Share

Bab 14

Author: Mariahlia
last update Last Updated: 2024-10-10 22:28:24

"Bude, Nisa di sini sudah empat hari, kayaknya Nisa udah baik-baik aja deh bude. Nisa mau pulang aja." Kondisi Nisa sebelumnya belum pulih benar, Nisa terpaksa berbohong pada bude Sira karena merasa tak enak hati terus menerus di rumah sakit ini. Biar bagaimanapun biaya di rumah sakit ini pasti besar. Terlebih dirinya sudah terlalu merepotkan Bude Sira serta Desi. Semestinya mereka saat ini berjualan di rumah, dan mengumpulkan uang. Tapi, karena Nisa mereka tak mendapatkan uang.

Sungkan, jelas tentu, siapa yang tak sungkan. Bude Sira bukan saudara dirinya sendiri. Ya, walaupun bude Sira keluarga sang suami, tapi tetap Nisa tak enak hati.

Walaupun perempuan paruh baya itu tak mengeluh sama sekali dengan semua ini, tapi tetap saja Nisa merasa tak enak hati.

"Nis, kata dokter jahitan kamu belum kering. Kita tunggu sampai jahitan operasi kamu kering dulu ya sayang. Biar kamu istirahat saja dulu di sini. Kamu tenang saja ya, bude dan Desi pasti menemani kamu" ucap bude Sira lembut.

Tapi,
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 104

    Malam di Desa Larung terasa lebih pekat dari biasanya. Angin berhembus membawa dingin yang menusuk tulang. Para santri yang sebelumnya masih bergumam wirid kini telah kembali ke bilik masing-masing, meski sebagian besar memilih untuk tetap menyalakan lampu pelita. Tidak ada yang berani tidur dalam kegelapan sejak sosok berkerudung hitam itu menampakkan diri.Arthayasa duduk di serambi rumah, keris pusaka tergeletak di pangkuannya. Cahaya bulan merah menyoroti wajahnya yang letih, tetapi matanya masih menyimpan api yang tak padam. Sejak kejadian malam itu, dadanya terasa lebih berat. Ada semacam ikatan tak kasat mata yang membelit dirinya, seperti tali gaib yang menahan dan sekaligus menarik ke dalam kegelapan.Ayudia duduk tak jauh darinya, mengayun pelan gendongan bayinya. Ia nyaris tidak bisa memejamkan mata sejak suara-suara itu muncul. Setiap kali terpejam, ia merasa ada mata lain yang mengawasinya dari balik tirai kegelapan.“Artha…” suara Ayudia lirih, pecah karena lelah. “Apa k

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 103

    Langit pagi di Desa Larung tampak lebih jernih daripada biasanya. Seolah-olah hujan semalam yang turun tipis sudah mencuci segala kegelapan yang menggantung di udara. Awan putih bergerak pelan, sinar matahari menembus pepohonan, jatuh di halaman rumah Arthayasa yang semalam penuh doa dan jerit perlawanan.Namun, di balik keheningan itu, ada rasa ganjil yang masih tertinggal. Angin yang berhembus membawa aroma tanah basah bercampur sedikit anyir, seperti sisa-sisa pertempuran gaib yang belum benar-benar lenyap.Arthayasa duduk di serambi rumah, tubuhnya masih lemah. Keris warisan leluhur yang semalam ia tancapkan di tepi Sendang Larung kini tergeletak di sampingnya, berselimut kain putih. Ujungnya masih menyimpan kilau samar, seolah-olah benda itu sedang beristirahat, sama seperti tuannya.Ayudia keluar membawa mangkuk bubur hangat. Wajahnya pucat, tetapi matanya berbinar, ada lega sekaligus khawatir. Bayinya tertidur di dalam gendongan kain, napasnya teratur meski sesekali bibir mungi

