Brak! Pintu dapur nyaris terlepas dari engselnya. Tiga sosok bertubuh kekar menerobos masuk sekaligus, bayangan mereka menutupi cahaya lampu dapur yang temaram. Parang, pentungan besi, dan sebuah senapan laras pendek terlihat jelas di tangan mereka. Arthayasa hanya punya waktu sepersekian detik. Granat asap di tangannya langsung dilempar ke lantai, tepat di sela kaki penyerbu pertama. Ledakan pshhhhh mengeluarkan semburan asap putih pekat, menelan ruangan dapur dalam kabut tebal. Teriakan kasar terdengar. “Asap! Jaga pintu! Jangan biarkan dia lari!” Tapi Arthayasa tidak lari. Justru ia melangkah maju di tengah asap, memanfaatkan pengetahuannya tentang setiap sudut rumah ini. Kakinya melangkah tanpa ragu, menghindari papan yang mudah berderit. Penyerbu kedua mengayunkan pentungan besinya membabi buta. Arthayasa menunduk cepat, tubuhnya meluncur ke samping, lalu dengan satu tendangan keras ke lutut, ia membuat orang itu terjatuh dan mengaduh kesakitan. Dor! Peluru dari senapan l
Arthayasa memutar badan, berlari kembali ke ruang depan sambil memantau setiap suara. Detik-detik itu terasa lambat, seakan rumah ini berubah menjadi arena perang yang dikepung dari segala arah. Dari luar, suara lelaki berjaket hitam kembali terdengar, kali ini lebih agresif. “Cepat keluar, Tha! Atau kami nggak akan segan!” Suara motor yang meraung sesekali menyela, membuat lantai papan bergetar tipis. Bayangan-bayangan bergerak di balik tirai, berganti-ganti arah seperti kawanan anjing yang mengurung mangsanya. Arthayasa mengintip sekilas lewat celah kecil di samping jendela yang masih utuh. Ia menghitung cepat—enam orang di depan, tiga di samping kanan, setidaknya dua di belakang. Mereka bukan sekadar berandalan desa. Formasi itu rapi. Terlalu rapi untuk orang yang hanya ingin menakut-nakuti. Napasnya teratur, tapi dalam. Jemarinya yang memegang pistol sudah mulai berkeringat. Ia menurunkan sedikit senjata, bukan karena lengah, tapi untuk menghemat tenaga. Malam ini, ia harus
Arthayasa menggenggam kertas itu erat, jemarinya sedikit bergetar. Mata gelapnya menatap kosong ke arah pekat malam, seolah berusaha menembus siapa pun yang tadi meletakkan pesan itu. Ayudia berdiri di ambang pintu, wajahnya diliputi rasa ingin tahu sekaligus takut. “Tha… apa itu?” suaranya nyaris berbisik. Arthayasa tak langsung menjawab. Ia hanya meremas kertas itu, lalu masuk kembali ke rumah. “Kita kunci semua pintu dan jendela. Sekarang.” Nada suaranya membuat semua orang di ruangan terdiam. Nenek langsung berdiri, mengunci pintu samping dan menurunkan palang kayu di pintu depan. Nisa membantu menutup semua jendela, sementara Tiar menyalakan lampu tambahan di ruang tengah. “Ada yang mengikuti kalian sejak di jalan?” tanya Tiar, suaranya rendah tapi tegang. Arthayasa mengangguk. “Bukan cuma mengikuti. Mereka sudah memastikan, kita tahu mereka ada.” Ayudia menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. “Kalau begitu… apa mereka akan datang malam ini?” Arthayasa memandangnya,
Angin malam berhembus makin kencang, membuat daun-daun kelapa bergesekan seperti bisikan yang gelisah. Di beranda, Arthayasa duduk tegak, matanya tak pernah lepas dari jalan desa yang gelap. Lampu minyak di teras berayun pelan, bayangannya memanjang di lantai papan. Suara mesin terdengar sayup di kejauhan. Ia menegakkan tubuh, jemarinya refleks menyentuh senjata di pinggang. Namun begitu suara itu makin dekat, alih-alih menenangkan, dadanya justru semakin sesak. Tiba-tiba, cahaya lampu mobil memecah kegelapan. Arthayasa berdiri, hatinya setengah lega—setengah waspada. Tapi kemudian ia sadar, mobil itu bukan milik orangtuanya. Sebuah pick-up tua berhenti di depan rumah. Dua lelaki turun, salah satunya berjaket hitam—wajahnya sama seperti yang dilihat Arthayasa di pasar pagi tadi. Lelaki itu tersenyum tipis, bukan senyum ramah, melainkan senyum yang mengancam. “Cari siapa?” suara Arthayasa dingin. Lelaki itu tak langsung menjawab. Ia hanya memandang sekeliling, seolah menilai seti
Malam di desa itu jatuh pelan, seperti kain tipis yang menutup segala kegaduhan dunia luar. Lampu-lampu minyak mulai dinyalakan di teras rumah-rumah, sementara suara jangkrik dan gemericik air dari parit kecil di belakang rumah panggung nenek mengisi udara. Ayudia duduk di beranda, lututnya ditekuk, memeluk cangkir teh hangat yang baru saja diseduh. Dari dapur, terdengar suara panci beradu dengan sendok kayu. Nenek sedang menyiapkan makan malam—sayur asem, ikan asin goreng, dan sambal tomat segar. Bau wangi itu membuat perut Ayudia yang sedari siang belum diisi banyak mulai berontak. Arthayasa keluar dari kamar setelah membersihkan diri. Rambutnya masih basah, kaosnya sederhana, tapi ada ketenangan yang belum pernah Ayudia lihat di dirinya selama ini. Lelaki itu duduk di sampingnya, menghela napas panjang. “Udara di sini beda banget ya,” katanya pelan. “Bahkan napas rasanya lebih ringan.” Ayudia tersenyum kecil. “Beda banget sama gudang berdebu itu, jelas lah.” Arthayasa terkek
Malam di atas atap gudang itu terasa berbeda dari malam-malam lain. Bukan hanya karena suara kota di kejauhan, atau angin yang membawa aroma logam dan debu dari atap seng tua ini, tapi karena ada sesuatu di antara mereka berdua yang baru saja berubah. Ayudia masih duduk di kursinya, kaki menjuntai, menatap Arthayasa yang baru saja bersorak seperti anak kecil habis menang lomba. Tatapan itu campuran antara geli, haru, dan… takut. Takut karena ia tahu, setiap kebahagiaan di dunia mereka selalu dibuntuti bahaya. Arthayasa kembali duduk di sampingnya, napasnya masih sedikit memburu karena kegirangan. “Kamu beneran mau, kan?” tanyanya sekali lagi, seperti anak kecil yang takut es krimnya direbut. Ayudia mengangguk, senyumnya tipis tapi hangat. “Aku udah bilang iya, Artha. Nggak usah diulang-ulang. Nanti aku tarik lagi jawabannya.” Arthayasa langsung memasang ekspresi panik. “Eh, nggak, nggak. Udah sah. Udah masuk buku catatan semesta.” Mereka berdua tertawa kecil. Tapi tawa itu per