Pagi yang cerah menandakan matahari telah terbit dari ufuk timur. Sekelompok manusia serentak berseragam sekolah atasan putih dengan bawahan abu-abu yang tengah berbaris rapi di sebuah lapangan yang luas. Terlihat mereka senyap namun ada pula yang mengeluh pada cuaca.
Akhirnya seorang wanita yang agak gemuk berjalan menaiki mimbar yang sudah disediakan.
"Selamat pagi, murid-murid semuanya."
"Pagi, Bu," jawab serentak mereka pada seorang yang diyakini adalah seorang guru.
"Baiklah, dalam kesempatan kali ini saya sebagai kepala sekolah SMA Bina Bakti dan segenap yayasan beserta para majelis guru menyatakan bahwa, seluruh siswa dan siswi SMA Bina Bakti kelas Xll dinyatakan " LULUS" dengan surat pernyataan tertulis yang sah."
Sorak gembira para murid terlihat jelas saat seorang kepala sekolah selesai berbicara. Suara teriakan bahagia diiringi dengan suara tepuk tangan yang keras. Para murid yang tadinya berbaris rapi kini telah berhamburan merasa kegirangan. Seorang murid pasti menantikan hari dimana mereka sudah berhasil menyelesaikan sekolah menengah akhir dan akan melanjutkan masa-masa merasakan kuliah, bekerja di luar rumah, atau sudah merencanakan untuk menikah.
Seorang gadis yang tengah memakai baju seragam serba putih, memakai medali perak, dan tak lupa pula toga yang tersangkut di kepalanya, serta membawa buku laporan siswa. Terlihat dia sedang berdesakkan berusaha untuk segera keluar dari kerumunan para manusia.
"Huh! akhirnya selesai juga."
Tiara Ramadhani, sebuah nama yang terpajang jelas di baju seorang gadis dengan rambut tergerai bergelombang. Gadis yang sering disapa Rara itu segera beranjak menuju pinggir lapangan untuk menemui seseorang.
Dari kejauhan terlihat sepasang suami istri yang memakai baju gamis couple dengan baju koko. Terlihat mereka sudah tak muda lagi tengah tersenyum lebar.
"Umi, Abah...!" teriak Rara melambaikan tangan serta berlari menghampiri kedua orang tuanya.
"Masya Allah, anak Abah," ucap abah Sardi pada anaknya.
"Sekarang anak kita udh tambah besar aja ya, Bah," ucap umi Lina menimpali.
Rara tersenyum menanggapi perkataan otang tuanya itu.
"Alhamdulillah, eh Umi, Abah, kita foto, yuk!"
Umi Lina dan abah Sardi mengangguk setuju dan mengekori putrinya yang sedang menarik pergelangan tangan mereka.
Menurut seorang Tiara Ramadhani, lulus sekolah adalah hal yang paling ia dambakan. Karena ia ingin secepatnya kuliah di universitas terbaik di kota.
Senyum dan tawa terus terlihat pada mimik wajah Rara. Dia tak menyangka bahwa sedikit lagi ia akan segera mencapai cita-citanya. Sedikit lagi.
_______
Langit yang cerah dan bersinar perlahan mulai berubah menjadi hitam, yang bertabur bintang, yang membuat siapapun menjadi sejuk dan nyaman.
Kini, Rara dan keluarga tengah makan malam setelah selesai sholat maghrib. Perlahan Rara memberhentikan suapan tangannya dan memandangi umi dan abahnya yang sedang makan dengan khusyu'. Rara menundukkan kepalanya dan menghembuskan nafas jenuh.
"Ekhemm!" Rara berdehem menetralkan napasnya dan segera meneguk air putih yang ada di meja.
Umi dan abah seketika menghentikan mengunyah makanan mereka. Secara bersamaan menatap ke arah Rara. Hal itu membuat Rara gelagapan dan segera beranjak dan kursi tempat dia makan.
Dengan muka cemberut Rara berjalan meninggalkan dapur.
"Hmm, bilang gak ya? Eh nggak deh, nanti aja." ucap Rara dengan suara pelan.
Umi dan abah saling pandang mengisyaratkan mereka bingung dengan anak perempuan mereka itu. Tak ambil pusing umi dan abah melanjutkan makan malam mereka.
__________
"Abah, ini tehnya," ucap umi menyodorkan segelas teh pada suaminya yang sedang bertasbih di kursi ruang depan.
"Iya, makasih Umi."
Abah menyelesaikan dzikirnya dan segera menyeruput teh yang masih hangat.
Rara keluar dari kamar dan menghampiri kedua orang tuanya.
Rara yang sudah lumayan lama duduk di kursi bersama orang tuanya, namun belum terdengar satu huruf pun yang keluar dari mulutnya. Dia masih bergelut dengan pikirannya dan sesekali melirik umi dan abahnya.
