Share

Bab 4. Adil

Author: Beyouna
last update Huling Na-update: 2022-09-20 18:57:59

***

Saat Romi sudah pergi, aku masuk ke dalam. Kudapati Suamiku sedang berdiri di balik jendela ruang tamu. Rupanya dia mengamati kami sedari tadi dari dalam.

"Kenapa malah kamu berikan gelang itu, Ma?" tanya Suamiku.

"Mama gak punya pilihan lain, Pa, maafkan Mama ya. Lagian, mereka berjanji akan menyicilnya juga."

"Kamu percaya? Papa sih, enggak!"

"Jangan begitu Pa, sama anak dan menantu sendiri kok gak percayaan."

"Saran Papa, lebih baik Mama ikhlasin deh itu gelang. Anggap sudah hilang atau gak pernah ada sama sekali. Daripada nantinya berharap-harap setiap si Romi gajian, eh ujung-ujungnya, Mama yang sakit hati."

"Romi pasti menyicilnya, Pa."

Suamiku menghela nafas dalam, ia menggeleng-geleng dan menepuk pundakku.

"Jangan terlalu difikirkan, Pa. Yang penting sekarang, mereka udah gak dikejar-kejar sama Rentenir itu lagi."

"Awal mereka berhutang itu kan, karna telat bayar Angsuran mobilnya, kan? lantas, gimana tuh nantinya?"

"Ya sudahlah, mereka juga pasti memikirkannya. Sudah ah! jangan terlalu difikirkan."

"Asal gak datang lagi ke sini, merengek-rengek minta bantuan."

"Ya, namanya juga anak. Kemana lagi mereka minta tolong, kalau gak ke Orangtuanya?"

***

Siang hari suara ketukan pintu yang terdengar tak biasa membuatku harus buru-buru melangkah untuk membukakan pintu.

Setelah kubuka, kudapati Irma di depan pintu dengan wajah tampak tak senang, di susul oleh Irwan yang buru-buru turun dari motor dan melangkah mengejar Irma.

"Kalian? ayo masuk dulu!"

"Ma, beneran Mama kasih mas Romi gelang emas Mama?" tanya Irma tanpa basa-basi.

"Iya, kenapa Irma?" jawabku bingung.

"Kalau gitu, Mama juga bisa bayarin dong cicilan motor kami, mas Irwan udah gak sanggup tuh bayarin angsurannya setiap bulan. Apa perlu kami dikejar-kejar Rentenir juga, baru Mama mau bantu?!"

"Astagfirullah, kok bisa-bisanya kamu minta seperti itu, Irma?"

"Ma, maafkan Irwan Ma. Irma! kamu apa-apaan sih? ayo pulang!" desak Irwan menarik tangan Irma.

"Gak bisa dong Mas! mas Romi itu gajinya lebih besar dari kamu, punya mobil juga. Tanah untuk rumah yang dibagi sama Papa ke mas Romi juga lebih luas daripada yang dikasih sama kamu. Dan sekarang, hutang mereka juga dibayarin sama Mama. Ini beneran gak adil! jangan-jangan Mama sama Papa memang pilih kasih."

Irwan yang merasa Irma sudah keterlaluan, menarik tangan istrinya menjauhiku.

"Aaaaaah! aku gak perduli! pokoknya angsuran motor kita, Mama atau Papa yang bayarin!" Irma tiba-tiba teriak, suaranya memancing tetangga sekitar untuk mendekat.

Benar saja, tetangga satu per satu mendekati pagar rumah kami.

"Irma, Irwan! kita lebih baik masuk ya kedalam. Gak enak diliatin sama tetangga." pintaku pada mereka.

"Ah, gak mau! bukannya tadi kak Mila juga seperti ini? aku juga bisa mempermalukan diri sendiri, supaya Mama bisa adil sama kita, Mas!"

Aku mengelus dadaku, sesak terasa. Apakah aku salah membantu Romi dan Mila? apa iya, aku pilih kasih?

Aku masuk ke dalam, tak kuperdulikan Irma yang berteriak meminta keadilan di teras depan, bak seorang yang melakukan orasi di gedung DPR. Aku duduk di sofa, dadaku sesak. Kuambil HPku yang terletak di meja, kutelfon suamiku.

Beberapa menit kemudian, suamiku datang. Ia membawa Irma dan Irwan masuk ke dalam. Kamipun duduk bersama,

"Ada apa ini sebenarnya?" tanya Suamiku.

