Share

2. Impian Rara

🔹🔹🔹🔹

Mata Rara membulat sempurna kala mendengar perkataan abah. Nafasnya memburu naik turun.

"Hah! Mondok?"

Abah mengangguk membenarkan.

"Kenapa mondok, Bah?" tanya Rara yang masih terkejut.

"Eh, kenapa kamu tanya, jelas kalo mondok itu pendidikan yang sangat baik." 

"Tapi Bah, aku pengen kuliah," ucap Rara yakin.

"Kuliah atau tidak, itu tak mengapa, Ra. Belajar bisa dimana saja, asalkan niatnya belajar bukan untuk main-main," tutur abah.

"Kalo kita mampu kuliah, kenapa kita tidak melakukannya? Abah, di kampus itu aku bisa belajar merancang, meneliti design stylist yang aku mau, belajar bersama profesor besar, dan aku bisa meraih cita-cita menjadi dsigner hebat," tungkas Rara panjang lebar.

"Dan di Pesantren itu kamu bisa melakukan yang kamu mau itu. Kamu bebas dengan gaya kamu. Dan yang paling penting, kamu di situ di bimbing dengan aturan Agama Islam." 

Rara bangkit dari kursi untuk berdiri, "Gak bisa gtu dong. Jelas beda, dan aku gak mau!" ucap Rara memberontak.

Abah pun juga berdiri menghadap Rara. "Bisa, Ra."

"Gak bisa! Bah!" ucap Rara ngegas.

"Bisa!"

"Gak bisa!"

"RARA!" teriak abah dengan kencang.

Deg.

Nafas Rara naik turun. Dia terkejut abah yang membentaknya. Mata Rara berkaca-kaca melihat jari telunjuk abah berada tepat di wajahnya. Akhirnya jatuhlah setetes buliran bening dari pelupuk mata Rara bersamaan dengan kaki yang melangkah pergi dari hadapan orang tuanya.

Abah yang sadar jika ia membentak anaknya segera beristigfar.

"Astagfirullahallaziim." ucap abah seraya mengusap mukanya.

Umi yang sedari tadi hanya berdiam diri melihat anak dan suaminya berdebat, kini beralih duduk di samping suaminya seraya mengelus lengan suaminya. Berniat menenangkan.

Abah menggenggam jari jemari umi. Umi mengangguk menatap suaminya berharap ini akan baik-baik saja.

Sedangkan Rara, dia tak hentinya menangis di dalam kamar. Dia tak bisa memikirkan apa jadinya jika memang terjadi abah akan mendaftarkan dirinya ke Pesantren. Rara merasa dirinya akan semakin jauh dengan impiannya.

Malam yang sunyi dan angin malam yang dingin seakan akan malam ingin membujuk hati Rara yang panas membara. Sesak, kecewa, sedih, marah, itulah yang dirasakan Rara.

Apakah Rara harus mengubur dalam impiannya itu hanya untuk mengiyakan perkataan abah? Hmm, Rara belum siap.

Malam ini Rara benar-benar sangat rapuh.

_____________

Sayup-sayup adzan subuh  berkumandang. Menyerukan kalimat-kalimat Allah dengan suara yang indah. Menyejukkan hati siapapun yang mendengarnya. Mengajak siapapun umat Islam untuk menunaikan kewajibannya.

Setelah abah sholat subuh bersama umi, abah tidak melihat keberadaan Rara, anaknya. Hingga, kini tiba waktunya pagi dan matahari sedang  bersiap untuk mencurahkan cahayanya.

Umi pun juga merasakan hal yang sama dengan abah. Umi gelisah dan khawatir dengan Rara yang tak kunjung ada bunyi.

Akhirnya umi mengetuk pintu kamar Rara.

Tok tok tok.

"Rara, kamu ada di dalam, kan?" tanya umi berteriak.

Tak ada tanda-tanda akan ada sahutan dari dalam kamar. Hal itu membuat umi risau, dan kembali mengetuk kamar Rara.

Tok tok tok.

"Rara, kamu dengar umi, kan? Rara, buka pintunya!" umi kembali berteriak seraya menggerakkan ganggang pintu. 

Memangil nama anaknya berharap ada respon. Namun nihil, tak ada apapun yang terdengar di dalam kamar.

Melihat umi yang tak ada yang menghiraukan membuat abah juga merasa khawatir. Takut terjadi sesuatu pada Rara. 

Abi membantu umi untuk mengetuk pintu kamar Rara dan terus mencoba membuka pintunya dari arah luar.

Ceklek.

Akhirnya abah berhasil membuka pintunya dan menampakkan isi kamar Rara.

Hal yang pertama dilihat oleh umi dan abah adalah berantakan, bau, kotor, dan tisue yang berhamburan dimana-mana.

"Astaghfirullahalladziim, Rara. Kamu ini apa-apaan, sih! Kamar berantakan kaya gini, kamu apain Ra!" ucap umi dengan terkejut. Bahkan umi berjalan berjinjit untuk menghindari tisue yang berhamburan.

Umi menutup mulut rapat tak menyangka. Jadi selama ini beginikah kamar anaknya, yang tak jauh berbeda dari sarang tikus.

Namun, melihat anaknya hanya terbaring di atas kasur dengan selimut yang menutupi badannya hingga telinga, tanpa bergerak sedikitpun membuat umi bingung. 

Sedangkan abah, dia lebih baik beristighfar sebanyak-banyaknya. supaya menahan emosinya untuk tidak memarahi anaknya. 

Umi berjalan mendekati Rara yang sedang terbaring membelakanginya. Umi Menyibak selimut yang membungkus anaknya, menyentuh bahu Rara untuk memalingkan wajah Rara menghadap umi. 

Umi menutup rapat mulut dengan kedua tangannya saat melihat wajah anaknya dengan mata terpejam.

"Yaampun! Rara!" ucap umi menjerit.

Abah yang mendengar suara umi menjadi terkejut, dan segera berlari memasuki kamar menghampiri umi.

Betapa terkejutnya abah, ketika tiba di samping umi dan refleks menutup rapat mulut dengan kudua telapak tangannya kala melihat wajah anaknya, Rara.

••••••••••

Bersambung...

Hayoloo kepo gak? Kepo gak? Kepo gak? kepo lah masa enggak😱

Silahkan ketikkan tanggapan kalian tentang cerita ini dengan cara komen sebnyaknya ya😇

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status