“Ini siapa Vie?” tanya wanita yang ada di depan pintu pada Harvie.
“Maaf saya… “ Star menghentikan kata-katanya ketika sebuah tangan mendarat di bahunya. Star perlu mendonggak untuk melihat siapa pemilik tangan itu. Sesuai dugaan itu adalah tangan Harvie. “Karena Mama udah tahu, sekalian kenalan saja deh. Ini pacar aku. Mama bisa panggil dia Star,” Harvie menjelaskan dengan santai. Penjelasan singkat dari Harvie membuat Star cukup terkejut. Wanita yang dipanggil Harvie sebagai Mama lebih terkejut lagi. Dia bahkan menatap gadis mungil di sebelah Harvie dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dan dilihat berkali-kali sekalipun gadis itu terlihat seperti anak junior high school. Wanita paruh baya itu menganga sambil menatap anaknya dan anak kecil di sebelah Harvie secara bergantian. Apakah anaknya ini pedofil? “Biar saya jelas…” “Karena Mama sudah kenalan. Biar Harvie antar Star ke lobi dulu ya, Ma. Jemputannya sudah datang.” “Tapi saya…” “Ayo sayang.” Harvie sama sekali tidak memberikan Star kesempatan untuk berbicara. Dia segera menyeret gadis itu keluar dari ruangan dengan paksa, tanpa peduli pada ekspresi kaget ibunya. Dan tidak peduli pada usaha gadis di sebelahnya untuk melepaskan diri. Harvie baru melepaskan Star ketika pintu lift telah tertutup sempurna. “Apa yang baru saja kamu katakan tadi?” Star langsung bertanya dengan wajah tenangnya yang makin sulit dipertahankan. “Kau adalah pacarku.” Harvie mengedikkan bahunya dengan santai. “Apa maksud anda berbicara seperti itu? Bukankah anda sama sekali belum membeli jasa saya?” rasanya kesabaran Star mulai terkikis. “Tenang saja cantik. Aku akan membayarmu kok.” Harvie menunduk dan mencolek dagu Star. Membuat Star makin kehabisan kesabaran. “Saya rasa tidak perlu. Anggap saja itu sebagai salah satu ganti rugi untuk pakaian anda yang saya kotori. Lagipula belum tentu anda bisa mmbayar saya.” Kata-kata Star membuat Harvie sangat direndahkan. Ditambah lagi dengan nada tenang dan datar itu, membuat Harvie makin emosi saja. “Aku tidak bisa membayarmu?” Harvie bertanya ulang. “Kalau pakaian seharga dua belas ribu dollar saja tidak bisa dibeli lagi, jelas kamu tidak bisa membayar saya.” Harvie baru saja akan membuka mulut ketika pintu lift terbuka dan Star langsung berjalan keluar dengan cepat. Karena tidak menyangka gadis itu akan segera melangkah keluar, Harvie sempat merasa bingung karena terkejut. Hanya beberapa detik, tapi cukup membuat Harvie tertinggal dibelakang. “Aku akan mengembalikan uang sialanmu itu,” Harvie berteriak marah sambil mengikuti Star. Harvie bersumpah akan membuat gadis itu menarik kata-katanya. Sayangnya dewi fortuna masih berada di pihak Star. Seorang wanita menghadang jalan Harvie tepat ketika Harvie tinggal selangkah lagi untuk menggapai Star dengan tangannya. “Kak Harvie, aku kangen.” Wanita yang menghadangnya tadi memeluk Harvie dengan anggun. Seperti seorang sahabat yang baru bertemu lagi. “Derina? Apa yang kau lakukan di sini? Lepaskan aku.” Harvie melepaskan pelukan perempuan bernama Derina itu dengan cukup mudah. Setelah berhasil lepas Harvie dengan panik berlari ke arah pintu keluar gedungnya. Itu dilakukannya karena Star baru saja masuk ke dalam sebuah mobil mewah yang langsung meluncur begitu pintu tertutup. “Sialan,” Harvie berteriak marah karena gagal mengejar gadis sombong barusan. “Kak Harvie ngejar siapa sih?” tanya Derina penasaran, namun tetap menjaga sikap anggunnya. Saking penasarannya, Derina juga mengikuti arah pandangan Harvie. “Derina Langton, ini semua gara-gara kau. Aku jadi gagal mengejarnya.” “Sorry, aku tidak tahu kalau Kak Harvie