Adrian menegetuk-ngetukkan jari di atas meja kerjanya. Pertemuan yang sangat tidak ia duga. Setelah lima tahun, ia bertemu kembali dengan Miranti. Meskipun sudah lima tahun berlalu, tapi Adrian tak akan pernah melupakan wajah ayu itu.
Adrian memang tidak salah mengenali. Perempuan yang hampir ditabraknya di lorong rumah sakit waktu itu memang Miranti. Dan sekarang ia kembali dipertemukan dengan Miranti yang bekerja sebagai wet nurse bagi anaknya.
Pintu ruang kerjanya terbuka dan sosok Miranti masuk ke dalam ruang kerja yang terletak di seberang kamar Bianca. Adrian memandangi Miranti yang terlihat kurus.
Garis wajahnya masih sama seperti yang ia ingat, namun ada sesuatu yang berbeda. Miranti yang lima tahun lalu terlihat ceria, sekarang tampak murung dan sayu.
”Silakan duduk!” kata Adrian, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tak beraturan.
Miranti mengangguk pelan sambil duduk di hadapan Adrian. Tangannya saling meremas di pangku
Suara Bianca yang menangis keras terdengar jelas dari dalam ruang kerja Adrian. Membuat laki-laki tiga puluh tahun itu melesat secepat kilat menuju kamar Bianca.Miranti mengikut di belakangnya. Tak ada orang di dalam kamar Bianca saat mereka berdua tiba di kamar itu. Mungkin Maharini sedang ke lantai bawah. Jadi, tidak mendengar saat bayi itu menangis.”Ya Tuhan, Bianca, ada apa, Sayang?” Adrian berusaha menenangkan putrinya.Adrian membuka kelambu yang menutup ranjang bayinya. Ia ingin menggendong untuk menenangkan Bianca, tapi tanganya terlihat kaku. Ia tak tahu bagaimana harus mengangkat bayinya dari dalam box.”Biar aku saja,” ujar Miranti mengambil alih.Miranti mengangkat tubuh mungil yang wajahnya merah padam itu ke dalam pelukannya. Tangisan Bianca tidak mereda, malah semakin keras. Diayunnya bayi mungil supaya sedikit tenang.”Sepertinya dia lapar, Pak,” ujar Miranti, ”susunya di mana?&rdqu
Siang itu Miranti berjalan menyusuri trotoar, lalu membelok ke gang sempit yang dimaksud dalam petunjuk alamat di ponselnya.Kemarin Miranti sudah bersepakat dengan Adrian. Miranti akan tetap menjadi wet nurse bagi Bianca, tetapi dengan syarat ia tidak tinggal di rumah majikannya.Syarat yang nyaris mustahil untuk wet nurse pada umumnya, tapi Miranti bersikeras bahwa itu yang terbaik untuk mereka saat ini. Dan kini, ia harus segera menemukan tempat tinggal baru.Gang yang dilewati Miranti cukup lebar, dengan tembok tinggi di salah satu sisinya. Rumah dengan berbagai bentuk dan ukuran berjajar di sisi kiri jalan. Namun, berbagai aroma bercampur aduk. Goreng-gorengan, air cucian, dan sampah yang belum diangkut.Miranti memeriksa kembali alamat yang tertera di ponselnya sambil berjalan perlahan. Jarak dari rumah Adrian memang tidak jauh, kurang dari 500 meter. Dengan berjalan kaki pun tak akan memakan waktu lebih dari sepuluh menit.”Ini dia,&rd
Miranti membuang napas berat. Jantungnya berdegup kencang, ia belum siap menghadapi siapa pun saat ini, apalagi jika itu adalah bapak kosnya. Tapi orang yang sangat ia hindari pagi-pagi begini sudah berdiri di dekat tangga.”Miranti? Kau sudah datang?” terdengar suara Darto yang terdengar tidak merdu di telinga Miranti.Mau tak mau Miranti melangkah sambil menyeret kopernya. Kardusnya ia tinggal di ujung lorong.”Wah, ternyata sudah sampai ya. Cepat sekali,” ujar Darto, matanya menelusuri sosok Miranti dari atas ke bawah. ”Tidak bilang-bilang dulu kalau mau datang pagi-pagi begini.”’Dan kau malah sudah stand by di sini pagi-pagi sekali’ gerutu Miranti dalam hati.Darto melangkah mendekati Miranti. Diambilnya koper dari tangan Miranti bermaksud membawakannya ke atas.”Biar kubantu. Koper ini pasti berat untuk wanita secantik kamu,” kata Darto sambil mengangkat koper dan meletakkanny
