💍💍💍💍
Rara mendongakkan kepalanya seraya menampakkan rona bingung dari wajahnya, "Aku gak paham apa maksud Abah."
Abah menghela napas, "Abah gak akan izinkan kamu dekat dengan laki-laki hanya untuk berpacaran."
"Bah, Rara tadi udah bilang kita gak pacaran. Rara juga gak mungkin pacaran. Kita cuma temenan." gadis itu mencoba membela.
"Kamu tau Abah gak ngelarang kamu temenan, tapi kalo soal laki-laki siapa pun dia yang dekat sama kamu, berarti dia siap berhadapan dengan Abah."
Ya, abah orang yang posesief tentang lawan jenis yang berhubungan dengan anaknya.
"Kenapa sih, temenan kok' pilih-pilih?"
"Ya harus. Supaya kamu tidak salah arah dalam berteman."
Rara semakin bersikekeuh dengan pendiriannya. "Salah arah gimana sih, dia orang baik."
"Sebaik apa pun dia Abah harap kamu tidak berhubungan dengan laki-laki. Ingat! Abah mengizinkan kamu kuliah untuk belajar, mengejar impian kamu. Kalo kamu hanya mai
🔹🔹🔹🔹 Bugh! "Aduh!" Liya merintih kesakitan seraya memegangi betisnya, "Aargghh.." Liya membuka mulutnya lebar ia tak dapat berkata-kata karena rasa sakitnya. Baru saja ia tiba di kampus, ia sudah mendapatkan kejutan yang tak terduga seperti ini. Ketika sedang santainya melangkah, betisnya tiba-tiba menubruk benda keras. "Astaga! Maaf, Mbak. Saya gak sengaja. Saya gak tahu kalo ada orang." Liya menoleh pada sumber suara, dilihatnya seorang lelaki asing yang tengah membawa sebuah mesin jahit menggunakan keranjang dorong. "Dasar kampret! Kalo jalan itu liat-liat dong! Jangan langsung nerobos aja!" Liya mendumel kesal. Pasalnya orang ini tiba-tiba muncul begitu saja dari sebuah ruangan hingga tak bisa memastikan apakah ada seseorang di luar, dan akhirnya menubruk Liya. "Iya, Mbak. Lain kali saya akan lebih hati-hati." "Sakit nih! Untung ini cuma nyeri, coba kalo sampai tulang kaki saya retak, anda bisa ganti?"
🔹🔹🔹🔹Jam kuliah Rara telah selesai, kini Rara akan pulang ke rumah. Rara berjalan gontai menuju gerbang kampus, wajahnya terus memperlihatkan rona cemberut. Dia sedikit kesal karena profesor Wildan menolak untuk di wawancarai. Rara jadi kehilangan kesempatan besar untuk belajar langsung dengan sang profesor.Melangkah ke luar gerbang Rara menelusuri setiap pandangannya pada jalan raya itu. Menyadari jemputannya belum tiba, Rara kembali berjalan lesu menapaki jalan, wajahnya yang menunduk membuat rambut panjangnya menjuntai ke depan.Tiba-tiba, saat Rara mendongakkan wajahnya ia sontak memundurkan kepalanya karena ada sebuah kardus tepat di wajahnya."Woo!"Mendengar teriakan Rara, orang yang membawa kardus itu pun menurunkan sedikit kardusnya dan terlihatlah wajahnya."Eh, Mutiara. Maaf aku gak liat.""Jo? Aku pikir siapa." Rara menghela napas lelah."Hehehe…"Rara menyadari Jordan tengah membawa barang
🔹🔹🔹🔹Rintik-rintik gerimis hujan membasahi jalanan di kota pada malam hari ini. Sepasang pria dan wanita itu sedang berada di sebuah vespa yang melaju. Ini bukan hujan lebat, namun karena mereka mengendarai vespa jadinya hujan rintik pun terasa lebat. Karena suasananya yang mulai kedap juga membuat cuaca semakin dingin.Jordan selaku kemudi yang berdiam di depan berusaha menahan dinginnya terkena rintikkan. Ia memelankan laju vespanya guna tidak semakin kuat buliran air itu menerpa wajahnya. Begitu pun Rara yang diboncengi Jordan, ia memeluk tubuhnya sendiri dan menundukkan kepalanya, ia menenggelamkan kepalanya agar terhalang bahu Jordan."Ra, are you oke?" tanya Jordan sedikit berteriak dan sekilas menoleh ke belakang."Ya, I'm fine."Jordan tahu Rara sangat kedinginan, karena Jordan melihat dari pantulan kaca spion bahwa mulut Rara terus mengeluarkan asap."Tunggu sebentar aja. Ini gak akan lama."30 menit kemudian Jordan pun a
