Motor sport hitam menerobos jalanan dengan laju dan suara yang menggelegar, membuat siapa pun yang berada di sekitarnya tersentak kaget.
Tiba-tiba, motor itu mengerem dengan mendadak tepat di depanku, seketika itu pula aku kehilangan kendali. Motor ku terpelanting ke aspal dengan suara yang keras. "Aduh!" rintihku sambil meringis kesakitan. Kemarahan meluap, aku berteriak, "Sialan! Berhenti woy!" Perlahan, aku merangkak bangkit, mendirikan motorku yang terjatuh dengan susah payah. Dalam keadaan kesal dan napas tersengal-sengal, aku berlari menghampiri pengendara itu yang kini terhenti karena lampu merah. Dengan amarah memuncak, aku mengetuk helmnya keras. "Turun lo!" bentakku sambil memandangnya tajam. Pengendara itu, cowok berpostur tegap, hanya menoleh sebentar kepadaku, tidak menunjukkan tanda-tanda akan turun. "Heh! Lo harus tanggung jawab. Turun lo!" suaraku meninggi penuh penekanan. Dia akhirnya membuka kaca helmnya, mendekat dan dengan sombong menoyor kepalaku. "Minggir lo, Cahaya redup!" ejeknya dengan nada mengejek. Kemarahanku meledak kembali saat lampu lalu lintas itu berganti hijau. Biru tanpa berpikir panjang, langsung mengendarai motornya. Tangan Biru tiba-tiba mencengkeram tuas gas, suara bising motor tersebut memenuhi udara. Aku mengatupkan mata dan menutup telingaku yang masih terlindungi helm, menghindari gema bising itu. "Emang ini jalan punya nenek moyang lo!" seruku dengan nada tinggi, mataku yang marah menatap bayangan punggung Biru yang kian menjauh. Bunyi klakson di sekitar memaksaku untuk minggir, langkahku terburu-buru menuju motor di pinggir jalan. "Sialan, kaki gue sakit banget," keluhku pelan. Rokku tersibak, menampakkan lutut yang lecet dan berdarah sedikit. "Awas aja nanti kalau di sekolah," desisku sambil menggenggam stang motor erat-erat. Motor kubawa laju menuju sekolah, sesekali kuperiksa jam tangan di pergelangan tangan. Detak jantungku berpacu dengan cepat, rasa khawatir menggelayuti pikiranku ketika lampu merah menghalangiku untuk melaju lebih jauh. Semua ini gara-gara Biru, si preman sekolah yang suka memperlambat laju para murid lainnya. "Nanti kalau gue terlambat dan kena hukuman, gue nggak akan tinggal diam," batin ku, meski tahu dia adalah ketua geng, rasa takut sedikitpun tidak hadir di hatiku. Gerbang sekolah sudah hampir menutup saat aku tiba. "Pak, tunggu, jangan ditutup dulu!" teriakku sambil menggiring motorku lebih cepat. Pak satpam, dengan gerakan sigapnya, melambaikan tangan menyuruhku buru-buru masuk. Setelah berhasil masuk, aku menghela napas lega, tapi belum sepenuhnya bisa tenang. Aku melirik ke kejauhan, sosok pria yang tergopoh-gopoh sambil meniup peluit membuatku mengutuk nasib sial hari itu dalam hati. Baru hendak melegakan pikiran, terdengar suara nyaring yang mengejutkan. "Priiiitt! Berhenti, Cahaya, berhenti!" seru Pak Baru, guru BK, dari kejauhan. Aku berpura-pura tuli, berharap bisa lolos dari perhatian beliau, sembari merasa jantungku semakin tidak karuan. Berbagai skenario hukuman sudah melintas di benakku, membuatku semakin cemas dan geram pada hari sial ini. "Heh, Cahaya, mau kemana!" teriak Pak Baru seraya meniup peluit keras-keras. Segera aku berhenti berjalan saat Pak Baru menarik tasku dengan gerakan tegas. "Eh, Pak Baru? Baru sampai, Pak?" tanyaku, mengulum senyum tak berdosa, sembari menatap pria berkumis tebal itu yang mirip Pak Raden. Pak Baru