“Ibu! Mengapa Ibu tidak mengetuk pintu dahulu, sebelum masuk?” Tanya Raffael dengan nada gusar.
Wanita yang dipanggil Ibu oleh Raffael berjalan menuju meja kerja putranya. Ia terlihat terkejut, ketika melihat siapa wanita yang mengaku hamil kepada Raffael. “Bukankah kamu sahabat dari tunangan putraku?” Tanyanya kepada Marsya, dengan kening dikerutkan.
Marsya menelan ludah dengan sukar, karena mendadak tenggorokannya terasa kering. Ia tidak mengharapkan akan bertemu dengan Ibu dari Raffael.
“Iya, saya memang sahabat dari Natasya,” sahut Marsya.
Ibu Raffael mengambil catatan kehamilan yang ada di atas meja. Ia, kemudian melihat ke arah Raffael dan Marsya secara bergantian. Dengan suara yang tegas ia meminta kepada Raffael untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Raffael memejamkan mata, ia tidak suka, kalau Ibunya ikut campur dalam urusan pribadinya. “Saya tidak sengaja tidur dengan Marsya dan sekarang ia hamil.” Raffael bangun dari duduknya, lalu berjalan menuju jendela kaca di ruang kerjanya.
Ibu Raffael berjalan menuju sofa yang ada di ruangan tersebut, lalu duduk di sana. Ia tidak mengharapkan menerima berita itu, karena dirinya sudah menyayangi Natasya, seperti putrinya sendiri.
Suasana di dalam ruang kerja itu menjadi hening tidak ada yang membuka suara. Semua sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Marsya yang tidak tahan dengan ketegangan yang terasa di dalam ruang tersebut membuka suaranya, “Saya juga tidak menginginkan kehamilan ini, tetapi saya tidak ingin menambah dosa dengan menggugurkan janin yang tidak bersalah ini.”
Marsya menundukkan kepala suara isak tangisnya terdengar nyaring. Membuat Ibu Raffael bangun dari duduknya berjalan mendekati Marsya.
“Kamu memang sudah hamil dan tidak ada yang bisa mengubah hal itu! Dan saya tidak setuju, kalau kamu menggugurkan janin itu. Kalian berdua akan menikah,” tegas Ibu Raffael.
Raffael membalikkan badan, ia menatap tidak suka kepada Ibunya, karena sudah memutuskan urusan pribadinya. “Ibu tidak bisa berkata, seperti itu! Saya sudah memiliki tunangan dan saya mencintainya.”
Ibu Raffael memberikan pelototan kepada Raffael. Dengan tajam ia berkata, “Kalau kamu mencintai tunanganmu, kamu tidak akan mengkhianatinya dengan meniduri sahabat dari tunanganmu! Semua sudah terjadi, ibu tidak peduli kalian berdua akan segera menikah.”
Raffael menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya dengan kasar. Ia tidak dapat menentang keputusan yang sudah dibuat oleh Ibunya. Ia sangat mengenal, bagaiman sifat dari wanita yang melahirkannya itu.
“Terserah Ibu saja, saya tidak peduli! Sekarang kalian semua boleh pergi dari ruang kerja saya!” usir Raffael.
“Ayo, Marsya kita keluar dari sini,” ajak Ibu Raffael.
Marsya mengangguk, ia berjalan bersama-sama dengan Ibu Raffael keluar dari ruangan tersebut.
Begitu pintu ruangannya sudah tertutup dan hanya ada ia sendiri di ruang kerjanya. Raffael menuang anggur ke dalam gelas, lalu menyesap isinya sampai tandas.
Diambilnya ponselnya dari atas meja, kemudian dicarinya kontak Natasya. Ia akan menghubungi kekasihnya itu.
Panggilan telepon darinya tidak cepat diangkat oleh Natasya dan Raffael dapat memakluminya, karena perbedaan waktu antara Indonesia dan Jerman, di mana tunangannya itu sedang kuliah di sana.
‘Halo, Raff! Akhirnya, kamu menghubungiku juga. Kenapa kamu tidak mau membaca pesan-pesan dariku? Apakah kamu baik-baik saja?’ Tanya Natasya di ujung sambungan telepon.
