Share

4. Mogok Makan

Tut tut tuutt..

Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi. Silahkan tinggalkan pesan suara.

"Shhh.."

Umi mendesis kesal. Lagi dan lagi operator telepon mengucapkan hal yang sama.

"Aduh! Abah kenapa gak angkat panggilan Umi, sih?" keluh umi.

Dengan langkah mondar-mandir, umi terus berkomat kamit pada layar ponselnya.

"Ditelpon gak dingkat, di SMS gak dibales. Abah gimana sih!" gerutu umi kesal.

Hari sudah semakin malam namun belum terlihat batang hidungnya abah, atau terdengar suara mobil pun tak ada.

Sudah sejam lamanya umi terus menunggu abah di ruang depan. Andai saja umi tau ini akan terjadi, umi pasti tidak akan membiarkan abah untuk pergi.

Akhirnya rasa kegelisahan umi pun terbalaskan dengan adanya suara deru mobil di depan rumah. Umi pun langsung membuka pintu untuk menghampirinya.

Ketik melihat seorang lelaki yang turun dari dalam mobil, umi langsung menghmpirinya dan menjabat tangannya.

"Alhamdulillah, Abah akhirnya pulang juga." ucap umi seraya mencium punggung tangan abah.

"Iya, gak mungkin lah Abah gak pulang."

Abah masuk kedalam rumah diiringi dengan umi.

"Abah tau gak, Umi udah lama nunggu Abah pulang."

"Lah, kenapa ditungguin. Kan Abah udah bilang, Umi gak usah nungguin Abah. Kalo Umi ngantuk Umi tidur duluan aja." 

"Umi nungguin Abah bukan karena Umi gak mau tidur duluan, tapi karena ada sesuatu yang pengen Umi bicarain sama Abah."

"Bicara apa sih, sampe nungguin Abah segala. Kan bicaranya bisa besok."

Umi menghela nafas, "Ini tentang Rara, Bah."

Abah beranjak untuk pergi, "Ya ya. Syukurlah Rara sekarang sudah semakin baik." ucap abah seraya berjalan menyalipi umi.

"Abah! Bukan yang itu!" seru umi. Namun abah sudah berlalu dari hadapan umi. 

"Abah belum sholat isya." 

••••••

"Astaghfirulah!" 

Bugh!

"Aduhh! La haula wala kuwata illa billah!"

Seketika rumah yang sudah sekian lama abah Sardi bangun kini tiba-tiba bergoyang sendiri. Seperti ada gempa dadakan. Abah yang sedang mengangkat teko air panas seketika tumpah dilantai dan mengenai punggung kakinya.

Abah menyibak-nyibakkan celana panjangnya yang terkena air panas seraya meniupnya sekuat mungkin, "Huhuhuuuhh!"

Pagi-pagi sekali abah ingin membuat teh panas, cocok dengan udara dingin pagi ini. Namun ketika mendengar jeritan cempreng istrinya itu—umi Lina, membuat abah merasa penasaran, dan segera mencari arah datangnya suara seraya berjalan tertatih.

"Astaghfirulahalladziimm, Umi kenapa sih? Liat nih, kaki Abah kena air panas kan, jadinya!" geram abah pada umi yang sudah berada di depannya.

Umi yang tadinya ingin menjemur pakaian di luar, seketika terkejut menatap pintu kamar Rara. Dengan refleks ember yang berisi baju basah siap jemur itu pun terjatuh ke lantai.

Umi tak menghiraukan omelan abah dan menunjuk kamar Rara, "Abah tuh  liat, Bah!" pinta umi pada abah.

Abah mengikuti arahan umi untuk melihat kamar Rara.

Dan...

         WARNING!

SEDANG MOGOK MAKAN!

Abah menunjuk pintu kamar Rara, "Ini maksudnya apa ni?" tanya abah seraya menatap umi.

"Ini yang pengen Umi bicarain semalam. Abah sih, gak mau dengerin Umi, jadinya gini kan!" celoteh umi kesal.

"Loh, kok jadi Abah yang disalahin?" protes abah tak suka.

"Ya iya. Kalo bukan abah yang salah, terus siapa lagi! Ha? Kan Abah yang marahin Rara gak bokehin kuliah! " omel umi.

"Abah kan bicara gitu juga buat kebaikan Rara, dan Umi juga nyetujuin." ucap abah membela diri.

"Sekarang apa ini kebaikan buat Rara?" tanya umi menunjuk tulisan di kertas putih yang menempel di pintu kamar Rara.

Abah menghela nafas dan menundukkan kepalanya. Membiarkan istrinya itu mengomelinya.