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 102

    Angin pagi di desa itu terasa lebih berat dari biasanya. Matahari memang sudah menampakkan sinarnya, tapi seolah kehangatannya tertahan oleh tabir tipis yang tak kasatmata. Burung-burung yang biasa ramai berkicau di pepohonan kini hanya terdengar sesekali, dengan nada yang sumbang dan pendek, seperti ikut menyadari sesuatu yang sedang bersembunyi di balik alam.Di halaman rumah Arthayasa, beberapa santri duduk melingkar, membaca wirid dengan suara lirih. Obor yang semalam dinyalakan belum sepenuhnya dipadamkan, sisa asapnya masih mengepul tipis ke udara. Ki Darmaya berdiri di tengah halaman, matanya menerawang jauh ke arah timur, tempat Sendang Larung berada.“Waktu kita sempit,” gumamnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Tujuh malam… hanya tujuh malam.”Arthayasa keluar dari rumah dengan langkah sedikit gontai. Luka di tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi ia memaksa diri untuk tetap tegak. Keris warisan yang selalu menemaninya kini terselip erat di pinggang, seolah menj

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 101

    Angin malam di tepi Sendang Larung belum juga mereda, meski tangan hitam Jagal Hitam telah berhasil ditekan kembali ke dasar. Api obor bergoyang-goyang seakan menari dalam kegelisahan, memantulkan bayangan panjang di wajah para santri yang pucat pasi. Beberapa dari mereka terduduk lemas, masih menggigil akibat aura mencekam yang sempat menyelimuti tempat itu.Ki Darmaya menyeka keringat di keningnya, napasnya berat, tetapi ia tetap tegak berdiri di sisi Arthayasa. “Nak Artha,” ucapnya dengan suara bergetar, “malam ini kau sudah melakukan sesuatu yang hampir mustahil. Tapi jangan lengah. Roh itu belum musnah. Ia hanya terkurung kembali. Ingatlah pesanku: selama gerbang masih terbuka, ia akan selalu mencari jalan.”Arthayasa masih berlutut, kerisnya menancap di tanah basah. Darah yang menetes dari lukanya bercampur dengan lumpur, membentuk pola aneh seperti garis-garis yang berkilau samar di bawah sinar bulan. Dadanya naik turun cepat, sementara matanya menatap kosong ke arah air sendan

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 100

    Keesokan harinya, Arthayasa mendatangi Ki Darmaya. Wajahnya tegas, meski jelas sekali kelelahan menghantam tubuhnya. “Ki, aku ingin melaksanakan ritual Kawelasan Purnama itu. Aku tidak peduli risikonya.” Ki Darmaya menggeleng perlahan. “Nak Artha, ritual itu bukan hal sepele. Jika gagal, roh Jagal Hitam akan menjadikan tubuhmu sebagai wadah. Kau akan kehilangan jiwamu, dan anakmu tetap tidak selamat.” “Lebih baik aku yang menanggungnya, daripada anakku jadi korban,” sahut Arthayasa mantap. Ki Darmaya menatapnya dalam-dalam, lalu akhirnya menghela nafas. “Baiklah. Tapi kau harus tahu, ritual ini hanya bisa dilakukan di tempat roh itu dikurung—Sendang Larung. Dan hanya bisa dilakukan saat bulan purnama. Itu berarti… dua malam lagi.” Arthayasa mengangguk, menggenggam kerisnya erat. “Aku siap.” Malam itu, Arthayasa tertidur lelap karena terlalu letih. Dalam tidurnya, ia bermimpi berada di tepi sendang yang sunyi. Airnya hitam pekat, memantulkan cahaya bulan seperti cermin retak. Da

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 99

    Hujan mulai reda menjelang tengah malam, meninggalkan aroma tanah basah yang pekat dan kabut tipis yang merayap dari arah hutan jati. Desa kecil itu masih dirundung duka. Jenazah Ki Sangkala baru saja dikebumikan sore tadi, dan malam ini, langit seakan ikut menyesali kepergiannya dengan mendung yang enggan terbuka. Di rumah Arthayasa, lampu minyak masih menyala temaram. Ayudia sudah tertidur, kelelahan setelah menyusui bayinya. Arthaputra, bayi kecil yang lahir di malam penuh petir itu, kini berbaring tenang di samping ibunya. Nafas mungilnya naik turun dengan ritme yang membuat hati siapa pun luluh. Namun tidak bagi Arthayasa. Ia duduk di serambi, menatap kosong ke arah gelap sawah yang tertutup kabut. Di tangannya, keris pusaka keluarganya berkilat samar terkena cahaya lampu. Bayangan wajah Ki Sangkala, luka di dadanya, dan tanda hitam berbentuk telapak cakar itu terus menghantui pikirannya. Sejak Ki Darmaya datang dan menyebut nama Sang Jagal Hitam, tidur Arthayasa tak lagi pe

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status