Pukul 12.00 WIB. Rendi memanfaatkan waktu istirahat kantor untuk makan siang di restoran "Serba Ada" di dekat kantornya. Ia menikmati jam makan siang bersama Shinta, pacarnya. Bukan ketemuan, melainkan kebetulan mereka berpapasan di restoran yang sama.
"Sayang, kamu mau makan apa? Biar aku pesankan," tawar Shinta sementara tangannya mengutak-atik buku menu. "Kamu mau traktir?" Rendi mengerutkan kening akibat salah tangkap maksud Shinta. "Iiih!" Shinta berdecak kesal, "Ya kamu lah yang bayar. Masa perempuan yang bayar." Mendengar jawaban pacarnya, Rendi menghela napas kecewa. Pikirnya, ia akan mendapat penyegar dompet keringnya siang ini. Sialnya, ekspektasi Rendi terlampau jauh. Shinta kembali menawarkan pacarnya ingin makan apa. Rendi menjawabnya terserah. "Oke. Aku pesen makanan favorit kamu saja ya." Shinta beranjak sejenak menuju kasir pemesanan. Rendi menelungkupkan kepala menunggu pesanan datang. Otaknya masih panas oleh surat peringatan pagi tadi dan hatinya masih jengkel dengan gadis tadi. Ia bersumpah apabila semesta mempertemukannya lagi dengannya, Rendi akan balas dendam. Ia tak sudi menerima umpatan pedas kepala divisinya akibat ulang seorang gadis menyebalkan itu. Beberapa saat kemudian Shinta datang membawa nampan berisi dua porsi mie ramen dan dua gelas jus mangga. Shinta menata makanan tersebut di meja. "Profesi baru, Mba?" Rendi meledek. Shinta yang tak terima dikata demikian sontak mengetuk pelan kepala Rendi dengan nampan yang sudah tak berisi. "Kamu itu harusnya berterima kasih, bukan mengejek seperti itu," ucap Shinta membenarkan posisi duduknya. Rendi meminta maaf. “Dasar laki-laki, tidak pernah peka!” Untuk beberapa menit mereka diam menghabiskan pesanan masing-masing. Jika Shinta dengan lahap memakan ramen yang ia pesan, maka Rendi tampak acuh tak acuh dengan makanan di hadapannya. Ia sibuk mencak-cak makanan tersebut. "Kamu kenapa sayang? Kok belum makan?" Shinta menyadari gelagat tak berselera kekasihnya. “Mienya tidak enak ya? Aku pesankan ulang ya?” Shinta bertanya lagi. Rendi menghela napas lantas berkata, "Hari ini aku dapat SP." Sontak Shinta mengurungkan niatnya yang hendak ke meja kasir lagi. "Apa?" Shinta membelalakkan matanya. "Kok bisa? Ini kan hari pertama kamu kerja, sayang." Rendi dengan wajah malas menceritakan kembali kejadian menjengkelkan pagi tadi. Shinta merasa kasihan dan ikut dongkol mendengar cerita Rendi. Rendi berharap bisa bertemu lagi dengan gadis itu. Namun, Shinta menentang Rendi untuk menunaikan niatnya. Ia bahkan tidak mengizinkan kekasihnya mencari gadis itu. Rendi bingung dan menanyakan alasannya. "Aku tidak mau kamu bertemu perempuan itu. Aku tidak rela gara-gara kamu bertemu dia lagi, kamu jadi punya rasa sama dia," terang Shinta. "Kamu lucu. Ya kali aku bakal jatuh cinta sama perempuan itu. Bisa-bisa telinga aku rusak diceramahi terus sama dia." Rendi terkekeh sekaligus tak menyangka kekasihnya bisa berpikiran demikian. "Rendi, cinta itu datangnya bisa kapan saja, tidak kenal waktu, tempat, dan orangnya. Cinta itu buta dan tuli," kata Shinta serius. “Iya, buta dan tuli seperti kamu,” timpal Rendi. “Ih, aku serius!” Shinta sedikit menggebrak meja. “Aku jatuh cinta sama