Share

Bab 5 Pemilik Kafe dan Resto itu?

Tentang sebuah kebahagiaan dapat kamu jadikan sebagai pengingat bahwa di dalam hidup ada kalanya dipenuhi cobaan, dan untuk mencapai kebahagiaan itu diperlukan kerja keras.

(Fathiyah – Cinta dan Harapan)

***

Fathiyah sedih dengan penolakan yang dilakukan Arza padanya.

“Seharusnya kamu sadar, Fathiyah. Itu masih makanan darimu yang ditolaknya. Ya, hanya makanan! Kamu seharusnya sadar diri siapa laki-laki itu dia orang yang berpangkat, dan berpendidikan. Siapa kamu? Kamu hanyalah seorang gadis yatim piatu, miskin tak berpendidikan dan hanya seorang koki,” lirihnya sambil  menghela napasnya panjang. Saat ini ia berada di kamar, melepas lelah sejenak sebelum sang bibi kembali dari pengajian.

***

Pagi-pagi sekali  Fathiyah sudah menyelesaikan tugasnya dan segera berangkat. Karena Pak Reno memintanya sebelum pukul setengah tujuh ia sudah ada di resto.

Fathiyah melihat Arza sedang mengatur lalu lintas pagi bersama satu temannya. Mengingat kejadian kemarin siang, fathiyah sama sekali tidak berniat menyapa pemuda tampan, tapi sombong itu.

Arza menyadari kehadiran Fathiyah yang melajukan motornya pelan mengurai kemacetan. Arza pura-pura tidak tahu dan mengalihkan perhatiannya ke arah lain.

“Tumben  gadis tomboi itu kok enggak nyapa kamu dengan heboh,” goda Razdan setengah berbisik.

“Aku malah senang tidak dia sapa,” ucapnya masa bodoh. Namun, tidak dengan hatinya, yang menanyakan kenapa Fathiyah tidak menyapa.

Razdan mengedikkan bahu, ikut tidak peduli.

***

Fathiyah sampai di resto tepat waktu sesuai permintaan Pak Reno. Di sana sudah ada Pak Rizki yang mengatur tempat itu, padahal masih pagi.

“Fathiyah, kamu nanti membuat menu terbaru spesial  buat keluarga pemilik kafe dan Resto ini. Kamu masak besar, ya, tentunya dengan bantuan Pak Reno,” perintahnya.

“Nanti kamu aku kenalkan  dengan pemilik kafe dan Resto ini. Dia masih muda usianya mungkin terpaut hanya 5 tahun  denganmu, orangnya serius dan perfeksionis, sangat jauh dengan almarhum ayahnya yang sedikit selengekan dan humoris, tapi kamu tenang saja. Dia orangnya baik kok. Memang dengan orang asing sikapnya seperti itu,” ujar Pak Rizki.

Fathiyah hanya mengangguk tanda hormat dan mengerti.  Ia segera mengerjakan tugasnya. Acara akan dimulai selepas sholat ashar dengan acara berdoa bersama anak yatim dan fakir miskin. Setelah itu acara di lanjutkan selepas sholat magrib dengan makan gratis sepuasnya di kafe dan resto ini untuk para pengunjung dan pelanggan.

“Pemilik kafe dan resto ini seorang Gus, Nak. Putranya Kiyai namanya Kiyai Afnan. Ya, meskipun putra sambung, tapi sejak kecil sudah dirawat oleh beliau. Almarhum pemilik kafe ini meninggal saat bertugas, beliau adalah seorang perwira polisi yang baik hati dan suka bercanda dengan semua karyawannya, bahkan tidak ada batasan, namanya Nak Azzam. Beliau meninggalkan dua putra, lalu sesuai amanatnya, Neng Arni disuruh menikah dengan Kiyai Afnan yang tak lain adalah sahabatnya Nak Azzam sendiri. Penerus kafe dan resto ini Nak Arza, wajahnya sangat mirip sang ayah juga baik seperti ayahnya, tapi dia lebih serius dan tak banyak bicara. Adiknya malah yang mewarisi sikap almarhum Nak Azzam namanya Azril. Dia lebih humoris dan senang membaur dengan para karyawan,” ungkap Pak Reno menceritakan keluarga pemilik kafe dan resto, sambil tangannya tak berhenti mengolah makanan bersama Fathiyah.

Fathiyah tersenyum mengangguk, ia belum menyadari nama pemilik kafe tempatnya bekerja, dan sama sekali tidak menyangkut pautkan nama itu. Ia berpikir bukan satu orang yang mempunyai nama yang sama.

“Nanti kalau Pak Rizki memintamu menemui keluarga pemilik kafe sebaiknya pakai kerudung ya, Nak!” saran Pak Reno.

“Kerudung!”

“Iya, kerudung untuk menutupi rambut Nak Fathiyah,” ujarnya.

“Iya aku tahu, Pak, tapi masalahnya aku tidak membawanya, andai sejak kemarin Bapak mengingatkannya pasti aku membawanya, Pak,” ucapnya sedikit panik.

“Ya sudah, kalau begitu ndak apa, nanti pakai topi koki saja, yang penting tertutup rambutnya,” ujarnya menenangkan Fathiyah.

