Share

BAB 5

Author: Duy.Nah
last update Last Updated: 2025-03-25 17:09:40

Bab 5: Ketika Masa Lalu Mengetuk Pintu

Hari-hari berlalu, tetapi hati Aruna terasa semakin sesak.

Setiap pagi ia bangun dengan perasaan yang sama—terjebak di antara dua pilihan. Dio, pria yang pernah ia cintai sepenuh hati, kini kembali dengan janji memperbaiki segalanya. Dan Rakha, pria yang datang tanpa isyarat, menawarkan kedamaian yang tak pernah ia duga.

Namun, di antara kedua pria itu, ada satu hal yang pasti: seseorang akan terluka jika ia tidak segera memutuskan.

---

Sore itu, setelah jam kantor, Dio kembali menunggunya di lobi. Tidak peduli seberapa sering Aruna mencoba menciptakan jarak, Dio selalu menemukan cara untuk hadir.

"Aku antar kamu pulang?" tawar Dio, senyum ramahnya masih sama seperti dulu.

Aruna menatap pria itu dengan hati yang bimbang. Bagaimanapun, Dio pernah menjadi bagian besar dalam hidupnya. Ia mengangguk perlahan. "Baiklah."

Di perjalanan, Dio berbicara tentang hal-hal kecil—tentang pekerjaannya, tentang kenangan mereka di masa lalu. Aruna mencoba fokus, tetapi pikirannya terus melayang ke arah lain.

Rakha.

Tiba-tiba, suara Dio memecah lamunannya. "Aruna," katanya pelan, "Apa aku punya kesempatan lagi?"

Jantung Aruna berdetak lebih cepat. Ia tahu Dio sedang menunggunya memberikan jawaban yang pasti, tetapi ia belum siap.

"Aku… aku butuh waktu, Dio," bisiknya akhirnya.

Dio mengangguk, meskipun kekecewaan jelas tergambar di wajahnya. "Aku akan menunggu. Tapi aku harap kamu tahu, aku nggak datang untuk menyerah."

---

Beberapa hari kemudian, Rakha mengirim pesan.

"Bisa mampir ke studio? Ada yang ingin aku tunjukkan."

Tanpa pikir panjang, Aruna langsung membalas.

"Aku ke sana sekarang."

Saat ia tiba di studio arsitektur Rakha, suasananya terasa berbeda. Rakha tampak lebih pendiam dari biasanya, seolah ada sesuatu yang membebani pikirannya.

"Ini untukmu," kata Rakha, menyerahkan sebuah sketsa bingkai kayu.

Aruna memandangi gambar itu. Itu adalah desain rumah kecil dengan taman di sekelilingnya. "Apa ini?" tanyanya pelan.

"Rumah yang aku impikan," jawab Rakha. "Dulu, aku membayangkannya untuk seseorang… tapi aku kehilangan kesempatan itu."

Aruna menatapnya dengan bingung. "Kehilangan siapa, Rakha?"

Rakha menghela napas panjang, seolah berjuang melawan sesuatu yang selama ini ia pendam. "Dulu… aku mencintai seorang wanita. Namanya Aulia. Tapi aku kehilangan dia dalam kecelakaan—dan aku merasa itu salahku."

Aruna merasakan dadanya mencelos. Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi Rakha yang benar-benar rapuh.

"Itu bukan salahmu," bisik Aruna, meskipun ia tahu kata-kata itu tidak akan cukup untuk menghapus luka di hati Rakha.

Rakha menatapnya, matanya penuh luka yang belum sembuh. "Tapi aku nggak bisa mengubah masa lalu, Aruna. Aku cuma bisa berharap… aku nggak kehilangan seseorang lagi."

Kata-kata itu menghantam sesuatu di dalam hati Aruna. Rakha mungkin tidak memintanya memilih, tetapi perlahan ia mulai menyadari siapa yang selalu ada di sisinya, tanpa pamrih.

---

Malamnya, Aruna duduk di balkon apartemennya, merenungi semua yang terjadi. Kedatangan Dio membawa semua kenangan indah yang pernah ia miliki. Tapi di sisi lain, Rakha datang dengan ketulusan yang sulit diabaikan.

Pikirannya masih berkecamuk ketika ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Dio.

"Aku di depan apartemen. Kita bisa bicara?"

Hati Aruna berdebar keras. Dengan langkah ragu, ia membuka pintu. Dio berdiri di sana, tatapannya penuh harapan.

"Aku nggak bisa berhenti memikirkanmu, Aruna," ucapnya. "Aku ingin kita kembali seperti dulu."