kamu juga tidak terencana kan? Tidak ada yang menyangka aku bisa secinta dan sesayang ini sama kamu. I love you so much.” Shinta melayangkan kiss bye pada Rendi yang tampak berusaha menyembunyikan raut tak nyamannya. Rendi pun harus berkata iya demi mengakhiri perbincangan membosankan ini. Ia sendiri heran, sejak kapan kekasihnya jadi romantis seperti ini. "Oh ya, kamu tidak berusaha merayu karyawan perempuan di kantor kamu, kan?" Shinta bertanya lagi. Baru Rendi memuji Shinta, sifat asli pacarnya kambuh lagi. Hal itu membuatnya menarik kata-kata pujian itu dalam hati. "Shin, bagaimana aku bisa naksir? Kenal saja belum. Baru saja aku masuk kerja," sewot Rendi. Ia mengulang cerita betapa malunya ketika para staf di divisi pemasaran itu melirik sinis pada dirinya saat masuk ruang kerja. "Hari ini belum, tapi kapan-kapan bisa saja kan kamu naksir salah satu di antara mereka. Pokoknya aku tidak rela kamu naksir perempuan lain apalagi sampai selingkuh.” Kata-kata Shinta seakan mengancam hak kebebasan bersosialisasi Rendi. Ia sudah jengah dengan pembicaraan ini. Ia berharap waktu berjalan cepat dan memintanya kembali ke kantor. Pucuk dicinta ulam pun tiba. David datang menemui Rendi, memintanya segera kembali ke kantor karena jam masuk tinggal sepuluh menit lagi. Rendi teramat lega meski ia tidak menampakkan kesenangannya di depan Shinta. Sedangkan, Shinta kesal David datang mengganggu waktu romantisnya bersama Rendi. "Sudahlah Shin, aku harus balik ke kantor. Aku tidak mau terlambat lagi dan kena teguran dua kali sehari. Kamu pulang sendiri," pinta Rendi memohon pengertian Shinta. "Tapi sepuluh menit itu masih lama, Rendi!" Shinta menaikkan nada suaranya. "Heh, kamu tidak bisa atur Rendi seenak kamu ya! Kalian kan bisa pacaran lagi nanti sore." David menimbrung. Tanpa basa-basi lagi David menarik Rendi keluar dari restoran tersebut dan meninggalkan Shinta dengan kegeramannya. Di perjalanan Rendi menepuk-tepuk bahu David seraya berterima kasih karena rekannya itu telah menyelamatkan ia dari jeratan singa. *** Sore hari usai kuliah, Syila mampir ke rumah salah satu sahabatnya yang bernama Arfan. Ia ke sana untuk merevisi softfile skripsinya di laptop Arfan. Sebenarnya ia punya laptop, tetapi laptop miliknya sedang diperbaiki. Sehingga dalam merevisi skripsinya, ia meminta bantuan sahabat kala SMP-nya. "Makasih ya, Kak Arfan sudah banyak bantu aku menyelesaikan tugas akhir. Maaf juga kalau sering merepotkan Kakak." Syila meletakkan gelas berisi teh manis ke meja tamu usai menyeruputnya. "Santai saja, Syil. Kakak tidak merasa direpotkan kok. Tidak ada salahnya kan bantu sahabat?" Arfan menyeringai dan terkekeh. Syila mengangguk dan menyuratkan senyum. Arfan kemudian mematikan laptopnya dan mencabut flashdisk milik Syila. Skripsi Syila telah selesai direvisi dan siap dikonsultasikan ulang ke dosen pembimbing. "Syil, kamu yakin mau cetak skripsi sendiri? Kalau kamu mau, Kakak bisa bantu cetak skripsi kamu di kantor Kakak." Arfan mengembalikan flashdisk kepada Syila. Syila menggeleng tanda tak perlu. Ia tidak ingin merepotkan sahabatnya lebih banyak lagi. "Kalau begitu aku pulang dulu ya, Kak. Sekali lagi terima kasih," pamit Syila. "Kak Arfan