sedang mengejar seseorang.” Derina mengedikkan bahu dengan santainya. “Jangan menyentuhku.” Harvie menghindar begitu Derina terlihat ingin menggandeng lengannya. “Aku sudah memperingatkanmu berkali-kali Rin. Aku tidak mau dihajar Mark.” Harvie segera melangkah menjauhi Derina untuk masuk kembali ke gedung kantornya. Sementara Derina sedikit merapikan rambutnya yang tertiup angin, sebelum mengejar harvie dengan langkah anggun. “Kau tidak kuliah?” Harvie betanya pada saat mereka sudah berada dalam lift. “Aku sudah selesai, Kak. Mau sampai kapan Kak Harvie menganggapku mahasiswa baru?” “Entahlah mungkin setelah kau tumbuh sedikit lagi. Terutama di bagian depan,” Harvie tidak segan menatapi bagian yang sedikit menonjol pada kemeja Derina. “Matanya tolong dijaga,” tegur Derina tenang dan sama sekali tidak merasa risih. Padahal sedari tadi jantungnya sudah berdebar dengan kencang. “Apa yang kau lakukan di sini?” Harvie bertanya tepat saat lift berdenting, tanda mereka telah sampai di lantai yang dituju. “Aku melakukan wawancara kerja.” “Sorry? Kau mau kerja di perusahaanku?” Harvie cukup kaget mendengar itu, sampai tidak jadi keluar dari lift. “Aku tidak mau kerja di perusahaan keluargaku. Aku ingin berusaha sendiri. Dan karena aku bosan di rumah, aku datang lebih awal untuk ngobrol denganmu,” Derina menjawab sambil melangkah keluar dari lift. “Merepotkan,” gumam Harvie dengan malas. Harvie melangkah keluar mengikuti langkah Derina ke arah ruangan pribadinya. Suasana hatinya sedang tidak bagus, jadi ngobrol sebentar dengan Derina mungkin akan menghilangkan bad moodnya. Derina dengan sopan menunggu Harvie membukakan pintu untuknya, karena biar bagaimanapun itu bukan ruangannya. Dan baru saja pintu terbuka sedikit, suara teriakan sudah terdengar. “Harvie Carlton. Apa kau mau membuat Mama mati berdiri?” Helena Travis-Carlton muncul tepat di depan Harvie membuat pria itu terkejut. “Astaga, Ma. Kalau Mama berteriak begitu, aku yang akan mati berdiri karena kaget.” “Kau sudah berani kurang ajar sam…” kata-kata Helena terhenti ketika melihat Derina. “Selamat sore Tante,” sapa Derina dengan ramah. “Derina? Apa yang kau lakukan di sini?” Helena bertanya dengan nada sedikit tak suka. Derina mungkin bisa berteman dengan Harvie, tapi Helena tidak suka melihat gadis itu terlalu lengket dengan anaknya. Derina yang menyadari hal itu, segera pamit undur diri dari ruangan Harvie. “Kok, Mama masih tinggal di sini? Aku pikir tadi bakal langsung pulang.” Harvie berjalan melewati sang Mama, untuk kemudian duduk di kursi kebesarannya. Helena mengikuti Harvie dan berdiri di sebelah anaknya itu. “Apa yang kau pikirkan dengan mengencani anak-anak? Demi Tuhan Harvie dia masih… mungkin… paling tua lima belas tahun. Jangan jadi pedofil, Nak.” “Dia lebih tua dari yang terlihat, Ma. Masih sekolah, tapi lebih tua dari lima belas.” Helena menganga, kemudian menutupi mulutnya dengan kedua tangan. Terlalu syok mendengar fakta bahwa kekasih anaknya masih duduk di bangku sekolah. Dan bukan di bangku kuliah. “Dia masih di bawah umur?” tanya Helena hati-hati. “Delapan belas tahun.” Harvie menjawab sesuai data yang ada di aplikasi sugar baby. “Dia masih berbeda lima belas tahun denganmu, Vie. Yvonne butuh sosok ibu yang lebih dewasa.” “Yvonne bukan anakku Ma,” sergah Harvie kesal. Entah sudah berapa kali dirinya mengatakan dan menolak Yvonne sebagai anak.“Secara biologis dia memang anak almarhum kakak dan kakak iparmu, tapi secara hukum dia sudah jadi anakmu.” Helena mengingatkan.