Home / Romansa / CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU / 4. Nyawa yang Berharga

Share

4. Nyawa yang Berharga

Author: A. Rietha
last update Last Updated: 2025-04-21 18:18:01

Miranti mengeluh pelan. Kepalanya terasa berat. Miranti mendengar berbagai suara, tapi tidak bisa mencerna kata-katanya.

Miranti mencoba membuka mata, tapi kelopak matanya terasa berat. Tubuhnya ringan seperti mengambang di antara sadar dan tidak, seperti terapung di permukaan air yang perlahan menariknya ke bawah.

Apa aku sudah mati? Tapi kenapa aku masih bisa mendengar?

Pertanyaan itu melintas dalam benaknya yang berkabut. Bukankah seharusnya semuanya sudah berakhir?

”...Tidak mungkin... apa yang dipikirkannya...”

Suara-suara di sekitarnya semakin jelas. Miranti melenguh pelan. Lengan kirinya berdenyut-denyut nyeri. Ia berusaha menggerakkan jari-jarinya, merasakan sensasi aneh di punggung tangannya.

Dengan usaha yang luar biasa, Miranti akhirnya membuka mata. Pandangannya kabur, hanya menangkap bayangan-bayangan dan sinar lampu yang terlalu terang. Ia mengangkat tangannya yang terasa berat.

Selang infus. Kalau begitu, ia masih hidup?

”Sudah sadar rupanya?”

Suara itu—tajam dan gemetar—membuat Miranti menoleh. Bu Sinta berdiri di samping tempat tidurnya, dengan tatapan yang belum pernah Miranti lihat sebelumnya. Bukan tatapan prihatin atau kasihan, melainkan tatapan penuh amarah.

”Bu...”

”Diam!” Bu Sinta memotong. Tangannya memukul tepian tempat tidur dengan keras, "Apa yang kau pikirkan, Miranti? Apa? JAWAB AKU!"

Miranti terkesiap, lalu menangis. Ia belum pernah melihat Bu Sinta semarah ini. Bu Sinta yang biasanya tenang dan ramah, yang selalu menjaga sikap dan penampilannya, kini tampak berantakan.

Rambutnya yang selalu tergelung rapi kini terurai tidak karuan. Wajahnya pucat, dengan bekas air mata di bawah matanya.

”Maaf...” Miranti berbisik, suaranya serak.

”Maaf? MAAF?” Suara Bu Sinta meninggi, ”Apa kau pikir dengan 'maaf' bisa mengembalikan nyawamu? Bagaimana kalau aku terlambat menemukanmu? Apa kau pikir dengan 'maaf' semuanya akan baik-baik saja?”

Air mata Miranti semakin deras bercucuran. Tenggorokannya terasa panas dan perih.

”Kau tahu berapa banyak tablet yang kau telan? Kau menelan semua obat! Semuanya! Apa yang ada di kepalamu? Apa masalahmu sudah tidak ada jalan keluar sampai harus nekad mengakhiri hidupmu dengan cara seperti ini?”

Bu Sinta terus membentak dan berteriak, tidak peduli mereka berada di IGD rumah sakit dengan tirai tipis sebagai satu-satunya pembatas dengan pasien lain

Miranti ingin menjawab, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Hanya isakan tertahan yang lolos dari bibirnya yang kering.

”Aku menemukanmu tergeletak di kamar, hampir tidak bernapas! Kau tahu bagaimana rasanya? Aku pikir kau sudah...” Bu Sinta tiba-tiba berhenti, suaranya terputus. Ia mengusap wajahnya dengan kasar. ”Aku pikir kau sudah pergi.”

Untuk pertama kalinya, Miranti melihat ketakutan di mata wanita paruh baya itu. Di balik kemarahan Bu Sinta, ada ketakutan dalam sorot matanya.

”Maaf...” hanya itu yang bisa Miranti ucapkan, air matanya kembali mengalir deras.

”Hidup itu sangat berharga, Miranti,” Bu Sinta mencengkeram tepi tempat tidur hingga buku-buku jarinya memutih, ”Kau masih muda. Masih punya masa depan. Dan kau mau membuangnya begitu saja? Untuk apa? Karena suamimu selingkuh? Karena utangmu yang menumpuk? Karena harus kehilangan anakmu? Apapun itu, tidak ada yang layak untuk kau tukar dengan nyawamu!"

