Bab 6: Kebenaran yang Menyakitkan
Malam terasa lebih dingin dari biasanya. Aruna memandangi layar ponselnya, pesan dari Rakha masih terpampang jelas. "Aku akan pergi besok. Kalau kamu ingin aku tetap di sini… beri aku alasan untuk tinggal." Kata-kata itu menggema di pikirannya. Sejak pertemuan pertama mereka di bawah hujan, Rakha tidak pernah meminta apa pun darinya. Dan sekarang, untuk pertama kalinya, pria itu meminta jawaban—sebuah kepastian. Tapi sebelum Aruna bisa bergerak, Dio masih berdiri di hadapannya, menunggu jawaban yang sama pentingnya. "Aku tahu ini sulit," ucap Dio lembut. "Tapi aku nggak bisa pura-pura lagi. Aku masih mencintaimu, Aruna. Kalau kamu memberiku kesempatan, aku janji kita akan memperbaiki semuanya." Aruna menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab. "Kenapa sekarang, Dio?" suaranya terdengar nyaris patah. "Kenapa setelah lima tahun baru kamu kembali?" Dio menarik napas panjang, ekspresinya berubah serius. "Karena aku menyadari satu hal… Aku meninggalkan seseorang yang aku cintai demi alasan yang salah." "Tapi aku pantas tahu kebenarannya," potong Aruna, suaranya bergetar. "Apa benar semua ini hanya soal keluargamu?" Ada keheningan di antara mereka. Untuk pertama kalinya, Dio terlihat ragu. Lalu, perlahan, ia membuka rahasia yang selama ini ia sembunyikan. "Aku… pergi bukan cuma karena tekanan keluarga," akhirnya Dio mengaku. "Beberapa minggu sebelum pernikahan kita… aku didiagnosis menderita penyakit jantung bawaan. Dan aku takut." Aruna membeku. Kata-kata Dio menghantamnya seperti gelombang yang tak terduga. "Kamu sakit?" Dio mengangguk perlahan. "Aku nggak mau membebanimu dengan sesuatu yang… aku sendiri nggak tahu apakah aku bisa melewatinya. Jadi, aku memilih pergi tanpa menjelaskan apa pun." "Dan sekarang?" tanya Aruna, suaranya nyaris berbisik. "Aku sudah sembuh setelah menjalani operasi di luar negeri," jawab Dio. "Dan aku kembali karena aku sadar, aku kehilangan hal paling berharga dalam hidupku—kamu." Air mata menggenang di sudut mata Aruna. Selama ini, ia membayangkan Dio pergi karena kurang mencintainya. Tapi kenyataannya jauh lebih menyakitkan—Dio meninggalkannya karena ketakutan yang tidak pernah ia bagi. Tapi di tengah badai emosi itu, nama lain terus berputar di benaknya. Rakha. --- Dini hari, Aruna berdiri di depan pintu studio arsitektur Rakha. Ia tahu ia tidak bisa menunda lagi. Jika ia tidak bertindak sekarang, ia akan benar-benar kehilangan pria itu. Pintu studio tidak terkunci. Dengan hati berdebar, Aruna melangkah masuk. Di dalam, Rakha sedang mengemasi barang-barangnya. "Kamu datang," suara Rakha terdengar pelan, tapi ada kejutan di matanya. Aruna menggenggam jari-jarinya sendiri, mencoba mengendalikan kegelisahan di dadanya. "Jangan pergi," katanya, nyaris memohon. Rakha berhenti. "Kenapa, Aruna?" tanyanya lembut, meskipun matanya menyimpan rasa sakit yang dalam. "Apa aku alasan yang cukup bagimu untuk tetap di sini?" Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh. "Karena aku butuh kamu," bisik Aruna. "Dan aku… aku mulai mencintaimu." Rakha menatapnya, seolah memastikan bahwa kata-kata itu benar adanya. Perlahan, ia mendekat, jemarinya menyentuh wajah Aruna dengan lembut. "Kamu yakin?" tanyanya, suaranya nyaris bergetar. Aruna mengangguk. "Aku yakin." Dan di saat itulah, Rakha menariknya ke dalam pelukan yang hangat dan penuh rasa. Untuk pertama kalinya, Aruna merasa bahwa ia telah membuat keputusan yang benar. --- Beberapa hari kemudian, Dio mengajak Aruna bertemu untuk terakhir kalinya. Ia tahu jawabannya sebelum Aruna mengucapkannya, tetapi ia tetap ingin mendengarnya langsung. "Aku memilih Rakha," ucap Aruna pelan namun tegas. "Aku tahu kamu sudah berjuang… tapi aku nggak bisa membohongi diriku sendiri. Hati aku sudah berubah." Dio menatapnya dengan mata yang basah, tetapi senyum kecil muncul di bibirnya. "Aku mengerti," katanya dengan suara serak. "Aku terlambat. Tapi aku harap… dia bisa membahagiakanmu lebih dari yang aku bisa." "Terima kasih, Dio," bisik Aruna, merasa lega sekaligus sedih di saat yang sama. "Aku harap kamu juga menemukan kebahagiaanmu." Dio mengangguk perlahan sebelum melangkah pergi, meninggalkan babak lama yang akhirnya benar-benar ia tutup. --- Malam itu, di balkon apartemennya, Aruna menerima pesan dari Rakha. "Besok, ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan padamu. Sesuatu yang penting." Aruna tersenyum kecil, perasaan hangat memenuhi dadanya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa… bahagia. Tapi, ia tidak tahu bahwa sesuatu dari masa lalu Rakha yang lebih besar—sesuatu yang bisa mengubah segalanya—akan segera terungkap. ---Bab 12: Akhir yang Baru DimulaiEnam bulan setelah lamaran itu, pagi di Jakarta terasa lebih cerah dari biasanya. Matahari menyapu jendela apartemen Rakha, menyoroti kesibukan di dalamnya.Di ruang tamu, Aruna duduk di lantai dengan gaun putih sederhana, menata buket bunga yang akan ia bawa ke altar. Hatinya berdebar lembut, campuran antara kebahagiaan dan harapan. Hari ini, ia akan menjadi istri Rakha—pria yang mengajarkannya arti mencintai tanpa syarat."Kamu kelihatan cantik banget," suara Rakha terdengar dari belakang, lembut dan penuh kekaguman.Aruna menoleh, menemukan Rakha berdiri di ambang pintu dengan kemeja putih yang digulung hingga siku. Ia tampak santai, tapi matanya memancarkan sesuatu yang lebih dalam—kebahagiaan yang tidak bisa disembunyikannya."Dan kamu tampak… cemas," goda Aruna, tersenyum lembut.Rakha berjalan mendekat, duduk di sampingnya. "Aku nggak pernah membayangkan aku bisa sampai di titik ini," ucapnya jujur. "Setelah semua yang terjadi… aku takut aku ngga
Bab 11: Saat Hati Kembali MemilihSudah seminggu sejak Rakha menerima email anonim itu. Dengan kebenaran yang akhirnya terungkap, beban di hatinya mulai terasa ringan. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun, ia bisa bernapas lega—dan itu semua karena Aruna.Ia tahu, kini saatnya berhenti membiarkan masa lalu membayangi langkahnya. Ia telah memilih untuk melanjutkan hidup, dan di dalam hatinya, hanya ada satu orang yang ingin ia ajak berjalan bersamanya.Aruna.Sore itu, Aruna baru saja selesai rapat di kantor ketika ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Rakha."Punya waktu malam ini? Aku ingin menunjukkan sesuatu yang spesial."Senyum kecil terbit di wajahnya. Tanpa ragu, ia membalas."Tentu. Aku akan menunggumu."Hatinya berdebar pelan. Ada sesuatu di nada pesan Rakha yang terasa berbeda—lebih serius, tapi juga penuh kehangatan yang membuatnya merasa… dicintai.Malam itu, Aruna berdiri di depan kafe tempat mereka pertama kali bertemu, tepat di bawah rintik hujan tipis yang membasahi
