Share

Bab 3. Rentenir

***

Membaca komentar itu, hatiku benar-benar tak tenang. Batinku yakin kalau itu adalah benar-benar Irma menantuku.

Suara ketukan pintu menyadarkanku dari kerisauan. Suamiku pulang dari Masjid, ia mendekatiku saat didapatinya aku yang tak seperti biasanya.

"Kenapa sih?"

"Aaah, bukan apa-apa, Pa."

"Kalau bukan apa-apa, kenapa kelihatan risau begitu?"

Aku hanya diam, kupegang erat HP yang malah membuat suamiku curiga.

"Kamu sedang cemas karna apa?" tanyanya sambil meraih HP yang kupegang.

Diamatinya layar HP yang masih terbuka itu, ia usap beberapa kali.

"Hmmm, akun gossip? ini yang bikin kamu risau?"

"Bukan koook...!"

"Udah tau akun gosip, pasti banyak mengandung mudharat daripada manfaat. Begini deh contohnya, suami pulang, bukannya disambut dengan senyuman, malah wajah risau yang kelihatan."

"Is Papa, bukan karna akun gossip ini kok. Nah tuh, azan Isya. Mama mau ambil wudu dulu deh. Lagian Papa tumben pulang sebelum Isya?"

"Ah, itu... Papa rasa-rasanya malu sekali tadi di Masjid."

"Malu? kenapa Pa?"

"Seorang yang mengaku punya sangkut paut hutang piutang sama anak kita Romi, Ma."

"Hutang?!"

"Ya, dia bilang hutang berbunga pula."

"Rentenir, Pa?"

Suamiku mengangguk lesu,

"Ya, lima belas persen katanya."

"Astagfirullaah... berapa banyak hutangnya, Pa?"

"Tadinya sih sepuluh juta, sekarang udah jadi tiga belas juta. Dan akan terus bertambah, jika bulan ini tidak dibayar juga."

"Ya, Allah! bisa-bisanya si Romi. Kenapa dia bisa berhutang sih, Pa? bukannya dia punya gaji yang lumayan besar?"

"Iya, besar sih besar. Tapi kalau pengeluaran juga besar, sama saja itu."

"Pengeluaran apa sih, Pa? anak juga belum punya."

"Kredit mobil, karna khawatir mobil ditarik dan bisa mempermalukan citranya di depan tetangga, mau gak mau pinjam uang dari Rentenir."

"Lho? kan pasti sebelum ambil kredit, udah ada perhitungannya dong berapa sebulan?"

"Awalnya begitu, andai saja istrinya gak tergoda ikut arisan sana-sini."

"Astagfirullah, Papa tau darimana si Mila ada arisan di mana-mana?"

"Si Rentenir itu yang cerita. Dua bulan belum bisa bayar, karna ada arisan di sana-sini yang harus dibayar juga."

"Ya Allah."

***

Minggu pagi, di teras rumah. Aku dan Suamiku sedang duduk-duduk sambil minum teh. Tiba-tiba, Romi dan Mila datang dengan motornya yang direm mendadak tepat di depan kami.

"Assalamu'alaikum, Ma, Pa."

Romi dan Mila menyalami kami seperti sedang panik.

"Wa'alaikum salam. Kalian kenapa? kok kelihatan panik begitu?" tanyaku.

"Ma, Pa, tolong bantu kami dong."

"Bantuin apa?" aku sudah merasa ini pasti perkara hutang.

"Mas Romi dikejar-kejar Rentir Ma, Pa. Sekarang mereka ada di rumah. Hari ini harus dibayarkan minimal bunganya untuk bulan ini, kami gak punya uang sama sekali, Ma, Pa."

Suamiku tak menolehkan wajahnya pada mereka, ia mengalihkan pandangannya ke jalan di luar pagar halaman kami.

"Pa, gimana ini?" tanyaku.

"Kalian urus dan bertanggung jawablah atas perbuatan kalian sendiri!" Suamiku berdiri dan langsung melangkah masuk ke rumah.

"Pa! jangan begitu dong... Kasihan anak-anak." pintaku mencoba menahan langkah Suamiku.

"Anak-anak? mereka sudah dewasa. Seharusnya bisa berfikir yang matang, kalau memang tak punya uang tuk melunasi hutang itu, jual saja mobil kalian itu! kenapa harus merengek datang ke sini." tegas Suamiku.

"Pa, menjual Mobil juga butuh waktu, kami butuhnya uangnya sekarang. Hanya tiga belas juta saja. Setelah itu kami akan cicil pada Papa, sejuta sebulan, ya Pa." menantuku Mila mencoba membujuk Suamiku.

