Share

3. PENDEKATAN

Mata Dimas awas memandangi gadis dengan penampilan sangat sederhana itu. Sedikit berbeda dari ekspektasinya. Gadis manis berkulit setengah cokelat muda itu tampak santai hanya mengenakan celana jeans warna khaki dan kaos hitam berlengan pendek. Rambut panjangnya yang dibuat ekor kuda ikut bergerak setiap kali gadis itu menggerakan kepalanya. Dimas tersenyum menikmati pemandangan yang menurutnya sangat menggemaskan.

Selama ini Dimas nyaris tidak pernah melihat perempuan sepolos Andhira. Mata belo dengan bola mata sehitam biji kopi itu tampak lebih menggoda meski dari kejauhan. Dimas tidak tahu bagaimana jendela jiwa itu mampu menyeretnya untuk berenang di sana.

Orang terlihat hilir mudik keluar dari peron kereta menghampiri penjemputnya. Ada juga yang memilih naik taksi online atau ojek online yang mereka pesan lewat aplikasi. Sebagian lainnya sibuk adu tawar dengan kendaraan yang sudah mangkal di stasiun. Sedangkan Dimas sengaja mengulur sedikit waktu agar bisa lebih lama menatap mojang priangan yang sudah mencuri hatinya. Dhira memang berdiri di depan pintu kedatangan sambil mencari-cari seseorang.

Dimas berjalan mendekati Dhira. Tangannya merentangkan kertas berukuran A4 yang tertulis nama Andhira. Jarak mereka hanya sekitar empat meter. Tapi Dimas melihat Dhira malah mengeluarkan gawainya lalu berbicara dengan seseorang di seberang sana. Mungkin dia sedang memastikan siapa yang akan menjemputnya. Pikir Dimas yang tetap berdiri menunggu Dhira datang kepadanya. Dimas bertingkah seolah tidak mengenali perempuan itu.

“Maaf Mas, kalau boleh tahu namanya siapa ya?” Benar saja, Dhira menghampiri Dimas setelah menutup pembicaraannya di telepon.

“Mbak Andhira ya?” Dimas langsung menebak sambil memberikan senyum paling maskulin yang dia bisa.

“Iya, saya Andhira. Masnya siapa ya?”

“Gue Dimas Mbak. Kenalkan, Dimas Mahendra.”

“Andhira Bhanuresmi. Bisa dipanggi Dhira aja.”

Dimas sedikit kaget dengan sambutan Dhira. Biasanya orang yang mendengar nama Mahendra di belakang namanya akan langsung memberikan komentar seperti, wah Mahendra yang itu toh atau keren nih gue kenalan sama keluarga Mahendra. Sementara ekspresi Dhira biasa aja cenderung datar. Dia tidak terpengaruh sama sekali.

“Bisa kita jalan Mas?” Ucapan Dhira membuyarkan lamunan Dimas. Dengan gugup Dimas mengajak Dhira menuju ke parkiran mobil.

“Kalau boleh tahu, Masnya ini siapanya Mas Rama ya? Maaf sebelumnya, soalnya kakak saya bilang Mas Rama yang jemput saya.” Dhira membuka obrolan sementara Dimas sibuk dengan kemudinya.

“Oh, itu. Gue sepupunya Rama. Semalam Rama bilang hari ini dia harus ketemu dosennya. Tapi belum tahu jam berapa. Jadi dia minta gue jemput elo.” Dimas setengah berbohong. Faktanya, dia yang menawarkan diri untuk menggantikan Rama.

“Maaf ya Mas, tadi saya sempat ragu karena foto yang dikirimkan kakak saya berbeda dengan wajah Mas Dimas.”

“Muka gue lebih ganteng ya?” Dimas tersenyum jahil. Apalagi saat dia melihat Dhira setengah gugup mendapatkan jawaban darinya.

Karena tidak ada jawaban dari Dhira, akhirnya Dimas pun ikut diam. Mereka menikmati sepanjang jalan Yogyakarta dalam pikirannya masing-masing.

Dimas mengantarkan Dhira ke tempat kostnya yang ternyata tidak jauh dari tempat kost Dimas. Ada senyum bahagia yang terukir di bibirnya meski sangat samar.

“Ambil jurusan apa?” Dimas basa basi sambil memarkirkan mobilnya di tempat kost Dhira.

“Hukum Mas.” Dhira menjawab singkat.

Sabar Dim, jangan terburu-buru. Dimas berkata kepada dirinya sendiri. Entahlah, dia sendiri tidak mengerti kenapa begitu mudah menyukai Dhira. Padahal selama ini Dimas dikenal tidak pernah dekat dengan perempuan manapun. Matanya memindai bangunan dua lantai di depannya. Kalau berdasarkan angka yang tertulis di pintunya, ada sekitar 25 kamar yang terbagi menjadi dua lantai. Dimas tahu, ini khusus kost putri. Di ujung bangunan agak menjorok ke dalam terdapat sebuah rumah yang Dimas yakini pasti ditempati oleh si pemilik kost. Hal yang wajar Dhira memilih kost di tempat ini, mengingat bagaimana keluarga Dhira melindunginya. Bahkan sampai menyuruh orang terdekat kakaknya untuk menjemput Dhira.

 “Nggak ada yang ketinggalan kan?” Dimas memastikan barang-barang Dhira sudah dia turunkan.

“Kayaknya nggak ada deh. Makasih banyak ya Mas. Maaf ngerepotin. Hati-hati di jalan.”

“Nggak kok. Gue nggak ngerasa direpotin. Gue malah seneng bisa jemput elo. Kebetulan aja gue lagi nggak ada kuliah.” Dimas mengusap tengkuknya. Lalu pamitan dan pergi meninggalkan Dhira menuju mobilnya.

“Sial. Kenapa gue lupa minta nomor ponselnya ya?” Dimas menggerutu lalu memukul stir mobilnya pelan. Dia melirik ke arah Dhira yang baru saja keluar dari rumah induk di sebelah bangunan kost-an. Segera saja Dimas membuka pintu mobilnya lalu berlari ke arah Dhira.

“Ada yang ketinggalan Mas?” Dhira bertanya dan tidak bisa menyembunyikan raut bingungnya.

“Ada. Gue lupa minta nomor telepon elo.” Dimas nyengir tanpa dosa. Malah terlihat konyol banget.

“Mungkin besok-besok gue ada perlu sama elo kan gampang.” Dimas buru-buru memberikan alasan ketika dilihatnya Dhira malah bengong. Tak lama sebuah senyuman terbit dari bibir mungil Dhira. Lalu dia menyebutkan beberapa angka yang langsung disimpan Dimas di ponselnya.

Dimas berlalu meninggalkan tempat kost Dhira dengan wajah yang sumringah. Bahkan sesekali dia bersiul seolah mengatakan kepada dunia kalau hari ini dia sedang bahagia.  

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status