Share

Bab 4. Adil

***

Saat Romi sudah pergi, aku masuk ke dalam. Kudapati Suamiku sedang berdiri di balik jendela ruang tamu. Rupanya dia mengamati kami sedari tadi dari dalam.

"Kenapa malah kamu berikan gelang itu, Ma?" tanya Suamiku.

"Mama gak punya pilihan lain, Pa, maafkan Mama ya. Lagian, mereka berjanji akan menyicilnya juga."

"Kamu percaya? Papa sih, enggak!"

"Jangan begitu Pa, sama anak dan menantu sendiri kok gak percayaan."

"Saran Papa, lebih baik Mama ikhlasin deh itu gelang. Anggap sudah hilang atau gak pernah ada sama sekali. Daripada nantinya berharap-harap setiap si Romi gajian, eh ujung-ujungnya, Mama yang sakit hati."

"Romi pasti menyicilnya, Pa."

Suamiku menghela nafas dalam, ia menggeleng-geleng dan menepuk pundakku.

"Jangan terlalu difikirkan, Pa. Yang penting sekarang, mereka udah gak dikejar-kejar sama Rentenir itu lagi."

"Awal mereka berhutang itu kan, karna telat bayar Angsuran mobilnya, kan? lantas, gimana tuh nantinya?"

"Ya sudahlah, mereka juga pasti memikirkannya. Sudah ah! jangan terlalu difikirkan."

"Asal gak datang lagi ke sini, merengek-rengek minta bantuan."

"Ya, namanya juga anak. Kemana lagi mereka minta tolong, kalau gak ke Orangtuanya?"

***

Siang hari suara ketukan pintu yang terdengar tak biasa membuatku harus buru-buru melangkah untuk membukakan pintu.

Setelah kubuka, kudapati Irma di depan pintu dengan wajah tampak tak senang, di susul oleh Irwan yang buru-buru turun dari motor dan melangkah mengejar Irma.

"Kalian? ayo masuk dulu!"

"Ma, beneran Mama kasih mas Romi gelang emas Mama?" tanya Irma tanpa basa-basi.

"Iya, kenapa Irma?" jawabku bingung.

"Kalau gitu, Mama juga bisa bayarin dong cicilan motor kami, mas Irwan udah gak sanggup tuh bayarin angsurannya setiap bulan. Apa perlu kami dikejar-kejar Rentenir juga, baru Mama mau bantu?!"

"Astagfirullah, kok bisa-bisanya kamu minta seperti itu, Irma?"

"Ma, maafkan Irwan Ma. Irma! kamu apa-apaan sih? ayo pulang!" desak Irwan menarik tangan Irma.

"Gak bisa dong Mas! mas Romi itu gajinya lebih besar dari kamu, punya mobil juga. Tanah untuk rumah yang dibagi sama Papa ke mas Romi juga lebih luas daripada yang dikasih sama kamu. Dan sekarang, hutang mereka juga dibayarin sama Mama. Ini beneran gak adil! jangan-jangan Mama sama Papa memang pilih kasih."

Irwan yang merasa Irma sudah keterlaluan, menarik tangan istrinya menjauhiku.

"Aaaaaah! aku gak perduli! pokoknya angsuran motor kita, Mama atau Papa yang bayarin!" Irma tiba-tiba teriak, suaranya memancing tetangga sekitar untuk mendekat.

Benar saja, tetangga satu per satu mendekati pagar rumah kami.

"Irma, Irwan! kita lebih baik masuk ya kedalam. Gak enak diliatin sama tetangga." pintaku pada mereka.

"Ah, gak mau! bukannya tadi kak Mila juga seperti ini? aku juga bisa mempermalukan diri sendiri, supaya Mama bisa adil sama kita, Mas!"

Aku mengelus dadaku, sesak terasa. Apakah aku salah membantu Romi dan Mila? apa iya, aku pilih kasih?

Aku masuk ke dalam, tak kuperdulikan Irma yang berteriak meminta keadilan di teras depan, bak seorang yang melakukan orasi di gedung DPR. Aku duduk di sofa, dadaku sesak. Kuambil HPku yang terletak di meja, kutelfon suamiku.

Beberapa menit kemudian, suamiku datang. Ia membawa Irma dan Irwan masuk ke dalam. Kamipun duduk bersama,

"Ada apa ini sebenarnya?" tanya Suamiku.

"Pa, maafkan Irwan. Irwan akan bawa Irma pulang, dan membicarakan ini di rumah."

Kulihat Irma hanya diam, tak seperti tadi yang berapi-api.

"Apa yang perlu dibicarakan?" tanya Suamiku lagi.

Irwan dan Irma saling berpandangan, dan Irwan kemudian membuka suara.

