Share

6. Diabaikan

Mengapa mencintaimu itu begitu menyesakkan? Apakah aku terlalu mengharapkanmu? Atau mungkin hatimu sudah beku sehingga kamu tidak pernah mau tahu arti sebuah ketulusan cinta , bahkan tak mau menghargainya.

(Fathiyah -- Cahaya Cinta di Langit Pesantren--)

***

“Pak Rizki, sejak kapan Bapak memperkerjakannya, kenapa Bapak tidak bilang padaku kalau menerima karyawan baru?” tanyanya sedikit membentak.  Pak Rizki belum pernah melihat Arza semarah ini padanya.

“Sudah satu bulan, Mas Arza. Nak Fathiyah sudah bekerja selama satu bulan ini dan berkat dia kafe dan resto kita sampai ramai,” ungkapnya.

“Maksud Bapak apa? Kafe dan resto kita ramai apa dia sering melakukan kesalahan dengan tingkahnya yang bar-bar dan agresif itu?”

Pak Rizki semakin tidak mengerti dengan pertanyaan Arza. “Bukannya Mas Arza sendiri yang memuji masakan Nak Fathiyah tadi, bahkan semua keluarga Nak Arza juga menyukai masakan itu,” ungkap Pak Rizki yang seketika membuat Arza terdiam.

“Maksud Bapak,  dia koki kita yang baru?”

“Iya, Mas. Yang membuat kafe dan resto kita semakin ramai.”

Arza mengalihkan kegugupannya, karena dirinya sudah salah sangka. Tanpa melihat ke arah Fathiyah lagi yang sejak tadi menunduk takut, Arza mengalihkan pembicaraan dengan membicarakan bonus untuk pegawainya dan disambut senang oleh pegawainya yang lain, terkecuali Fathiyah yang sejak tadi menunduk dan sibuk dengan pemikirannya sendiri.

“Ya sudah, terima kasih sekali lagi saya ucapkan pada kalian, karena kerja sama kalian kafe dan resto ini semakin berkembang dan cabang-cabangnya pun mengikuti perkembangannya. Selamat bekerja kembali,” ujarnya meninggalkan aula itu, tanpa meminta maaf atau pun memberi apresiasi pada Fathiyah yang sudah menjadikan kafenya booming.

Fathiyah menghela napasnya kasar. Ia sama sekali tidak mengharapkan apresiasi dari Arza setelah tahu tatapan tidak suka yang ditunjukkan Arza padanya.

Fathiyah kembali bekerja seperti biasanya. Ia berusaha melupakan kejadian yang baru saja terjadi,  tapi tatapan mata Elang Arza, membuatnya tidak bisa melupakan itu.

“Sebegitu tidak sukanya Mas tampan padaku? Sampai ia harus membentak dan berteriak pada Pak Rizki,” gumamnya sambil terus memasak.

Pak Reno melihat perubahan Fathiyah yang biasanya ceria. Namun, sejak bertemu Arza menjadi pendiam.

“Nak Fathiyah ndak apa-apa?” tanyanya.

“Owalah, ndak apa-apa, Pak. Memangnya kenapa, Pak?” tanyanya sambil menerbitkan senyum manisnya.

“Maaf, apa Nak Fathiyah punya masalah dengan Nak Arza? Selama ini Bapak melihat Nak Arza selalu tenang, serius dan tidak pernah berkata kasar apalagi membentak seperti tadi.”

“Aku sendiri tidak tahu, Pak. Aku juga baru mengenalnya tadi. Enggak tahu permasalahannya, kenapa seperti itu padaku,” ucapnya, tentu saja Fathiyah bohong. Namun, Fathiyah pun tidak mengerti apa kesalahannya sehingga Arza tidak menyukainya. Memang di hatinya sudah tumbuh cinta untuk polisi tampan itu, dan apakah dirinya salah mencintai laki-laki itu, meskipun ia tahu cintanya bertepuk sebelah tangan.

“Ya sudah, tetap fokus bekerja saja, enggak usah dimasukkan ke hati ucapan Nak Arza tadi,” ucap Pak Reno.

“Iya, Pak. O iya, kalau ada acara gini berarti kita harus lembur ya, Pak?”

“Iya, Nak. Kalau ada acara gini kita bisa pulang hingga pukul 12 malam, Nak.”

“Apa Pak Reno enggak capek?”

“Bapak ‘kan kerjanya enggak berat Cuma mengomando Nak Fathiyah dan nyiapin bahan. Sangat ringan banget kerjaan Bapak, apalagi sejak ada Nak Fathiyah,” ungkapnya.

Fathiyah tersenyum. “Tetap sehat ya, Pak.”

“Aamiin ... doakan ya, Nak.”

Pukul  12 malam Fathiyah dan pegawai lainnya bersiap pulang.  Beberapa dari mereka sudah ada yang menjemput. Hanya Fathiyah yang pulang sendiri.

Fathiyah melihat Arza dan beberapa  temannya di kepolisian sedang bercanda di meja dekat balkon. Ia berjalan seperti biasa tanpa menyapa. Ia tidak mau melihat Arza semakin marah padanya. Toh, Arza sangat tidak menyukainya.

“Bismillah, semoga sepedaku tidak mogok,” lirihnya. Ia pun menstater motornya, tapi motor itu tidak mau menyala. Fathiyah tetap berusaha menyalakannya dengan menyengkak. Namun, hasilnya nihil. Ia celingak-celinguk melihat ke arah kafe berharap ada yang mau menolong. Tanpa sengaja ia melihat Arza yang melihat ke arahnya. Namun, pemuda itu tiba-tiba mengalihkan pandangan. Sama sekali tidak berniat menolongnya. Arza masih fokus bercanda dengan teman-temannya.

