Share

4 - Veni Vidi Vici

Mengapa tak ada mata pelajaran cinta di kurikulum sekolah? 

Perancangnya pasti tak paham akan pentingnya cinta, sehingga malah matematika yang dia masukkan. Atau mungkin dia korban kegagalan cinta. Sehingga bila dia tak bisa bahagia oleh cinta, maka biarlah yang lain tersiksa oleh matematika. Ah, egois sekali! 

Hampir selama 18 tahun matematika telah menyengsarakan hidup gue. SD adalah masa terparah. Ada satu buku wajib yang sangat gue benci, judulnya CERDAS TANGKAS. Walau namanya menjanjikan, namun buku itu tak sedikit pun membuat gue tambah cerdas atau pun lebih tangkas. Entah mengapa, bu guru senang memberikan PR dari buku terkutuk itu. Jangan-jangan itu cara dia membalas kebandelan murid-muridnya yang sering berisik di dalam kelas. 

Dingin tangan ini bila mengingat masa itu. Setiap pulang sekolah gue selalu merasa sedang berjalan menuju kandang singa. Di plank kandang itu tercantum nama sang raja rimba - Ibunda

Ibu orangnya tak sabaran kalau mengajar. Setiap bikin PR gue selalu dihadapkan dengan sebuah pertanyaan dilematis, yakni “Sudah mengerti?” Kalau gue perhatikan ini sama dilematisnya bapak ketika ditanya ibu, “Aku gendutan, ya?”

Bila gue jawab, “Tidak!” dalam dua kali kesempatan, pasti telinga gue dicapit dan dipelintir. “Kok gak ngerti, ngerti sih, iiih!” “Awwww!” jerit gue. Namun bila gue jawab, “Mengerti!” tapi tak bisa mengerjakan soal berikut, akibatnya lebih parah. “Tadi katanya mengerti!” “Aw! Aw! Awwww! Ampun, ampun bu, aaaa!” Semakin malam, tangan ibu semakin ringan melayang, meliuk-liuk lincah tanpa beban. Kuping gue jadi merah, panas dan pedas.

Setiap malam pasti gue menyelesaikan PR kematian itu dengan terisak-isak dan ingus berceceran. Soal-soal di buku Cerdas Tangkas itu terlalu tinggi buat otak gue. Gue sampai sengaja meneteskan air mata ke atas buku PR, berharap bu guru melihat jejak penderitaan gue dan berhenti memberikan PR Cerdas Tangkas. Ah, harapan kosong. Keesokannya siksa neraka itu terulang lagi. Oleh karena itulah gue kini trauma dengan matematika.

Jahat sekali orang yang merancang kurikulum pendidikan. Segitu pahitnya kah dia dengan cinta? 

Sore hari gue pergi menemui Mang Oja. Hati ini bersemangat campur tegang. Ilmu cinta apa yang akan diturunkan ke gue? Mungkinkah cara rayu-merayu tingkat dasar yang bisa membuat cewek mengeluh malu, “Aaah… Mas Joni, nakal...” Gue jadi senyam-senyum sendiri sampai orang yang berpapasan dengan gue nyeletuk, “Gila...”  

Mang Oja tampak sedang sibuk “bekerja” di pos jaga, melayani para asisten rumah tangga yang mengerubunginya seakan sedang ada jumpa fans.

“Ehm, selamat sore, Mang Oja,” sapa gue, agak segan menyela kesibukannya. 

“Sore Joni,” balas Mang Oja. “Sebentar ya.” Lalu ia bicara ke mbak-mbak di sekelilingnya, “Maaf ya, Mang Oja ada urusan dulu dengan adik ini. Kalian pulang dulu.” 

“Yaaa….”  keluh cewek-cewek itu enggan. Mereka bubar dengan mulut manyun. Matanya terpicing ke gue. Tajam, seperti istri sedang melihat pelakor. Di antara mereka bahkan ada yang lewat sambil menabrakkan bahunya ke gue. Sungguh hebat pengaruh guru gue ini. 

Setelah semuanya pergi. Gue tersenyum dan menyodorkan sebungkus nasi padang dan es kelapa ijo sebagai bentuk sopan santun seorang murid kepada gurunya. “Wah, mantap betul,” ucap Mang Oja berbinar. Ia menerima dan melahap pemberian gue. Dengan sabar gue menunggu guru cinta kenyang dulu. Takutnya kalau dia lapar, nanti gue cuma disuruh mijit pundaknya saja. Lalu berdalih itu pondasi dari segala ilmu yang lebih tinggi.

“Arrgghh!” Mang Oja bersendawa, kemudian menyeruput es kelapa ijo. Ia menepuk-nepuk perutnya yang membuncit. Lima menit kemudian Mang Oja dengan mata agak mengantuk, menatap gue. Lalu bertanya, “Kamu benar mau belajar ilmu cinta?” 