Pagi yang cerah menandakan matahari telah terbit dari ufuk timur. Sekelompok manusia serentak berseragam sekolah atasan putih dengan bawahan abu-abu yang tengah berbaris rapi di sebuah lapangan yang luas. Terlihat mereka senyap namun ada pula yang mengeluh pada cuaca. Akhirnya seorang wanita yang agak gemuk berjalan menaiki mimbar yang sudah disediakan. "Selamat pagi, murid-murid semuanya." "Pagi, Bu," jawab serentak mereka pada seorang yang diyakini adalah seorang guru. "Baiklah, dalam kesempatan kali ini saya sebagai kepala sekolah SMA Bina Bakti dan segenap yayasan beserta para majelis guru menyatakan bahwa, seluruh siswa dan siswi SMA Bina Bakti kelas Xll dinyatakan " LULUS" dengan surat pernyataan tertulis yang sah." Sorak gembira para murid terlihat jelas saat seorang kepala sekolah selesai berbicara. Suara teriakan bahagia diiringi dengan suara tepuk tangan yang keras. Para murid yang tadinya berbaris rapi kini telah berhamburan m
🔹🔹🔹🔹 Mata Rara membulat sempurna kala mendengar perkataan abah. Nafasnya memburu naik turun. "Hah! Mondok?" Abah mengangguk membenarkan. "Kenapa mondok, Bah?" tanya Rara yang masih terkejut. "Eh, kenapa kamu tanya, jelas kalo mondok itu pendidikan yang sangat baik." "Tapi Bah, aku pengen kuliah," ucap Rara yakin. "Kuliah atau tidak, itu tak mengapa, Ra. Belajar bisa dimana saja, asalkan niatnya belajar bukan untuk main-main," tutur abah. "Kalo kita mampu kuliah, kenapa kita tidak melakukannya? Abah, di kampus itu aku bisa belajar merancang, meneliti design stylist yang aku mau, belajar bersama profesor besar, dan aku bisa meraih cita-cita menjadi dsigner hebat," tungkas Rara panjang lebar. "Dan di Pesantren itu kamu bisa melakukan yang kamu mau itu. Kamu bebas dengan gaya kamu. Dan yang paling penting, kamu di situ di bimbing dengan aturan Agama Islam." Rara bangkit dari ku
Gadis itu—Rara yang masih setia menutup rapat kedua matanya. Mata yang sembab, hidung yang memerah, dan suhu badan yang panas.Umi juga masih setia duduk di ranjang tempat Rara berbaring. Umi terus memandangi Rara seraya mengompres dahi Rara menggunakan handuk yang basah. Berusaha untuk menormalkan suhu badan Rara yang panas.Tak lama kemudian, Rara mulai terganggu dengan aktifitas umi, dan perlahan membuka kedua kelopak matanya. Yang pertama dilihat Rara adalah sebuah wajah cantik yang tengah tersenyum kepadanya. Manusia yang melahirkannya. Umi.Umi yang merasa Rara menatapnya segera beranjak memeluk Rara, "Alhamdulillah, Rara. Umi senang kamu akhirnya sadar."Rara tersenyum merasakan dan membalas pelukan hangat umi.Umi menyudahi pelukannya, "Nak, kamu baik-baik aja, kan? Ada yang sakit gak, sayang?" tanya umi seraya meraba-raba tubuh Rara.Rara memegangi tangan umi yang masih bergerak, seraya menggeleng kua
Tut tut tuutt.. Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi. Silahkan tinggalkan pesan suara. "Shhh.." Umi mendesis kesal. Lagi dan lagi operator telepon mengucapkan hal yang sama. "Aduh! Abah kenapa gak angkat panggilan Umi, sih?" keluh umi. Dengan langkah mondar-mandir, umi terus berkomat kamit pada layar ponselnya. "Ditelpon gak dingkat, di SMS gak dibales. Abah gimana sih!" gerutu umi kesal. Hari sudah semakin malam namun belum terlihat batang hidungnya abah, atau terdengar suara mobil pun tak ada. Sudah sejam lamanya umi terus menunggu abah di ruang depan. Andai saja umi tau ini akan terjadi, umi pasti tidak akan membiarkan abah untuk pergi. Akhirnya rasa kegelisahan umi pun terbalaskan dengan adanya suara deru mobil di depan rumah. Umi pun langsung membuka pintu untuk menghampirinya. Ketik melihat seorang lelaki yang turun dari dalam mobil, umi langsung menghmpirinya dan menjabat tang
Tok.....tok..... Jari jemari yang hanya bergerak pada atas meja untuk memantulkan bunyi. "Huuuuhhh." Helaan nafas lelah yang sudah terlalu banyak abah lakukan. Entah apa lagi yang harus dilakukan. "Eum..maafin Umi ya, Bah," pinta umi memohon hati-hati dari seberang meja. "Seharusnya Abah yang minta maaf. Kalo waktu itu Abah gak ngebentak Rara, pasti sekarang gak akan begini. Abah minta maaf ya, Mi," tutur Abah. "Dan gak seharusnya juga Umi ikutan ngambek. Umi minta maaf ya, Bah." Umi dan abah saling memandang dari sebrang meja, "iya, udah dimaafin," ucap umi dan abah secara bersamaan. Merasa hal seperti itu jarang terjadi, umi dan abah menjadi terkekeh sendiri menanggapi perlakuan mereka bersamaan. Abah melihat sekelilingnya. "Sekarang apa lagi yang ada. Isi kulkas abis, nasi gak ada, roti gak ada, jajanan gak ada. Sekarang dapur jadi sepi begini," keluh abah ketika melihat rak-rak yang tak berpenghu