Pukul enam pagi, Miranti sudah berdiri di depan pintu gerbang rumah Adrian. Ia menekan bel interkom. Hari ini adalah hari pertamanya secara resmi sebagai ibu susu untuk Bianca.”Siapa?” terdengar suara lelaki dari interkom.”Saya Miranti, pengasuh Bianca,” jawabnya.Pintu gerbang terbuka secara otomatis. Miranti melangkah masuk ke dalam rumah dan menuju kamar Bianca. Di sana melihat Asti, pengasuh Bianca, yang menatapnya dengan wajah lelah. Kantung hitam terlihat jelas di bawah matanya.”Pagi sekali, Mbak,” sapa Asti.”Selamat pagi, Asti. Pak Adrian meminta saya datang pagi,” balas Miranti.”Pak Adrian baru saja berangkat. Ada meeting pagi katanya,” balas Asti yang menggendong Bianca.Asti mengayun Bianca yang terlihat rewel. Bayi mungil itu menangis dengan suara lemah, wajahnya memerah.”Bagaimana tadi malam?” tanya Miranti, mendekati Asti yang sedan
Miranti membuang napas berat. Jantungnya berdegup kencang, ia belum siap menghadapi siapa pun saat ini, apalagi jika itu adalah bapak kosnya. Tapi orang yang sangat ia hindari pagi-pagi begini sudah berdiri di dekat tangga.”Miranti? Kau sudah datang?” terdengar suara Darto yang terdengar tidak merdu di telinga Miranti.Mau tak mau Miranti melangkah sambil menyeret kopernya. Kardusnya ia tinggal di ujung lorong.”Wah, ternyata sudah sampai ya. Cepat sekali,” ujar Darto, matanya menelusuri sosok Miranti dari atas ke bawah. ”Tidak bilang-bilang dulu kalau mau datang pagi-pagi begini.”’Dan kau malah sudah stand by di sini pagi-pagi sekali’ gerutu Miranti dalam hati.Darto melangkah mendekati Miranti. Diambilnya koper dari tangan Miranti bermaksud membawakannya ke atas.”Biar kubantu. Koper ini pasti berat untuk wanita secantik kamu,” kata Darto sambil mengangkat koper dan meletakkanny
Pukul enam pagi, Miranti sudah berdiri di depan pintu gerbang rumah Adrian. Ia menekan bel interkom. Hari ini adalah hari pertamanya secara resmi sebagai ibu susu untuk Bianca.”Siapa?” terdengar suara lelaki dari interkom.”Saya Miranti, pengasuh Bianca,” jawabnya.Pintu gerbang terbuka secara otomatis. Miranti melangkah masuk ke dalam rumah dan menuju kamar Bianca. Di sana melihat Asti, pengasuh Bianca, yang menatapnya dengan wajah lelah. Kantung hitam terlihat jelas di bawah matanya.”Pagi sekali, Mbak,” sapa Asti.”Selamat pagi, Asti. Pak Adrian meminta saya datang pagi,” balas Miranti.”Pak Adrian baru saja berangkat. Ada meeting pagi katanya,” balas Asti yang menggendong Bianca.Asti mengayun Bianca yang terlihat rewel. Bayi mungil itu menangis dengan suara lemah, wajahnya memerah.”Bagaimana tadi malam?” tanya Miranti, mendekati Asti yang sedan