“Tentu, mang,” jawab gue bersemangat. Ini dia pertanyaan pembuka yang gue nanti. 

“Ok, kemari.” 

Gue mendekat. 

Mang Oja melongok ke kiri dan ke kanan, memastikan tidak ada orang yang melihat. Kemudian Ia mengeluarkan sesuatu dari saku seragamnya. Kami merapat. Dia menyerahkan sesuatu itu ke dalam tangan gue. Ia berbisik, “Ini barang bagus. Kalau ada yang nanya, barang ini bukan dari aing.” Kenapa kami jadi seperti dua orang yang sedang bertransaksi narkoba? Gue jadi gugup.

Setelah itu gue periksa benda yang ada di telapak tangan. Sebuah kertas kuning berlipat. Gue buka kertas misterius itu. Di dalamnya ada tulisan aksara aneh, mirip jimat pengendali mayat hidup di film-film Cina lawas.  

“Apa ini Mang?

“Jimat pengasih.”

“Hah, jimat?”

“Gue peringatkan, Jon. Jangan kau salah gunakan jimat itu. Jika tidak…”

Mang Oja melotot, bola mata perlahan turun dan melirik anu gue, lalu melompat naik lagi ke atas. Tatapannya seolah mewanti-wanti jangan remehkan peringatan aing, menyesal kau nanti. 

“Me..menyalahgunakan bagaimana, mang?”

“Pantangan dari jimat itu adalah, kamu tak boleh hemm hemm dengan cewek yang kamu pikat. Kecuali kalau kamu sudah menikahinya.”

“Hemm hemm?”

HEMM HEMM!” terang Mang Oja dengan wajahnya lebih ekspresif. Namun gue tetap tak mengerti. Akhirnya Mang Oja selepet burung gue. “Oww… hemm hemm!” Barulah gue paham. 

“Efek jimat ini apa, mang?”

“Kamu akan terlihat sangat ganteng di mata cewek yang kamu pikat. Kalau dia berada di dekatmu, hatinya akan berdebar-debar. Ketika pulang, wajahmu selalu terbayang-bayang.”

“Begitu dahsyat kah jimat ini?” 

“Hem, begitu mereka sudah kelepek-kelepek, mereka akan minta hemm hemm. Kamu tidak boleh berikan itu. Ini ujian bagi pemegang jimat ini.” 

“Mang, saya tak percaya dengan hal-hal beginian.”

“Heh kau pikir aing berbohong? Jika kau tak percaya, tak perlu lagi kau jadi murid. Pergi!” Mang Oja tersinggung.

“Ya… maaf tapi…”

“Sudah, tak usah banyak cakap, aing tunjukkan padamu. Lihat ini jimat Mang Oja,” katanya mengeluarkan kertas kuning yang sama. Lalu dia wes... woss... wes… di depan gue. 

Tak berapa lama seorang cewek berjalan mendekati pos jaga. 

“Kau lihat ini, aing tembak dia, pasti langsung dapat.”

Gue intip baik-baik aksi guru gue dari pos jaga. Mang Oja mencegat langkah cewek itu. Awalnya target terlihat waspada dan curiga. Alisnya mengernyit. Tapi Mang Oja dengan rileks mengajaknya bercakap-cakap sebentar. Eh, lama-lama cewek itu mulai tertawa. Perlahan tapi pasti, pandangannya berubah jadi seperti wanita yang sedang jatuh cinta, lalu menunduk malu. Mang Oja meraih tangan cewek itu. Dia menunjuk cewek itu, kemudian menepuk dadanya sendiri. Cewek itu tersenyum mengangguk-angguk. Mang Oja sumringah, setelah itu ia  melirik ke gue dan kepalanya memberi kode, “Kau lihat!” Akhirnya mereka berdua berpisah sambil melempar kiss-bye. 

Mang Oja kembali, dan bertanya kepada gue. “Gimana sudah percaya?” 

Gue mengangguk-angguk sampai terbungkuk-bungkuk, terkagum-kagum. “Guru sungguh luar biasa!”

Setelah Mang Oja mengajarkan mantra pengaktifan jimat itu gue pulang ke rumah. 

Di kamar, gue telentang di tempat tidur, menatap langit-langit dengan dada berdebar. Sekarang gue punya super power. Kalau gue bisa memilih cewek mana pun jadi pacar, siapakah yang akan gue pilih? 

Bayangan cewek-cewek cantik di sekolah muncul silih berganti di langit-langit. Ada yang sekelas, ada adik kelas, hemmm… yang mana? Hingga muncul satu bayangan cewek yang tak bisa lagi tergeser. Gue melompat kaget. Inikah targetnya? “Ervinah,” gumam gue. Jantung gue deg degan. Mengapa tidak?

