Share

5. Tawaran Ibu Susu

Author: A. Rietha
last update Last Updated: 2025-04-21 18:18:50

Miranti kembali mengecek pesan w******p di HP-nya. Meyakinkan sekali lagi kalau ia sudah berada di alamat yang benar.

Sekeluar dari rumah sakit, Bu Sinta mengenalkannya kepada Bu Kanti, seorang agensi penyalur wet nurse eksklusif bagi keluarga kaya.

Miranti sangat bersyukur karena ASI-nya yang melimpah bisa memberikan jalan keluar untuk masalah finansial yang kini tengah membelitnya. Asalkan tidak menjual dirinya, Miranti rela melakukan apa saja yang menghasilkan uang.

Mianti menekan tombol intercom yang terdapat di gerbang rumah mewah berlantai dua itu. Menurut Bu Kanti, Miranti harus menemui seorang bernama Maharini, yang tinggal di rumah mewah ini.

”Ya, mencari siapa?” tanya seseorang melalui intercom.

”Saya Miranti, saya ada janji dengan Ibu Maharini,” jawab Miranti.

Tak menunggu berapa lama, gerbang rumah mewah itu pun terbuka. Seorang laki-laki mengenakan seragam satpam membukakan pintu untuknya.

”Bu Rini sudah menunggu di dalam,” ujar singkat satpam itu pada Miranti.

Miranti mengikuti langkah satpam itu melintasi halaman depan yang tertutup paving. Rumah yang asri dan nyaman karena tamannya dipenuhi tanaman dan rumput yang menghijau.

Miranti menunggu beberapa saat di ruang tamu, saat seorang wanita paruh baya turun dari lantai dua dengan wajah ramah dan penuh senyum berjalan anggun ke arahnya.

”Miranti Anandari?” sapa wanita paruh baya itu sambil menjabat tangan Miranti hangat.

Miranti menyambut tangan wanita itu dan menyebutkan namanya kembali dengan hormat.

”Benar, Nyonya, saya Miranti. Saya wet nurse yang akan bekerja di sini.”

”Tidak perlu terlalu formal begitu, lagipula saya bukan Nyonya rumah ini. Panggil saja Bu Rini,” jawab wanita itu yang membuat Miranti bisa merasa nyaman.

”Kamu membawa hasil tes kesehatan dan dokumen lain seperti yang saya minta?” tanya Maharini.

Miranti mengangguk cepat, merogoh tasnya dan mengeluarkan amplop berisi hasil tes kesehatannya dan dokumen resmi dari agensinya.

”Sudah saya bawa, Bu Rini. Semua lengkap seperti yang diminta.”

Maharini menerima amplop itu dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya. Matanya dengan cekatan memeriksa dokumen-dokumen di dalamnya.

”Bagus sekali, semuanya lengkap. Kalau boleh tahu, kenapa kamu tertarik menjadi wet nurse, Miranti?”

”Sejujurnya, Bu, saya membutuhkan penghasilan yang memadai. Saya tidak punya pekerjaan tetap saat ini dan kebutuhan finansial saya juga tidak sedikit. Kebetulan ASI saya melimpah... sayang kalau tidak dimanfaatkan.”

”Oh, begitu,” Maharini mengangguk paham.

Maharini kembali menekuni dokumen pribadi Miranti. Sesekali ia melirik Miranti dan menganggukkan kepalanya.

”Hasil tes kesehatanmu juga bagus. Tidak ada penyakit menular dan juga bebas dari obat-obatan terlarang. Hanya saja ada keterangan kalau kamu menderita defisiansi vitamin D.”

Miranti semakin berdebar. Ia takut kalau masalah itu membuatnya kehilangan tawaran pekerjaan yang menggiurkan itu.

”Tapi itu bukan masalah besar. Asalkan ASI-mu kualitasnya bagus, itu bukan menjadi masalah besar bagi saya. Tapi kamu tahu bahwa pekerjaan ini tidak sesederhana kedengarannya, kan? Keluarga ini sangat selektif. Apalagi wet nurse untuk bayi yang umurnya baru beberapa minggu.”