antar ya?" Arfan menawarkan bantuan. "Hitung-hitung Kakak mau silahturahmi, sudah lumayan lama juga tidak mampir ke rumah kamu," lanjut Arfan. Syila mengangguk setuju. Beberapa saat kemudian Arfan memarkir mobil avanza miliknya dari garasi rumahnya. Setelah itu, Arfan menyuruh Syila naik di kursi depan. Mereka pun meninggalkan halaman rumah Arfan menuju rumah Syila. Arfan dan Syila memang sahabat yang amat akrab. Syila mengenal Arfan saat ia kelas satu SMP. Saat itu Arfan kelas dua dan menjabat ketua OSIS di sekolahnya. Perkenalan dimulai saat Syila terpilih menjadi bagian dari kepengurusan OSIS dan menjabat sekretaris. Hal tersebut menjadikan Syila dan Arfan sering berinteraksi intens untuk membahas program-program sekolah. Mereka mudah menerima satu sama lain sehingga mereka bisa akrab. Keakraban itu berlanjut hingga Syila sudah kuliah dan Arfan bekerja sebagai manager di PT ADI LAKSANA. *** Braaak!!! Pukul empat sore Rendi tiba di rumah dengan membanting tas kerjanya ke ruang tengah. Padahal ia baru membeli tas tersebut beberapa hari yang lalu. "ARRGH!" Rendi mengerang. Pikirannya kacau. Hari ini hari yang amat kacau untuk Rendi. Sudah terlambat di hari pertama, pacar malah menuntut banyak permintaan. Kepala Rendi serasa ingin pecah memikirkan semua itu. "Kenapa nasib aku tidak pernah baik?! Mengapa harus selalu aku yang mengalami kesialan?! Semua hal buruk menimpa aku. Kapan aku bisa merasa tenang?" Rendi menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Ia memejamkan mata untuk menenangkan pikirannya. Namun, usahanya sia-sia. Wajah Shinta muncul di benaknya saat ia memejamkan mata."ARRRGH!" PRANG! Rendi menyingkirkan kasar vas bunga di meja. Ia memang sulit mengendalikan emosi saat pikiran ataupun hatinya sedang stres. Ia terlalu terbawa amarah. Suara tangisan anak kecil menyadarkan Rendi dari marahnya. Ia mencari suara tersebut. Ia menemukan pemilik tangisan tersebut. Pemiliknya sedang bersandar di pintu kamar sembari menangis. Rendi segera menghampirinya. "Lisa, maafkan Kak Rendi, ya? Kakak sudah membuatmu menangis." Rendi berlutut. Wajahnya yang memerah seketika lenyap saat ia menatap penuh iba kepada satu-satunya adik perempuannya yang berusia sebelas tahun. "Lisa takut... hiks hiks... Lisa nggak suka... hiks... lihat Kak Rendi marah... hiks," ujar Lisa sambil terisak. "Iya, Kakak minta maaf. Kakak janji tidak akan marah-marah lagi di depan kamu. Jangan menangis lagi, ya." Rendi menyeka air mata adiknya, lalu memeluknya dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, Kak." Lisa melepaskan pelukan kakaknya. "Lisa boleh minta sesuatu?" tanya Lisa. "Kamu mau apa, sayang? Bilang saja, Kakak pasti turuti." Rendi mengelus pipi Lisa. "Lisa ingin dicarikan guru les di rumah. Nilai pelajaran Lisa selalu pas-pasan, tidak seperti teman-teman yang lain. Padahal Lisa sudah belajar, tapi nilainya tetap belum memuaskan," kata Lisa sambil menundukkan kepala. Rendi memalingkan wajahnya. Bibir bawahnya ia gigit. Ia merasa bersalah atas keadaan adiknya. Memorinya menelisik jauh ke belakang. Jauh saat keluarganya masih utuh. Di mana ia bisa mendapat semua yang ia minta dari orang tuanya. Kasih sayang, perhatian, dan pelukan