Share

3. Rara Ngambek!

Gadis itu—Rara yang masih setia menutup rapat kedua matanya. Mata yang sembab, hidung yang memerah, dan suhu badan yang panas. 

Umi juga masih setia duduk di ranjang tempat Rara berbaring. Umi terus memandangi Rara seraya mengompres dahi Rara menggunakan handuk yang basah. Berusaha untuk menormalkan suhu badan Rara yang panas.

Tak lama kemudian, Rara mulai terganggu dengan aktifitas umi, dan perlahan membuka kedua kelopak matanya. Yang pertama dilihat Rara adalah sebuah wajah cantik yang tengah tersenyum kepadanya. Manusia yang melahirkannya. Umi.

Umi yang merasa Rara menatapnya segera beranjak memeluk Rara, "Alhamdulillah, Rara. Umi senang kamu akhirnya sadar." 

Rara tersenyum merasakan dan membalas pelukan hangat umi.

Umi menyudahi pelukannya, "Nak, kamu baik-baik aja, kan? Ada yang sakit gak, sayang?" tanya umi seraya meraba-raba tubuh Rara.

Rara memegangi tangan umi yang masih bergerak, seraya menggeleng kuat.

Umi lega melihat putrinya kini telah sadarkan diri.

Tiba-tiba, abah masuk ke dalam kamar, dengan membawa nampan dan mangkuk yang berisikan bubur.

Abah seketika terkejut apa yang telah dilihatnya. Anaknya telah sadar.

"Alhamdulillah, gak sia-sia juga Umi sama Abah merawat kamu, Ra." ucap abah seraya memaruh nampan di atas meja.

Rara yang melihat kedatangan abah, seketika wajahnya berubah 100°c. Rara memalingkan wajahnya ke arah lain. Agar tidak menatap abah.

"Hm, abah. Nggak ada yang akan sia-sia menjaga anak sendiri." ucap umi menanggapi perkataan abah.

Abah mengangguk mengiyakan istrinya itu.

"Lagian kamu juga, Ra. Nangis kok sampe begadang. Mana nangisnya bareng ingus pula! Trus tisuenya di buang sembarangan. Astaghfirulah!" ujar abah yang tak habis pikir dengan anaknya itu.

Memang, Rara melakukan kesalahan. Namun, Rara masih merasa acuh dan memilih untuk masih tidak menatap wajah abah.

"Yaudah lah, Bah. Kan sekarang udah bersih." ucap umi membela.

"Tuh, sampe-sampe kemarin, Umi sendiri yang beresin kamar tikusmu ini." jelas abah yang memandangi seisi kamar Rara.

Rara mendengus kesal mendengar perkataan abah.

Rara menoleh menatap umi, kemudian beranjak bangun dari rebahannya untuk memeluk umi dari samping.

"Umi, maafin Rara, ya." tutur Rara.

Umi membelai puncuk kepala Rara yang memeluknya, seraya mengangguk.

"Kamu itu udah bikin Umi, khawatir." ucap abah.

Umi dan Rara memandangi abah secara bersamaan.

"Emangnya, Abah gak khawatir sama, Rara?" tanya Rara pada abah.

Abah mengalihkan pandangannya ke arah lain, "Hm, dikit."

Rara yang mendengar ucapan abah mendengus kesal dengan wajah yang cemberut, yang masih berada dalam dekapan umi.

••••••

Seharian sudah Rara berdiam diri di dalam kamar. Handuk yang basah masih menempel di atas dahi Rara.

Telepon video tersambung dengan Liya.

"Hay, Ra." ucap seseorang yang terlihat di dalam telepon video bersama Rara. Liya.

"Hay, Li." sahut Rara melambaykan tangan pada ponselnya.

"Eh, Rara. Lo kenapa? Lagi sakit ya?" tanya Liya dengan wajah ekspresi bingungnya yang terlihat di sambungan telepon video.

"Yaa, gitu deh." sahut Rara.

"Nah, kan. Gue udah tebak. Lo kaya gak semangat gitu, sakit lo parah, ya?" 

"Enggak, kok. Gue udah baikan juga, nih."

