Share

BAB 6

Author: Duy.Nah
last update Last Updated: 2025-03-25 17:14:13

Bab 6: Kebenaran yang Menyakitkan

Malam terasa lebih dingin dari biasanya. Aruna memandangi layar ponselnya, pesan dari Rakha masih terpampang jelas.

"Aku akan pergi besok. Kalau kamu ingin aku tetap di sini… beri aku alasan untuk tinggal."

Kata-kata itu menggema di pikirannya. Sejak pertemuan pertama mereka di bawah hujan, Rakha tidak pernah meminta apa pun darinya. Dan sekarang, untuk pertama kalinya, pria itu meminta jawaban—sebuah kepastian.

Tapi sebelum Aruna bisa bergerak, Dio masih berdiri di hadapannya, menunggu jawaban yang sama pentingnya.

"Aku tahu ini sulit," ucap Dio lembut. "Tapi aku nggak bisa pura-pura lagi. Aku masih mencintaimu, Aruna. Kalau kamu memberiku kesempatan, aku janji kita akan memperbaiki semuanya."

Aruna menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab. "Kenapa sekarang, Dio?" suaranya terdengar nyaris patah. "Kenapa setelah lima tahun baru kamu kembali?"

Dio menarik napas panjang, ekspresinya berubah serius. "Karena aku menyadari satu hal… Aku meninggalkan seseorang yang aku cintai demi alasan yang salah."

"Tapi aku pantas tahu kebenarannya," potong Aruna, suaranya bergetar. "Apa benar semua ini hanya soal keluargamu?"

Ada keheningan di antara mereka. Untuk pertama kalinya, Dio terlihat ragu. Lalu, perlahan, ia membuka rahasia yang selama ini ia sembunyikan.

"Aku… pergi bukan cuma karena tekanan keluarga," akhirnya Dio mengaku. "Beberapa minggu sebelum pernikahan kita… aku didiagnosis menderita penyakit jantung bawaan. Dan aku takut."

Aruna membeku. Kata-kata Dio menghantamnya seperti gelombang yang tak terduga. "Kamu sakit?"

Dio mengangguk perlahan. "Aku nggak mau membebanimu dengan sesuatu yang… aku sendiri nggak tahu apakah aku bisa melewatinya. Jadi, aku memilih pergi tanpa menjelaskan apa pun."

"Dan sekarang?" tanya Aruna, suaranya nyaris berbisik.

"Aku sudah sembuh setelah menjalani operasi di luar negeri," jawab Dio. "Dan aku kembali karena aku sadar, aku kehilangan hal paling berharga dalam hidupku—kamu."

Air mata menggenang di sudut mata Aruna. Selama ini, ia membayangkan Dio pergi karena kurang mencintainya. Tapi kenyataannya jauh lebih menyakitkan—Dio meninggalkannya karena ketakutan yang tidak pernah ia bagi.

Tapi di tengah badai emosi itu, nama lain terus berputar di benaknya. Rakha.

---

Dini hari, Aruna berdiri di depan pintu studio arsitektur Rakha. Ia tahu ia tidak bisa menunda lagi. Jika ia tidak bertindak sekarang, ia akan benar-benar kehilangan pria itu.

Pintu studio tidak terkunci. Dengan hati berdebar, Aruna melangkah masuk. Di dalam, Rakha sedang mengemasi barang-barangnya.

"Kamu datang," suara Rakha terdengar pelan, tapi ada kejutan di matanya.

Aruna menggenggam jari-jarinya sendiri, mencoba mengendalikan kegelisahan di dadanya. "Jangan pergi," katanya, nyaris memohon.

Rakha berhenti. "Kenapa, Aruna?" tanyanya lembut, meskipun matanya menyimpan rasa sakit yang dalam. "Apa aku alasan yang cukup bagimu untuk tetap di sini?"

Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh. "Karena aku butuh kamu," bisik Aruna. "Dan aku… aku mulai mencintaimu."

Rakha menatapnya, seolah memastikan bahwa kata-kata itu benar adanya. Perlahan, ia mendekat, jemarinya menyentuh wajah Aruna dengan lembut. "Kamu yakin?" tanyanya, suaranya nyaris bergetar.

Aruna mengangguk. "Aku yakin."

Dan di saat itulah, Rakha menariknya ke dalam pelukan yang hangat dan penuh rasa. Untuk pertama kalinya, Aruna merasa bahwa ia telah membuat keputusan yang benar.

---

Beberapa hari kemudian, Dio mengajak Aruna bertemu untuk terakhir kalinya. Ia tahu jawabannya sebelum Aruna mengucapkannya, tetapi ia tetap ingin mendengarnya langsung.