nyata. Namun, sekarang rasanya amat sakit di dada Rendi. Melihat ketidakadilan menimpa adiknya. Ia harus besar dan hidup tanpa pernah merasakan kasih sayang orang tua. Sepuluh tahun yang lalu ayah dan ibunya memilih hidup masing-masing dan melepaskan tanggung jawab terhadap anak. Mereka melarikan kewajiban terhadap kedua anak mereka pada Bi Sumi, asisten rumah tangga di rumah Rendi saat ini. "Kak? Bisa, kan?" Lisa menunggu jawaban. Matanya berbinar mengharap jawaban yang positif. "Kamu tenang saja. Besok Kakak akan carikan kamu guru les." Senyum hangat tersungging di wajah Rendi. Lisa berterima kasih. *** Suara gesekkan sendok dan piring mengiringi aktivitas makan keluarga kecil Syila. Terpantau lima orang tengah duduk dengan manis menyantap tumis kangkong dan ikan bandeng goreng. Mereka adalah Syila, kedua orang tuanya, kakaknya, dan Arfan. Usai mengantar Syila pulang, Arfan diminta ikut makan bersama mereka. "Maaf ya, Bu, Arfan jadi merepotkan," ujar Arfan dengan canggung. "Ibu tidak merasa direpotkan kok. Ibu malah senang kamu datang ke rumah," balas Ibu Sukma. "Iya, Nak Arfan. Lagi pula, kamu ini sudah Bapak dan Ibu anggap seperti keluarga sendiri," timpal ayah Syila, Pak Abdul. "Sebentar lagi jadi keluarga beneran, nih," Hanif menggoda Syila yang sedang asyik makan. Syila mendengus kesal. "Oh ya, Syila, tadi Ibu bilang kamu sempat pulang dan bajumu kotor. Kamu kenapa?" tanya Ayah. Arfan terlihat semakin tertarik mendengarkan.Syila sebenarnya malas membicarakan hal tersebut lagi. Ia sudah melupakannya. Namun, ia harus menghormati pertanyaan ayahnya. Dengan penuh kesantunan ia menceritakan kembali kronologi yang membuat bajunya kotor. "Dan andai saja laki-laki itu mau sedikit bertanggung jawab antar Syila ke rumah, pasti Syila tidak akan telat bimbingan." "Tapi dia itu sudah bagus loh mau ganti rugi ongkos kamu." Ayah menanggapi. "Ayah kok jadi bela laki-laki itu?" Syila cemberut. "Ayah tidak membela dia. Dia tetap salah karena mengebut di jalan raya. Tapi dia kan sudah berusaha tanggung jawab ke kamu. Jangan mendendam seperti itu," jawab ayah. Syila mengembuskan napas kasar. "Pak, Bu, Arfan pamit pulang dulu. Sudah sore," kata Arfan sambil beranjak dari tempat duduknya. "Terima kasih ya, Arfan, sudah mau datang," ujar Ibu sambil mempersilakan Arfan untuk pulang. "Hati-hati di jalan, Kak," pesan Syila sambil mengantar Arfan sampai ke depan pintu rumah. Arfan mengucapkan salam sebelum melangkah pergi. "Syila, menurutmu laki-laki itu tampan nggak?" bisik Hanif tiba-tiba pada adiknya. Syila mendorong pelan lengan kakaknya, lalu bergegas menuju kamar.. *** Malam ini bintang-bintang tak menampakkan dirinya di langit gelap. Bulan sabit jua berkali-kali menyembunyikan pendarnya di balik awan. Angin perlahan mengirimkan dingin menusuk ke kulit Syila. Kini ia sedang menatap kesunyian langit malam dari jendela kamarnya. Matanya menerawang ragam hal. Terselip beberapa mimpi yang perlu diselesaikan segera. “Ku pikir hari ini sudah tidak ada revisi,” gumam Syila. Hari ini bukan pertama ataupun ketiga kalinya ia mengonsultasikan tugas akhirnya. Keharusan merevisi ia peroleh berulang-ulang baik dari dosen pembimbing pertama maupun kedua. “Bulan