Bab 10: Luka yang Sembuh BersamaRakha menatap foto di tangannya, pikirannya berputar liar. Gambar Aulia yang tersenyum di depan rumah mereka dulu terasa seperti bayangan dari kehidupan yang sudah lama ia tinggalkan—tetapi catatan di balik foto itu menghantui pikirannya."Rahasia ini bukan hanya milikmu. Ada lebih banyak hal yang belum kau ketahui."Siapa yang mengirim foto ini? Apa yang mereka inginkan? Dan mengapa mereka terus membangkitkan luka yang berusaha ia sembuhkan?Aruna menemukan Rakha masih duduk di meja kerjanya ketika ia datang ke studio malam itu. Pria itu tampak lelah, tapi ada sesuatu di matanya yang tidak bisa ia abaikan—kebingungan dan kemarahan yang bercampur menjadi satu."Kamu baik-baik saja?" tanya Aruna pelan, suaranya penuh perhatian.Rakha mengangkat foto itu tanpa berkata-kata, membiarkan Aruna membacanya. Setelah beberapa saat, ia menghela napas panjang. "Aku pikir semuanya sudah berakhir. Tapi seseorang jelas ingin aku tahu… ada yang belum selesai."Aruna
Bab 9: Kebenaran yang TerlukaMalam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Aruna duduk di sofa apartemen Rakha, memperhatikan pria itu yang tampak tenggelam dalam pikirannya. Ia bisa merasakan beban yang semakin berat di pundak Rakha, terutama setelah panggilan misterius itu datang lagi siang tadi."Kita harus tahu siapa yang menghubungimu," ucap Aruna lembut, memecah keheningan.Rakha menghela napas panjang, menatap layar ponselnya yang kini terasa seperti bom waktu. "Aku sudah mencoba mencari tahu. Tapi mereka tidak pernah meninggalkan jejak yang jelas.""Kalau kita nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, rasa bersalah itu akan terus menghantuimu, Rakha," lanjut Aruna. "Aku di sini. Kita cari tahu bersama."Kata-katanya terasa menenangkan di tengah kekacauan yang dirasakan Rakha. Ia mengangguk perlahan. "Aku nggak bisa melakukannya sendiri," bisiknya.Aruna menggenggam tangannya erat. "Kamu nggak sendiri. Kita mulai dari awal."---Esok paginya, mereka memutuskan mengunjungi rumah sa
Bab 8: Mengejar yang PergiSudah dua hari sejak panggilan misterius itu, dan sejak saat itu… Rakha berubah.Ia menjadi lebih pendiam dari biasanya. Setiap kali mereka bertemu, Aruna merasakan ada jarak yang perlahan tumbuh di antara mereka—sesuatu yang dingin dan menakutkan.Malam itu, di kafe tempat semuanya bermula, Aruna duduk di seberang Rakha. Biasanya, di tempat ini mereka berbagi tawa atau cerita ringan. Tapi kini, hanya ada kesunyian yang menggelayut di udara."Rakha," panggil Aruna lembut, mencoba memecah kebisuan. "Kamu kenapa akhir-akhir ini?"Rakha mengangkat pandangannya perlahan. Mata teduh yang biasanya menenangkan itu kini menyimpan sesuatu yang lebih dalam—lebih gelap."Aku cuma… banyak pikiran," jawabnya pendek.Aruna menggenggam tangannya di atas meja. "Tentang apa? Kamu bisa cerita padaku."Rakha terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menarik napas dalam. "Ada seseorang yang menghubungiku. Mereka bilang ada hal yang belum selesai dari kecelakaan lima tahun lalu."J
Bab 7: Pilihan di Antara Dua HatiPagi itu, udara terasa lebih hangat dari biasanya. Aruna berdiri di depan studio arsitektur Rakha, hatinya berdebar tak menentu. Pesan dari Rakha tadi malam membuatnya penasaran—apa yang begitu penting hingga Rakha ingin menunjukkan padanya secara langsung?Saat ia mendorong pintu kaca, Rakha sudah menunggunya di tengah ruangan. Ia mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung, wajahnya tampak lebih tenang, tapi ada ketegangan halus di matanya."Kamu datang," ucap Rakha, suaranya lembut."Aku bilang aku akan datang," jawab Aruna dengan senyum kecil.Rakha mengangguk, lalu mengambil sebuah kotak kayu kecil dari meja kerjanya. "Aku ingin kamu lihat ini," katanya sambil menyodorkan kotak itu padanya.Dengan hati-hati, Aruna membuka kotak itu. Di dalamnya, terdapat sebuah liontin perak berbentuk bulan sabit yang terlihat sedikit tua, tapi masih bersinar indah di bawah cahaya pagi."Apa ini?" tanyanya, kebingungan.Rakha menatap liontin itu dengan tatapa