"Terus, kalo lo udah baik, kenapa masih loyo gitu, sih? Lo kalo ada sesuatu cerita aja."

"Hmm, iya nih. Gue gak mood, banget." ucap Rara seraya menghembuskan nafas.

"Tuh, kan. Yaudah cerita aja."

"Gapapa, nih gue cerita? Ntar, gue ganggu lo yang sibuk, lagi." 

Liya mengangguk yakin menatap Rara dari sambungan telepon video, "Atau, kalo lo gak mau cerita di sini, gue yang ke sana, ya?"

"Eh, gausah. Oke, ini soal Abah." ucap Rara to the point.

"Wait, wait. Kenapa lagi tuh Abah, lo?" tanya Liya penasaran.

"Abah, gak izinin gue kuliah." ucap Rara cemberut.

"Hah! Kok bisa? Kenapa?"

"Karena, Abah pengen gue mondok di Pesantren." jelas Rara

"Seriously? OMAYGATT!" jerit Liya tak percaya.

Rara yang mendengar teriakan cemprengnya Liya segera menutup rapat telinganya, untuk melindungi gendang telinganya agar tidak pecah. Sialnya Rara lupa mengurangi volume ponselnya.

"Woy! Biasa aja, napa! Masalahnya ini telinga gue! Lo mau bikin gue tambah sakit, apa?" ucap Rara murka.

"Ya, sory. Trus, gimana dong nasib lo?" tanya Liya. 

Seperti yang Liya tau, Rara cinta fashion. Meskipun, fashion Rara sendiri dia gak cinta. Rara ingin menjadi Designer hebat dan terkenal. Tak mungkin impian Rara itu lenyap terkubur begitu saja hanya dengan alasan mondok.

"Gue juga gak, tau. Semalam Abah marah." jelas Rara.

"Hmm, pasti Abah marah karena lo juga marah ke, Abah." pikir Liya.

"Iyalah, gak mungkin gue diam aja!"

"Lo tuh seharusnya bicara yang lembut sama, Abah."

"Gimana caranya coba? Kalo lo jadi gue, nih. Lo pasti juga bakal kesel sama, Abah."

"Iya, sih. Tapi, kalo gue jadi lo, gue bakalan ngebujuk Abah." ucap Liya.

"Ngebujuk Abah? Gimana caranya?" tanya Rara penasaran.

"Lo harus lakuin apa gitu, biar Abah ngeliat lo dan biar lebih perhatian sama, lo. Dan akhirnya Abah bisa luluh, deh." jelas Liya panjang lebar.

Rara berfikir sejenak. Buat abah perhatian? Hmm..sepertinya Rara tau apa yang harus ia lakukan.

"Oke, makasih sarannya. Love you, muahh." ucap Rara mengecup singkat ponselnya. Selanjutnya memutus sambungan telepon video. Liya yang tak siap, mengiyakan saja apa yang Rara lakukan. Putuskan telepon video.

Telepon video terputus...

••••••

Jam berlalu begitu cepat. Umi sedang berada di dapur untuk menyiapkan makanan. Setelah selesai menyiapkan makanan dan menaruhnya di atas meja, umi beranjak pergi mengajak Rara untuk makan bersama.

"Rara, makanannya udah siap. Kita makan sama-sama, yuk!" ajak umi seraya berteriak di depan kamar Rara.

"Nggak! Umi sama Abah makan duluan, aja. Ntar aku nyusul." sahut Rara dari dalam kamar.

"Yaudah, kamu jangan telat makan, ya." 

Mengiyakan ucapan Rara, umi dan abah makan malam duluan.

Kini malam telah berlalu. Langit hitam tanpa cahaya kini tergantikan dengan siang yang cerah.

Matahari perlahan mulai muncul dari arah timur. Menyinari bumi sebagaimana mestinya. Perlahan tapi pasti rumput segar nan hijau mulai kehilangan air embunnya, karena terkena sinar matahari yang mulai panas.