Raffael terdiam mendengar suara dari wanita yang ia cintai itu. Ia begitu merindukan suara itu dan ingin meraih sang pemilik suara ke dalam pelukannya. Namun, ia sudah menghancurkan hubungan mereka berdua.
‘Raff! Mengapa kamu hanya diam saja? Jangan buat saya menjadi khawatir.’ Suara Natasya terdengar panik, karena Raffael hanya diam saja.
Raffael menghela napasnya, ia kemudian berkata, ‘Saya baik-baik saja, Ca! Diriku merindukanmu dan kamu harus ingat, kalau saya akan selalu mencintaimu.’
Setelah mengatakan hal itu Raffael menutup sambungan telepon. Dan ia juga memblokir kontak Natasya. Ia terpaksa melakukan hal itu, karena dirinya akan menikah dengan Marsya, walaupun terpaksa.
Ia akan menghargai pernikahannya dan tidak akan melakukan pengkhianatan. Sudah cukup satu wanita yang terluka, karena apa yang dilakukannya.
‘Maaf, Ca! Saya mencintaimu, tetapi saya juga yang akan membuatmu terluka. Semoga kamu suatu hari nanti akan mengerti dan bisa menerima kenyataan ini.’ Tanpa terasa air mata Raffael jatuh menetes membasahi wajahnya.
Raffael mengalihkan perhatiannya pada pekerjaan. Untuk menghilangkan rasa sedih dalam hatinya. Tidak mudah bagi Raffael untuk melupakan Natasya, wanita cantik yang sudah bertahun-tahun menjalin hubungan dengannya.
Ia tahu tindakannya mematikan sambungan telepon begitu saja. Dan juga memblokir nomor ponsel Natasya hanya akan membuat kekasihnya itu menjadi bingung dan khawatir akan apa yang terjadi.
Pada saat jam makan siang Raffael beranjak dari duduknya. Ia akan pergi makan siang dari restoran yang biasa ia datangi bersama dengan Natasya.
Begitu pintu di buka ia langsung mendapatkan sebuah tamparan di wajah, sehingga membuat hidungnya berdarah. Ia mengayunkan tangan hendak membalas orang yang sudah menamparnya, tetapi begitu melihat siapa pelakunya.
Ia menurunkan kembali tangannya dan berjalan kembali masuk ruang kerjanya. Diambilnya tissue yang ada di atas meja kerja untuk mengusap hidungnya yang terluka.
“Saya sudah dapat menduga, kenapa Ayah marah. Pasti Ibu sudah bercerita dan kalian bertindak seakan diriku ini anak kecil, yang memerlukan perhatian dan bantuan dari kalian.” Raffael duduk di kursi kerjanya.
Ayah Raffael berjalan masuk, lalu duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Raffael. Wajahnya merah, karena marah.
“Tentu saja kamu itu masih harus diperhatikan! Kamu sudah melakukan kebodohan dengan menghamili seorang wanita. Dan kamu seolah bisa memecahkan masalah dengan uangmu!” bentak Ayah Raffael.
Raffael mendengus tidak suka mendengarnya. “Bukankah Ibu sudah melapor kepada Ayah, kalau diriku bersedia untuk menikahi Marsya. Sekarang apa lagi masalahnya.”
Ayah Raffael menggeleng mendengar apa yang dikatakan oleh putranya itu, Dengan nada suara kecewa ia mengatakan, kalau Raffael sudah bersikap, seperti seorang pria yang tidak bertanggung jawab. Hendak cuci tangan dari masalah yang telah ditimbulkannya.
“Nanti malam kita datang ke rumah Marsya untuk melakukan lamaran. Dan pernikahan akan dilakukan dalam waktu dua minggu, agar kehamilan Marsya tidak semakin besar,” ujar Ayah Raffael.
Raffael terkejut mendengarnya, ia tidak percaya, kalau dirinya harus secepat itu menikahi Marsya. Ia memasang wajah dingin kepada Ayahnya. “Semua sudah diatur, bukan? Dan saya tidak bisa menolaknya.”
