Share

S2 bab 80

Author: Mariahlia
last update Last Updated: 2025-08-16 08:27:52

Langkah-langkah mereka di kebun kopi terasa seperti irama waktu yang melambat. Setiap desiran angin di sela daun kopi terdengar seperti bisikan, setiap retakan ranting di bawah kaki membuat mereka saling menoleh cepat.

Tiar terus memimpin di depan, matanya menyapu ke segala arah. Nisa membantu nenek menuruni jalur tanah yang mulai mengering, tapi licinnya masih terasa di beberapa bagian. Ayudia berjalan di belakang mereka, sesekali menoleh, seolah berharap dari kabut tipis di belakang akan muncul sosok yang sangat ia tunggu.

“Sedikit lagi,” ujar Tiar pelan, meski nadanya tegas. “Kita akan melewati sungai kecil, lalu naik ke jalan setapak yang menuju kota.”

Nenek menghela napas panjang, lalu mengangguk. “Alhamdulillah… semoga tidak ada yang mengikuti.”

Namun, suara itu seperti memanggil ketakutan. Dari kejauhan, samar-samar terdengar suara gesekan besi dan langkah tergesa. Tiar langsung memberi tanda berhenti. Semua terdiam. Hanya suara gemericik air dari sungai yang terdengar
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 81

    Matahari pagi menyusup dari celah tirai tipis, menghamparkan cahaya lembut ke seluruh ruang utama villa itu. Udara segar dari pepohonan pinus membawa aroma resin yang menenangkan, berpadu dengan kehangatan perapian yang masih menyisakan bara dari malam tadi. Di ruang tamu, Ayudia duduk bersila di dekat jendela besar. Rambutnya terurai, matanya menatap jauh ke luar, ke arah bukit yang tertutup kabut tipis. Ia seperti tak percaya pada ketenangan ini. Setelah hari-hari penuh pelarian, dentuman ketakutan, dan bayang-bayang maut, kini ia bisa menghirup udara tanpa rasa was-was. Namun, pikirannya tidak benar-benar tenang. Sejak semalam, kata-kata Arthayasa terus menggema di telinganya, “Aku janji, ‘kan?” Janji itu sederhana, tapi berat. Janji untuk selalu datang, untuk selalu ada, meski badai apa pun menghadang. Dan kini, ketika mereka sama-sama berdiri di tempat aman ini, Ayudia merasa seolah dunia memberi kesempatan kedua—untuk mereka memilih, untuk mereka menetapkan arah hidup. Arth

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 80

    Langkah-langkah mereka di kebun kopi terasa seperti irama waktu yang melambat. Setiap desiran angin di sela daun kopi terdengar seperti bisikan, setiap retakan ranting di bawah kaki membuat mereka saling menoleh cepat. Tiar terus memimpin di depan, matanya menyapu ke segala arah. Nisa membantu nenek menuruni jalur tanah yang mulai mengering, tapi licinnya masih terasa di beberapa bagian. Ayudia berjalan di belakang mereka, sesekali menoleh, seolah berharap dari kabut tipis di belakang akan muncul sosok yang sangat ia tunggu. “Sedikit lagi,” ujar Tiar pelan, meski nadanya tegas. “Kita akan melewati sungai kecil, lalu naik ke jalan setapak yang menuju kota.” Nenek menghela napas panjang, lalu mengangguk. “Alhamdulillah… semoga tidak ada yang mengikuti.” Namun, suara itu seperti memanggil ketakutan. Dari kejauhan, samar-samar terdengar suara gesekan besi dan langkah tergesa. Tiar langsung memberi tanda berhenti. Semua terdiam. Hanya suara gemericik air dari sungai yang terdengar

