencang, ia belum siap menghadapi siapa pun saat ini, apalagi jika itu adalah bapak kosnya. Tapi orang yang sangat ia hindari pagi-pagi begini sudah berdiri di dekat tangga.”Miranti? Kau sudah datang?” terdengar suara Darto yang terdengar tidak merdu di telinga Miranti.Mau tak mau Miranti melangkah sambil menyeret kopernya. Kardusnya ia tinggal di ujung lorong.”Wah, ternyata sudah sampai ya. Cepat sekali,” ujar Darto, matanya menelusuri sosok Miranti dari atas ke bawah. ”Tidak bilang-bilang dulu kalau mau datang pagi-pagi begini.”’Dan kau malah sudah stand by di sini pagi-pagi sekali’ gerutu Miranti dalam hati.Darto melangkah mendekati Miranti. Diambilnya koper dari tangan Miranti bermaksud membawakannya ke atas.”Biar kubantu. Koper ini pasti berat untuk wanita secantik kamu,” kata Darto sambil mengangkat koper dan meletakkanny

    Dernière mise à jour : 2025-05-05
  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   10. Bianca yang Rewel

    Pukul enam pagi, Miranti sudah berdiri di depan pintu gerbang rumah Adrian. Ia menekan bel interkom. Hari ini adalah hari pertamanya secara resmi sebagai ibu susu untuk Bianca.”Siapa?” terdengar suara lelaki dari interkom.”Saya Miranti, pengasuh Bianca,” jawabnya.Pintu gerbang terbuka secara otomatis. Miranti melangkah masuk ke dalam rumah dan menuju kamar Bianca. Di sana melihat Asti, pengasuh Bianca, yang menatapnya dengan wajah lelah. Kantung hitam terlihat jelas di bawah matanya.”Pagi sekali, Mbak,” sapa Asti.”Selamat pagi, Asti. Pak Adrian meminta saya datang pagi,” balas Miranti.”Pak Adrian baru saja berangkat. Ada meeting pagi katanya,” balas Asti yang menggendong Bianca.Asti mengayun Bianca yang terlihat rewel. Bayi mungil itu menangis dengan suara lemah, wajahnya memerah.”Bagaimana tadi malam?” tanya Miranti, mendekati Asti yang sedan

    Dernière mise à jour : 2025-05-06

Latest chapter

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   10. Bianca yang Rewel

    Pukul enam pagi, Miranti sudah berdiri di depan pintu gerbang rumah Adrian. Ia menekan bel interkom. Hari ini adalah hari pertamanya secara resmi sebagai ibu susu untuk Bianca.”Siapa?” terdengar suara lelaki dari interkom.”Saya Miranti, pengasuh Bianca,” jawabnya.Pintu gerbang terbuka secara otomatis. Miranti melangkah masuk ke dalam rumah dan menuju kamar Bianca. Di sana melihat Asti, pengasuh Bianca, yang menatapnya dengan wajah lelah. Kantung hitam terlihat jelas di bawah matanya.”Pagi sekali, Mbak,” sapa Asti.”Selamat pagi, Asti. Pak Adrian meminta saya datang pagi,” balas Miranti.”Pak Adrian baru saja berangkat. Ada meeting pagi katanya,” balas Asti yang menggendong Bianca.Asti mengayun Bianca yang terlihat rewel. Bayi mungil itu menangis dengan suara lemah, wajahnya memerah.”Bagaimana tadi malam?” tanya Miranti, mendekati Asti yang sedan

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   9. Bapak Kos yang Genit

    Miranti membuang napas berat. Jantungnya berdegup kencang, ia belum siap menghadapi siapa pun saat ini, apalagi jika itu adalah bapak kosnya. Tapi orang yang sangat ia hindari pagi-pagi begini sudah berdiri di dekat tangga.”Miranti? Kau sudah datang?” terdengar suara Darto yang terdengar tidak merdu di telinga Miranti.Mau tak mau Miranti melangkah sambil menyeret kopernya. Kardusnya ia tinggal di ujung lorong.”Wah, ternyata sudah sampai ya. Cepat sekali,” ujar Darto, matanya menelusuri sosok Miranti dari atas ke bawah. ”Tidak bilang-bilang dulu kalau mau datang pagi-pagi begini.”’Dan kau malah sudah stand by di sini pagi-pagi sekali’ gerutu Miranti dalam hati.Darto melangkah mendekati Miranti. Diambilnya koper dari tangan Miranti bermaksud membawakannya ke atas.”Biar kubantu. Koper ini pasti berat untuk wanita secantik kamu,” kata Darto sambil mengangkat koper dan meletakkanny

