Miranti mengeluh pelan. Kepalanya terasa berat. Miranti mendengar berbagai suara, tapi tidak bisa mencerna kata-katanya.
Miranti mencoba membuka mata, tapi kelopak matanya terasa berat. Tubuhnya ringan seperti mengambang di antara sadar dan tidak, seperti terapung di permukaan air yang perlahan menariknya ke bawah.
Apa aku sudah mati? Tapi kenapa aku masih bisa mendengar?
Pertanyaan itu melintas dalam benaknya yang berkabut. Bukankah seharusnya semuanya sudah berakhir?
”...Tidak mungkin... apa yang dipikirkannya...”
Suara-suara di sekitarnya semakin jelas. Miranti melenguh pelan. Lengan kirinya berdenyut-denyut nyeri. Ia berusaha menggerakkan jari-jarinya, merasakan sensasi aneh di punggung tangannya.
Dengan usaha yang luar biasa, Miranti akhirnya membuka mata. Pandangannya kabur, hanya menangkap bayangan-bayangan dan sinar lampu yang terlalu terang. Ia mengangkat tangannya yang terasa berat.
Selang infus. Kalau begitu, ia masih hidup?
”Sudah sadar rupanya?”
Suara itu—tajam dan gemetar—membuat Miranti menoleh. Bu Sinta berdiri di samping tempat tidurnya, dengan tatapan yang belum pernah Miranti lihat sebelumnya. Bukan tatapan prihatin atau kasihan, melainkan tatapan penuh amarah.
”Bu...”
”Diam!” Bu Sinta memotong. Tangannya memukul tepian tempat tidur dengan keras, "Apa yang kau pikirkan, Miranti? Apa? JAWAB AKU!"
Miranti terkesiap, lalu menangis. Ia belum pernah melihat Bu Sinta semarah ini. Bu Sinta yang biasanya tenang dan ramah, yang selalu menjaga sikap dan penampilannya, kini tampak berantakan.
Rambutnya yang selalu tergelung rapi kini terurai tidak karuan. Wajahnya pucat, dengan bekas air mata di bawah matanya.
”Maaf...” Miranti berbisik, suaranya serak.
”Maaf? MAAF?” Suara Bu Sinta meninggi, ”Apa kau pikir dengan 'maaf' bisa mengembalikan nyawamu? Bagaimana kalau aku terlambat menemukanmu? Apa kau pikir dengan 'maaf' semuanya akan baik-baik saja?”
Air mata Miranti semakin deras bercucuran. Tenggorokannya terasa panas dan perih.
”Kau tahu berapa banyak tablet yang kau telan? Kau menelan semua obat! Semuanya! Apa yang ada di kepalamu? Apa masalahmu sudah tidak ada jalan keluar sampai harus nekad mengakhiri hidupmu dengan cara seperti ini?”
Bu Sinta terus membentak dan berteriak, tidak peduli mereka berada di IGD rumah sakit dengan tirai tipis sebagai satu-satunya pembatas dengan pasien lain
Miranti ingin menjawab, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Hanya isakan tertahan yang lolos dari bibirnya yang kering.
”Aku menemukanmu tergeletak di kamar, hampir tidak bernapas! Kau tahu bagaimana rasanya? Aku pikir kau sudah...” Bu Sinta tiba-tiba berhenti, suaranya terputus. Ia mengusap wajahnya dengan kasar. ”Aku pikir kau sudah pergi.”
Untuk pertama kalinya, Miranti melihat ketakutan di mata wanita paruh baya itu. Di balik kemarahan Bu Sinta, ada ketakutan dalam sorot matanya.
”Maaf...” hanya itu yang bisa Miranti ucapkan, air matanya kembali mengalir deras.
”Hidup itu sangat berharga, Miranti,” Bu Sinta mencengkeram tepi tempat tidur hingga buku-buku jarinya memutih, ”Kau masih muda. Masih punya masa depan. Dan kau mau membuangnya begitu saja? Untuk apa? Karena suamimu selingkuh? Karena utangmu yang menumpuk? Karena harus kehilangan anakmu? Apapun itu, tidak ada yang layak untuk kau tukar dengan nyawamu!"
Miranti menutup matanya, membiarkan kata-kata Bu Sinta menusuk-nusuk hatinya. Wanita itu tidak mengerti. Tidak akan ada yang bisa mengerti kekalutan hidupnya. Kekosongan yang tidak bisa diisi kembali, yang membuatnya merasa seperti cangkang kosong yang hanya berpura-pura hidup.