Umi yang melihat tingkah aneh anaknya itu akhirnya mulai bertanya.
"Rara, kamu kenapa?" tanya umi penasaran
"Rara gapapa kok, Umi." jawab Rara dengan senyum.
"Kalo kamu gapapa kenapa diam saja, ha?" kini giliran abah yang bertanya. Menajamkan tatapannya seolah menginterogasi tersangka.
Rara mengalihkan pandangannya dari abah yang terus memandanginya.
"Atau ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan sama Umi, dan Abah?" tanya umi melanjutkan.
"Hmm, iya. Rara pengen nunjukin sesuatu ke Umi dan Abah."
Tiara mengambil ponselnya dan memperlihatkan sebuah poster kepada umi dan abahnya. Dengan tersenyum lebar serta alisnya yang naik turun. Entah mengapa hal itu bisa membuat Rara senang.
"Jadi, ini adalah poster dari University Design Stylist di kota ini. Nah, sekarang kampus ini lagi ada penerimaan mahasiswa baru." Rara menjelaskan dengan semangatnya.
"Siapa yang daftar masuk kampus di situ?" tanya abah pada Rara.
"Banyak kok, Bah. Ada teman aku namanya Liya. Dia daftar di situ."
"Jadi, maksud kamu nunjukin itu, apa?" tanya umi pula.
Abah menatap umi mengisyaratkan pertanyaan yang sama.
Melihat kedua orang tuanya, Rara menarik napas lalu mengeluarkannya secara perlahan. Ia tak tau apa tanggapan orang tuanya nanti, tapi orang tuanya harus tau apa keinginannya.
"Rara pengen masuk kuliah di University Design Stylist ini."
Umi dan abah saling pandang mendengar ucapan anaknya. Dan kembali menatap anaknya secara bersamaan.
"Kamu udah ambil formulirnya?" tanya umi.
"Belum sih, tapi udah ada kok. Kita hanya perlu memenuhi syaratnya aja. Udah, beres."
Abah kembali menyeruput tehnya yang mulai dingin sampai habis. Kemudian abah membuka amplop yang berada di atas meja dan berisikan selembar kertas.
"Lebih baik kamu isi formulir ini sesuai syarat dan ketentuannya."
"Itu formulir buat apa, Bah?" tanya Rara penasaran.
"Itu formulir untuk kamu mondok di pondok pesantren," ucap abah dengan jelas.
"Hah! Mondok?"
--------------------
Bersambung..
Pengen next? Tinggalkan jejak kalian dengan vote sebanyaknya ya🤗
🔹🔹🔹🔹Rintik-rintik gerimis hujan membasahi jalanan di kota pada malam hari ini. Sepasang pria dan wanita itu sedang berada di sebuah vespa yang melaju. Ini bukan hujan lebat, namun karena mereka mengendarai vespa jadinya hujan rintik pun terasa lebat. Karena suasananya yang mulai kedap juga membuat cuaca semakin dingin.Jordan selaku kemudi yang berdiam di depan berusaha menahan dinginnya terkena rintikkan. Ia memelankan laju vespanya guna tidak semakin kuat buliran air itu menerpa wajahnya. Begitu pun Rara yang diboncengi Jordan, ia memeluk tubuhnya sendiri dan menundukkan kepalanya, ia menenggelamkan kepalanya agar terhalang bahu Jordan."Ra, are you oke?" tanya Jordan sedikit berteriak dan sekilas menoleh ke belakang."Ya, I'm fine."Jordan tahu Rara sangat kedinginan, karena Jordan melihat dari pantulan kaca spion bahwa mulut Rara terus mengeluarkan asap."Tunggu sebentar aja. Ini gak akan lama."30 menit kemudian Jordan pun a
🔹🔹🔹🔹Jam kuliah Rara telah selesai, kini Rara akan pulang ke rumah. Rara berjalan gontai menuju gerbang kampus, wajahnya terus memperlihatkan rona cemberut. Dia sedikit kesal karena profesor Wildan menolak untuk di wawancarai. Rara jadi kehilangan kesempatan besar untuk belajar langsung dengan sang profesor.Melangkah ke luar gerbang Rara menelusuri setiap pandangannya pada jalan raya itu. Menyadari jemputannya belum tiba, Rara kembali berjalan lesu menapaki jalan, wajahnya yang menunduk membuat rambut panjangnya menjuntai ke depan.Tiba-tiba, saat Rara mendongakkan wajahnya ia sontak memundurkan kepalanya karena ada sebuah kardus tepat di wajahnya."Woo!"Mendengar teriakan Rara, orang yang membawa kardus itu pun menurunkan sedikit kardusnya dan terlihatlah wajahnya."Eh, Mutiara. Maaf aku gak liat.""Jo? Aku pikir siapa." Rara menghela napas lelah."Hehehe…"Rara menyadari Jordan tengah membawa barang
🔹🔹🔹🔹 Bugh! "Aduh!" Liya merintih kesakitan seraya memegangi betisnya, "Aargghh.." Liya membuka mulutnya lebar ia tak dapat berkata-kata karena rasa sakitnya. Baru saja ia tiba di kampus, ia sudah mendapatkan kejutan yang tak terduga seperti ini. Ketika sedang santainya melangkah, betisnya tiba-tiba menubruk benda keras. "Astaga! Maaf, Mbak. Saya gak sengaja. Saya gak tahu kalo ada orang." Liya menoleh pada sumber suara, dilihatnya seorang lelaki asing yang tengah membawa sebuah mesin jahit menggunakan keranjang dorong. "Dasar kampret! Kalo jalan itu liat-liat dong! Jangan langsung nerobos aja!" Liya mendumel kesal. Pasalnya orang ini tiba-tiba muncul begitu saja dari sebuah ruangan hingga tak bisa memastikan apakah ada seseorang di luar, dan akhirnya menubruk Liya. "Iya, Mbak. Lain kali saya akan lebih hati-hati." "Sakit nih! Untung ini cuma nyeri, coba kalo sampai tulang kaki saya retak, anda bisa ganti?"
