Share

S2 bab 126

Author: Mariahlia
last update Last Updated: 2025-10-10 07:48:48

Kabut turun lebih cepat malam itu. Dari kejauhan, suara serangga berhenti satu per satu, seperti ada tangan raksasa yang meremas seluruh hutan menjadi sunyi. Artha berdiri di beranda rumahnya, tubuhnya kaku, matanya menatap ke arah batas desa. Di sanalah kabut menggelayut pekat—menelan jalan tanah, sawah, dan pohon-pohon besar yang menjadi pagar alam.

Udara berbau tanah basah dan sesuatu yang lebih tajam—seperti getah pohon yang membusuk perlahan.

“Artha.”

Suara lirih itu membuatnya menoleh cepat. Ayudia berdiri di ambang pintu, rambutnya tergerai acak-acakan, wajahnya pucat pasi. Kedua tangannya memegang ujung selimut yang masih menempel di bahunya.

“Dia ke hutan, kan?” tanyanya tanpa suara tangis, hanya getar ketakutan yang sangat dalam.

Artha tak menjawab. Tak perlu. Pandangan mereka bertemu, dan dalam sekejap, Ayudia jatuh berlutut. Suaranya pecah, tangannya menutup wajah.

“Reno… anak kita…”

Artha mengepalkan tangan, begitu keras sampai buku jarinya memutih. Ia tahu suara Ayudia b
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 126

    Kabut turun lebih cepat malam itu. Dari kejauhan, suara serangga berhenti satu per satu, seperti ada tangan raksasa yang meremas seluruh hutan menjadi sunyi. Artha berdiri di beranda rumahnya, tubuhnya kaku, matanya menatap ke arah batas desa. Di sanalah kabut menggelayut pekat—menelan jalan tanah, sawah, dan pohon-pohon besar yang menjadi pagar alam.Udara berbau tanah basah dan sesuatu yang lebih tajam—seperti getah pohon yang membusuk perlahan.“Artha.”Suara lirih itu membuatnya menoleh cepat. Ayudia berdiri di ambang pintu, rambutnya tergerai acak-acakan, wajahnya pucat pasi. Kedua tangannya memegang ujung selimut yang masih menempel di bahunya.“Dia ke hutan, kan?” tanyanya tanpa suara tangis, hanya getar ketakutan yang sangat dalam.Artha tak menjawab. Tak perlu. Pandangan mereka bertemu, dan dalam sekejap, Ayudia jatuh berlutut. Suaranya pecah, tangannya menutup wajah.“Reno… anak kita…”Artha mengepalkan tangan, begitu keras sampai buku jarinya memutih. Ia tahu suara Ayudia b

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 125

    Langit malam berikutnya tampak ganjil—tidak benar-benar gelap, tapi juga bukan terang. Awan menggantung rendah, seolah menahan sesuatu di baliknya. Artha duduk di ruang tamu, kedua tangannya gemetar di pangkuan.Di meja depannya, jimat kayu yang tadi sore ia genggam kini terbelah dua. Retakannya dalam, seolah dirobek dari dalam, bukan patah karena tangan manusia.Ayudia keluar dari kamar dengan wajah pucat.“Artha,” suaranya hampir tidak terdengar, “Reno… dia bicara dalam tidurnya lagi.”Artha menoleh cepat. “Apa yang dia katakan?”“Ia memanggil nama yang sama seperti dulu. Nama itu... yang ada di altar lama.”Darah Artha dingin seketika. Nama itu sudah tujuh tahun terkubur bersama tanah, bersama tubuh dan ritual yang seharusnya mengikat roh itu selamanya.Ia bangkit, melangkah ke kamar Reno.Pintu kamar terbuka sedikit. Dari celahnya, terlihat Reno duduk di ranjang, punggungnya tegak. Rambutnya menutupi sebagian wajah. Lilin di samping ranjang menyala lebih terang dari seharusnya, ca