"Pa, maafkan Irwan. Irwan akan bawa Irma pulang, dan membicarakan ini di rumah."

Kulihat Irma hanya diam, tak seperti tadi yang berapi-api.

"Apa yang perlu dibicarakan?" tanya Suamiku lagi.

Irwan dan Irma saling berpandangan, dan Irwan kemudian membuka suara.

"Saya malu menanyakan ini Pa. Tapi, apakah benar Mama dan Papa membantu mas Romi menbayar hutangnya dari Rentenir?"

Mendengar pertanyaan Irwan, suamiku menghela nafas panjang,

"Tepatnya, kami meminjamkannya."

Irwan dan Irma lagi-lagi saling berpandangan,

"Ah, maafkan kami Pa. Sepertinya, Irma salah paham. Ia mengira, Mama memberikan gelang emasnya pada Mas Romi dengan cuma-cuma." kata Irwan gugup.

"Irma, darimana kau mendengar kabar ini?" tanya Suamiku.

"Irma melihat di story I* kak Mila, Pa."

"Apa isi storynya?"

Irma kemudian mengambil HPnya. Di sana Mila memposting gelang emasku, dengan caption,

'Mertua sekali-kali kadang baik juga sih, meski lebih sering nyebelin. Anak udah dipermalukan, baru deh mau bantu.'

Sepertinya, story itu tak ia tampakkan untukku Mertuanya.

Suamiku menghela nafas panjang, ia menatapku.

"Irma, jika suatu hari kamu punya dua anak. Dan salah satu anakmu mengalami kesulitan akibat kecerobohannya sendiri, apa yang akan kamu lakukan?"

Irma terdiam, ia menoleh pada Irwan.

"Apakah kamu akan tetap bertindak tegas, menyalahkan anak itu, dan menyuruhnya tetap bertanggung jawab sendiri dengan kecerobohannya itu?" Suamiku melanjutkan.

Irma tetap diam.

"Sebenarnya, tadi Papa juga melakukan hal itu. Namun, Mama kalian hatinya tidaklah setega itu. Ia lebih baik memberikan gelang kenangan dari Papa itu, daripada melihat anak menantunya bertengkar dan dipermalukan."

Irwan dan Irma terdiam.

"Mengenai tanah lokasi rumah kalian yang Papa bagikan. Menurut Papa itu sudahlah adil."

Irwan mendongak, ia kaget kenapa Papa bisa tahu dengan hal ini.

"Pa, Irwan tak mempermasalahkan ini."

"Tapi tadi, Mamamu menelfon Papa menyinggung masalah ini."

Irwan tampak gusar, ia mengusap-usap lututnya.

"Irwan, bukankah dahulu kamu yang meminta tanah yang letaknya strategis itu menjadi bagianmu? karna katamu, Irma pintar dalam bisnis, ia bisa membuka toko di sana." tanya Suamiku.

Irma dan Irwan saling menoleh satu sama lain.

"Dan Romi, menginginkan rumah yang masuk ke dalam. Maka dari itu, kalian mendapat bagian kalian masing-masing. Sekarang, mana usaha yang kamu katakan kemaren? kalau Papa perhatikan, lahan yang kalian pakai untuk rumah itu, sangat sayang sekali tidak dimanfaatkan."

"Irma lebih suka jualan via online, Pa. Lebih efisien, karna Irma sedang punya anak kecil." Irma membuka suaranya.

Suamiku mengangguk mengerti, ia kemudian berdiri.

"Baiklah, Papa kira ini sudah cukup. Apa kira-kira masih ada yang ingin kalian sampaikan?"

"Ah, tidak Pa! Irwan dan Irma akan pulang sekarang. Maafkan kami udah bikin kegaduhan di rumah ini."

***

Meski sudah sore hari, kejadian tadi siang tetap membuatku memikirkannya terus menerus. Aku bahkan malu untuk sekedar berdiri di teras rumah. Seolah-olah semua tetangga sedang membicarakan kami.

Teringat story I*******m Mila yang ditunjukkan Irma pada kami tadi. Bukankah kemarin dia bilang, dia sudah tak punya I*******m lagi?