💍💍💍💍Rara mendongakkan kepalanya seraya menampakkan rona bingung dari wajahnya, "Aku gak paham apa maksud Abah."Abah menghela napas, "Abah gak akan izinkan kamu dekat dengan laki-laki hanya untuk berpacaran.""Bah, Rara tadi udah bilang kita gak pacaran. Rara juga gak mungkin pacaran. Kita cuma temenan." gadis itu mencoba membela."Kamu tau Abah gak ngelarang kamu temenan, tapi kalo soal laki-laki siapa pun dia yang dekat sama kamu, berarti dia siap berhadapan dengan Abah."Ya, abah orang yang posesief tentang lawan jenis yang berhubungan dengan anaknya."Kenapa sih, temenan kok' pilih-pilih?""Ya harus. Supaya kamu tidak salah arah dalam berteman."Rara semakin bersikekeuh dengan pendiriannya. "Salah arah gimana sih, dia orang baik.""Sebaik apa pun dia Abah harap kamu tidak berhubungan dengan laki-laki. Ingat! Abah mengizinkan kamu kuliah untuk belajar, mengejar impian kamu. Kalo kamu hanya mai
🔹🔹🔹🔹"Makasih banyak, Jo.""Sama-sama."Kedua insan itu pun akhirnya melangkahkan kakinya untuk ke luar dari bioskop dan menuju tempat parkir.Setibanya di tempat parkir Jordan menyandarkan tubuhnya di samping motor vespa miliknya."Tadi itu lagunya asik banget. Ntar aku minta, ya," pinta Rara"Boleh aja," sahut Jordan."RARA...!"Rara sontak menoleh ke arah sumber suara. Terlihat dari kejauhan Liya berlari ingin menghampirinya. Rara sedikit merasa bingung kenapa Liya seperti sedang menahan sesuatu. Terlihat dari wajahnya yang memerah serta peluh keringatnya yang menempel di dahinya.Namun sebelum Liya datang ke hadapan mereka Jordan tiba-tiba memegang pergelangan tangan Rara.Rara tersentak kaget, "Jo, apa?"Tanpa menghiraukan Rara, Jordan langsung menyeret Rara untuk menduduki bagian belakang vespa miliknya."Naik." titah Jordan.Rara yang tak mengerti apa-apa hanya menurut saja da
"Good morning," sapa Liya yang baru saja masuk ke kelas. Bibirnya terus tersenyum lebar kala tiba di kursi Rara."Morning," sahut Rara.Liya seketika mengerucutkan bibirnya kala melihat ekspresi dingin Rara, "Ra, lo masih marah sama, gue?"Rara menyahut tanpa memandang Liya, "Menurut, lo?"Liya menghela napas lelah, "Udah dong, marahnya. Jujur, gue ngerasa bersalah banget. Gue sedih kalo lo gak ladenin gue, gini."Rara tersenyum simpul melihat Liya, kasihan juga melihat Liya yang rasanya seperti kehilangan nyawanya. Lagi pula Rara sudah tak memikirkan perkara itu lagi bahkan dia sudah melupakannya.Rara mengusap lengan Liya, "Iya, santai aja. Udah aku maafin."Liya menggenggam telapak tangan Rara, "Makasih," sahut Liya seraya tersenyum girang.Rara kembali diam setelah berbincang dengan Liya. Rara juga tak menghiraukan Liya yang sedang bercerita, dia tetap diam seraya memainkan ponselnya. Padahal, cuma geser-geser layar doang.