memperhatikanku beberapa saat, seolah hatinya mulai melunak. "Kamu yang datang terlambat, Cahaya. Segera bersihkan sampah itu!" perintahnya sambil menunjuk ke arah tong sampah yang sudah meluap. Mataku terbelalak, tidak percaya. "Tapi Pak, saya nggak telat kok, kenapa harus saya yang bersihkan?" keluhku, rasa tidak adil memenuhi pikiranku. "Kamu terlambat satu menit, Cahaya," balas Pak Baru dengan tegas. Dari sudut mataku, aku melihat Biru yang celingukan, mencoba lolos tanpa perhatian. "Pak, Biru juga terlambat tapi nggak dihukum, kenapa?" protesku, menunjuk Biru yang berjalan santai, seolah tidak menyadari keberadaanku, bahkan sempat menatapku tajam. Pak Baru menoleh sejenak, kemudian kembali meniup peluitnya dengan keras. "Astaga naga!" seruku terkejut, kedua tangan cepat-cepat menutup telinga. Sementara itu, Pak Baru langsung menghampiri Biru dengan geram, menjewer telinganya dan menyeretnya hingga dekat tempatku berdiri. Melihat Biru yang meringis kesakitan, aku tak bisa menahan tawa. "Rasain lo, emang enak," godaku sambil masih terkekeh. Pak Baru dengan tegas memerintahkan, "Cepat kamu bersihkan sampah-sampah itu!" sambil menunjuk ke arah tong sampah yang sudah penuh sesak. Biru yang masih meringis kesakitan, terlihat tidak terima. "Kok saya, Pak? Kan Cahaya yang Bapak suruh," ucapnya dengan nada protes, seraya menunjuk ke arahku. Tajamnya pandangan Pak Baru langsung tertuju pada Biru. "Kalian berdua! Cepat bersihkan!" bentaknya. Kami berdua tanpa banyak kata langsung mengangkat tong sampah itu dan membuang isinya. "Semua gara-gara lo!" seru Biru dengan menyalahkan aku. "Kok gue!" balasku ketus. "Iya. Kalau bukan karena lo nunjuk gue, gue nggak akan kena hukum!" suaranya meninggi, tangannya lepas dari pegangan tong sampah yang langsung jatuh ke tanah dengan suara gedebuk. "Lo yang salah. Kalau bukan karena lo yang ngerem mendadak di jalan tadi, gue nggak akan dihukum. Gue nggak akan telat!" balasku dengan kesal. Biru menatapku dengan kedua matanya yang tajam bagaikan es. Aku bisa merasakan sekujur tubuhku menggigil di bawah sorotan itu. Keringat dingin mulai membasahi dahi. Ketika ia akhirnya berbalik, meninggalkanku dengan sisa-sisa hinaan yang tertinggal di udara, aku nyaris tidak bisa bernapas. "Dasar Biru!" pekikku dengan kekuatan terakhir. Tapi Biru, dengan langkah santai yang khas, hanya terus berjalan. Kedua tangan dimasukkannya dalam saku, seolah tidak terjadi apa-apa. Seakan dunia masih seperti semula bagi dia, tetapi bukan bagiku. Menyebalkan! Aku menyusuri koridor sekolah yang panjang sepanjang kacang panjang dengan langkah riang. Sesekali tersenyum membalas sapaan cowok-cowok yang berpapasan denganku. Di depan kelas yang akan aku masuki, sosok Biru yang dengan santainya menghalangi jalanku. Satu kaki Biru masih terjulur, menyumbat pintu, sementara aku yang ingin melewati menahan kesal. "Minggir!" seru ku dengan suara yang meninggi, tapi Biru tampak tak peduli. Irritasi menggebu, aku menaikkan volume suara, "Lo dengar nggak sih kalau gue bilang minggir!" Mataku yang indah bulat membelalak, dan pipiku mengembung, menahan kekesalan yang sebentar lagi akan meledak. "BIRUU!" pekikku, seraya Biru hanya menutup kedua telinganya, mengeluh kelelahan. "Berisik banget sih lo!" balasnya sambil masih mempertahankan posisinya yang menghalangi pintu. "Gue mau lewat dan lo ngalangin jalan gue. Lo ngerti nggak sih! Minggir!" teriakku