"Aku memilih Rakha," ucap Aruna pelan namun tegas. "Aku tahu kamu sudah berjuang… tapi aku nggak bisa membohongi diriku sendiri. Hati aku sudah berubah."

Dio menatapnya dengan mata yang basah, tetapi senyum kecil muncul di bibirnya. "Aku mengerti," katanya dengan suara serak. "Aku terlambat. Tapi aku harap… dia bisa membahagiakanmu lebih dari yang aku bisa."

"Terima kasih, Dio," bisik Aruna, merasa lega sekaligus sedih di saat yang sama. "Aku harap kamu juga menemukan kebahagiaanmu."

Dio mengangguk perlahan sebelum melangkah pergi, meninggalkan babak lama yang akhirnya benar-benar ia tutup.

---

Malam itu, di balkon apartemennya, Aruna menerima pesan dari Rakha.

"Besok, ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan padamu. Sesuatu yang penting."

Aruna tersenyum kecil, perasaan hangat memenuhi dadanya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa… bahagia.

Tapi, ia tidak tahu bahwa sesuatu dari masa lalu Rakha yang lebih besar—sesuatu yang bisa mengubah segalanya—akan segera terungkap.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CINTA YANG DATANG TANPA ISYARAT   Bab 11

    Bab 11: Saat Luka Bicara Jujur --- Empat hari kemudian, Jakarta. Langit sore menggantung kelabu di atas gedung kantor hukum Sujono & Rekan. Di dalam ruang kaca lantai lima, duduklah tiga orang: Kirana, Rakha, dan Aruna. Di hadapan mereka, seorang pria tua dengan jas abu-abu membuka map cokelat bertuliskan “Wasiat Ratna A. Putri”. “Terima kasih telah hadir,” ucap pria itu pelan. “Almarhumah Ratna menitipkan surat ini tiga bulan sebelum wafat. Ia ingin surat ini dibuka hanya jika Kirana hadir secara pribadi.” Kirana menunduk. Napasnya pelan, tapi berat. Tangannya gemetar saat map dibuka dan selembar kertas tipis ditarik keluar. Pria itu mulai membaca: > “Untuk anakku, Kirana. Jika surat ini sampai padamu, itu artinya aku sudah tidak bisa lagi memelukmu dan bilang: semuanya akan baik-baik saja. Tapi semoga lewat kata-kata ini, kamu tahu bahwa dari awal aku hanya ingin satu hal—menjagamu tetap utuh, walaupun dunia tidak pernah sepenuhnya milikmu.” Kirana menutup mulutnya. Matanya

  • CINTA YANG DATANG TANPA ISYARAT   Bab 10

    Bab 10: Rumah yang Terbelah Dua --- Kirana menatap foto di tangannya. Foto tua yang warnanya mulai pudar—memperlihatkan tiga orang: seorang pria muda yang ia kenali sebagai Rangga, seorang wanita paruh baya yang pasti Malia, dan seorang bayi perempuan dengan senyum kecil di pelukan Malia. Tapi yang membuat Kirana menggigil adalah tulisan di balik foto itu: > “Aku hanya membantu. Tapi dia... bukan darah Rangga.” Kirana membaca ulang tulisan itu berkali-kali, berharap kalimat itu berubah. Tapi tidak. Kalimat itu tetap sama, dan semakin lama dibaca, semakin kabur rasanya arah pencarian yang selama ini ia perjuangkan. Kalau bukan Rangga... bukan Rio... bukan Rakha... Siapa? Pertanyaan itu menghantam batinnya, mematahkan pijakan yang baru saja sempat terasa kokoh. Dalam satu malam, semuanya kembali menjadi teka-teki. --- Sementara itu, Aruna duduk di ruang tengah villa, menatap layar ponsel yang menampilkan pesan terakhir dari Kirana: > “Aku butuh waktu sendiri. Jangan cari aku

  • CINTA YANG DATANG TANPA ISYARAT   SERI II - BAB 9

    Bab 9: Istriku atau Anak Perempuanku?---“Akhirnya kamu datang juga. Aku sudah menunggu dua puluh tahun.”Suara wanita tua itu pelan, namun tegas. Meskipun tubuhnya tampak rapuh, sorot matanya seperti menyimpan potongan-potongan rahasia yang telah lama terkubur. Kirana menatapnya tanpa bergerak, seakan namanya dipanggil oleh masa lalu.“Malia?” tanya Kirana, setengah berbisik.Wanita itu mengangguk pelan, kemudian menepuk bangku kosong di sampingnya. “Duduklah. Kamu pasti punya banyak tanya. Dan aku... punya lebih banyak hal untuk disampaikan.”Rakha dan Aruna saling pandang. Mereka berdiri beberapa meter di belakang Kirana, memberi ruang, tapi tak benar-benar bisa menahan keingintahuan yang menekan dada.Kirana duduk di samping Malia. Suaranya gemetar. “Ibu saya... meninggal tanpa pernah memberitahu siapa ayah saya. Saya tahu dia menyimpan sesuatu. Tapi saya tidak tahu... bahwa saya harus datang ke sini untuk menemukannya.”Malia mengangguk perlahan. “Ibumu, Ratna, pernah datang pad