Miranti menutup matanya, membiarkan kata-kata Bu Sinta menusuk-nusuk hatinya. Wanita itu tidak mengerti. Tidak akan ada yang bisa mengerti kekalutan hidupnya. Kekosongan yang tidak bisa diisi kembali, yang membuatnya merasa seperti cangkang kosong yang hanya berpura-pura hidup.

”Permisi.”

Suara seorang pria memecah situasi tegang itu. Seorang dokter berjas putih dengan stetoskop menggantung di lehernya mendekati tempat tidur Miranti.

”Bagaimana perasaan Anda, Nona Miranti?” Dokter itu bertanya dengan nada profesionalnya.

”Lemas dan mual,” Miranti menjawab lemah.

Dokter itu mengangguk, ”Wajar terjadi untuk kasus Anda. Kami tadi telah melakukan lavage—mencuci lambung Anda—untuk mengeluarkan sisa obat yang belum terserap. Anda beruntung dibawa ke sini dengan cepat.”

Bu Sinta mendengus pelan di sampingnya.

”Dalam 24 jam ke depan, Anda mungkin akan merasakan mual, muntah, pusing, dan dehidrasi yang ekstrem. Ini efek samping dari prosedur dan juga sisa obat dalam sistem pencernakan Anda," jelas dokter itu sambil memeriksa tetesan infus, ”Kami juga memberikan activated charcoal untuk menyerap racun yang tersisa.”

Miranti hanya mengangguk lemah.

”Anda akan dirawat setidaknya dua atau tiga hari untuk observasi. Setelah kondisi fisik Anda stabil, akan ada evaluasi psikologis.”

”Psikologis?” Bu Sinta bertanya, suaranya sedikit melunak.

”Standar prosedur untuk kasus percobaan bunuh diri,” jawab dokter itu, ”Kita perlu memastikan Nona Miranti mendapatkan bantuan yang dibutuhkan.”

Bu Sinta mengangguk pelan, tatapannya kembali pada Miranti yang masih menolak membalas pandangannya.

”Saya akan kembali nanti untuk pemeriksaan lanjutan. Anda bisa istirahat sambil menunggu dipindahkan ke kamar rawat,” kata dokter itu sebelum berlalu.

Setelah beberapa saat, Bu Sinta menghela napas panjang dan duduk di kursi samping tempat tidur. Kemarahan di wajahnya perlahan berubah menjadi kelelahan dan kesedihan.

”Mir, aku tahu hidup kadang terasa tidak adil. Tapi percayalah, mengakhiri hidupmu bukanlah jawaban,” ujarnya kali ini lebih lembut.

Miranti masih terdiam, matanya menatap kosong ke langit-langit.

”Kau tahu,” Bu Sinta melanjutkan, ”dulu aku juga pernah berada di titik terendah dalam hidupku. Saat suamiku diam-diam menikah lagi, rasanya seluruh dunia runtuh. Aku kehilangan pegangan. Tapi aku bertahan, dan sekarang aku bersyukur karena mampu bertahan.”

Kata-kata Bu Sinta mengambang di udara, tidak sepenuhnya meresap dalam pikiran Miranti yang masih kabur. Mual di perutnya semakin menjadi dan kepalanya terasa berputar.

”Kau pikir dengan mengakhiri hidupmu, rasa sakitmu akan hilang? Tidak. Kau hanya memindahkan rasa sakit itu kepada orang-orang yang menyayangimu. Kepada keluargamu. Kepadaku,” ujar Bu Sinta lagi.

Miranti merasakan setetes air mata mengalir dari sudut matanya. Bu Sinta peduli padanya—benar-benar peduli. Selama ini, Bu Sinta tak hanya sekadar induk semang, tapi juga ibu bagi Miranti.

”Aku marah padamu, Miranti. Sangat marah. Bukan hanya karena tindakanmu yang bodoh itu, tapi karena kau tidak datang padaku saat kau merasa terpuruk. Bukankah aku selalu bilang, pintu rumahku selalu terbuka untukmu?”

Miranti menggigit bibirnya, menahan isakan. Ia tidak pernah berpikir bahwa ada orang yang benar-benar peduli. Ia telah terbiasa menghadapi segalanya sendiri, memendam semuanya hingga akhirnya meledak.

”Jangan pernah—” suara Bu Sinta tercekat, ”—jangan pernah lagi kau berpikir untuk meninggalkan dunia ini, mengerti? Selama ada aku, kau punya tempat untuk mengeluh. Selalu.”