dengan keras. Semua mata di koridor tiba-tiba tertuju ke arah kami. Teman-teman sekelas dan anak buah Biru sama-sama terpaku, mereka hanya berani menatap namun tak ada satu pun yang berani bergerak atau berkata-kata. Biru yang tenang, dengan tangannya masih melipat di depan dada, memandangku dengan senyuman meremehkan. "Kalau gue nggak mau minggir, lo mau apa?" tantangnya. Langkah Biru yang terukur mendekati, memaksaku mundur beberapa langkah untuk menghindari sentuhan langsung. Namun, dengan tiba-tiba, tangannya yang cepat mencengkeram kedua pipiku. "Gue nggak suka sama cewek modelan kayak lo!" desak Biru dengan nada penuh kebencian. Aku merasa darahku mendidih saat menatap tajam ke dalam mata Biru, mencoba menunjukkan bahwa intimidasi seperti ini tidak akan membuatku mundur. Dugh! "Aargh!"Biru mendekatiku yang tengah terkulai tak berdaya di atas kasur. Cahaya sore yang malas-malasan menerobos masuk melalui celah jendela, menambah kelesuan di ruang itu. Dengan lembut, ia menggoyang-goyangkan bahu ku, penuh perhatian. "Aya, kamu masih ingat tawaran mama nggak?" tanyanya dengan suara yang menggema kehangatan. Aku mengerjap, berusaha mengumpulkan ingatan yang terasa berantakan. "Yang mana?" Aku memiringkan kepala, mencoba memori yang berkelebat tak pasti. "Aku nggak ingat," jawabku akhirnya, sambil menghela napas panjang.Suasana kamar yang hanya diterangi cahaya lampu tidur, aku terbaring lemas di atas kasur dengan pikiran yang melayang-layang. Biru, dengan raut wajah yang kecewa, ikut berbaring di kasur sambil memegang ponselnya. "Yang liburan itu loh, kamu mau nggak?" tanya Biru dengan nada yang sedikit memaksa, mencoba menggoda ku dengan gambar-gambar destinasi yang indah di layar ponselnya.Aku hanya menghela napas, mataku yang sayu menatap ke arah Biru, "Nggak,
Waktu seakan berlari, mengejar detik yang tak tergenggam. Papa Erwin baru saja tiba dari rumah sakit, dan hari ini adalah hari ujian yang menentukan untuk aku dan Biru. Saat sarapan, suara papa memecah keheningan. "Kalian sudah persiapkan diri dengan matang, aku yakin kalian berdua bisa meraih nilai sempurna," katanya dengan tatapan yang menunjukkan kepercayaan mendalam. Biru, dengan senyuman simpulnya, menanggapi, "Semoga Pa, doakan Biru ya," katanya sambil sesekali melirik ke arahku. Papa mengangguk, tangannya terasa hangat di pundak Biru. "Tentu, aku doakan kalian berdua," sahutnya seraya tersenyum. Biru mendekat, berbisik dengan nada gurau namun serius, "Jangan lupa janji kamu. Kalau aku dapat nilai tinggi, aku akan mendapat hak ku sebagai suamimu. Otomatis aku resmi menjadi suami kamu ya." Sejenak, aku terdiam, merasakan detak jantungku yang memburu. "Benarkah sudah saatnya?" gumamku dalam hati sambil mencoba menenangkan diri. Namun, pikiran itu terus bergulat di kepala, mem
"Udah, Anggia, kalau lo nggak mau ngaku salah, biarin aja deh pengacara yang urus." Kata-kata itu terluncur penuh kekecewaan dari bibirku. Aku melihatnya, dengan raut mukanya yang masih memancarkan keangkuhan. Dengan berat, aku berdiri dari kursi yang telah menjadi saksi bisu pertengkaran kami. Biru, yang sejak awal hanya bisa terdiam, mengikuti gerakanku. "Ayo, sayang, kita pulang," ajakku pelan. Dengan sebuah anggukan, Biru menggenggam tanganku. Kegenggamannya terasa begitu menguatkan. Kami berjalan meninggalkan gedung itu, ketika Paman Rudi dan pengacara papa datang menemui kami. Paman Rudi menepuk bahu aku, suaranya tenang namun pasti. "Mbak Aya, jangan khawatir. Bu Ayuni dan Anggia pasti akan mendapat hukumannya," katanya, seakan memberikan secercah harapan. "Baru saja kami dari rumah sakit, bertemu Pak Erwin," lanjutnya, memberi tahu tentang perkembangan situasi. "Iya Paman, semua saya serahkan pada Paman Rudi," jawabku, mencoba tampil tegar di hadapan asisten Ayah yang s
