Share

Bab 15

Author: Mariahlia
last update Last Updated: 2024-10-15 08:18:24

"Ya ampun Sari sayang, kamu bawa apa itu? Banyak sekali makanan yang kamu bawa?" Mirna menyambut calon menantunya itu dengan rasa penuh gembira.

Sari tersenyum lebar. Menyerahkan beberapa bingkisan pada Mirna. "Cuman makanan biasa kok Bu. Semoga ibu dan Kemuning suka ya." Kata Sari sambil tersenyum lebar. Tangannya memamerkan emas yang menggantung di bagian tubuhnya itu.

Mirna meneguk ludahnya susah payah. Rasanya pengen banget memiliki emas banyak seperti itu. Dan jika saja, anaknya Doni berhasil menikah dengan Sari, dirinya akan mendapatkan keuntungan yang luar biasa, termasuk emas yang berjejer di tubuh wanita itu.

"Ayo kita makan bersama-sama" Mirna menggamit lengan Sari, namun Sari malah mengibaskan tangan Mirna.

Sari juga mengambil tisu yang ada di dalam tasnya. Lalu membersihkan bekas tangan Mirna yang ada di lengannya itu.

"Biar nggak ada kumannya buk. Ibuk juga pasti nggak bersih kan? Lihat, bajunya juga lusuh sekali." Ucap Sari menatapi Mirna dengan pandangan jij
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Cacian Keluarga Suami Ku    S2 bab 51

    "Nek, saya mau jalan-jalan sebentar ya nek." Ayudia pamit pada nenek yang sedang duduk di depan dipan.Nenek tersenyum, menganggukkan kepalanya. "Iya nak, silahkan, tapi jangan lama-lama pulangnya ya?""Iya nek."Ia lalu berjalan menuju ke rumah tetangga, walaupun matahari masih terik, tapi ia entah mengapa ingin pergi ke rumah Bu Rini. Dan setelah sampai di sana, ia di sambut oleh wanita itu, dan di ajarkan memetik daun singkong.Sampai beberapa jam kemudian. Langit sore itu berwarna keemasan, menumpahkan cahaya hangat ke permukaan sawah yang sudah mulai mengering. Angin mengibaskan ujung rambut panjang Ayudia ketika ia berjalan menyusuri jalan setapak berdebu, membawa keranjang kecil berisi daun singkong hasil dari belajar tadi siang di warung Bu Rini. Ia merasa sedikit lega, setidaknya kini ia tidak hanya menjadi bahan gosip, tapi juga mulai diterima—walau sedikit. Namun, langkahnya terhenti ketika dari kejauhan ia melihat tiga pemuda desa nongkrong di bawah pohon jati dekat ti

  • Cacian Keluarga Suami Ku    S2 bab 50

    Ayudia sedang duduk di teras belakang rumah nenek ketika suara-suara khas ibu-ibu desa mulai terdengar dari arah jalan kecil yang membelah sawah. Suara ketawa cekikikan, diselingi bisik-bisik tajam seperti jarum menusuk hati. Ia tidak perlu mengintip pun tahu, pembicaraan itu pasti tentang dirinya. “Udah kayak sinetron itu lho, Mbak kota datang nyari jodoh desa, tapi cowoknya kayak batu es,” bisik Bu Samirah pada Bu Murni, sambil melirik tajam ke arah rumah nenek Ayudia. “Ya Allah, padahal anak-anak kita aja kalau disuruh cuci piring masih mending, lha itu, boro-boro,” sahut Bu Murni yang memang hobi ‘menyelidiki’ orang baru. Ayudia menarik napas panjang. “Astaga... baru juga beberapa hari di sini, gosipnya udah kayak wartawan infotainment,” gumamnya kesal. Namun suara-suara itu makin jelas ketika para ibu-ibu itu berhenti tepat di depan pagar rumah nenek. “Pagi, mbak! Wah, cantik banget bajunya hari ini. Pasti buat ketemu mas Arthayasa, ya?” seru Bu Marni, pura-pura ramah tapi