Aruna ingin percaya pada kata-kata itu. Tapi di dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang telah berubah—dan mungkin, tak akan pernah kembali seperti dulu lagi.

"Aku…" Aruna membuka mulut, tetapi kata-kata terasa berat. Ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Tidak setelah semua yang ia alami bersama Rakha.

---

Saat Dio menunggu jawaban, ponsel Aruna bergetar di tangannya. Sebuah pesan singkat dari Rakha:

"Aku akan pergi besok. Kalau kamu ingin aku tetap di sini… beri aku alasan untuk tinggal."

Aruna membeku di tempat. Di antara dua pria itu, hanya satu yang bisa ia pilih. Dan waktu untuk memutuskan… hampir habis.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CINTA YANG DATANG TANPA ISYARAT   Bab 11

    Bab 11: Saat Luka Bicara Jujur --- Empat hari kemudian, Jakarta. Langit sore menggantung kelabu di atas gedung kantor hukum Sujono & Rekan. Di dalam ruang kaca lantai lima, duduklah tiga orang: Kirana, Rakha, dan Aruna. Di hadapan mereka, seorang pria tua dengan jas abu-abu membuka map cokelat bertuliskan “Wasiat Ratna A. Putri”. “Terima kasih telah hadir,” ucap pria itu pelan. “Almarhumah Ratna menitipkan surat ini tiga bulan sebelum wafat. Ia ingin surat ini dibuka hanya jika Kirana hadir secara pribadi.” Kirana menunduk. Napasnya pelan, tapi berat. Tangannya gemetar saat map dibuka dan selembar kertas tipis ditarik keluar. Pria itu mulai membaca: > “Untuk anakku, Kirana. Jika surat ini sampai padamu, itu artinya aku sudah tidak bisa lagi memelukmu dan bilang: semuanya akan baik-baik saja. Tapi semoga lewat kata-kata ini, kamu tahu bahwa dari awal aku hanya ingin satu hal—menjagamu tetap utuh, walaupun dunia tidak pernah sepenuhnya milikmu.” Kirana menutup mulutnya. Matanya

  • CINTA YANG DATANG TANPA ISYARAT   Bab 10

    Bab 10: Rumah yang Terbelah Dua --- Kirana menatap foto di tangannya. Foto tua yang warnanya mulai pudar—memperlihatkan tiga orang: seorang pria muda yang ia kenali sebagai Rangga, seorang wanita paruh baya yang pasti Malia, dan seorang bayi perempuan dengan senyum kecil di pelukan Malia. Tapi yang membuat Kirana menggigil adalah tulisan di balik foto itu: > “Aku hanya membantu. Tapi dia... bukan darah Rangga.” Kirana membaca ulang tulisan itu berkali-kali, berharap kalimat itu berubah. Tapi tidak. Kalimat itu tetap sama, dan semakin lama dibaca, semakin kabur rasanya arah pencarian yang selama ini ia perjuangkan. Kalau bukan Rangga... bukan Rio... bukan Rakha... Siapa? Pertanyaan itu menghantam batinnya, mematahkan pijakan yang baru saja sempat terasa kokoh. Dalam satu malam, semuanya kembali menjadi teka-teki. --- Sementara itu, Aruna duduk di ruang tengah villa, menatap layar ponsel yang menampilkan pesan terakhir dari Kirana: > “Aku butuh waktu sendiri. Jangan cari aku

  • CINTA YANG DATANG TANPA ISYARAT   SERI II - BAB 9

    Bab 9: Istriku atau Anak Perempuanku?---“Akhirnya kamu datang juga. Aku sudah menunggu dua puluh tahun.”Suara wanita tua itu pelan, namun tegas. Meskipun tubuhnya tampak rapuh, sorot matanya seperti menyimpan potongan-potongan rahasia yang telah lama terkubur. Kirana menatapnya tanpa bergerak, seakan namanya dipanggil oleh masa lalu.“Malia?” tanya Kirana, setengah berbisik.Wanita itu mengangguk pelan, kemudian menepuk bangku kosong di sampingnya. “Duduklah. Kamu pasti punya banyak tanya. Dan aku... punya lebih banyak hal untuk disampaikan.”Rakha dan Aruna saling pandang. Mereka berdiri beberapa meter di belakang Kirana, memberi ruang, tapi tak benar-benar bisa menahan keingintahuan yang menekan dada.Kirana duduk di samping Malia. Suaranya gemetar. “Ibu saya... meninggal tanpa pernah memberitahu siapa ayah saya. Saya tahu dia menyimpan sesuatu. Tapi saya tidak tahu... bahwa saya harus datang ke sini untuk menemukannya.”Malia mengangguk perlahan. “Ibumu, Ratna, pernah datang pad