“Terima kasih, Pak.”

***

Sore pun tiba, Beberapa anak yatim dan kaum dhuafa sudah memenuhi restoran ini. Tak lama 5 buah mobil datang. Mobil pertama milik Afnan dengan membawa Arni, Azril dan Afni. Mobil kedua dikemudikan Dedik dengan membawa Ratna, Aidil, Kiyai Laqief dan Ummi Syarifah. Mobil ketiga dikemudikan sopir Haji Hambali yang membawa Haji Hambali, Yulia, Syafaah dan Hendra. Mobil keempat dan kelima saudara-saudara Azzam yang lain yang turut hadir meskipun sebagian. Karena Gus Achmad dan keluarganya sedang umroh.

Acara segera dimulai. Arza sudah meminta izin pada keluarganya tidak bisa menghadiri acara sore ini, karena tugasnya yang tidak memungkinkannya untuk meminta izin pada komandannya.

Acara doa bersama berjalan dengan lancar. Setelah semua acara selesai semua tamu undangan diminta untuk ramah tamah, menikmati hidangan yang dijual di kafe dan resto ini.

“Ini menu baru ya?” tanya Dedik.

“Iya, Kang. Katanya Arza ada menu baru dan lagi booming di sini,” jawab Afnan.

“Enak masakannya, adek suka, Bi,” ujar Azril yang ditimpali Afni dengan mengacungkan jempolnya.

“Katanya sih koki baru, tapi Arza belum pernah bertemu karena Arza mengunjungi kafe saat koki itu sudah pulang. Pukul setengah 9 kadang pukul 9 malam Arza baru ke sini,” ujar Afnan.

“Pak Rizki, bisa kami bertemu koki itu?” tanya Arni penasaran.

“Tentu, Bu.” Pak Rizki segera memanggil Fathiyah. Pak Reno menyadari kepanikan Fathiyah yang tidak memakai kerudung, sedangkan yang ingin bertemu dengan gadis itu adalah pemangku pondok pesantren besar di daerah ini. Pak Reno mengangguk memberi semangat pada Fathiyah.

“Kenalkan Bu Arni ini Nak  Fathiyah,  koki baru di kafe dan resto ini,” ucap Pak Rizki, sedangkan Fathiyah yang berdiri di sampingnya sejak tadi menunduk memberi hormat pada semuanya.

“Wah, masih muda sekali! Kamu umur berapa, Nak?” tanya Arni.

“18 tahun, Bu,” jawabnya.

“Seumuran denganku dong,” ujar Afni. Fathiyah langsung mendongakkan kepalanya sedikit, melihat ke arah Afni sambil tersenyum.

“Wah, hebat. Umur masih 18 tahun sudah pintar memasak,” ucap Azril memuji. Fathiyah hanya tersenyum dan kembali menundukkan mukanya.

“Kamu hebat, Nak. Bahkan menu yang kamu hidangkan jadi booming di kafe ini,” puji Afnan juga, Dedik dan lain menganggukkan kepala sependapat dengan Afnan.

“Yang semangat ya, Nak. Semoga bisa menciptakan kreasi baru lagi,” ucap Arni menyemangatinya. Fathiyah mengangguk dan tersenyum.

Setelah menemui keluarga pemilik kafe dan resto. Fathiyah kembali bekerja.

***

Selepas sholat magrib, Fathiyah dan Pak Reno kembali berkutat di tempat produksi. Karena setelah ini kafe dan resto akan dibuka untuk umum, pelanggan dan pengunjung akan segera berdatangan.

Pukul tujuh malam. Pak Rizki memanggil semua pegawai di kafe ini karena pemilik kafe ingin bertemu dengan semua pegawainya. Sudah menjadi kebiasaan sang pemilik kafe akan memberi bonus pada semua pegawainya  di hari jadi kafe dan resto ini. Selain tunjangan hari raya.

Arza meminta Pak Rizki mengumpulkan semua pegawainya di aula kafe dan resto ini.

Fathiyah dan Pak Reno ikut bergabung dengan semua pegawai yang lain. Betapa terkejutnya Arza saat melihat Fathiyah berada di kafe dan resto miliknya memakai seragam yang sama dengan pegawai lainnya. Fathiyah yang sejak tadi menunduk karena belum siap bertemu pemilik kafe dan resto ini tidak menyadari Arza menatapnya dengan pandangan tidak suka.

“Pak Rizki, siapa yang  memperkerjakannya di sini?” tanyanya sambil menunjuk ke arah Fathiyah, membuat para pegawai lainnya melihat ke arah gadis itu. Fathiyah yang mengenali suara itu langsung mendongakkan kepala. Berulang kali ia menelan saliva, ia tercenung melihat Briptu Arza, laki-laki yang ada di hatinya berdiri menunjuk ke arahnya dengan tatapan tidak suka.

Fathiyah kembali menunduk. Ia tidak menyangka kalau pemilik kafe dan resto tempatnya bekerja adalah milik Arza, laki-laki yang ia cintai. Tatapan tidak bersahabat dari Arza masih terngiang di kepalanya. Ia sangat takut kalau Arza akan memecatnya, sedangkan ia sudah senang dengan pekerjaannya ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status