”Bu Kanti sudah menjelaskan semuanya, Bu,” jawab Miranti cepat, ”Saya siap dengan semua persyaratannya.”

Bu Rini tersenyum lembut. Rasa puas terpancar dari wajahnya.

”Bagus. Bianca, bayi yang akan kamu susui, adalah cucu saya satu-satunya. Dan ayah Bianca juga sangat protektif.”

Miranti merasa tenggorokannya mengering. Ia merasa majikannya memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap dirinya. Dan itu membuat Miranti takut tidak bisa memenuhi ekspektasi mereka.

”Boleh saya tahu... kenapa bayinya membutuhkan wet nurse, Bu? Apa ibunya tidak bisa menyusui?”

Ekspresi Maharini berubah sendu. Ia tersenyum samar saat mulai bercerita.

”Karina, anak saya, meninggal saat melahirkan beberapa minggu lalu. Bianca juga intoleran dengan susu formula. Selama ini kami mendapatkan suplai ASI dari rumah sakit, tapi kurang efektif karena semakin besar, Binca membutuhkan ASI lebih banyak. Makanya, aku menawarkan jasa wet nurse pada ayah Bianca. Semula ia menolak tentu saja. Tapi, demi Bianca akhirnya ia setuju.”

”Jadi, tugas kamu bukan hanya memberi ASI, tapi juga kasih sayang,” lanjut Maharini, ”Aku harap kau bisa menyayangi Bianca seperti anakmu sendiri. Oh, ya, bagaimana dengan anakmu?”

Miranti menggigit bibirnya. Kalau Bianca kehilangan ibunya, Miranti justru kehilangan bayinya.

”Bayi saya meninggal beberapa jam setelah lahir, Bu,” bisik Miranti lirih.

”Oh, maaf, aku tidak tahu. Aku turut berduka untuk anakmu, ya. Sekarang ia pasti sudah sangat bahagia di surga. Bagaimana kalau sekarang aku menunjukkan kamar dan memperkenalkanmu pada si kecil Bianca? Mari kut saya!” ajak Maharini kepada Miranti.

Maharini bangkit dari kursinya dan melangkah menuju lantai dua. Miranti mengikuti langkah Maharini menapaki tangga melingkar yang menghubungkan lantai satu dengan lantai dua.

Mereka kemudian menuju lorong sebelah kanan dan berhenti di depan pintu putih yang dihiasi gambar peri dan rumah jamurnya.

”Bianca baru saja tidur setelah berjam-jam digendong. Bianca selalu rewel jika waktunya tidur,” bisik Maharini sambil membuka pintu dengan hati-hati.

Tak mau bayi yang tidur itu terganggu, Miranti sampai berjinjit. Ia tak mau bayi itu terganggu dan menangis karena suara langkah kakinya.

Miranti mengikuti Maharini memasuki kamar bayi dengan hati-hati. Ruangan itu bernuansa pastel dengan warna-warna lembut. Di tengah ruangan terdapat box bayi mewah dengan kelambu tipis menggantung di atasnya.

”Ini Bianca,” bisik Maharini sambil menunjuk bayi mungil yang tertidur pulas.

Wajah Bianca terlihat damai, dengan napas teratur yang membuat dadanya naik turun perlahan.

Miranti mendekat dengan hati-hati, matanya terpaku pada sosok kecil yang cantik, tapi kelihatan rapuh. Ia memicingkan matanya, rasanya ia pernah melihat bayi mungil itu. Mungkinkah?

”Dia cantik sekali,” bisik Miranti.

”Turunan dari kedua orang tuanya yang sama-sama goodlooking,” seloroh Maharini, membuat suasana cair supaya Miranti tidak terlihat tegang.

Miranti tersenyum mendengar gurauan tipis Maharini. Perempuan setengah baya itu terlihat ramah dan suka bercanda.