”Permisi.”
Suara seorang pria memecah situasi tegang itu. Seorang dokter berjas putih dengan stetoskop menggantung di lehernya mendekati tempat tidur Miranti.
”Bagaimana perasaan Anda, Nona Miranti?” Dokter itu bertanya dengan nada profesionalnya.
”Lemas dan mual,” Miranti menjawab lemah.
Dokter itu mengangguk, ”Wajar terjadi untuk kasus Anda. Kami tadi telah melakukan lavage—mencuci lambung Anda—untuk mengeluarkan sisa obat yang belum terserap. Anda beruntung dibawa ke sini dengan cepat.”
Bu Sinta mendengus pelan di sampingnya.
”Dalam 24 jam ke depan, Anda mungkin akan merasakan mual, muntah, pusing, dan dehidrasi yang ekstrem. Ini efek samping dari prosedur dan juga sisa obat dalam sistem pencernakan Anda," jelas dokter itu sambil memeriksa tetesan infus, ”Kami juga memberikan activated charcoal untuk menyerap racun yang tersisa.”
Miranti hanya mengangguk lemah.
”Anda akan dirawat setidaknya dua atau tiga hari untuk observasi. Setelah kondisi fisik Anda stabil, akan ada evaluasi psikologis.”
”Psikologis?” Bu Sinta bertanya, suaranya sedikit melunak.
”Standar prosedur untuk kasus percobaan bunuh diri,” jawab dokter itu, ”Kita perlu memastikan Nona Miranti mendapatkan bantuan yang dibutuhkan.”
Bu Sinta mengangguk pelan, tatapannya kembali pada Miranti yang masih menolak membalas pandangannya.
”Saya akan kembali nanti untuk pemeriksaan lanjutan. Anda bisa istirahat sambil menunggu dipindahkan ke kamar rawat,” kata dokter itu sebelum berlalu.
Setelah beberapa saat, Bu Sinta menghela napas panjang dan duduk di kursi samping tempat tidur. Kemarahan di wajahnya perlahan berubah menjadi kelelahan dan kesedihan.
”Mir, aku tahu hidup kadang terasa tidak adil. Tapi percayalah, mengakhiri hidupmu bukanlah jawaban,” ujarnya kali ini lebih lembut.
Miranti masih terdiam, matanya menatap kosong ke langit-langit.
”Kau tahu,” Bu Sinta melanjutkan, ”dulu aku juga pernah berada di titik terendah dalam hidupku. Saat suamiku diam-diam menikah lagi, rasanya seluruh dunia runtuh. Aku kehilangan pegangan. Tapi aku bertahan, dan sekarang aku bersyukur karena mampu bertahan.”
Kata-kata Bu Sinta mengambang di udara, tidak sepenuhnya meresap dalam pikiran Miranti yang masih kabur. Mual di perutnya semakin menjadi dan kepalanya terasa berputar.
”Kau pikir dengan mengakhiri hidupmu, rasa sakitmu akan hilang? Tidak. Kau hanya memindahkan rasa sakit itu kepada orang-orang yang menyayangimu. Kepada keluargamu. Kepadaku,” ujar Bu Sinta lagi.
Miranti merasakan setetes air mata mengalir dari sudut matanya. Bu Sinta peduli padanya—benar-benar peduli. Selama ini, Bu Sinta tak hanya sekadar induk semang, tapi juga ibu bagi Miranti.
”Aku marah padamu, Miranti. Sangat marah. Bukan hanya karena tindakanmu yang bodoh itu, tapi karena kau tidak datang padaku saat kau merasa terpuruk. Bukankah aku selalu bilang, pintu rumahku selalu terbuka untukmu?”
Miranti menggigit bibirnya, menahan isakan. Ia tidak pernah berpikir bahwa ada orang yang benar-benar peduli. Ia telah terbiasa menghadapi segalanya sendiri, memendam semuanya hingga akhirnya meledak.
”Jangan pernah—” suara Bu Sinta tercekat, ”—jangan pernah lagi kau berpikir untuk meninggalkan dunia ini, mengerti? Selama ada aku, kau punya tempat untuk mengeluh. Selalu.”