  • CINTA YANG DATANG TANPA ISYARAT   SERI II - BAB 8

    Bab 8: Mencintai Ayah yang Tak Pernah Ada---Udara pagi di Ubud lebih dingin dari biasanya. Kabut belum sepenuhnya mengangkat diri dari pepohonan, seolah ikut menyimpan rahasia yang baru saja Kirana ketahui semalam.Ia duduk sendiri di balkon kamarnya, mengenakan hoodie abu-abu dan memeluk lututnya. Matanya sembab, belum tidur semalaman. Di tangannya, ponsel yang masih terbuka pada satu email:> “Dia bukan anak Rio. Tapi kau tak boleh memberitahunya sampai dia siap.”Kalimat dari Malia itu menghantam logikanya. Jika bukan Rakha, dan bukan Rio… lalu siapa?Selama beberapa hari terakhir, Kirana sudah mencoba menerima Rakha sebagai sosok ayah. Ia mulai belajar berdamai dengan perasaan terluka, kecewa, lalu perlahan membiarkan ruang kecil di hatinya terbuka untuk pria itu. Tapi sekarang?Ia bahkan tidak tahu siapa dirinya sebenarnya.“Siapa aku…?” bisiknya lirih.---Aruna menemukannya satu jam kemudian, masih di posisi yang sama.“Kirana?” panggilnya pelan.Kirana menoleh. Ada kelembuta

  • CINTA YANG DATANG TANPA ISYARAT   SERI II - BAB 7

    Ketika Cinta Menemukan LukaBab 7: Saat Semua Terbuka---Kirana menyimpan kotak kecil itu dalam ranselnya. Nama “Malia” masih bergema di kepalanya. Surat dari almarhum ibunya tidak menyebut siapa Malia, hanya satu kalimat:> “Jika kau ingin tahu kebenaran sebenarnya, cari wanita bernama Malia.”Tapi sekarang bukan waktunya bicara soal itu. Belum.Pagi itu, Rakha mengajak Kirana sarapan di halaman belakang villa. Untuk pertama kalinya, mereka duduk bertiga. Aruna, Rakha, dan Kirana.Tak ada pembicaraan yang dalam, tapi keheningan itu tak lagi terasa seperti jurang.“Kalau kamu kembali ke Jakarta minggu depan,” kata Rakha sambil menuang teh, “aku akan carikan tempat tinggal yang dekat dengan studio. Supaya kita bisa mulai kenal lebih dalam.”Kirana mengangguk. “Tapi aku nggak mau ganggu kalian.”Aruna menoleh. “Kirana, kamu nggak ganggu. Kamu bukan tamu di hidup kami. Kamu bagian dari hidup kami.”Kirana menunduk, suaranya kecil. “Terima kasih… Mbak Aruna.”Aruna tersenyum. Itu pertama

  • CINTA YANG DATANG TANPA ISYARAT   SERI II - BAB 6

    Ketika Cinta Menemukan LukaBab 6: Darah yang Sama, Luka yang Sama---Aruna menatap layar ponsel lebih dari lima menit.Kalimat itu tidak berubah.> Kecocokan genetik menunjukkan kemungkinan hubungan ayah-anak sebesar 99.84%.Angka yang terlalu pasti untuk diabaikan. Terlalu jelas untuk dibantah. Dan terlalu dalam untuk tidak mengoyak sesuatu di dalam dirinya.Rakha adalah ayah kandung Kirana.Bukan dugaan. Bukan kemungkinan.Kenyataan.Ia duduk di ujung tempat tidur, menggenggam ponselnya erat seolah bisa meremukkan kenyataan itu jika ia genggam lebih kuat.---Di ruang dapur villa, Rakha sedang menyeduh kopi. Ia terlihat tenang. Tidak tahu bahwa dunia yang ia pikir sudah mulai tenang, akan kembali bergejolak dalam hitungan menit.Aruna berdiri di ambang pintu. Hening. Lalu akhirnya bersuara.“Rakha.”Pria itu menoleh, tersenyum. “Pagi. Mau kopi?”Aruna tidak menjawab. Ia hanya mengangkat ponselnya dan menunjukkannya ke arah Rakha. Layar masih menampilkan hasil PDF dari email klinik

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status