Miranti menatap Bianca sekali lagi, memutar memori saat ia melihat bayi itu. Dalam sekejap Miranti langsung jatuh hati pada bayi mungil itu. Miranti sangat ingin menggendong dan menimang Bianca yang tengah pulas. Sekuat tenaga Miranti menahan keinginannya itu. Ia tak mau dianggap tak tahu tata krama.

”Wet nurse-nya sudah datang?”

Suara berat laki-laki membuat Miranti menoleh ke arah pintu. Saat Miranti melihat laki-laki tegap yang mematung di ambang pintu, ia terkesiap. Kedua matanya membola tak percaya.

”Adrian Himawan?!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Maria Josepha Sahli
Lanjut Sistakuh...... .........
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   93. Pengakuan

    Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam ketika shift kedua akhirnya berakhir. Gerai sudah sepi. Para karyawan termasuk Miranti tengah merapikan bagian dalam gerai sebelum pulang.Miranti bekerja dengan gugup. Tangannya gemetar saat merapikan counter. Suara langkah kaki karyawan lain yang berhamburan keluar gerai perlahan menghilang, menyisakan kesunyian yang mencekam."Harus sekarang," gumam Miranti pada dirinya sendiri.Kata-kata Sani kemarin masih membekas di benaknya. Ia harus menjaga jarak dengan Beni. Terlalu banyak tatapan penuh makna, terlalu banyak perhatian khusus yang mulai disadari karyawan lain.Miranti menghela napas panjang sebelum naik ke lantai atas menuju ruangan Beni. Ia mengetuk pelan pintu ruangan atasannya itu. Suara "masuk" dari dalam membuat jantungnya berdegup lebih kencang.Beni mengangkat kepala dari tumpukan laporan di mejanya. Senyum hangat langsung mengembang di wajahnya melihat Miranti berdiri di ambang pintu dengan ekspresi canggung."Miranti? Tumben kamu

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   92. Dilema

    Miranti berdiri dan menatap deretan asesoris dengan mata kosong. Suara beep barcode scanner dari mesin kasir di counter sebelahnya terdengar monoton di telinganya, bercampur dengan ocehan pelanggan yang sibuk memilih aksesoris. Tapi pikirannya melayang jauh, terjebak dalam keraguan yang semakin menggerogoti hatinya."Miranti, ini minuman buat kamu."Suara Beni membuatnya tersentak. Lagi-lagi pria itu berdiri di hadapannya dengan sebotol teh dalam kemasan, senyum ramah terkembang di wajahnya."Ah, terima kasih, Pak." Miranti menerima botol itu dengan canggung. "Tapi sebenarnya tidak perlu, saya bisa beli sendiri."Beni menggeleng. "Tidak apa-apa. Cuaca hari ini panas sekali. Kamu harus banyak minum."Dari sudut mata, Miranti menangkap tatapan tajam beberapa karyawan. Mereka berbisik-bisik sambil sesekali meliriknya.Hati Miranti langsung terasa tidak nyaman. Ini sudah kesekian kalinya Beni membelikannya sesuatu hari ini. Kemarin juga begitu. Dan minggu lalu juga."Pak Beni," Miranti me

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   91. Kasak-Kusuk

    Jam menunjukkan pukul 08.30 pagi ketika Beni sudah sampai di depan gerai handphone miliknya. Kunci berderit saat dia membuka pintu kaca, aroma pembersih lantai masih tercium dari pembersihan kemarin malam. Ini adalah hari kelima berturut-turut dia datang lebih pagi dari biasanya."Selamat pagi, Pak Beni," sapa Miranti yang ternyata sudah ada di dalam gerai."Pagi, Mir. Kamu selalu datang tepat waktu ya," Beni tersenyum sambil melangkah mendekat.Tidak lama kemudian, Sani yang turun dari lantai dua melewati tempat itu dengan wajah masam. Matanya langsung tertuju pada Miranti yang sedang menata display handphone di bagian depan."Pagi, San," Beni menyapa hangat."Pagi, Pak," jawab Sani kaku. Dia melirik Miranti dengan pandangan tidak suka.Beni menyadari ketegangan itu. Seminggu terakhir, atmosfer di gerainya tak seperti biasanya. Sani yang biasanya aktif memberikan arahan malah sering bersikap dingin pada Miranti. Beberapa kali Beni melihat Sani memberikan tugas yang terlalu sulit untu