Kata-kata itu menyentuh bagian terdalam hati Miranti, bagian yang telah lama ia kunci rapat-rapat. Untuk pertama kalinya sejak ia terbangun, ia memberanikan diri menatap wajah Bu Sinta. Wanita itu terlihat begitu lelah, begitu khawatir dan begitu tulus.

”Terima kasih, Bu,” bisik Miranti.

Bu Sinta menggenggam tangannya yang tidak terpasang infus. Genggamannya hangat dan kuat, seperti jangkar yang menahan Miranti agar tidak terhanyut.

”Sebenarnya aku tadi ingin memberitahumu sesuatu. Tapi melihat kondisimu, lebih baik kau sekarang istirahat. Kita bisa bicara lagi nanti,” Bu Sinta beranjak berdiri, ”Aku akan mencari kopi dan mengurus administrasi.”

Saat Bu Sinta hampir mencapai tirai saat Miranti memanggilnya, ”Bu?”

Wanita itu berhenti dan menoleh.

”Maaf sudah membuat Bu Sinta khawatir dan terima kasih sudah menyelamatkan saya,” kata Miranti pelan.

Bu Sinta menatapnya lama sebelum mengangguk kecil dan melangkah keluar.

Sendirian, Miranti kembali menatap langit-langit, mencoba mencerna semua yang terjadi. Ia masih hidup—fakta yang beberapa jam lalu ingin ia ubah. Apakah ini kesempatan kedua? Ataukah hanya perpanjangan masa dari penderitaannya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   BAB 111

    Adrian tidak pernah main-main dengan ucapannya. Begitu janji keluar dari mulutnya, dia akan memastikan semuanya terlaksana.Karena itu, hanya dalam hitungan jam setelah percakapan terakhirnya dengan Miranti, dia sudah menghubungi seorang detektif swasta yang pernah membantunya mengurus masalah bisnis beberapa tahun lalu."Cari tahu semua tentang pria ini," kata Adrian waktu itu, sambil menyerahkan secarik kertas berisi nama lengkap Rino dan beberapa informasi dasar yang berhasil dia kumpulkan. "Aku butuh alamatnya, tempat kerjanya, kebiasaannya. Semuanya."Detektif itu hanya mengangguk. Dia tidak bertanya apa-apa. Orang seperti Adrian tidak perlu ditanya alasannya yang penting bayarannya sesuai.Adrian sengaja tidak melaporkan masalah ini ke polisi. Bukan karena dia takut atau tidak percaya pada hukum, tapi karena ini menyangkut harga diri Miranti.Foto-foto itu terlalu pribadi, terlalu memalukan untuk disebarkan lebih luas, bahkan ke hadapan aparat. Adrian tahu betul bagaimana sistem

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   BAB 110

    Rino melempar ponselnya ke atas kasur dengan kasar. Tiga hari sudah berlalu sejak ultimatum yang dia berikan pada Miranti, tapi wanita itu masih betah tinggal di rumah Adrian. Tidak ada tanda-tanda Miranti akan pergi. Ancaman yang selama ini selalu ampuh kini seolah kehilangan tajinya."Sial!" Rino mengacak rambutnya frustasi. Dia tidak habis pikir. Dulu, hanya dengan sedikit gertakan, Miranti langsung menurut. Kini? Wanita itu bahkan tidak menghiraukan ancaman foto-foto masa lalunya yang bisa menghancurkan hidupnya.Ponselnya berdering lagi. Nama Keysha muncul di layar. Rino menghela napas panjang sebelum mengangkat."Apa?" sahutnya ketus."Bagaimana?" suara Keysha terdengar menuntut di seberang sana. "Sudah ada perkembangan?""Belum.""Belum?!" Keysha meninggikan suaranya. "Sampai berapa lama, Rino? Kamu pikir uang yang aku berikan itu cuma-cuma?""Aku tahu!""Tidak! Kamu tidak tahu!" bentak Keysha. "Aku membayarmu bukan untuk mendengar kata 'belum'. Aku butuh hasil nyata, Rino. Mir