  • Cacian Keluarga Suami Ku    S2 bab 49

    Ayudia duduk di dapur kecil dengan cangkir teh yang hampir dingin di tangannya. Pagi itu begitu sepi, meski burung-burung mulai bercicit dan embun masih menempel di rerumputan. Suara ayam berkokok bersahut-sahutan dari kejauhan, tapi Ayudia merasa dirinya seperti berada dalam ruang kosong. Ia belum mandi. Matanya sembab karena semalaman nyaris tidak tidur. Bayangan anak kecil di bawah pohon mangga itu terus berputar di kepalanya. Bukan hanya karena sosoknya yang menyeramkan, tapi karena ekspresi wajahnya. Wajah yang begitu tenang... namun menyimpan kesedihan mendalam. Sementara itu, Arthayasa duduk di bale bambu depan rumah seperti biasa, memandangi sawah yang mulai menguning. Boneka Laira kini terbungkus dalam kain putih dan diletakkan di kotak kecil di ruang tengah. Tak ada satu pun yang menyentuhnya, kecuali Arthayasa. Nenek keluar dari dapur, membawa sekeranjang pisang mentah. Ia tersenyum hangat pada Ayudia. "Tidurmu nggak nyenyak, ya, Nak?" tanyanya pelan. Ayudia me

  • Cacian Keluarga Suami Ku    S2 bab 48

    Langit sore di Desa Tegal Asri mulai menguning. Cahaya matahari membentuk bayang-bayang panjang di jalanan tanah yang membelah pematang sawah. Burung-burung kembali ke sarangnya, dan semilir angin membawa harum jerami basah serta suara lembut dari gamelan radio tua di salah satu rumah penduduk. Di tengah ketenangan itu, sebuah mobil hitam berdebu perlahan memasuki desa. Mobil itu mencolok di antara barisan sepeda dan motor bebek tua. Anak-anak kecil yang sedang bermain kejar-kejaran berhenti dan memandang takjub. Beberapa petani yang hendak pulang menatap dengan pandangan heran. Arthayasa sedang duduk di bale bambu depan rumah neneknya, memperbaiki gagang cangkul dengan pisau kecil. Ia menoleh saat mendengar suara mobil. Matanya menyipit. Dari mobil itu, turun seorang perempuan muda dengan koper besar beroda. Pakaiannya elegan dan modis: blazer krem, celana kain putih, dan sepatu hak tinggi yang langsung terperosok di tanah becek. “Astaga… lumpur,” keluh perempuan itu, mengangkat

  • Cacian Keluarga Suami Ku    S2 bab 47

    Pagi itu, langit cerah dengan semburat jingga keemasan membentang di timur. Cahaya matahari menyusup lembut melalui celah-celah dedaunan, menimbulkan pantulan keemasan di embun yang menempel di rumput dan dedaunan. Pohon mangga tua di samping rumah tampak anggun dan tenang, seolah telah menyelesaikan satu putaran kisah yang lama terpendam. Namun, bagi Arthayasa, semuanya belum selesai. Meski malam tadi ia berhasil mengantar Laira pergi dalam damai, firasat dalam dadanya berkata lain. Ada sesuatu yang belum selesai, belum tuntas… sesuatu yang masih tertinggal di rumah tua di seberang sawah. Rumah milik keluarga Darmaji. Setelah sarapan seadanya bersama neneknya—nasi jagung, sayur bayam, dan tempe goreng—Arthayasa menatap sawah yang menghampar hijau di depan rumah. Kabut pagi mulai menipis, memperlihatkan siluet bangunan reyot di kejauhan: rumah kosong yang disebut-sebut ditinggalkan secara tiba-tiba oleh keluarga Darmaji bertahun-tahun silam. “Thaya… kamu beneran mau ke rumah i

  • Cacian Keluarga Suami Ku    S2 bab 46

    Pagi datang dengan sinar mentari yang malu-malu menembus kabut tipis. Udara masih basah oleh embun, dan daun-daun pohon mangga di samping rumah bergoyang perlahan. Seolah mengingatkannya bahwa semalam bukan sekadar mimpi. Arthayasa terbangun di dipan tua di dekat jendela, masih dalam posisi duduk, kepala bersandar di kusen kayu. Kelopak matanya sembab, tapi wajahnya terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Ia bangkit pelan, menyalakan air untuk mandi, lalu duduk sebentar di depan rumah. Neneknya menyusul beberapa menit kemudian dengan nampan berisi teh dan sepiring pisang rebus. “Kamu tidur di sana semalaman?” tanya nenek, meletakkan nampan di meja kayu kecil. Arthayasa hanya mengangguk. Ada banyak hal yang ingin ia ceritakan, tapi lidahnya kelu. Ia menatap pohon mangga tua yang berdiri anggun di samping rumah. Dahan-dahannya menjuntai seperti lengan yang siap merangkul siapa pun yang mendekat. “Nek…” suara Arthayasa pelan. “Dulu, waktu aku kecil… aku sering main sama anak pere

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status