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 124

    Artha duduk di beranda, menatap sore yang mulai turun. Angin membawa aroma tanah dan suara serangga, tapi pikirannya melayang jauh. Di tangannya, ia memegang potongan kecil kayu berbentuk jimat—sisa terakhir dari altar lama yang dulu ia hancurkan.Langkah kecil terdengar dari dalam rumah.“Ayah,” panggil suara lembut itu.Anaknya berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun putih sederhana. Rambutnya pendek, matanya hitam legam—terlalu dalam untuk anak seumurannya.“Kenapa diam di luar, Yah?”“Ayah cuma... mengingat sesuatu,” jawab Artha dengan senyum kecil. “Kau sudah selesai belajar dengan Ibu Ranu?”Reno mengangguk. “Ibu Ranu bilang aku cepat belajar menulis doa. Tapi... waktu aku menulis nama Tuhan, tinta di kertasnya berubah merah. Ibu Ranu tidak marah, tapi dia terlihat takut. Kenapa, Pa?”Artha menatapnya lama. Pertanyaan itu sederhana, tapi nadanya... seperti bukan dari anak kecil.“Itu cuma... mungkin tinta itu sudah tua,” katanya akhirnya.Reno menatapnya sebentar, lalu berjala

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 123

    Udara desa kembali berubah sejak malam itu. Awalnya, semua tampak tenang. Tidak ada lagi asap hitam, tidak ada suara jeritan di tengah malam, dan altar terkutuk telah benar-benar hancur. Namun ketenangan itu hanya seperti genangan air di atas permukaan rawa—tenang di luar, tapi di bawahnya, sesuatu masih bergerak, menunggu saatnya muncul kembali. Tiga hari setelah kejadian itu, Artha mulai bisa berjalan, meski tubuhnya masih lemah. Ayudia menemaninya setiap langkah, menyuapi, membersihkan luka, dan menenangkan mimpi buruk yang selalu datang setiap malam. Mimpi yang sama—tentang hutan larangan, tentang suara perempuan berjubah hitam yang terus memanggil namanya. Kadang dalam mimpinya, ia melihat dirinya sendiri berdiri di depan altar, bukan sebagai korban, melainkan sebagai penjaga. Dan di belakangnya, Ayudia membawa bayi mereka, menangis dalam kabut hitam. Setiap kali ia terbangun, tubuhnya menggigil, keringat dingin membasahi bantal. Tapi anehnya, bayi mereka—yang diberi nama Ra

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 122

    Pagi itu, sinar matahari jatuh ke desa seperti berkah yang sudah lama hilang. Udara terasa ringan, seolah kabut yang bertahun-tahun menghantui desa mendadak sirna bersama runtuhnya altar terkutuk. Burung-burung kecil yang jarang sekali menampakkan diri kini berkicau di dahan pohon, dan angin yang bertiup membawa aroma tanah basah serta dedaunan segar. Namun di balik kelegaan itu, ada kecemasan yang masih mengakar. Rumah kayu milik Artha, yang berdiri di tepi desa dengan halaman sederhana, kini menjadi pusat perhatian. Warga berkumpul, berdoa, sebagian menitipkan makanan, obat-obatan, atau sekadar duduk di beranda sambil menunggu kabar baik. Artha masih terbaring di ranjangnya. Tubuhnya hangat, napasnya teratur, tapi seperti orang yang tidur panjang. Ayudia duduk di sampingnya, tidak pernah jauh, memegang tangannya erat seolah takut jika ikatan itu putus begitu saja. Matanya sembab karena tangis, tapi penuh cinta dan kekuatan. Di pangkuannya, bayi kecil mereka sesekali merengek, lal

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 121

    Malam itu, langit desa masih diselimuti cahaya bulan pucat. Awan tipis bergerak perlahan, seakan-akan enggan menutupi bulan yang menjadi satu-satunya saksi perjuangan mereka. Angin malam bertiup lembut, namun bagi Ayudia, setiap hembusan angin terasa menusuk, membawa kecemasan yang tak terkatakan.Ia masih berlutut di samping tubuh Artha. Air matanya jatuh membasahi wajah pucat suaminya, sementara bayi kecil di pelukannya menangis, seperti merasakan duka yang sama.“Artha… dengar aku. Aku di sini. Aku dan anakmu menunggumu. Jangan pergi, tolong jangan tinggalkan kami…” suaranya pecah, gemetar, bercampur dengan tangis bayi yang semakin keras.Raden duduk terengah, menatap sahabatnya dengan mata merah. Tombak yang tadi digenggamnya tergeletak di tanah, penuh goresan dan noda tanah. “Aku tak bisa membayangkan jika dia benar-benar tak kembali…” gumamnya lirih.Saka menunduk, tangannya yang masih menggenggam pedang gemetar. “Dia satu-satunya alasan kita semua bisa keluar hidup-hidup dari h

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status