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   Bab 109

    Miranti menggeleng cepat, menyeka air matanya. "Tidak apa-apa.""Jangan bohong." Adrian melangkah mendekat. "Siapa yang meneleponmu sampai kau seperti ini? Apa Rino?"Miranti tidak menjawab, tapi tatapan matanya sudah memberikan konfirmasi bahwa yang diperkirakan Adrian memang benar.Adrian duduk di sampingnya. "Katakan padaku apa yang terjadi. Aku sudah berjanji akan melindungimu."Miranti hanya bisa terdiam. Ia tak tahu bagaimana mengatakan semuanya pada Adrian."Apa yang Rino inginkan darimu?" Adrian bertanya dengan suara lembut namun penuh perhatian.Miranti terdiam. Tangannya yang terkulai lemah terlihat gemetar."Aku tahu dia akan mengganggumu lagi. dia tak akan menyerah sampai kau menderita bersamanya," Adrian melanjutkan, melangkah mendekat. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Aku melihat caramu bereaksi setiap kali namanya disebut. Ada sesuatu yang kau sembunyikan, Miranti. Apa yang sebenarnya terjadi?"Dunia Miranti seakan mengingat apa yang barusan dikirimkan Rino padanya.

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   Bab 108

    Miranti memeluk Bianca yang tengah tertawa riang di pangkuannya. Sudah hampir dua minggu berlalu sejak ia kembali bekerja sebagai pengasuh bayi berusia tujuh bulan itu. Setiap tawa kecil Bianca mampu mengusir segala kekhawatiran yang bersarang di hatinya."Cit... cit... cit..." Miranti menirukan suara burung sambil menggerakkan jarinya di depan wajah mungil Bianca. Bayi itu tertawa lepas, tangannya berusaha meraih jari-jari Miranti.Inilah yang selalu dirindukan Miranti. Momen sederhana yang membuat hidupnya terasa bermakna. Bianca sudah jauh lebih ceria dibanding minggu-minggu pertama. Tidak ada lagi tangisan panjang di malam hari atau penolakan saat makan. Bayi itu bahkan sudah mulai merangkak dengan lincah mengelilingi ruangan.Namun, kebahagiaan Miranti tidak dibagikan oleh semua orang di rumah besar itu.Linda berdiri di ambang pintu kamar, menatap Miranti dan Bianca dengan tatapan dingin. Wanita paruh baya itu tidak pernah menyembunyikan ketidaksukaannya sejak Miranti kembali. S

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   Bab 107

    Miranti menatap pantulan wajahnya di cermin kamar mandi. Hampir sepekan berlalu sejak ia kembali mengasuh Bianca, dan sesuatu dalam dirinya berubah.Bayi mungil itu telah mengisi kekosongan yang bahkan tidak ia sadari ada di hatinya. Setiap senyum Bianca, setiap tangisannya, bahkan setiap gerak kecilnya. Semuanya terasa begitu berarti.Ia menghela napas panjang. Keputusan sudah bulat di benaknya."Miranti, kamu sudah bangun? Katanya mau ke gerai," suara Adrian terdengar dari luar."Sebentar!"Miranti merapikan rambutnya, kemudian keluar dari kamar. Adrian berdiri di depan pintu kamarnya dengan Bianca di gendongannya. Pria itu tersenyum melihatnya."Terima kasih sudah mau menjaga Bianca sebentar. Aku harus ke gerai untuk menemui majikanku," kata Miranti sambil mengambil tasnya."Tidak masalah. Aku juga sedang work from home hari ini." Adrian mengalihkan pandangannya ke Bianca yang sedang menggenggam jarinya. "Kamu sudah mantap dengan keputusanmu?"Miranti mengangguk. "Aku akan mengundu

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   Bab 106

    Miranti mengecup puncak kepala Bianca yang kini berada dalam gendongannya. Bayi mungil itu terlihat jauh lebih sehat dibanding beberapa hari lalu. Pipinya yang sempat pucat kini mulai merona, dan tangisannya sudah tidak sesengau dulu."Sudah siap pulang, sayang?" bisik Miranti lembut.Adrian berdiri di sampingnya, menandatangani formulir keluar dari rumah sakit. Sari, pengasuh baru Bianca, sibuk membereskan barang-barang bayi di dalam tas. Wajahnya terlihat senang sejak tadi pagi."Semua sudah selesai," kata Adrian sambil memasukkan map berkas ke dalam tas kerjanya. "Ayo kita pulang."Mereka berjalan menuju mobil di area parkir. Miranti masih menggendong Bianca dengan hati-hati, memastikan selimut tipis menutupi tubuh bayi itu dengan sempurna. Adrian membukakan pintu belakang mobil."Miranti, duduk di tengah saja. Sari akan duduk di sebelahmu," ujar Adrian.Miranti mengangguk dan masuk ke dalam mobil. Sari mengikuti dari sisi lain, membawa tas bayi dengan hati-hati. Begitu Sari duduk,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status