wisuda semakin dekat. Aku bisa tepat waktu tidak ya?” harap Syila, “Hufftt, Ya Allah, mudahkan aku, lancarkan urusanku. Aku mau sidang bulan ini.” Syila mengusapkan tangan ke wajahnya. ***Sore yang sempat diselipi hawa ketegangan—perlahan mereda oleh obrolan-obrolan receh antara Rendi dan Syila. Keduanya masih duduk bersisian di trotoar persis sebelah rumah Rendi. Mereka bersamaan menghirup udara sore yang menenangkan di tengah lalu lalang kendaraan yang memadati jalan. “Jadi? Masih mau diam atau udah bersedia cerita?” anya Syila pelan, suaranya setenang mungkin, meski matanya tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya.Rendi menggeleng, ia tak ingin membahas apa pun yang berkaitan dengan foto di jaket tadi. Syila pun mengangguk, mencoba memakluminya.“Udah semakin sore, kamu mau saya antar pulang?” tawar Rendi mengalihkan pembicaraan.Syila menerawang langit—sedang berpikir. Namun, belum selesai menimbang, sebuah mobil hitam membunyikan klakson dan berhenti tepat di hadapannya. Wajahnya seketika tegang lagi. Terpancar raut kegugupan dan ketidaknyamanan di wajahnya.Tak salah lagi, Syila tak keliru mengenali mobil itu. Pengemudi mobil itu menurunkan kaca jendela mobil
Hari ini Syila membantu Lisa mengerjakan PR-PR bahasa Inggrisnya yang lumayan banyak. Ada dua puluh lima soal esai yang harus dikerjakan Lisa. Tapi itu tak jadi masalah baginya selama ada Syila yang menuntunnya mengartikan kata demi kata yang tidak ia mengerti. Syila juga amat santai memberikan tuntunan materi bahasa Inggris kepada gadis kecil yang sudah seperti adiknya sendiri. Sesekali tugas terhenti karena Lisa harus mencari kosakata yang tidak ia ketahui lewat kamus. Selain itu, mereka juga mengisi pembelajaran dengan bercakap-cakap agar suasana tidak jenuh. Tiba-tiba ponsel Syila bergetar di sampingnya. Ia melirik sejenak—nama Arfan tertera di layar. Ia terpaku sesaat, jempolnya nyaris bergerak untuk menerima telepon tersebut. Namun, niatnya diurungkan. Ia hanya mengecilkan volume dering dan membiarkan ponselnya tergeletak begitu saja.“Maaf, Kak, aku masih perlu sedikit waktu,” batin Syila sebelum melanjutkan pembelajaran. Disela pembelajaran, Syila mengeluarkan buku hasil me
Menjelang sore hari, Syila duduk di kursi ruang tamu rumahnya. Tangannya berkutat dengan ponselnya. Ia sedang mencari berita terbaru terkait tes CPNS yang pendaftarannya dibuka dua minggu lagi. Ia masih menyimpan harapan bisa berangkat ke Solo. Setelah bekerja di rumah Rendi selama satu minggu, ia merasa uang tabungannya sudah bisa mencukupi kebutuhannya di Solo kelak. Terlebih Rendi membayar jasanya setiap pertemuan yang hanya berlangsung dua jam dengan harga seratus ribu rupiah. Angka yang cukup besar. Ia pun sempat menolak digaji setinggi itu. Namun, Rendi paham dengan kebutuhan dirinya sehingga dia memberikannya upah sebesar itu. Dikalikan dengan lima hari, uang itu sudah cukup bagi ia bertahan hidup dua hari di Solo. "Pendaftaran dua minggu lagi dibuka. Kira-kira formasi apa aja yang bakal tersedia ya?" pikir Syila mengamati layar ponselnya. "Semoga aja ada formasi yang nggak jauh dari Cilacap," harap Syila. Saat tengah asyik bermain ponsel, Bu Sukma datang menghampiri Syila.
