Suara sirene semakin mendekat. Cahaya biru-merah dari mobil patroli mulai terlihat membelah gelapnya malam di kejauhan. Tapi Arthayasa, Surya, dan Pak Tyo tak mengendurkan langkah. Mereka terus berlari melewati lorong kanal belakang, napas memburu, tubuh berlumur lumpur dan darah, dan dalam pelukan Arthayasa—Ayudia menggigil dalam diam.Tangannya mencengkeram baju pria itu seakan nyawa tergantung padanya.“Gue yang nyetir,” ucap Surya cepat saat mereka mencapai mobil van yang ditinggalkan dalam semak-semak.Pak Tyo segera naik ke kursi depan, memeriksa jalur yang sudah dia rancang seminggu sebelumnya. “Kita bawa dia ke safehouse 3. Jangan ke pos utama. Mereka pasti akan menyisir semua titik kontak.”Arthayasa hanya mengangguk. Ia memeluk Ayudia lebih erat, tubuhnya yang kelelahan tak menghentikan tekadnya untuk tetap siaga. Ia duduk di baris belakang, membaringkan tubuh Ayudia di atas pangkuannya. Hujan deras masih mengguyur, tapi di dalam mobil itu, keheningan terasa lebih memekakkan
Suara hujan di luar bercampur dengan dentuman tembakan dari arah depan. Geng Bram benar-benar membuat neraka di halaman gudang itu, dan itu artinya waktu mereka sangat sedikit sebelum bala bantuan Darma datang.Namun di dalam ruangan itu, semuanya terasa sunyi.Arthayasa menatap Darma—lelaki dengan tubuh kekar berbalut kaus hitam, tangan kanan menempelkan pistol di kepala Ayudia, tangan kiri santai di saku celana. Senyum bengisnya membuat udara di ruangan semakin berat.“Darma,” suara Arthayasa bergetar, tetapi matanya tajam seperti mata pisau. “Lepasin dia. Sekarang.”Darma hanya mengangkat alis, seolah menikmati ketakutan mereka. “Kau tahu, Artha? Seharusnya aku bunuh kau waktu itu. Tapi aku pikir… lebih menyenangkan melihatmu datang sendiri ke kandang singa. Membawa nyawamu, menyerahkan kepadaku.”Arthayasa mengepalkan tangan di gagang senjatanya. Ia bisa mendengar napas Ayudia—cepat, terputus-putus—dan itu membuat darahnya mendidih.Surya yang berdiri di belakang Arthayasa mengang
Hujan belum reda ketika malam itu datang. Langit Jakarta seperti tak berhenti menangis, seolah mengerti apa yang akan terjadi. Safehouse berubah menjadi markas perang: senjata dibongkar-pasang, rompi antipeluru disiapkan, dan peta rute disorot oleh lampu meja yang remang. Semua orang tahu—besok malam, banyak nyawa bisa jadi tak akan pulang. Arthayasa berdiri di depan jendela kecil kamarnya, menatap gelap di luar. Tetes-tetes hujan membentuk garis-garis tak beraturan di kaca. Tapi pikirannya jauh dari sana—ia melihat Ayudia. Membayangkan wajahnya. Membayangkan ketakutannya. Membayangkan Darma… dan setiap detik, imajinasinya makin kejam. Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk pelan. “Artha,” suara Surya. “Masuk,” sahutnya datar. Surya masuk dengan kaus oblong dan celana kargo, membawa dua gelas kopi. Ia menaruh salah satunya di meja kecil dekat ranjang. “Minum dulu. Gue tahu lo nggak akan tidur malam ini.” Artha menoleh sekilas, menerima kopi itu. “Lo juga nggak tidur?” Surya terseny
Hujan deras mengguyur Jakarta malam itu, membuat jalanan licin dan udara semakin dingin. Namun bagi Arthayasa, hawa malam itu bukan dingin—tapi mendidih, seperti bara yang menelan habis semua pikirannya. Ia berdiri di depan meja ruang komando safehouse, menatap peta yang dipenuhi titik-titik merah—lokasi-lokasi yang diperkirakan menjadi markas Darma. Tangannya mengepal, buku-buku jarinya memutih, dan dadanya naik-turun menahan amarah yang terus meluap.Surya duduk di kursi di dekatnya, sibuk memeriksa senapan serbu yang sudah ia bongkar-pasang berulang kali sejak sore. “Artha,” ucapnya pelan, “kamu harus tidur. Kalau kamu maksa begadang terus, kamu bakal kacau besok. Dan besok… kita nggak bisa kacau.”Arthayasa tidak menoleh. “Gue nggak butuh tidur.”“Lo butuh otak lo jalan, bukan cuma amarah,” sahut Surya, nada suaranya mulai naik. “Lo mau selamatin Ayudia atau lo mau mati konyol?”Arthayasa menghantam meja keras-keras dengan kepalan tangannya. “GUE MAU BUNUH DIA!”Suara itu membuat
Ledakan keras mengguncang safehouse, membuat kaca-kaca kecil di jendela pecah berhamburan. Bau mesiu langsung memenuhi udara, bercampur dengan bau asap dari sumbu peledak yang dilemparkan ke halaman depan. Lampu di lorong berkedip-kedip sebelum mati total. Arthayasa memaksa kakinya berlari lebih cepat menembus tangga sempit itu. “AYUDIA!” suaranya pecah, bercampur dengan deru napas yang berat. Di tengah kepanikan, satu hal terus berputar di kepalanya: Darma sudah sampai di sini. Di lantai dua, Ayudia berdiri terpaku di depan pintu. Nafasnya memburu, jantungnya seperti dipukul dari dalam. Suara itu… suara Papa-nya. Suara yang seharusnya menghangatkan, kini menjadi ancaman paling menakutkan. “Buka, Ayudia.” Nada Darma lembut, namun di balik kelembutan itu ada kekerasan yang membuat bulu kuduknya meremang. “Papa kangen kamu. Jangan bikin Papa marah. Kamu nggak mau lihat Papa marah, kan?” Ayudia mundur, tubuhnya gemetar. Ia tahu—Darma bukan sekadar datang untuk menjemputnya. Kalau di
Langit malam Jakarta berwarna hitam pekat. Lampu-lampu kota di kejauhan hanya terlihat seperti kunang-kunang yang mencoba menipu diri sendiri bahwa dunia di bawahnya masih aman. Tapi di safehouse milik Pak Tyo, suasana terasa seperti penjara.Arthayasa duduk di kursi reyot dekat jendela kecil, menatap keluar ke lorong yang gelap. Dia tidak bisa tidur. Tidak malam ini. Pikiran tentang Darma, tentang perang yang sebentar lagi akan meledak, membuatnya gelisah.Ayudia terbaring di kasur, tapi matanya juga terbuka. Sejak kembali dari pertemuan dengan Pak Tyo tadi sore, Arthayasa hampir tidak bicara. Hanya beberapa kata pendek, dingin, seperti pria yang menyiapkan dirinya untuk masuk ke jurang yang sudah ia tinggalkan bertahun-tahun.“Artha.” Suara Ayudia pelan, tapi cukup untuk membuatnya menoleh.“Hmm?”“Kamu yakin mau lakukan ini? Kembali… ke dunia itu? Kamu tahu apa artinya kalau Papa sampai benar-benar menyerang tempat ini.”Arthayasa menghela napas panjang, lalu mendekat dan duduk di