Dengan berang Ayah Raffael mengatakan, kalau tentu saja Raffael tidak bisa menolak. Dan ia juga memperingatkan kepada putranya itu untuk tidak mencoba kabur, karena ia harus datang.
Ayah Raffael mengambil botol berisi anggur dan menuang ke dalam gelasnya. Digoyang-goyangnya gelas itu, sehingga air yang di dalamnya bergerak-gerak.
“Apakah kau akan memberitahukan kepada Natasya dan kedua orang tuanya, kalau kau akan menikah? Ibumu bersikeras untuk merayakan pernikahanmu secara meriah, karena kamu adalah putra kami satu-satunya. Dan sudah pasti pesta pernikahanmu akan menjadi perhatian publik.” Ayah Raffael menyesap anggurnya dengan pelan.
Sontak saja Ades menjadi kalap, ia meraih gelas yang ada di depannya kemudian ia lempar ke arah Raffael. Yang dengan cepat dapat menghindar. “Kamu brengsek! Mengapa kamu melakukan hal itu kepadaku? Apakah karena pengasuh itu? Dirimu berubah setelah melihat ia berada di rumah ini. Ada hubungan apa kalian sebenarnya?”Raffael diam ia menatap pecahan gelas yang berhamburan di lantai. Dirinya tidak menduga kalau Ades akan bersikap kalap seperti itu.“Sepertinya kamu tidak bisa dengan mudah menerima keputusan dariku. Natasya adalah mantan tunanganku dan aku masih mencintainya. Maaf, kalau kau merasa kupermainkan, tetapi aku tidak bisa membohongi diriku lagi dan sekarang aku akan berusaha mendapatkan maaf, serta cintanya lagi,” ungkap Raffael.Ades terduduk kembali di kursinya dengan kasar. Air mata jatuh semakin deras membasahi wajahnya. Hatinya hancur karena dianggap hanya sebagai wanita cadangan saja. Setelah pria itu bertemu kembali dengan mantan kekasihnya, ia dicampakan bak barang yan
Natasya hanya bisa pasrah saja, satu sisi dirinya ingin menolak apa yang dilakukan Raffael. Namun, bagian dirinya yang lain ingin merasakan sekali saja bercinta dengan pria yang masih ia cintai.“Tolong! Perlahan, aku masih perawan.” Bisik Natasya.Raffael terdiam, ia memandang tidak percaya Natasya. Disela tawanya ia berkata, “Kau bermaksud membodohiku! Kau pikir aku ini anak kecil yang akan percaya begitu saja.”Beberapa menit berselang Rafael menjadi terkejut tidak percaya. Karena apa yang dikatakan Natasya memang benar adanya. Diciumnya pelipis wanita itu dengan lembut. “Terima kasih, sudah menjadikan diriku yang pertama.”Digulingkannya badan berbaring di samping Natasya. Dengan satu tangan memeluk wanita itu. Seakan ia takut kalau Natasya akan pergi darinya.Natasya melirik Raffael yang sudah terlelap di sampingnya. Air mata jatuh membasahi pipinya. Ia tahu sudah melakukan dosa dengan membiarkan Raffael menyentuhnya. Namun, ia tidak menyesali apa yang sudah terjadi.Diusapnya ai
Sontak saja Natasya menjadi terkejut, ia membalikan badan. Dilayangkannya senyum tipis kepada Ades. “Yang kulakukan sama sekali bukanlah urusanmu! Aku juga tidak peduli dengan apa yang kau tuduhkan.”Setelah mengatakan hal itu Sasha membalikan badan hendak berlalu pergi dari sana. Karena ia tidak mau berada lebih lama lagi di tempat yang sama dengan kekasih Raffael.Langkah Natasya terhenti ketika ia mendengar nada suara Ades yang terdengar mencemooh, “Tentu saja aku tidak akan mengatakan kepada Raffael kalau bertemu denganmu. Aku bahkan lebih suka kalau kau tidak menampakan dirimu di rumah itu lagi.”Wanita itu kemudian berlalu pergi dari hadapan Natasya. Membuat Natasya memandangi punggungnya dengan kesal.‘Mengapa wanita itu terus saja membuatku marah? Mereka berdua memang pasangan yang serasi,’ batin Natasya.Ia masuk mobil lalu duduk di balik kemudi. Dikemudikannya mobil menuju rumah sakit. Sesampainya di sana ia langsung membereskan administrasi untuk operasi papinya.Keesokan h