Kata-kata itu menyentuh bagian terdalam hati Miranti, bagian yang telah lama ia kunci rapat-rapat. Untuk pertama kalinya sejak ia terbangun, ia memberanikan diri menatap wajah Bu Sinta. Wanita itu terlihat begitu lelah, begitu khawatir dan begitu tulus.
”Terima kasih, Bu,” bisik Miranti.
Bu Sinta menggenggam tangannya yang tidak terpasang infus. Genggamannya hangat dan kuat, seperti jangkar yang menahan Miranti agar tidak terhanyut.
”Sebenarnya aku tadi ingin memberitahumu sesuatu. Tapi melihat kondisimu, lebih baik kau sekarang istirahat. Kita bisa bicara lagi nanti,” Bu Sinta beranjak berdiri, ”Aku akan mencari kopi dan mengurus administrasi.”
Saat Bu Sinta hampir mencapai tirai saat Miranti memanggilnya, ”Bu?”
Wanita itu berhenti dan menoleh.
”Maaf sudah membuat Bu Sinta khawatir dan terima kasih sudah menyelamatkan saya,” kata Miranti pelan.
Bu Sinta menatapnya lama sebelum mengangguk kecil dan melangkah keluar.
Sendirian, Miranti kembali menatap langit-langit, mencoba mencerna semua yang terjadi. Ia masih hidup—fakta yang beberapa jam lalu ingin ia ubah. Apakah ini kesempatan kedua? Ataukah hanya perpanjangan masa dari penderitaannya?
Adrian mengusap wajahnya yang lelah sambil memandangi tumpukan berkas CV di meja kerjanya. Sudah seminggu ini dia mencari pengasuh untuk Bianca, tapi tidak ada yang memenuhi kriterianya.Permintaan Miranti terus berputar di kepalanya—dia harus mencari pengasuh baru supaya Miranti bisa segera pergi dari rumah mereka."Pak, ini ada telepon dari Agen Pengasuh Bayi yang Bapak minta," kata sekretarisnya dari pintu ruangan.Adrian mengangkat gagang telepon dengan cepat. Setelah percakapan singkat, dia merasa sedikit lega. Agen itu merekomendasikan seorang pengasuh bernama Sari yang sudah memiliki pengalaman dan sertifikat mengasuh bayi."Kirim CV-nya sekarang," perintah Adrian.***Dua hari kemudian, Sari, seorang wanita berusia tiga puluh tahun dengan wajah ramah, berdiri di depan pintu rumah Adrian. Dia membawa tas kecil berisi sertifikat perawatan bayi dan surat rekomendasi dari agensinya sebelumnya."Selamat pagi, Pak Adrian," sapa Sari sopan.Adrian mengangguk dan langsung membimbingny
Adrian memijit keningnya. Sudah lima hari berlalu sejak pembicaraan terakhirnya dengan Miranti. Sebelum Miranti pergi, ia sudah harus mencari penggantinya. Hati Adrian merasa berat tentu saja. Melihat Miranti memutuskan pergi dari rumahnya membuat hati Adrian kembali terluka.Suara tangisan Bianca dari kamar bayi memecah lamunannya. Adrian bergegas keluar kamar dan melangkah menuju kamar Bianca. Ia mendapati Miranti sedang menggendong putri kecilnya dengan lembut."Dia rewel sejak tadi pagi," kata Miranti tanpa mengalihkan pandangan dari Bianca. "Mungkin tumbuh gigi."Adrian mengangguk, tapi perhatiannya tertuju pada wajah Miranti yang terlihat lelah. "Kamu tidak tidur lagi semalam?""Biasa saja." Miranti meletakkan Bianca yang sudah tenang ke dalam box bayi. "Ngomong-ngomong, bagaimana dengan pengasuh baru itu? Sudah ada kabar?"Pertanyaan yang selalu Adrian hindari. Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Belum ada yang cocok."Miranti berbalik menghadapnya, mata cokelat itu men