Pagi-pagi sekali abah berangkat, bahkan sebelum matahari terbit sepenuhnya. Mengendarai satu-satunya mobil yang ia miliki, abah segera menggulingkan ban mobilnya dengan kecepatan sedang. Tadi malam abah mendapat panggilan dari seseorang untuk mengajarkan silat di sebuah yayasan hari ini.

Ya, abah adalah 1 dari 10 murid pencak silat terbaik di Kota. Abah pertama kali diajarkan pencak silat saat berusia 10 tahun. Saat itu, ayahnya abah mengirim abah ke Pesantren di Kota. Di situlah abah diajarkan langsung oleh seorang guru yang sudah lama meninggal dunia.

Bisa dibilang abah adalah salah satunya penerus pembina pencak silat. Saat ini hanya abah yang masih berada di Kota ini. Semua teman abah sudah merantau di mana-mana untuk menyiarkan ilmu.

Begitulah abah, dia sudah lama berprofesi sebagai pembina pencak silat. Sebelumnya, abah pernah menjadi guru di Pesantren tempat abah dulu, namun sekarang sudah pensiun. Sekarang abah memutuskan untuk mengajar silat. Walaupun menjadi pengajar bergilir dan tidak menetap, yang penting abah tetap mengajarkan ilmu yang abah punya.

Setelah abah berpamitan denga umi, umi masuk kembali ke dalam rumah setelah tidak terlihat lagi mobil abah.

Kemudian umi memasuki dapur untuk mencuci piring yang kotor. Membuka tudung saji yang tertutup dia atas meja, umi terlihat heran dengan makanan yang masih utuh rapi di atas piring. Makanan itu sengaja di sisakan untuk Rara makan malam tadi. Tapi melihat ini, umi merasa Rara tidak ada makan malam tadi. Lihatlah bagaimana bau asamnya makanan basi itu.

Umi berjalan menuju kamar Rara. Umi yang melihat kamar Rara sedang terbuka langsung menghampirinya.

"Rara, kamu malam tadi gak makan, ya?" tanya umi menghampiri Rara yang sedang berkaca.

Rara yang melihat kedatangan umi segera berbalik badan menghadap umi. "Hehehe..iya." terang Rara.

Umi mengeleng kepala heran, "Hmm, pantesan makanannya masih utuh. Basi pula." jelas umi.

"Yahh, Rara gak selera buat makan." 

Umi beranjak mendekati Rara, "Kenapa, Ra? Kamu itu baru aja berangsur sehat, seharusnya makan yang banyak biar tambah sehat." ucap umi.

Rara menundukkan kepalanya, "Rara masih kepikiran soal apa yang abah bilang." lirih Rara.

"Umi tau ini pasti sulit buat kamu." tutur umi.

Rara kembali mendongakkan wajahnya seraya menggenggam tangan umi, "Umi, tolongin Rara. Tolong bujukin abah supaya bolehin Rara kuliah. Mi, Rara mohon." rengek Rara meminta pada umi.

"Umi pengen bantu kamu, tapi Umi gak tau caranya gimana." jelas umi.

"Ya, Umi bicara sama abah. Bilangin aku pengen kuliah. Mi, aku mohon tolongin ya, ya, ya?" rengek Rara meminta.

"Rara, kamu jangan terlalu memikirkan hal itu. Nanti kita bicara sama abah. Sekarang, kamu makan dulu ya, kamu dari malam tadi gak makan. Nanti kamu bisa sakit lagi." ucap umi.

Rara melepaskan genggaman tangannya dari umi, "Gak! Pokoknya Umi harus bantuin aku! Sebelum abah bolehin Rara kuliah, Rara gak bakalan makan, mogok makan aja sekalian!" tolak Rara pada umi.

Rara menyilangkan kedua tangannya di dada, dengan wajah yang cemberut Rara memalingkan wajahnya ke arah lain. 

"Yaampun, Rara. Kamu jangan ngambek, dong." pinta umi pada Rara.

Jika abah memiliki rasa empati dengan Rara, pastinya abah tidak akan membiarkan Rara kelaparan.

Seakan jiwa 'war'nya telah muncul, Rara akan melihat seberapa kuat usaha abah untuk mengajak Rara makan nantinya.

                    •••••

Bersambung..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status