Tidak mau terjadi keributan Natasya bangkit dari duduknya. “Maaf, saya akan makan di dapur.”Dengan anggukan kepala ia berjalan keluar dari ruang makan. Saat melewatii Raffael dan kekasihnya, ia mengangkat kepala. Menatap pasangan itu dengan raut datar. “Akhirnya kau sadar diri juga! Semoga kau tidak berpura-pura amnesia dan kembali makan di ruangan ini,” sindir Ades.Natasya menghentikan langkah, ia menatap wanita itu dengan tajam. “Saya memang pengasuh di rumah ini. Sementara Anda adalah kekasih pemilik rumah ini. Akan tetapi, apakah kau yakin Raffael akan menikahimu? Karena kudengar ia pernah bertunangan lama, tetapi ia justru menikahi sahabat tunangannya.”Raffael menggeram marah. ia memberikan pelototan pada Natasya. Dicekalnya lengan wanita itu setengah menyeret ia membawa wanita itu keluar. Didorongnya dengan kasar, hingga punggung Natasya menempel pada dinding.Tangan Raffael berpindah memegang dagu Natasya dengan kasar. Sampai kuku-kuku jarinya terasa menusuk daging, tetapi
“Kau pengecut! Selalu memilih untuk pergi.” Raffael menatap tajam punggung Natasya.Langkah Natasya terhenti, tetapi ia tidak membalikkan badan untuk melihat Raffael. “Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Tuan! Anda sudah mengatakannya dengan begitu jelas.”Dilanjutkannya kembali berjalan memasuki rumah. Sesampai di depan pintu kamar Tiara, ia membukanya pelan. Diliatnya kalau gadis cilik itu tidur dengan nyenyaknya.‘Akh, sebaiknya aku pergi keluar saja untuk mencari makan,’ batin Natasya.Ditutupnya kembali pintu kamar Tiara dan berjalan memasuki kamarnya sendiri. Diambilnya tas tangan berisikan dompet, serta ponsel. Setelahnya, ia keluar kamar menuruni tangga. Di bawah anak tangga ia berpapasan dengan Raffael yang akan naik. Sambil menundukkan kepala ia berjalan melewati pria itu.Tiba-tiba saja lengannya ditarik dengan kasar, hingga ia membentur dada Raffael. Suara kesiap karena terkejut lolos dari bibirnya.“Mau pergi kemana kau?” desis Raffael dengan suara tertahan.“Maaf, Tu
Nadi Natasya berdenyut cepat, ia menundukkan kepala tidak sanggup menatap mata Raffael. Agar pria itu tidak melihat kalau kata-katanya kembali melukai Natasya. “Terima kasih, untuk kesekian kali diingatkan. Maaf, saya yang sudah besar kepala.”Natasya berenang mengabaikan Raffael, ia berenang menuju Tiara yang berada dalam pelampungnya. “Apakah kamu mau turun dari tempatmu itu bermain air dengan Nanny?”Senyum cerah terbit di wajah Tiara, ia tidak mengetahui kalau nannynya sedang sedih. Gadis cilik itu merentangkan kedua tangan meminta diangkat dari pelampungnya.Dengan sigap Natasya melakukannya. Ia sengaja membawa Tiara berenang ke bagian yang terjauh dari Raffael. Suara tawa senang gadis cilik itu mampu menghibur Natasya membuatnya melupakan sejenak kata-kata kasar dari majikannya.“Apakah kau sudah lelah berenang? Kita naik ke atas ya karena hari sudah mulai gelap.” Ajak Natasya kepada Tiara.Anggukkan kepala Tiara berikan kepada Natasya. Selain sudah lelah, ia juga merasa mengant