"Saya malu menanyakan ini Pa. Tapi, apakah benar Mama dan Papa membantu mas Romi menbayar hutangnya dari Rentenir?"

Mendengar pertanyaan Irwan, suamiku menghela nafas panjang,

"Tepatnya, kami meminjamkannya."

Irwan dan Irma lagi-lagi saling berpandangan,

"Ah, maafkan kami Pa. Sepertinya, Irma salah paham. Ia mengira, Mama memberikan gelang emasnya pada Mas Romi dengan cuma-cuma." kata Irwan gugup.

"Irma, darimana kau mendengar kabar ini?" tanya Suamiku.

"Irma melihat di story I* kak Mila, Pa."

"Apa isi storynya?"

Irma kemudian mengambil HPnya. Di sana Mila memposting gelang emasku, dengan caption,

'Mertua sekali-kali kadang baik juga sih, meski lebih sering nyebelin. Anak udah dipermalukan, baru deh mau bantu.'

Sepertinya, story itu tak ia tampakkan untukku Mertuanya.

Suamiku menghela nafas panjang, ia menatapku.

"Irma, jika suatu hari kamu punya dua anak. Dan salah satu anakmu mengalami kesulitan akibat kecerobohannya sendiri, apa yang akan kamu lakukan?"

Irma terdiam, ia menoleh pada Irwan.

"Apakah kamu akan tetap bertindak tegas, menyalahkan anak itu, dan menyuruhnya tetap bertanggung jawab sendiri dengan kecerobohannya itu?" Suamiku melanjutkan.

Irma tetap diam.

"Sebenarnya, tadi Papa juga melakukan hal itu. Namun, Mama kalian hatinya tidaklah setega itu. Ia lebih baik memberikan gelang kenangan dari Papa itu, daripada melihat anak menantunya bertengkar dan dipermalukan."

Irwan dan Irma terdiam.

"Mengenai tanah lokasi rumah kalian yang Papa bagikan. Menurut Papa itu sudahlah adil."

Irwan mendongak, ia kaget kenapa Papa bisa tahu dengan hal ini.

"Pa, Irwan tak mempermasalahkan ini."

"Tapi tadi, Mamamu menelfon Papa menyinggung masalah ini."

Irwan tampak gusar, ia mengusap-usap lututnya.

"Irwan, bukankah dahulu kamu yang meminta tanah yang letaknya strategis itu menjadi bagianmu? karna katamu, Irma pintar dalam bisnis, ia bisa membuka toko di sana." tanya Suamiku.

Irma dan Irwan saling menoleh satu sama lain.

"Dan Romi, menginginkan rumah yang masuk ke dalam. Maka dari itu, kalian mendapat bagian kalian masing-masing. Sekarang, mana usaha yang kamu katakan kemaren? kalau Papa perhatikan, lahan yang kalian pakai untuk rumah itu, sangat sayang sekali tidak dimanfaatkan."

"Irma lebih suka jualan via online, Pa. Lebih efisien, karna Irma sedang punya anak kecil." Irma membuka suaranya.

Suamiku mengangguk mengerti, ia kemudian berdiri.

"Baiklah, Papa kira ini sudah cukup. Apa kira-kira masih ada yang ingin kalian sampaikan?"

"Ah, tidak Pa! Irwan dan Irma akan pulang sekarang. Maafkan kami udah bikin kegaduhan di rumah ini."

***

Meski sudah sore hari, kejadian tadi siang tetap membuatku memikirkannya terus menerus. Aku bahkan malu untuk sekedar berdiri di teras rumah. Seolah-olah semua tetangga sedang membicarakan kami.

Teringat story I*******m Mila yang ditunjukkan Irma pada kami tadi. Bukankah kemarin dia bilang, dia sudah tak punya I*******m lagi?

Aku mulai penasaran dengan itu, ku ketik nama @irmaSehatIrwan di pencarian. Kutemukan sebuah akun privat. Bukankah dia berjualan online? kuperhatikan foto profilnya, gambar logo sebuah brand herbal. Kuperhatikan berapa orang yang mengikutinya, cukup banyak. Ada sekitar tiga ribuan, dan yang ia ikuti hanya beberapa puluh saja. Berarti, dia memang menjajakan produk yang ia jual di I*. Namun, kenapa harus diprivat?

Kuganti foto profilku dengan gambar kartun muslimah, kuubah nama akunku yang tak memakai namaku. Dan sekarang, kufollow akunnya, berharap dia tak perlu melakukan follow back.

Dan, semenit setelah ku follow. Benar adanya, ia tak berminat untuk follow back. Ini kesempatan bagus untuk mengetahui apa saja yang ia katakan di luar sana, batinku.

________________

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status