"Hanya tiga belas juta?! kalian pikir uang itu gampang didapatkan begitu saja? tiga belas juta kalian bilang hanya!"

Suamiku masuk ke dalam, ia tak menggubrisku yang menahannya untuk pergi.

"Ma, tolong dong." bujuk Mila padaku.

"Mama juga gak punya uang sebanyak itu, Nak." kataku gusar.

Tiba-tiba Mila meraih tangan kiriku, ia menatap lekat gelang emas di pergelangan tanganku.

"Ma! gimana kalau gelang ini kami pinjam dulu ya?! tolong dong Ma. Nanti dapat harga jualnya berapa, sisanya sama Mama, trus pembayaran kami cicil perbulan, ya Ma!?"

Romi yang melihat itu, langsung terlihat tak nyaman. Ia menepis tangan Mila yang masih memegang tangan kiriku.

"Hus! kamu lancang sekali." tegur Romi.

"Ya, terus kita harus gimana lagi coba?! kamu mau kita malu diliatin tetangga isi rumah kita diambilin sama Rentenir itu?"

"Makanya, aku udah bilangkan dari dulu sama kamu! jangan ikut-ikutan arisan! kamu ngeyel dibilangin!"

"Loh, kok kamu masih nyalahin aku! bukankah kemaren itu kamu yang bilang sama aku, semua terserah aku?"

"Kamu, ya? dibilangin masih aja ngeyel! membangkang sama suami, bukannya minta maaf!"

Mereka bertengkar tepat di depanku. Ini membuatku malu sekali, terlebih tetangga mulai terlihat mondar-mandir berlalu lalang di depan halaman rumah kami.

"Sudah! sudah! kenapa kalian jadi bertengkar begini?"

"Ya udah Ma, kalau Mama gak mau kami ribut seperti ini, tolong dong kami dibantu. Saat ini kami butuh banget gelang Mama itu. Mama kan gak butuh juga, cuma jadi hiasan saja di tangan, sedang kami udah darurat, Ma." ucap Mila menantutku dengan suara yang bisa didengar oleh tetangga sekitar.

"Tapi ini, hadiah dari Papa kalian." aku mulai tak bisa menahan rasa sedihku.

"Ma, kami janji akan mengganti yang sama persis dengan itu nanti, tolong dong Ma." Mila tak menyerah membujukku.

Kupandangi sekitar, tetangga sudah mulai bisik-bisik. Kulihat gelang emas yang melingkar di pergelangan tanganku, sekilas ada bayangan masa lalu yang terlintas.

Ini adalah gelang yang dibelikan suamiku dahulu saat anak-anakku masih remaja semua. Dulu, ia memiliki motor yang sudah tua, motor itu adalah motor yang menemaninya sejak masih muda. Dan seorang kollektor menawarkan harga yang lumayan tinggi untuk motor itu.

Karna menurut suamiku, motor itu akan terawat di tangan yang tepat, daripada tersimpan di rumah tak terpakai dan berkarat, motor itu akhirnya dijual, dan hasilnya dibelikanlah gelang emas ini untukku sebagai hadiah.

Aku masih ragu, namun kudapati anak dan menantuku itu kembali adu mulut. Ribut, dan Romi anakku hampir saja melayangkan tangannya ke wajah Menantuku.

"Astaghfirullah, Romi! sejak kapan kamu bisa sekasar ini?" tanyaku marah.

"Dia udah kurang ajar sekali, Ma!" jawab Romi yang masih emosional.

"Tampar saja! tampar! di depan tetangga-tetangga ini, mereka akan jadi saksi kamu melakukan KDRT padaku." Mila tak kalah emosionalnya.

"Sudah-sudah! ini, ambil saja gelang Mama. Kalian juallah, bayarlah hutang-hutang kalian!"

Mendengar itu, Mila langsung meraih tangan kiriku. Tanpa canggung sedikitpun ia buka gelang itu dari pergelangan tanganku, Romi yang melihat itu hanya bisa mengusap wajahnya dan berpaling.

Mila segera memasukkan gelang itu ke saku celananya, setelah mengucapkan terimakasih, ia melangkah pergi begitu saja, meninggalkan Romi yang masih emosional dan bingung harus bagaimana.

Romi pamit padaku, ia segera melangkah menuju motornya dan mengejar istrinya yang berjalan kaki sangat cepat di depan.

_________________

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status