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   10. Bianca yang Rewel

    Pukul enam pagi, Miranti sudah berdiri di depan pintu gerbang rumah Adrian. Ia menekan bel interkom. Hari ini adalah hari pertamanya secara resmi sebagai ibu susu untuk Bianca.”Siapa?” terdengar suara lelaki dari interkom.”Saya Miranti, pengasuh Bianca,” jawabnya.Pintu gerbang terbuka secara otomatis. Miranti melangkah masuk ke dalam rumah dan menuju kamar Bianca. Di sana melihat Asti, pengasuh Bianca, yang menatapnya dengan wajah lelah. Kantung hitam terlihat jelas di bawah matanya.”Pagi sekali, Mbak,” sapa Asti.”Selamat pagi, Asti. Pak Adrian meminta saya datang pagi,” balas Miranti.”Pak Adrian baru saja berangkat. Ada meeting pagi katanya,” balas Asti yang menggendong Bianca.Asti mengayun Bianca yang terlihat rewel. Bayi mungil itu menangis dengan suara lemah, wajahnya memerah.”Bagaimana tadi malam?” tanya Miranti, mendekati Asti yang sedan

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   9. Bapak Kos yang Genit

    Miranti membuang napas berat. Jantungnya berdegup kencang, ia belum siap menghadapi siapa pun saat ini, apalagi jika itu adalah bapak kosnya. Tapi orang yang sangat ia hindari pagi-pagi begini sudah berdiri di dekat tangga.”Miranti? Kau sudah datang?” terdengar suara Darto yang terdengar tidak merdu di telinga Miranti.Mau tak mau Miranti melangkah sambil menyeret kopernya. Kardusnya ia tinggal di ujung lorong.”Wah, ternyata sudah sampai ya. Cepat sekali,” ujar Darto, matanya menelusuri sosok Miranti dari atas ke bawah. ”Tidak bilang-bilang dulu kalau mau datang pagi-pagi begini.”’Dan kau malah sudah stand by di sini pagi-pagi sekali’ gerutu Miranti dalam hati.Darto melangkah mendekati Miranti. Diambilnya koper dari tangan Miranti bermaksud membawakannya ke atas.”Biar kubantu. Koper ini pasti berat untuk wanita secantik kamu,” kata Darto sambil mengangkat koper dan meletakkanny

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   8. Kos Baru

    Siang itu Miranti berjalan menyusuri trotoar, lalu membelok ke gang sempit yang dimaksud dalam petunjuk alamat di ponselnya.Kemarin Miranti sudah bersepakat dengan Adrian. Miranti akan tetap menjadi wet nurse bagi Bianca, tetapi dengan syarat ia tidak tinggal di rumah majikannya.Syarat yang nyaris mustahil untuk wet nurse pada umumnya, tapi Miranti bersikeras bahwa itu yang terbaik untuk mereka saat ini. Dan kini, ia harus segera menemukan tempat tinggal baru.Gang yang dilewati Miranti cukup lebar, dengan tembok tinggi di salah satu sisinya. Rumah dengan berbagai bentuk dan ukuran berjajar di sisi kiri jalan. Namun, berbagai aroma bercampur aduk. Goreng-gorengan, air cucian, dan sampah yang belum diangkut.Miranti memeriksa kembali alamat yang tertera di ponselnya sambil berjalan perlahan. Jarak dari rumah Adrian memang tidak jauh, kurang dari 500 meter. Dengan berjalan kaki pun tak akan memakan waktu lebih dari sepuluh menit.”Ini dia,&rd