Miranti dan Unti melangkah memasuki halaman rumah dengan langkah tergesa. Wajah keduanya pucat. Napas keduanya pun tersengal-sengal karena kejadian yang mengerikan tadi. Keringat dingin masih membasahi pelipis Miranti dan mengalir melalui punggungnya."Mbak Miranti, Unti, kenapa wajah kalian pucat sekali?" tanya satpam yang membuka gerbang depan dengan alis berkerut. Matanya menatap khawatir pada Miranti yang tampak terguncang."Pak, tolong kunci gerbang sekarang juga," perintah Miranti dengan suara bergetar. "Jangan buka sembarangan untuk siapa pun. Kalau ada yang bertamu, kabari aku dulu.""Loh, memangnya kenapa, Mbak?" tanya satpam semakin bingung melihat kepanikan di mata Miranti."Pokoknya jangan sampai ada yang masuk tanpa sepengetahuanku!" Miranti memotong dengan tegas sambil bergegas masuk ke dalam rumah.Unti mengikuti di belakang, sesekali menengok ke arah gerbang dengan was-was. Bayangan penculik nekad yang mengaku sebagai ayah Bianca tadi masih membayangi pikirannya.Di da
Unti mengeratkan pelukannya pada Bianca yang mulai rewel. Matanya nyalang menatap laki-laki berjaket lusuh itu. Rino masih berdiri di hadapannya, dengan senyum yang terlihat menyeramkan."Berikan dia padaku," ulang Rino, kali ini dengan nada yang lebih keras. "Aku ayahnya.""Tidak!" Unti mundur selangkah. "Saya tidak kenal Anda. Pergi dari sini!"Rino tertawa kecil. "Aku ayah kandung Bianca."Unti memandang mata pria itu sekilas. Tak ada kemiripan sama sekali antara Bianca dengan laki-laki yang terus mengaku ayahnya itu.Zaman sekarang banyak penculik yang pandai menyamar dan membuat cerita. Apalagi Bianca anak Adrian yang kaya raya. Pasti banyak yang mengincar."Aku tidak percaya!" Unti berteriak. "Pergi atau aku panggil satpam!"Rino melangkah maju. "Jangan mempersulit keadaan. Aku hanya ingin menggendong anakku sebentar."Tangannya terentang, hendak mengambil Bianca dari gendongan Unti. ART itu refleks mundur sambil mendekap Bianca makin erat. Tekanan di dada bayi kecil itu membuat
Rino menyesuaikan jaket ojol hijau stabilo yang dikenakannya sambil memandang jam tangan. Sudah hampir satu jam dia berkeliling kompleks perumahan Adrian dengan motor matic pinjaman dari temannya. Di jok belakang, box delivery kosong bergoyang setiap kali motornya melewati polisi tidur."Sialan, kenapa nggak keluar-keluar juga," gerutunya sambil memencet klakson motor beberapa kali, pura-pura mencari alamat.Beberapa orang yang kebetulan lewat sempat menoleh, tapi Rino segera menundukkan kepalanya dan mempercepat laju motor.Untung saja seragam ojol ini benar-benar menyamarkan identitasnya. Siapa yang bakal curiga dengan tukang ojek yang sedang mencari alamat customer?Rino memarkir motornya di dekat taman, tempat yang strategis untuk mengawasi kompleks perumahan yang sepi itu.Dari tadi dia sudah melewati rumah mewah berlantai dua tempat Miranti tinggal. Rumah itu terlihat sepi dan pagarnya yang tinggi tertutup rapat. Membuat Rino tak bisa mengintip kegiatan dalam rumah itu."Apa mer
Adrian mengangkat kepala dari tumpukan dokumen di mejanya ketika pintu kantornya terbuka tanpa ketukan. Linda, ibu kandungnya, melangkah masuk dengan wajah tegang dan mata berapi-api."Mami? Ada apa?" Adrian bangkit dari kursinya, terkejut melihat ekspresi murka di wajah ibunya."Kita perlu bicara sekarang juga, Adrian." Linda menutup pintu dengan keras, suara bantingan itu bergema di ruangan yang sunyi. "Tentang pengasuh itu. Tentang Miranti."Adrian mengernyit. "Ada apa dengan Miranti? Bianca baik-baik saja kan?""Bianca memang baik-baik saja, tapi keluarga kita tidak!" Linda berjalan mendekat, tangannya terkepal erat. "Mami sudah tahu apa yag terjadi di sini kemarin.""Mami, duduk dulu. Kita bicarakan baik-baik.""Tidak ada yang perlu dibicarakan baik-baik!" Linda menggebrak meja Adrian. "Bagaimana Mami bisa tenang kalau nama baik keluarga Himawan dipermalukan di depan umum gara-gara perempuan itu!"Adrian terdiam, rahangnya mengeras. "lalu apa mau Mami sekarang?""Mami ingin masal