  • CINTA YANG DATANG TANPA ISYARAT   SERI II - BAB 8

    Bab 8: Mencintai Ayah yang Tak Pernah Ada---Udara pagi di Ubud lebih dingin dari biasanya. Kabut belum sepenuhnya mengangkat diri dari pepohonan, seolah ikut menyimpan rahasia yang baru saja Kirana ketahui semalam.Ia duduk sendiri di balkon kamarnya, mengenakan hoodie abu-abu dan memeluk lututnya. Matanya sembab, belum tidur semalaman. Di tangannya, ponsel yang masih terbuka pada satu email:> “Dia bukan anak Rio. Tapi kau tak boleh memberitahunya sampai dia siap.”Kalimat dari Malia itu menghantam logikanya. Jika bukan Rakha, dan bukan Rio… lalu siapa?Selama beberapa hari terakhir, Kirana sudah mencoba menerima Rakha sebagai sosok ayah. Ia mulai belajar berdamai dengan perasaan terluka, kecewa, lalu perlahan membiarkan ruang kecil di hatinya terbuka untuk pria itu. Tapi sekarang?Ia bahkan tidak tahu siapa dirinya sebenarnya.“Siapa aku…?” bisiknya lirih.---Aruna menemukannya satu jam kemudian, masih di posisi yang sama.“Kirana?” panggilnya pelan.Kirana menoleh. Ada kelembuta

  • CINTA YANG DATANG TANPA ISYARAT   SERI II - BAB 7

    Ketika Cinta Menemukan LukaBab 7: Saat Semua Terbuka---Kirana menyimpan kotak kecil itu dalam ranselnya. Nama “Malia” masih bergema di kepalanya. Surat dari almarhum ibunya tidak menyebut siapa Malia, hanya satu kalimat:> “Jika kau ingin tahu kebenaran sebenarnya, cari wanita bernama Malia.”Tapi sekarang bukan waktunya bicara soal itu. Belum.Pagi itu, Rakha mengajak Kirana sarapan di halaman belakang villa. Untuk pertama kalinya, mereka duduk bertiga. Aruna, Rakha, dan Kirana.Tak ada pembicaraan yang dalam, tapi keheningan itu tak lagi terasa seperti jurang.“Kalau kamu kembali ke Jakarta minggu depan,” kata Rakha sambil menuang teh, “aku akan carikan tempat tinggal yang dekat dengan studio. Supaya kita bisa mulai kenal lebih dalam.”Kirana mengangguk. “Tapi aku nggak mau ganggu kalian.”Aruna menoleh. “Kirana, kamu nggak ganggu. Kamu bukan tamu di hidup kami. Kamu bagian dari hidup kami.”Kirana menunduk, suaranya kecil. “Terima kasih… Mbak Aruna.”Aruna tersenyum. Itu pertama

  • CINTA YANG DATANG TANPA ISYARAT   SERI II - BAB 6

    Ketika Cinta Menemukan LukaBab 6: Darah yang Sama, Luka yang Sama---Aruna menatap layar ponsel lebih dari lima menit.Kalimat itu tidak berubah.> Kecocokan genetik menunjukkan kemungkinan hubungan ayah-anak sebesar 99.84%.Angka yang terlalu pasti untuk diabaikan. Terlalu jelas untuk dibantah. Dan terlalu dalam untuk tidak mengoyak sesuatu di dalam dirinya.Rakha adalah ayah kandung Kirana.Bukan dugaan. Bukan kemungkinan.Kenyataan.Ia duduk di ujung tempat tidur, menggenggam ponselnya erat seolah bisa meremukkan kenyataan itu jika ia genggam lebih kuat.---Di ruang dapur villa, Rakha sedang menyeduh kopi. Ia terlihat tenang. Tidak tahu bahwa dunia yang ia pikir sudah mulai tenang, akan kembali bergejolak dalam hitungan menit.Aruna berdiri di ambang pintu. Hening. Lalu akhirnya bersuara.“Rakha.”Pria itu menoleh, tersenyum. “Pagi. Mau kopi?”Aruna tidak menjawab. Ia hanya mengangkat ponselnya dan menunjukkannya ke arah Rakha. Layar masih menampilkan hasil PDF dari email klinik

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status