Aku mulai penasaran dengan itu, ku ketik nama @irmaSehatIrwan di pencarian. Kutemukan sebuah akun privat. Bukankah dia berjualan online? kuperhatikan foto profilnya, gambar logo sebuah brand herbal. Kuperhatikan berapa orang yang mengikutinya, cukup banyak. Ada sekitar tiga ribuan, dan yang ia ikuti hanya beberapa puluh saja. Berarti, dia memang menjajakan produk yang ia jual di I*. Namun, kenapa harus diprivat?

Kuganti foto profilku dengan gambar kartun muslimah, kuubah nama akunku yang tak memakai namaku. Dan sekarang, kufollow akunnya, berharap dia tak perlu melakukan follow back.

Dan, semenit setelah ku follow. Benar adanya, ia tak berminat untuk follow back. Ini kesempatan bagus untuk mengetahui apa saja yang ia katakan di luar sana, batinku.

________________

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • CURHAT DONG, MA!?    Bab 14. Amanda

    ***Romi memandang Amanda sambil tersenyum. Romi juga memandang ke arah Suamiku yang tampak tenang dan siap mendengarkan penjelasan Romi. Aku yang sedari tadi menyiap-nyiapkan mental untuk mendengar pernyataan mereka, meremas seprai kuat-kuat. "Ada apa sebenarnya, Romi?" tanya Suamiku. "Anak yang ada di dalam kandungan Amanda ini, bukan anak Romi, Ma, Pa." ucap Romi santai. "Apa?!" aku terkejut. "Ya, ini anak dari sahabat Romi, Dodi Hartanto.""Ja, jadi, bagaimana ini sebenarnya, Romi?" tanyaku semakin cemas. "Ma, Pa. Ini adalah satu-satunya cara agar aku bisa bercerai dengan Mila.""Apa?!" aku semakin kaget. "Aku sudah lelah dituduh mandul terus sama dia. Ia dan keluarganya selalu membanggakan diri dan keturunan keluarganya, kalau mereka adalah keturunan yang subur. Dan akulah penyebab Mila tak kunjung hamil sampai sekarang. Ia tak mau dicerai, ia bahkan mengancamku jika aku menceraikannya, dia akan melakukan aksi menyiksa diri sendiri kemudian melapor ke Kantor Polisi agar aku

  • CURHAT DONG, MA!?    Bab 13. Bukti

    ***Pagi ini hari Minggu, Suamiku menemaniku ke kamar mandi, memandikanku, dan sekarang sedang memakaikanku pakaian. Setelah selesai, tiba-tiba suara ketukan beberapa kali terdengar. Si Mbak yang hendak ke Pasar, membukakan pintu. Si Mbak mengantarkan orang yang datang itu ke kamarku, dia adalah Mila. Mila sendirian saja, tapi kali ini dengan raut tenang dan terlihat santai. Mendapati kehadiran Mila yang tiba-tiba, aku dan Suamiku saling pandang heran, "Ada apa Mila? sepertinya ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Suamiku. "Yah, ini ada kaitannya dengan Selingkuhannya mas Romi." katanya santai. Aku dan suamiku saling memandang, mengapa pula Mila datang ke sini, jika untuk membahas masalah rumah tangga mereka? "Bukankah itu bisa kau sampaikan saja pada Romi?" tanya Suamiku. "Aku tadi baru saja pulang ke rumah. Kudapati perempuan itu di sana. Aku juga sudah menyampaikan ini pada mereka.""Apa? Romi sudah menempatkan perempuan itu di sana?" tanyaku kaget. "Kenapa Ma? bukankah M

  • CURHAT DONG, MA!?    Bab 12. Keputusan Romi

    ***Sepertinya, aku kembali pingsan. Kudapati diriku sudah terbaring di atas ranjang. Keadaan di mana Romi, Irwan dan Suamiku berada di kamar. Mereka mendekatiku saat tau aku sudah siuman. Menanyakan bagaimana yang kurasakan saat ini, dan apa keluhanku. Kutatap Romi lebih lama. Entah sejak kapan ada plester luka di dahinya, kuusap dahinya. "Ini kenapa?" tanyaku padanya. "Ii, ini luka, Ma." jawabnya. "Apa tadi Papamu memukulimu sampai terluka?" tanyaku melihat ke arah Suamiku. "Tidak Ma! ini bahkan sudah ada beberapa hari yang lalu.""Kenapa?" tanyaku curiga. "Dilempar sama Mila, Ma. Saat dia tahu aku menghianatinya."Kuhembuskan nafas beratku perlahan, kejadian tadi masih terasa baru saja terjadi. "Kemana Besan dan menantuku?" tanyaku mengitari pandangan ke semua arah. "Mereka sudah pergi." jawab Suamiku. "Masalah ini pasti berlanjut ke depan, takkan selesai begitu saja." gumamku. "Mereka pergi saat Mama pingsan. Alih-alih khawatir, Ibunya Mila malah mengkhawatirkan Video y