Bab 6: Kebenaran yang MenyakitkanMalam terasa lebih dingin dari biasanya. Aruna memandangi layar ponselnya, pesan dari Rakha masih terpampang jelas."Aku akan pergi besok. Kalau kamu ingin aku tetap di sini… beri aku alasan untuk tinggal."Kata-kata itu menggema di pikirannya. Sejak pertemuan pertama mereka di bawah hujan, Rakha tidak pernah meminta apa pun darinya. Dan sekarang, untuk pertama kalinya, pria itu meminta jawaban—sebuah kepastian.Tapi sebelum Aruna bisa bergerak, Dio masih berdiri di hadapannya, menunggu jawaban yang sama pentingnya."Aku tahu ini sulit," ucap Dio lembut. "Tapi aku nggak bisa pura-pura lagi. Aku masih mencintaimu, Aruna. Kalau kamu memberiku kesempatan, aku janji kita akan memperbaiki semuanya."Aruna menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab. "Kenapa sekarang, Dio?" suaranya terdengar nyaris patah. "Kenapa setelah lima tahun baru kamu kembali?"Dio menarik napas panjang, ekspresinya berubah serius. "Karena aku menyadari satu hal… A
Bab 5: Ketika Masa Lalu Mengetuk PintuHari-hari berlalu, tetapi hati Aruna terasa semakin sesak.Setiap pagi ia bangun dengan perasaan yang sama—terjebak di antara dua pilihan. Dio, pria yang pernah ia cintai sepenuh hati, kini kembali dengan janji memperbaiki segalanya. Dan Rakha, pria yang datang tanpa isyarat, menawarkan kedamaian yang tak pernah ia duga.Namun, di antara kedua pria itu, ada satu hal yang pasti: seseorang akan terluka jika ia tidak segera memutuskan.---Sore itu, setelah jam kantor, Dio kembali menunggunya di lobi. Tidak peduli seberapa sering Aruna mencoba menciptakan jarak, Dio selalu menemukan cara untuk hadir."Aku antar kamu pulang?" tawar Dio, senyum ramahnya masih sama seperti dulu.Aruna menatap pria itu dengan hati yang bimbang. Bagaimanapun, Dio pernah menjadi bagian besar dalam hidupnya. Ia mengangguk perlahan. "Baiklah."Di perjalanan, Dio berbicara tentang hal-hal kecil—tentang pekerjaannya, tentang kenangan mereka di masa lalu. Aruna mencoba fokus,
Bab 4: Celah di Hati yang TertutupTiga hari sejak pertemuan di kafe, dan Aruna masih belum menemukan jawabannya.Di tengah-tengah rapat yang membosankan, pikirannya terus melayang. Dio atau Rakha? Masa lalu yang pernah membuatnya merasa paling dicintai, atau masa kini yang perlahan menawarkan rasa aman tanpa banyak janji?Suara Nadira menyentaknya kembali ke realitas. "Aruna, lo nggak fokus banget hari ini," bisik sahabatnya saat mereka keluar ruang rapat.Aruna menghela napas, berjalan menuju mejanya. "Gue… bingung, Dir.""Masih soal Dio dan Rakha?" Nadira menebak dengan mudah.Aruna mengangguk. Ia ingin menceritakan segalanya, tapi bahkan untuk mengatur pikirannya sendiri terasa sulit."Kalau gue jadi lo, gue bakal pilih orang yang tetap ada di saat lo hancur," Nadira melanjutkan dengan nada serius yang jarang terdengar darinya. "Bukan orang yang pergi di saat lo butuh dia."Kalimat itu menghantam sesuatu di dalam hati Aruna. Rakha. Dialah yang selalu ada. Tapi… apakah perasaan itu