Aku menelan ludah dengan susah payah. Jantung berdebar tak menentu.Saat jantungku berdegup kencang, napasku menjadi tersengal-sengal. Biru perlahan mendekatkan wajahnya ke arahku, membuatku terjebak dalam ketegangan yang mendalam. Dengan segala keraguan, aku mencoba untuk memberanikan diri mencium pipinya. Namun, dalam sekejap, Biru tiba-tiba menoleh sehingga bibir kami tidak sengaja bertemu.Aku terkejut, mataku membelalak lebar. Refleks, aku mencoba menarik kepalaku menjauh, namun dengan sigap Biru menahan kepalaku. Ia memiringkan kepalanya, memberikan tekanan lembut pada bibirku. Aku terdiam, kaku, dan tidak mampu bergerak, hatiku berlomba dengan kecepatan yang tak terkendali. Biru melanjutkan ciumannya dengan gerakan yang halus dan penuh kelembutan, sementara aku masih terpaku dalam keadaan yang tak kuasa untuk berpikir jernih.Biru dengan lembut menempelkan keningnya ke keningku, seulas senyum melayang di wajahnya. "Manis," bisiknya, membuat hidung kita bertaut sejenak. Napasku
Hari-hari yang berlalu terasa begitu berat bagi ku. Aku duduk di samping ranjang rumah sakit tempat papa dirawat, dengan pikiran terbang jauh mencari tahu tentang Tante Ayuni dan Anggia yang menghilang tanpa jejak. Sementara itu, kondisi papa yang mulai membaik sedikit banyak memberi kelegaan, namun kekhawatiran tentang nasib kedua buronan itu terus menghantui pikiranku.Saat aku tenggelam dalam lamunan, Biru, tiba-tiba muncul di sampingku dengan senyuman yang hangat. "Lagi mikirin apa?" tanya Biru, memecahkan keheningan.Aku terkejut, tersentak dari renunga. "Nggak ada," jawabku, mencoba menyembunyikan kegelisahan."Lagi mikirin aku ya?" goda Biru, mencoba mencerahkan suasana. Ia mencubit kedua pipi ku yang sudah mulai pucat karena terlalu banyak berpikir. "Nggak, ih," balas ku, mencoba tersenyum meskipun dalam hati tidak seceria itu.Biru duduk di samping ku, tangannya menggenggam kedua tanganku dengan erat, memberikan dukungan. "Apa pun yang terjadi, aku di sini kok. Kita akan lal
Kulirik pria yang berpura-pura jadi dokter itu dengan tatapan penuh ancaman. "Kalau kau nggak mau ngaku, jangan salahkan aku kalau terpaksa bersikap kasar!" kataku dengan suara yang meninggi, penuh intimidasi. Dia, dengan keras kepala, balas menatapku. "Percuma saja. Aku tak akan mengatakan apa-apa," serunya dengan nada tegas. Senyum sinis menghiasi wajahku saat aku menjawab, "Oke, kalau itu yang kau inginkan." Mataku tertumbuk pada suntikan yang dia bawa, yang kebetulan terjatuh dekat kakiku.Dengan gerak cepat, aku memungut suntikan yang terjatuh itu, mengeratkan genggamanku di sekitar ****** suntikan. Mataku menatap tajam ke arah pria yang menyamar itu, yang kini tampak pucat pasi."Kau pikir aku tak serius?" ujarku dengan suara rendah namun mengandung ancaman yang jelas. Pria itu menelan ludah, matanya melirik ke suntikan di tangan ku."Jangan... Tolong," ia mulai mengiba, suaranya terbata-bata, ketakutan yang terpancar jelas dari sorot matanya.Aku mendekat, menekankan ujung s