Fathiyah memutuskan menuntun motornya meninggalkan kafe itu. Berharap di jalan raya ada orang yang berbaik hati menolong. Ia berjalan  cukup jauh, tapi tidak satu pun orang menolongnya. Apalagi malam semakin larut, jalanan sudah terlihat sepi.

Fathiyah berhenti di trotoar jalan. Ia sudah tidak kuat harus berjalan kaki sambil menuntun motornya lagi. Ia mengelap keringat yang membasahi wajah cantiknya tanpa polesan.

Setelah kepergian Fathiyah, Arza memutuskan pulang. Teman-temannya pun juga sudah pulang terlebih dulu. Saat melajukan mobilnya ia melihat Fathiyah yang sedang duduk di trotoar sendirian, terbesit rasa iba di hatinya. Sebenarnya sejak di kafe tadi dirinya ingin menolong Fathiyah. Namun, ia urungkan, karena tidak mau jadi bullyan teman-temannya.

“Biar saya bantu,” tawarnya. Fathiyah tercengang melihat kedatangan Arza. Ia mengucek beberapa kali matanya, berharap tidak bermimpi.

“Mas tampan ...,” ucapnya lirih.

“Sudah saya bilang, saya tidak menyukai panggilan itu,” ujarnya penuh penekanan dan terlihat tidak suka.

Arza langsung mencoba menstater motor Fathiyah. lima belas menit Arza baru berhasil menyalakannya.

“Sudah bisa, sebaiknya Anda langsung pulang.” Tanpa melihat ke arah Fathiyah, Arza mengatakan itu.

“Terima kasih, Mas tampan. Aku enggak nyangka Mas tampan mau menolongku. Aku makin cinta aja deh sama kamu,” ujarnya girang, kepercayaan dirinya muncul kembali.

“Sudah saya bilang, saya tidak menyukai Anda memanggilku seperti itu. Saya melakukan semua ini karena rasa kemanusiaan, jadi jangan  berpikir macam-macam.  Sampai kapan pun saya tidak akan membuka hati saya untuk Anda, seharusnya Anda sadar diri siapa Anda. Kalau pun masih mau bekerja di resto saya, bersikaplah sewajarnya, dan jangan sok kenal atau bersikap bar-bar. Ingat jangan membuat saya semakin jijik pada Anda!” sentaknya, Arza langsung masuk ke dalam mobilnya tanpa melihat ke arah Fathiyah yang menatapnya nanar. Arza tidak peduli kata-katanya akan menyakiti gadis itu.

Fathiyah memejamkan mata, air matanya pun menetes membasahi wajah cantiknya. Ia pun menyalakan motor dan segera pulang. Ia hanya bisa tersenyum miris mendapatkan perlakuan itu.

Fathiyah  mengetuk  pintu rumahnya beberapa kali. Namun, Bibi dan Pamannya sama sekali tidak berniat membukakan pintu itu. Fathiyah membaringkan tubuhnya yang lelah di kursi panjang berasal dari rotan depan rumahnya.  Rasa lelah membuatnya langsung terlelap tanpa menghiraukan dinginnya angin malam.

***

Pagi menjelang.

Byuur! Sang bibi menyiram tubuh yang masih terlelap itu dengan air seember. Fathiyah langsung bangun dengan gelagapan. Rasa lelah membuat Fathiyah  telat bangun, bahkan ia harus melewatkan sholat subuh karena kesiangan.

“Dasar pemalas! jam segini masih molor, semalam kamu pulang  jam berapa? Apa kafe dan restomu itu membuka layanan plus-plus sehingga kamu bekerja di sana sampai larut malam, mungkin saja sambil melayani tamu, hah ...,” ucapnya dengan kasar.

“Tidak, Bik. Semalam ulang tahun kafe tempatku bekerja, sehingga ada acara besar di sana. Semua pegawai kafe harus pulang pukul 12 malam. Saat pulang motorku mogok,” ungkapnya jujur.

“Kalau kamu berniat menjual diri bilang pada Paman, supaya aku memperkenalkan dirimu pada Bang Edo, bandar judi terbesar, teman Paman,” ucap sang paman ikut menimpali.

Fathiyah langsung geleng kepala. “Saya tidak akan melakukan hal sekeji itu, mahkotaku adalah kebanggaanku, dan tidak akan aku berikan kecuali pada suamiku.” Fathiyah langsung berlalu masuk ke dalam rumahnya dengan pakaian yang basah karena ulah sang bibi.

Kepalanya sedikit pusing, meresapi hidupnya yang terlalu sulit untuk ia jalani.

“Ayah, Ibu. Rasanya aku sudah tidak kuat lagi menghadapi semua ini. Aku baru merasakan cinta, tapi langsung mendapatkan penolakan yang sangat menyakitkan. Apa aku tidak pantas  dicintai dan mencintai? Aku berpikir Paman dan Bibi bisa menjadi orang tua bagiku yang akan menyayangiku seperti kalian, tapi nyatanya mereka memperlakukanku dengan buruk. Kenapa kalian tidak membawaku pergi bersama kalian, kenapa ...?” lirihnya. Ia tergugu di dalam kamarnya sambil memeluk lutut.

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Anggra
terlalu bar² sih..GK semua cwok suka Ama cwek bar²..kalem dikit napa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status