  • CURHAT DONG, MA!?    Bab 11. Perselingkuhan

    ***Gemetar aku meminta si Mbak mengambil Hpku. Si Mbak berlari segera ke dalam, kemudian menekan tombol untuk memanggil Romi dari Hpku. Begitu terhubung, kuminta Romi agar segera datang ke rumah ini. "Buk, tolonglah untuk tidak menggebu-gebu, atau terburu-buru menyimpulkan sesuatu. Majikan saya baru saja pulih dari struk, saya khawatir ini Buk." si Mbak berusaha memohon pada Ibunya Mila. "Terburu-buru bagaimana? jelas-jelas anak saya Mila sudah ditalak dan anak saya pulang hanya membawa sekoper pakaian pulang ke rumah saya! bagaimana bisa saya tidak menggebu-gebu dengan ketidak adilan ini?""Tak apa-apa Mbak, saya bisa menerima ini. Mila, apa benar Romi berselingkuh?" tanyaku perlahan pada Mila yang sedari tadi memasang gestur berlindung di belakang Ibunya. Mila melirik ke arah Ibunya, "Ya! dan dia menyalahkan aku. Katanya aku mandul, dan tidak bisa menghargai Ibunya."Deg! jantungku seperti berhenti berdetak. Ada rasa kecewa menyirami seluruh hatiku, bagaimana bisa anakku Romi m

  • CURHAT DONG, MA!?    Bab 10. Berusaha Sembuh

    ***Selepas kejadian kemarin sore, tekadku benar-benar kulaksanakan mulai pagi ini. Kupinta Suamiku untuk membimbingku berdiri di halaman. Awalnya, Suamiku menyarankan untuk tak perlu terburu-buru. Namun, aku sudah bertekad untuk segera pulih dari kelumpuhan ini. Kutahan kedua kakiku untuk bisa menopang tubuhku, kufokuskan fikiranku agar sebelah kakiku yang lumpuh ini bisa merespon perintah dari otakku. Namun, tak semudah itu. Kelumpuhan setengah badan sangatlah berat. Beberapa kali aku mencoba berdiri, namun tetap saja setengah dari tubuhku lunglai tak berdaya. Belum lagi para tetangga yang ikut melihat dan sesekali menyapa, membuat mentalku yang tadinya sudah mencoba berani, kini menjadi ciut dihantam rasa minder dan capek. "Udahan nih?" tanya Suamiku saat mendapatiku tak bersemangat lagi untuk mencoba berdiri. "Mama malu, Pa." jawabku menunduk. Suamiku melihat ke sekitar, beberapa tetangga masih setia berdiri di dekat pagar, menungguku kembali berdiri, seolah penasaran dengan

  • CURHAT DONG, MA!?    Bab 9. Saling Menyalahkan

    ***Sore hari, kudengar suara deru motor Suamiku. Ia pulang lebih cepat dari biasanya, namun sepertinya sangat terburu-buru. Kudengar suara langkahnya sangat cepat di balik jendela kamar. Ia masuk mengucapkan salam, dan disambut oleh Irma dan Mila yang masih asyik ngobrol di sofa ruang tamu. Tak lama kemudian, Romi dan Irwan tiba pula menyusul. Mereka serempak memarkirkan motornya di halaman dengan memasang wajah bingung. Aku melihatnya dari jendela kamar pula. "Mbak! bawa Ibuk ke sini!" perintah Suamiku pada si Mbak dengan nada tak biasa, seperti menahan marah. Tampak si Mbak berlari kecil menuju kamar, membantuku duduk di kursi roda, kemudian segera mendorongku ke ruang tamu. Kulihat Romi dan Irwan duduk gusar dan bingung, demikian kedua menantuku, masing-masing mendekat ke suaminya dengan wajah yang tak nyaman dan bingung pula. Setelah aku di dorong mendekat dengan Suamiku. Kulihat suamiku membuka tasnya, mengeluarkan Laptopnya dan menyalakannya. Tampak ia membuka sebuah Apli

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status