Malam penuh bintang kembali menyapa. Angin malam menyejukkan badan yang penat. Tubuh yang terasa lemah kini lebih bergairah tersebab menatap keramaian langit. Sekarang, Syila baru saja memasuki kamarnya. Ia menata kasurnya sebelum ia tiduri. Sesekali, ia mengembuskan napas panjang, membiarkan pikirannya berkelana bersama gemintang yang berserakan di langit.Saat berbenah kamar, matanya tak sengaja melihat jaket hijau milik Rendi yang tergantung di balik pintu. Jaket itu sudah lumayan lama ada di sana sejak terakhir ia mencucinya. Setelah beberapa waktu, jaket itu berhasil menarik perhatian dan ingatannya. Ia pun meraih jaket itu, mengelus permukaannya sejenak, lalu bergumam lirih, "Besok aku harus kembalikan jaket Mas Rendi. Sekalian sama sapu tangan yang dulu juga."Tangan Syila refleks merogoh saku kanan dan kiri jaket itu. Ia menemukan sebuah foto ukuran 6x8 cm yang sudah lusuh karena terlipat. Dengan alis mengernyit, ia membuka lipatannya dan menatap foto tersebut. Ada seorang an
Perjalanan menuju terminal sore ini cukup bersahabat. Suasana jalanan belum terlalu ramai oleh orang-orang pulang bekerja. Rendi pun menikmati momen bersama Alyaa dengan lebih santai. Keduanya terlibat obrolan yang menyenangkan dan berusaha menghindari topik yang mengundang kesedihan.Rendi baru saja menceritakan kronologi kakinya yang pincang. Ia menyelamatkan Syila dari kecelakaan yang hampir merenggut keselamatan gadis itu. Karena aksinya itu, kakinya terserempet sehingga pincang.Alyaa tertegun mendengar cerita tersebut. Raut cemas jelas terpampang di wajahnya. Namun, ada perasaan lain yang mendadak timbul di benaknya. Hawa hangat tiba-tiba menjalar ke setiap anggota badannya kala mendengar nama Syila. Cerita Rendi menegaskan bahwa lelaki di sampingnya bertemu Syila Sabtu lalu. Alyaa masih sangat ingat, Syila mendadak pergi dari kedai. Sahabatnya bilang bahwa dirinya diminta pulang. Akan tetapi, hari ini ia mendengar fakta bahwa sahabatnya justru menemui Rendi di kantornya.“Jadi
Beberapa hari berlalu dengan suasana yang lebih baru. Hari ini cuaca cerah, langit membentang biru dengan awan tipis mengambang tenang. Namun, di balik keindahannya, ada nuansa sendu yang menggantung di hati Syila dan Marsya. Hari ini adalah hari keberangkatan Alyaa ke Jakarta, meninggalkan kota kecil tempat mereka bertiga tumbuh bersama.Di selasar rumah Alyaa, Syila dan Marsya duduk berdampingan, bersandar pada tiang kayu sambil menikmati semilir angin sore. Suasana sederhana, jauh dari hingar-bingar pesta perpisahan, namun penuh dengan kehangatan. Mereka berbagi cerita—tentang masa-masa kuliah dan hal-hal random yang pernah mereka lakukan, serta rencana masa depan yang tak mereka tahu apakah bisa dijalani bersama lagi.Sesekali tawa kecil mengiringi percakapan mereka, meskipun di sela-sela itu, ada kesadaran bahwa perpisahan semakin dekat. Syila menyodorkan sebuah bingkisan kecil ke arah Alyaa, matanya berbinar meski bibirnya sedikit gemetar menahan emosi."Kamu baik-baik di sana y