Ervinah, siapa yang tak kenal dia. Cewek idola cowok-cowok tiga angkatan. Tapi semuanya hanya mampu mengagumi dari jauh, mencintai tapi tak bisa memiliki. Dia itu di luar gapaian. Hanya cowok bosan hidup yang akan mencoba mendekatinya. Halangannya begitu besar, ada jurang perbedaan status yang lebar. 

Tapi gue punya jimat pengasih ini.  Siapa sih yang tak bisa gue taklukkan? 

Gue menutup wajah gue dengan bantal, kesenangan. Malu campur gembira gue akan segera punya pacar dan ceweknya bukan kaleng-kaleng. 

Gue putuskan untuk menembak dia besok hari di depan orang banyak. Gue akan bikin aksi ini heboh, ekstravaganza. Momen yang akan sangat berkesan untuk dikenang. Nama gue akan diingat oleh anak tiga angkatan sebagai pria terdahsyat. Gue tak sabar menunggu esok hari. 

****

Hari telah berganti. 

Pagi buta, gue terbangun, langsung ke kamar mandi untuk grooming diri sebaik-baiknya. Bulu hidung, bulu kumis, bulu janggut, bulu ketek bersihkan semuanya, Sabunan sampai tiga kali. Shampo setengah botol habis.

Kelar mandi dengan rambut masih basah dan berbalut handuk, gue berdiri di depan kaca satu badan di kamar.

Simsalabim! Gue menarik lepas handuk penutup itu ke udara. Cringggg! Tampaklah di pantulan kaca sebuah mahakarya. Pundak lebar mendominasi, lengan bersayap siap merajai langit, dada bidang seluas sawah membentang, dan perut papan cuci. Tampan nian kau bujang. 

Seperti kata Kaisar Yulius, Veni Vidi Vici, gue datang, gue lihat, gue menang. Tunggulah Ervinah, hari ini engkau akan menjadi daerah taklukan gue. 

Gue merasa sangat percaya diri habis.  

****

Veni.

Hari Senin. Sekolah mengadakan upacara bendera. Para murid dari SD hingga SMU berbaris di lapangan. Dengan sukarela gue berdiri di barisan paling depan, posisi yang diyakini anak-anak bisa bawa sial. 

Vidi.

Tapi gue sengaja berdiri di situ supaya bisa dengan bebas memandang Ervinah yang berdiri berseberangan dengan kaum murid, yakni di barisan para guru.  

Ibu Ervinah adalah guru seni budaya. Dia guru paling muda di sekolah ini, usianya 22 tahun. Penampilannya cantik, menarik, menawan hati dengan jilbab kuning, batik biru dan rok hitam. 

Menjelang penutupan, gue bersiap-siap membaca mantra jimat pengasih.

Ketika semua hendak bubaran, gue keluar dari barisan, berlari melewati lapangan dan mengambil mic dari podium pembina upacara. Di microphone gue berkata, “Kepada Ibu Ervinah, boleh saya ngomong sesuatu.” Suara gue terdengar jelas dari pengeras suara.

Sontak seluruh lapisan guru dan murid, hingga burung di pepohonan melompat kaget. Ada apa gerangan. 

Gue dengan penuh percaya diri berjalan menghampiri Ibu Ervinah yang berdiri di sekitar para guru yang baru saja hendak membubarkan diri.

Semua mata, dari anak SD sampai kepala sekolah terkunci ke arah gue. Bu Ervinah menengok ke kiri dan ke kanan, memastikan gue tidak salah orang. 

Mata kami terkunci berdua. 

Vici.

Dengan memakai mic dan suara lantang gue berkata, “Bu Ervinah, maukah engkau menjadi pacarku?”

Seketika guru-guru melongo, murid-murid tenganga, petugas kebersihan terpeleset. Jika bukan karena kehendak Allah, kepala sekolah pasti sudah mangkat. Satu lapangan langsung hening. Hingga suara kentut sunyi pun terdengar.

Bu Ervinah menoleh ke kiri dan ke kanan, melihat orang-orang sekelilingnya. Wajahnya memerah. Ia tertunduk malu. Gue yakin efek dari jimat itu sudah mulai bekerja.

Lalu dia menjawab…

Karena dia tidak menggunakan mic, dan mulutnya tertutup masker. Jawabannya tidak terdengar oleh yang lain. Gue satu-satunya yang saat itu berada di posisi paling dekat yang bisa mendengar. 

Satu sekolah langsung heboh bertanya-tanya, “Apa jawabannya? Apa jawabannya? Bu Ervinah jawab apa????” Mereka semua “mati” penasaran.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status