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 79

    Langkah Ayudia di atas aspal basah itu terasa seperti tidak benar-benar menjejak. Setiap tarikan napas terasa berat, bukan karena lelah, tapi karena dadanya seolah dipenuhi batu. Udara pagi yang lembap menusuk paru-paru, tapi ia nyaris tak menyadarinya. Satu-satunya hal yang memenuhi kepalanya hanyalah wajah Arthayasa—tatapan matanya sebelum mereka berpisah.Di sebelahnya, Nisa memegang lengan nenek erat-erat, memastikan perempuan tua itu tidak terpeleset di jalan licin. Tiar berjalan di belakang, matanya sesekali melirik ke arah kabut yang perlahan menipis, seakan khawatir ada sesuatu yang akan menerobos keluar kapan saja.“Berhenti sebentar,” suara Tiar pelan tapi tegas. Mereka menepi ke pinggir jalan, berjongkok di balik semak rendah.“Ada apa mas?” Nisa berbisik.Tiar tidak langsung menjawab. Ia mengangkat telunjuk, memberi tanda agar semuanya diam. Dari arah kabut, samar-samar terdengar suara… langkah. Tapi bukan langkah biasa. Irama langkah itu cepat, berat, dan ada lebih dari s

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 78

    Kabut pagi begitu tebal hingga jarak pandang tak lebih dari dua meter. Ranting-ranting yang menjulur ke jalan setapak tampak seperti tangan-tangan kurus yang hendak meraih mereka. Embun menggantung di ujung dedaunan, jatuh perlahan setiap kali angin menyentuhnya. Tanah di bawah kaki terasa licin oleh sisa hujan semalam, memaksa mereka melangkah hati-hati. Ayudia berjalan di belakang Arthayasa, jaraknya tak sampai satu langkah. Telinganya berusaha menangkap setiap suara di sekitar—derap kaki, hembusan napas, bahkan detak jantungnya sendiri yang seperti memukul terlalu keras. Nisa berjalan bersama nenek di tengah, sementara Tiar menutup barisan paling belakang, matanya waspada memeriksa jalan yang baru mereka lewati. “Jangan sampai terpisah,” suara Arthayasa pelan tapi tegas, hampir tertelan oleh kabut. “Kalau ada yang jatuh atau terhenti, kita semua berhenti.” Ayudia mengangguk meski tahu ia tak akan terlihat dari posisinya. Jemarinya menggenggam tali tas dengan erat, bukan hanya k

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 77

    Malam itu, kehangatan dari tungku kayu di sudut rumah panggung menjadi satu-satunya sumber rasa aman yang bisa mereka rasakan. Api kecil berkeredap, memantulkan cahaya oranye di dinding papan yang mulai dimakan usia. Aroma asap bercampur kayu terbakar mengisi ruangan, menutupi sedikit bau tanah basah dan keringat yang melekat pada tubuh mereka. Lelaki tua itu, yang belakangan memperkenalkan diri sebagai Pak Wirya, berjalan perlahan sambil membawa teko berisi air panas. “Kalian jauh-jauh dari mana? Jalan setapak di hutan malam ini berbahaya, apalagi…,” ia menatap satu per satu wajah mereka yang letih dan basah kuyup, “…apalagi kalau sedang ada orang-orang yang berkeliaran mencari.” Kalimatnya terakhir membuat Ayudia refleks menggenggam tangan Arthayasa lebih erat. Tatapannya memohon, seakan ingin berkata jangan jelaskan terlalu banyak. Arthayasa hanya memberi anggukan singkat kepada Pak Wirya. “Kami… sedang dalam perjalanan ke kota. Tadi tersesat karena kabut.” Jawaban setengah

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 76

    Udara di luar terasa lebih dingin daripada sebelumnya, meski sinar matahari sore menembus sela pepohonan di hutan yang mengelilingi mulut terowongan. Aroma tanah basah bercampur daun kering menyeruak ke indera penciuman mereka, menyapu sisa bau pengap dari dalam lorong. Namun, semua itu tak cukup membuat dada Ayudia tenang—dadanya masih berguncang, detak jantungnya menghantam tulang rusuk tanpa irama yang jelas.Arthayasa masih memeluknya erat, tangannya mengusap punggung sang calon istri perlahan. Ia sendiri merasakan nyeri di tulang rusuk, perih di pipi kiri yang tergores, dan sakit menusuk di bahu kanan akibat pukulan pentungan besi tadi. Tapi ia tetap menahan semua itu. Tidak sekarang. Yang terpenting sekarang adalah memastikan semua orang di sini keluar hidup-hidup.Tiar melangkah mendekat, pandangannya bergantian memeriksa wajah Arthayasa dan Ayudia. “Kita harus bergerak cepat. Kalau ada sisa orang mereka di luar sana, kita bisa dikepung lagi.”Nenek yang sejak tadi ditopang Nis

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status