Miranti tersentak kaget dari tidurnya. Ponselnya berdering nyaring, memecah lelap yang baru saja ia nikmati setelah hari yang melelahkan. Dengan mata setengah terpejam, ia meraba-raba nakas di samping tempat tidurnya.”Halo?” jawabnya dengan suara serak.”Kamu sudah tidur,” suara Adrian terdengar panik di seberang telepon.Miranti mengerjapkan mata, berusaha mengumpulkan kesadarannya. Ia melirik jam digital di ponselnya—sudah lewat pukul 11 malam.”Ada apa?” tanyanya, kini mulai terjaga sepenuhnya.”ASI yang kautinggalkan sudah habis,” jawab Adrian cemas.”Cepat sekali habisnya. Tadi sore aku meninggalkan cukup banyak di kulkas,” ujar Miranti heran.”Asti bilang malam ini Bianca minum lebih banyak dari biasanya. Sekarang dia rewel lagi, sepertinya masih lapar. Kamu bisa ke sini secepatnya?” tanya Adrian yang lebih mirip perintah.Miranti menghela napas. Sebelum pulang tadi sore, ia sudah memerah ASI-nya cukup banyak—setidaknya untuk tiga atau empat kali minum. Tidak biasanya habis sece
”Bu Miranti, bayi Ibu semakin kritis. Dokter meminta ibu ke ruang bayi sekarang!” ujar Suster Hayati yang membangunkan Miranti.”Kritis? Maksudnya bagaimana, Sus?” tanya Miranti panik seraya turun dari atas ranjang.Suster Hayati menggigit bibirnya, ”Maaf Bu, tapi detak jantungnya semakin melemah. Saturasi oksigennya juga turun drastis. Dokter kami sedang berusaha melakukan yang terbaik. Namun, meminta Ibu segera datang.””Ya Allah, jangan ambil anakku. Dia satu-satunya yang aku miliki,” isak Miranti sambil berpegangan pada dinding koridor.”Tenang, Bu. Mari saya bantu,” kata Suster Hayati sambil meraih lengan Miranti, ”Kita harus cepat.”Miranti masih mematung. Dadanya begitu sesak membayangkan anak semata wayangnya tersiksa karena penyakit yang ia derita.Beberapa jam lalu, Miranti baru saja menyelesaikan persalinan anaknya, sendirian tanpa ditemani oleh siapapun, bahkan oleh Rino, suaminya sendiri. Suaminya itu pergi tanpa kabar, bahkan sampai saat ini, ketika Miranti berjuang bert
Miranti tersentak kaget dari tidurnya. Ponselnya berdering nyaring, memecah lelap yang baru saja ia nikmati setelah hari yang melelahkan. Dengan mata setengah terpejam, ia meraba-raba nakas di samping tempat tidurnya.”Halo?” jawabnya dengan suara serak.”Kamu sudah tidur,” suara Adrian terdengar panik di seberang telepon.Miranti mengerjapkan mata, berusaha mengumpulkan kesadarannya. Ia melirik jam digital di ponselnya—sudah lewat pukul 11 malam.”Ada apa?” tanyanya, kini mulai terjaga sepenuhnya.”ASI yang kautinggalkan sudah habis,” jawab Adrian cemas.”Cepat sekali habisnya. Tadi sore aku meninggalkan cukup banyak di kulkas,” ujar Miranti heran.”Asti bilang malam ini Bianca minum lebih banyak dari biasanya. Sekarang dia rewel lagi, sepertinya masih lapar. Kamu bisa ke sini secepatnya?” tanya Adrian yang lebih mirip perintah.Miranti menghela napas. Sebelum pulang tadi sore, ia sudah memerah ASI-nya cukup banyak—setidaknya untuk tiga atau empat kali minum. Tidak biasanya habis sece
Pukul enam pagi, Miranti sudah berdiri di depan pintu gerbang rumah Adrian. Ia menekan bel interkom. Hari ini adalah hari pertamanya secara resmi sebagai ibu susu untuk Bianca.”Siapa?” terdengar suara lelaki dari interkom.”Saya Miranti, pengasuh Bianca,” jawabnya.Pintu gerbang terbuka secara otomatis. Miranti melangkah masuk ke dalam rumah dan menuju kamar Bianca. Di sana melihat Asti, pengasuh Bianca, yang menatapnya dengan wajah lelah. Kantung hitam terlihat jelas di bawah matanya.”Pagi sekali, Mbak,” sapa Asti.”Selamat pagi, Asti. Pak Adrian meminta saya datang pagi,” balas Miranti.”Pak Adrian baru saja berangkat. Ada meeting pagi katanya,” balas Asti yang menggendong Bianca.Asti mengayun Bianca yang terlihat rewel. Bayi mungil itu menangis dengan suara lemah, wajahnya memerah.”Bagaimana tadi malam?” tanya Miranti, mendekati Asti yang sedan