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   90. Tekanan Pekerjaan

    Miranti mengeluh sambil mengempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Kasur sempit di kamarnya terasa lebih keras dari biasanya. Hari yang melelahkan, terutama bagi batinnya. Setiap otot tubuhnya terasa lelah, tapi yang lebih menyakitkan adalah luka hati yang terus menganga.Omelan Sani yang mencapnya tak becus bekerja masih bergema di telinga Miranti. Kata-kata tajam itu seakan pisau yang mengiris kepercayaan dirinya. Semangat Miranti untuk memulai lagi hidupnya menjadi drop total.Peristiwa siang tadi masih membekas jelas di ingatannya. Seorang pelanggan bertanya tentang smartphone dengan RAM 8GB, tapi Miranti malah terlihat bingung dan menatap layar ponsel kosong.Miranti terpaksa menelepon Sani yang kebetulan saat itu tidak ada di tempat. Bukannya penjelasan, justru dampratan menyakitkan dari Sani yang Miranti dapatkan.Tak lama berselang Sani kembali ke gerai dan kembali menghujani Miranti dengan ucapannya yang lebih menyakitkan."Kamu ini bodoh ya? Masa spesifikasi dasar aja nggak hap

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   89. Pekerjaan Baru, Masalah Baru

    Miranti menarik napas dalam-dalam di depan pintu kaca bertuliskan "TECNO TRENDZ". Jam tangan di pergelangan tangan kirinya menunjukkan pukul delapan pagi tepat. Tangannya gemetar saat meraih gagang pintu. Sudah berapa lama dia tidak menghadapi wawancara kerja?"Selamat pagi, Pak," sapa Miranti pada lelaki bertubuh sedang yang sedang membukakan pintu kaca untuk Miranti. Rambutnya mulai menipis di bagian depan, kulitnya sawo matang, dan matanya hangat saat menatap Miranti."Saya ada janji bertemu dengan Pak Beni Gunawan," ujar Miranti pada securiti itu.Laki-laki itu tersenyum pada Miranti lalu mengajaknya ke lantai toko paling atas. Di ujung lorong, laki-laki itu mengetuk pintu dan mengatakan pada seorang di dalamnya bahwa seseorang ingin bertemu dengannya."Ah, kamu pasti Miranti yang diceritakan Bu Sinta," kata lelaki bertubuh tegap yang tersenyum ramah sambil menjabat tangan Miranti. "Saya Beni, pemilik toko ini. Silakan masuk."Miranti mengangguk gugup. "Ya, Pak. Saya datang untuk

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   88. Kembali ke Kos Lama

    Miranti menatap pagar kayu tinggi yang sudah lama tidak disambanginya. Rumah Bu Sinta pemilik tempat kos yang dulu disewanya.Tempat yang dulu menjadi rumah baginya selama beberapa tahun. Tangannya gemetar saat menekan bel yang ada di balik pagar. Ia tidak yakin apakah masih ada tempat baginya di rumah kos yang disewakan Bu Sinta."Miranti?" Bu Sinta membuka pintu pagar dengan mata berbinar. "Astaga! Kenapa kamu tidak bilang kalau mau datang?""Bu Sinta..." Miranti hampir menangis melihat wajah ramah yang selalu menyambutnya dengan hangat.Bu Sinta tertegun saat melihat wajah kuyu Miranti. Apalagi saat melihat koper besar yang dibawa Miranti."Saya... saya ingin kembali ke kos."Bu Sinta langsung memeluk Miranti erat. "Lho, kenapa? Ayo masuk dulu, jangan berdiri di depan pintu seperti ini!"Miranti mengikuti Bu Sinta masuk ke ruang tamu melalui teras depan rumah yang asri. Aroma bungan lavender dan melati yang tumbuh di halaman Bu Sinta tercium samar dan menenangkan."Duduk, Mir. Aku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status