"Abah itu harusnya ngertiin Rara. Kemarin dia demam karena nangis semalaman dan gak tidur. Sekarang dia mogok makan. Besok Rara bakal ngapain lagi, Bah!" tutur umi merasa khawatir dengan anaknya itu.

Abah terus menundukkan kepalanya. Lebih baik mendengarkan ceramah soleha istrinya.

Umi menghela nafas kemudian menatap lekat wajah abah, "Pokoknya Abah harus bicara sama Rara. Abah harus bujuk Rara supaya mau makan. Kalo nggak...." umi menggantung ucapannya, membuat abah mendongakkan wajahnya untuk menatap umi meminta jawaban.

Umi menyipitkan matanya dengan raut kesal, "kalo nggak, Umi gak mau bicara sama Abah, dan Abah gak akan ajak Umi bicara." sambung umi dengan jelas.

Abah terkejut dengan apa yang umi katakan barusan. Apa katanya? Abah gak boleh bicara sama umi? Sama istri sendiri? Huuuhh..jika mertua abah tau hal ini, bisa-bisa abah tak diberi kesempatan bicara maaf, karena mulut abah yang terkoyak-koyak terkena jurus tinjuan seribu bayangannya.

Umi beranjak memungut ember yang tergeletak di lantai, dan segera berjalan pergi jauh dari hadapan abah.

Duuh! Ntah bagaimana repotnya abah ketika membujuki 2 wanita sekaligus.

Baiklah abah, you go action😤

••••

"Umii, jangan ngambek dong!"

Entah sudah berapa puluh kali kalimat itu terucap dari mulut abah untuk memohon pada istrinya. Umi yang sedang memilas pakaian yang basah seakan-akan umi seperti mendengarkan anak kecil yang sedang merengek minta jajan.

"Abah bakal usahain buat bicara sama Rara. Tapi Umi jangan ngambek sama Abah, ya." 

Abah terus berusaha untuk mengajak umi ngobrol. Namun tak ada sahutan dari umi. Yang ada abah hanya mendapat  kibasan baju basah yang umi lakukan. Akibatnya, wajah abah basah karena terkena cipratannya.

"Eh, Mbak Lina. Enak ya, pagi-pagi jemur baju ditemani suami." teriak seorang wanita berucap.

Umi yang mendengar seseorang berteriak padanya segera memberhentikan aktifitasnya.

"Hehe..ini cuma ngikut berjemur pagi aja." sahut umi seraya tersenyum.

Abah membelalakkan matanya. Dia yang sedari tadi berusaha mengajak umi mengobrol namun tak sahutan. Tapi ketika orang lain berbicara dengan umi, dengan senang hati umi meladeninya.

Umi berjalan menuju tembok samping untuk mendekati tetangganya, "Ibu, sejak kapan Tika punya, Abang?" tanya umi seraya menunjuk seorang wanita yang dibonceng seorang lelaki, yang menggunakan seragam sekolah dengan menggunakan sepeda motor. 

"Oh itu. Bukan, Mbak. Itu pacarnya Tika yang ngajak pergi sekolah bareng." jelas wanita yang diakui ibunya Tika-anak tetangga.

Umi tersenyum seraya manggut-manggut.

"Tuh, kalo anak gak disekolahin ke pendidikan Islam. Tidak bisa memahami aturan Agama Islam. Tanpa rasa malu mengumbar kemesraan dengan lawan jenis. Padahal mereka bukan mahromnya." bisik abah dari arah punggung umi.

Umi refleks berpaling badan untuk menatap abah. Dengan mata terbelalak umi melototi suaminya itu. Umi heran kenapa sekarang abah suka menggosip. 

Kemudian umi berlalu dari hadapan suaminya. Tak lupa untuk memungut ember yang sudah kosong yang tergeletak di tanah.

Ketika umi melewati kamar Rara, umi menatap kosong kamar Rara. Raut sedih terus terlihat pada wajah umi. Akrirnya umi mencoba mengetuk kamar Rara.

Tok tok tok.

"Rara, buka pintunya, Ra. Umi bikinin makanan kesukaan kamu tapi kamu makan ya, Nak." ucap umi berteriak dari arah luar.

Hening.

Tak ada sahutan apapun dari dalam.

"Rara, buka dong! Umi bakal usaha untuk mewujudkan impian kamu. Kamu jangan mogok makan dong! Kalo kamu sakit Umi sedih liatnya." tutur umi pada pintu. Ya hanya sebuah papan yang terkunci dari dalam.

Tak ingin putus asa, umi terus berusaha mengetok kamar Rara sembari berteriak memanggil nama Rara. Namun hasilnya tetap sama. Tak ada sahutan apapun.