Miranti membuang napas berat. Jantungnya berdegup kencang, ia belum siap menghadapi siapa pun saat ini, apalagi jika itu adalah bapak kosnya. Tapi orang yang sangat ia hindari pagi-pagi begini sudah berdiri di dekat tangga.”Miranti? Kau sudah datang?” terdengar suara Darto yang terdengar tidak merdu di telinga Miranti.Mau tak mau Miranti melangkah sambil menyeret kopernya. Kardusnya ia tinggal di ujung lorong.”Wah, ternyata sudah sampai ya. Cepat sekali,” ujar Darto, matanya menelusuri sosok Miranti dari atas ke bawah. ”Tidak bilang-bilang dulu kalau mau datang pagi-pagi begini.”’Dan kau malah sudah stand by di sini pagi-pagi sekali’ gerutu Miranti dalam hati.Darto melangkah mendekati Miranti. Diambilnya koper dari tangan Miranti bermaksud membawakannya ke atas.”Biar kubantu. Koper ini pasti berat untuk wanita secantik kamu,” kata Darto sambil mengangkat koper dan meletakkanny
Pukul enam pagi, Miranti sudah berdiri di depan pintu gerbang rumah Adrian. Ia menekan bel interkom. Hari ini adalah hari pertamanya secara resmi sebagai ibu susu untuk Bianca.”Siapa?” terdengar suara lelaki dari interkom.”Saya Miranti, pengasuh Bianca,” jawabnya.Pintu gerbang terbuka secara otomatis. Miranti melangkah masuk ke dalam rumah dan menuju kamar Bianca. Di sana melihat Asti, pengasuh Bianca, yang menatapnya dengan wajah lelah. Kantung hitam terlihat jelas di bawah matanya.”Pagi sekali, Mbak,” sapa Asti.”Selamat pagi, Asti. Pak Adrian meminta saya datang pagi,” balas Miranti.”Pak Adrian baru saja berangkat. Ada meeting pagi katanya,” balas Asti yang menggendong Bianca.Asti mengayun Bianca yang terlihat rewel. Bayi mungil itu menangis dengan suara lemah, wajahnya memerah.”Bagaimana tadi malam?” tanya Miranti, mendekati Asti yang sedan
Miranti membuang napas berat. Jantungnya berdegup kencang, ia belum siap menghadapi siapa pun saat ini, apalagi jika itu adalah bapak kosnya. Tapi orang yang sangat ia hindari pagi-pagi begini sudah berdiri di dekat tangga.”Miranti? Kau sudah datang?” terdengar suara Darto yang terdengar tidak merdu di telinga Miranti.Mau tak mau Miranti melangkah sambil menyeret kopernya. Kardusnya ia tinggal di ujung lorong.”Wah, ternyata sudah sampai ya. Cepat sekali,” ujar Darto, matanya menelusuri sosok Miranti dari atas ke bawah. ”Tidak bilang-bilang dulu kalau mau datang pagi-pagi begini.”’Dan kau malah sudah stand by di sini pagi-pagi sekali’ gerutu Miranti dalam hati.Darto melangkah mendekati Miranti. Diambilnya koper dari tangan Miranti bermaksud membawakannya ke atas.”Biar kubantu. Koper ini pasti berat untuk wanita secantik kamu,” kata Darto sambil mengangkat koper dan meletakkanny
Siang itu Miranti berjalan menyusuri trotoar, lalu membelok ke gang sempit yang dimaksud dalam petunjuk alamat di ponselnya.Kemarin Miranti sudah bersepakat dengan Adrian. Miranti akan tetap menjadi wet nurse bagi Bianca, tetapi dengan syarat ia tidak tinggal di rumah majikannya.Syarat yang nyaris mustahil untuk wet nurse pada umumnya, tapi Miranti bersikeras bahwa itu yang terbaik untuk mereka saat ini. Dan kini, ia harus segera menemukan tempat tinggal baru.Gang yang dilewati Miranti cukup lebar, dengan tembok tinggi di salah satu sisinya. Rumah dengan berbagai bentuk dan ukuran berjajar di sisi kiri jalan. Namun, berbagai aroma bercampur aduk. Goreng-gorengan, air cucian, dan sampah yang belum diangkut.Miranti memeriksa kembali alamat yang tertera di ponselnya sambil berjalan perlahan. Jarak dari rumah Adrian memang tidak jauh, kurang dari 500 meter. Dengan berjalan kaki pun tak akan memakan waktu lebih dari sepuluh menit.”Ini dia,&rd