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   7. Sentuhan Lembut

    Suara Bianca yang menangis keras terdengar jelas dari dalam ruang kerja Adrian. Membuat laki-laki tiga puluh tahun itu melesat secepat kilat menuju kamar Bianca.Miranti mengikut di belakangnya. Tak ada orang di dalam kamar Bianca saat mereka berdua tiba di kamar itu. Mungkin Maharini sedang ke lantai bawah. Jadi, tidak mendengar saat bayi itu menangis.”Ya Tuhan, Bianca, ada apa, Sayang?” Adrian berusaha menenangkan putrinya.Adrian membuka kelambu yang menutup ranjang bayinya. Ia ingin menggendong untuk menenangkan Bianca, tapi tanganya terlihat kaku. Ia tak tahu bagaimana harus mengangkat bayinya dari dalam box.”Biar aku saja,” ujar Miranti mengambil alih.Miranti mengangkat tubuh mungil yang wajahnya merah padam itu ke dalam pelukannya. Tangisan Bianca tidak mereda, malah semakin keras. Diayunnya bayi mungil supaya sedikit tenang.”Sepertinya dia lapar, Pak,” ujar Miranti, ”susunya di mana?&rdqu

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   6. Pertemuan Tak Terduga

    Adrian menegetuk-ngetukkan jari di atas meja kerjanya. Pertemuan yang sangat tidak ia duga. Setelah lima tahun, ia bertemu kembali dengan Miranti. Meskipun sudah lima tahun berlalu, tapi Adrian tak akan pernah melupakan wajah ayu itu.Adrian memang tidak salah mengenali. Perempuan yang hampir ditabraknya di lorong rumah sakit waktu itu memang Miranti. Dan sekarang ia kembali dipertemukan dengan Miranti yang bekerja sebagai wet nurse bagi anaknya.Pintu ruang kerjanya terbuka dan sosok Miranti masuk ke dalam ruang kerja yang terletak di seberang kamar Bianca. Adrian memandangi Miranti yang terlihat kurus.Garis wajahnya masih sama seperti yang ia ingat, namun ada sesuatu yang berbeda. Miranti yang lima tahun lalu terlihat ceria, sekarang tampak murung dan sayu.”Silakan duduk!” kata Adrian, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tak beraturan.Miranti mengangguk pelan sambil duduk di hadapan Adrian. Tangannya saling meremas di pangku

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   5. Tawaran Ibu Susu

    Miranti kembali mengecek pesan whatsapp di HP-nya. Meyakinkan sekali lagi kalau ia sudah berada di alamat yang benar.Sekeluar dari rumah sakit, Bu Sinta mengenalkannya kepada Bu Kanti, seorang agensi penyalur wet nurse eksklusif bagi keluarga kaya.Miranti sangat bersyukur karena ASI-nya yang melimpah bisa memberikan jalan keluar untuk masalah finansial yang kini tengah membelitnya. Asalkan tidak menjual dirinya, Miranti rela melakukan apa saja yang menghasilkan uang.Mianti menekan tombol intercom yang terdapat di gerbang rumah mewah berlantai dua itu. Menurut Bu Kanti, Miranti harus menemui seorang bernama Maharini, yang tinggal di rumah mewah ini.”Ya, mencari siapa?” tanya seseorang melalui intercom.”Saya Miranti, saya ada janji dengan Ibu Maharini,” jawab Miranti.Tak menunggu berapa lama, gerbang rumah mewah itu pun terbuka. Seorang laki-laki mengenakan seragam satpam membukakan pintu untuknya.”Bu Rini sudah menunggu di dalam,” ujar singkat satpam itu pada Miranti.Miranti me

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   4. Nyawa yang Berharga

    Miranti mengeluh pelan. Kepalanya terasa berat. Miranti mendengar berbagai suara, tapi tidak bisa mencerna kata-katanya.Miranti mencoba membuka mata, tapi kelopak matanya terasa berat. Tubuhnya ringan seperti mengambang di antara sadar dan tidak, seperti terapung di permukaan air yang perlahan menariknya ke bawah.Apa aku sudah mati? Tapi kenapa aku masih bisa mendengar?Pertanyaan itu melintas dalam benaknya yang berkabut. Bukankah seharusnya semuanya sudah berakhir?”...Tidak mungkin... apa yang dipikirkannya...”Suara-suara di sekitarnya semakin jelas. Miranti melenguh pelan. Lengan kirinya berdenyut-denyut nyeri. Ia berusaha menggerakkan jari-jarinya, merasakan sensasi aneh di punggung tangannya.Dengan usaha yang luar biasa, Miranti akhirnya membuka mata. Pandangannya kabur, hanya menangkap bayangan-bayangan dan sinar lampu yang terlalu terang. Ia mengangkat tangannya yang terasa berat.Selang infus. Kalau begitu, ia masih hidup?”Sudah sadar rupanya?”Suara itu—tajam dan gemeta

Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status