Umi memutar otak untuk mencari akal bagaimana caranya agar Rara mau makan. Lumayan lama berfikir, umi akhirnya mendapat ide cemerlang. Segera umi berlari ke arah dapur.

Umi mengobrak-abrik isi kulkas untuk mengambil makanan sebanyaknya dan mengumpulkannya.

Buah-buahan, jajanan, roti kemasan, mie instan, mie cup, minuman kaleng, kue kering, kue bolu, sosis goreng, dan ayam goreng.

Meja makan penuh dengan isi kulkas yang umi keluarkan. Mengeluarkan apa saja yang bisa dimakan. 

Umi menaruh semua makanan dan minuman ke dalam ember kosong yang ada di tangan umi. Kemudian menentengnya ke depan kamar Rara.

Makanan yang tak berkemasan umi bungkus dengan plastik es dan mengikatnya.

Umi meraih roti dari dalam ember kemudian berjinjit untuk memasukkan roti tersebut ke lobang di atas pintu kamar Rara.

"Umi lagi ngapain?" tanya abah yang datang dari arah luar.

"Eh, Abah sini bantuin, hayuk!" 

"Ngapain sih?"

"Udah jangan banyak tanya, bantuin aja!"

Umi menyuruh abah berjongkok, kemudian umi menaiki punggung abah dan memasukkan rotinya ke dalam lobang yang langsung masuk ke dalam kamar Rara.

Bugh!

Umi turun dari punggung abah, "Yes! Masuk bah."

"Ngapain sih?" tanya abah yang masih heran dengan umi.

"Ini cara satu-satunya supaya Rara di dalam bisa makan." jelas umi.

"Oohh begitu. Ternyata Umi pintar juga ,ya." puji abah kagum.

"Iya dong. Yaudah Abah bantuin ini masukin semuanya." pinta umi menyerahkan ember yang berisikan makanan.

Abah menuruti perintah umi. Postur tubuh abah yang tinggi memudahkan abah untuk memasukkan makanan ke dalam lobang.

"Rara, kamu makan yang banyak ya. Nih umi kasih banyak-banyak." teriak Umi dari arah luar dan terus menyodorkan makanan pada abah.

•••••

Telepon video tersambung dengan Liya.

"Hai." sapa Liya dari telepon video yang tersambung.

"Woy! Lo kok lemes sih?" sambung Liya bertanya dengan raut kebingungan.

Raut wajah Rara yan sulit diartikan. Antara marah atau sedih.

Liya fokus menjelasi wajah Rara menelusuri tiap kerutan yang ada, guna mencari jawaban dari pertanyaannya.

"Buahahaha!" tawa Rara akhirnya pecah bersamaan dengan hilangnya raut sendu dari wajahnya. Rara tertawa terbahak-bahak hingga terlihat perutnya yang kembang kempis.

Liya yang sedari tadi serius menanggapi Rara kini tau Rara hanya pura-pura.

"Ngapain lo? Kesurupan?" 

"Yeayyy! Akhirnya berhasil!" teriak Rara bahagia.

"Berhasil apaan?" tanya Liya serius.

"Gue berhasil narik perhatian Abah. Yes!" ucap Rara seraya terkekeh kecil.

"Waw! Cepet juga, yah. Emang lo ngapain?" tanya Liya penasaran.

"Gue mogok makan."

"Waduh! It bahaya banget. Kalo lo mati kelaperan gimana?" tanya Liya khawatir.

"Ya gak mungkin lah. Abah gak bakalan biarin gue kelaperan. Nih liat!" ucap Rara seraya menggeser ponselnya ke arah lantai.

"Hoo! Itu makanan semua tuh?" tanya Liya terkejut Menatap ponselnya dengan banyaknya makanan berserakan dilantai seraya menutup mulutnya dengan tangan.

Rara mengangguk, "Dan lo pasti tau siapa yang buat gini. Abah." tutur Rara dengan jelas.

"Hmm..jadi sekarang kamar lo jadi tempat percadangan makanan. Eh bagi-bagi dong!" pinta Liya seraya menaik-turunkan alisnya.

"Enak aja minta-minta! Gue aja belum ada nyentuh tu barang!" Celoteh Rara.

"Lo yakin gak ada nyentuh tu barang? Emangnya lo gak laper apa?" 

"Yakin. Tenang aja, gue bisa tahan untuk beberapa jam."

"Lo yakin gak mau?" tanya Liya seraya menggoda dan memperlihatkan ayam goreng yang ada di tangannya.

"Huh! Gue bisa tahan. Dan sebentar lagi pasti Abah bakal ngebujuk gue, dan gue bakal dibolehin kuliah sama Abah."

•••••

Bersambung..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status