Suara Bianca yang menangis keras terdengar jelas dari dalam ruang kerja Adrian. Membuat laki-laki tiga puluh tahun itu melesat secepat kilat menuju kamar Bianca.Miranti mengikut di belakangnya. Tak ada orang di dalam kamar Bianca saat mereka berdua tiba di kamar itu. Mungkin Maharini sedang ke lantai bawah. Jadi, tidak mendengar saat bayi itu menangis.”Ya Tuhan, Bianca, ada apa, Sayang?” Adrian berusaha menenangkan putrinya.Adrian membuka kelambu yang menutup ranjang bayinya. Ia ingin menggendong untuk menenangkan Bianca, tapi tanganya terlihat kaku. Ia tak tahu bagaimana harus mengangkat bayinya dari dalam box.”Biar aku saja,” ujar Miranti mengambil alih.Miranti mengangkat tubuh mungil yang wajahnya merah padam itu ke dalam pelukannya. Tangisan Bianca tidak mereda, malah semakin keras. Diayunnya bayi mungil supaya sedikit tenang.”Sepertinya dia lapar, Pak,” ujar Miranti, ”susunya di mana?&rdqu
Adrian menegetuk-ngetukkan jari di atas meja kerjanya. Pertemuan yang sangat tidak ia duga. Setelah lima tahun, ia bertemu kembali dengan Miranti. Meskipun sudah lima tahun berlalu, tapi Adrian tak akan pernah melupakan wajah ayu itu.Adrian memang tidak salah mengenali. Perempuan yang hampir ditabraknya di lorong rumah sakit waktu itu memang Miranti. Dan sekarang ia kembali dipertemukan dengan Miranti yang bekerja sebagai wet nurse bagi anaknya.Pintu ruang kerjanya terbuka dan sosok Miranti masuk ke dalam ruang kerja yang terletak di seberang kamar Bianca. Adrian memandangi Miranti yang terlihat kurus.Garis wajahnya masih sama seperti yang ia ingat, namun ada sesuatu yang berbeda. Miranti yang lima tahun lalu terlihat ceria, sekarang tampak murung dan sayu.”Silakan duduk!” kata Adrian, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tak beraturan.Miranti mengangguk pelan sambil duduk di hadapan Adrian. Tangannya saling meremas di pangku
Miranti kembali mengecek pesan whatsapp di HP-nya. Meyakinkan sekali lagi kalau ia sudah berada di alamat yang benar.Sekeluar dari rumah sakit, Bu Sinta mengenalkannya kepada Bu Kanti, seorang agensi penyalur wet nurse eksklusif bagi keluarga kaya.Miranti sangat bersyukur karena ASI-nya yang melimpah bisa memberikan jalan keluar untuk masalah finansial yang kini tengah membelitnya. Asalkan tidak menjual dirinya, Miranti rela melakukan apa saja yang menghasilkan uang.Mianti menekan tombol intercom yang terdapat di gerbang rumah mewah berlantai dua itu. Menurut Bu Kanti, Miranti harus menemui seorang bernama Maharini, yang tinggal di rumah mewah ini.”Ya, mencari siapa?” tanya seseorang melalui intercom.”Saya Miranti, saya ada janji dengan Ibu Maharini,” jawab Miranti.Tak menunggu berapa lama, gerbang rumah mewah itu pun terbuka. Seorang laki-laki mengenakan seragam satpam membukakan pintu untuknya.”Bu Rini sudah menunggu di dalam,” ujar singkat satpam itu pada Miranti.Miranti me