“Itu bukan keinginanku, Ma. Itu semua Mama dan Papa urus tanpa sepengetahuanku.” Suara Harvie sedikit naik saking kesalnya. “Kasihanilah Yvonne, Vie. Dia baru tiga bulan, tapi sudah tidak punya orang tua. Apa susahnya sih kau jadi ayahnya? Toh kau masih saudara dengan ayahnya Yvonne. Dan diusiamu ini, seharusnya kau sudah menikah.” “That's not my problem, Ma.” Kali ini Harvie berteriak. Harvie sudah kehilangan kesabarannya. Dia masih ingin hidup bebas dan tak mau terikat dengan yang namanya istri, apalagi anak. Harvie turut sedih saat kakaknya Dennis dan istrinya Ilona meninggal karena kecelakaan. Tapi bukan berarti Harvie bersedia menyandang status sebagai ayah baru bagi anak mereka. Belum lagi sang mama terus-terusan mencarikan Harvie jodoh, agar bisa jadi ibu bagi keponakannya yang masih bayi. Dan hari ini batas kesabaran Harvie sudah habis. “Kau sekarang berani berteriak ke Mama?” tanya Helena dengan ekspresi tidak percaya campur marah. Harvie yang baru menyadari kesalahannya, segera minta maaf. “Sorry, Ma. Tadi Harvie… “Pokoknya Mama gak mau tahu. Kau harus menikah dengan wanita pilihan Mama,” Helena memotong kata-kata anaknya dengan nada marah. “Tapi Harvie sudah punya pacar, Ma. Dan Harvie sayang dia,” Harvie tidak mau kalah. “Kalau begitu bawa dia ke acara ulang tahun Kakekmu hari jumat ini. Kita akan lihat, apakah dia sudah siap jadi istri dan ibu untuk Yvonne. Kalau tidak, kau akan tetap menikah dengan wanita pilihan Mama.” Helena tidak lagi ingin mendengar tanggapan anaknya karena sudah terlanjur marah. Dia keluar dari ruangan dengan membanting pintu. “Sialan.” Harvie memukul meja kerjanya cukup keras. “Sekarang apa yang harus kulakukan?” gumam Harvie kesal.***To be continued***Tidak ada satu manusia pun yang tahu apa yang direncanakan oleh Tuhan. Semisal tentang jangka waktu hidup seorang manusia. Setelah kematian Ronald Arwen yang sudah diprediksi. Berita duka yang lain datang dua tahun kemudian. Secara tiba-tiba Peter Carlton meninggal dalam kecelakaan kerja, saat sedang meninjau lokasi pembangunan. Tepat di saat cucu keempatnya lahir. Anak itu kemudian diberi nama Peter Carlton Jr. Ada juga kejadian tak terduga lain ditahun yang sama. Ketika Marvel Leonard Carlton masuk rumah sakit karena ada masalah pada jantungnya. Lubang di jantung yang dulu membuatnya harus masuk NICU, nyatanya tidak berhasil menutup sempurna. Hal itu baru diketahui ketika berumur tujuh tahun. Untungnya, tidak ada yang membuat nyawanya terancam. Marvel hanya perlu operasi untuk menyumbat lubang tersebut, setelahnya Marvel bisa hidup normal. Hal lain yang perlu dirawat dari Marel hanya matanya. Dari usia enam tahun dia sudah harus menggunakan kacamata tebal. Itu terjadi bukan
Marvel menunduk dengan wajah terpesona. Matanya dan bibirnya membuka dengan lucunya, saking terpesonanya dia pada adik bayinya yang baru lahir. Marvel tiap hari bertemu dengan adiknya, tapi tetap saja berekspresi seperti itu. "Eh, Marvel. Pipinya adiknya jangan ditusuk-tusuk gitu dong, Nak." Star mengambil tangan anaknya dengan lembut, agar tidak lagi menjahili si kecil July. Dilarang menggunakan jarinya, kini Marvel kembali mengganggu adiknya dengan cara lain. Kali ini si kecil marvel mengecup pipi July dengan gemas. "Astaga, kecil-kecil sudah ada bibit playboynya." Gumaman asal Helena membuat semua orang tertawa. Helena kembali mengadakan acara syukuran kecil-kecilan untuk cucu ketiganya yang cantik, tepat sebulan setelah kelahirannya. Seperti biasa, bukan hanya Carlton dan Arwen saja yang datang. Keluarga besar Langton juga datang. "Ma, tolong jangan didoaiin yang aneh-aneh dong." Harvie langsung protes mendengar Helena berkata seperti itu. Harvie mengakui kalau dulu dia m
"Mari kita dengar sambutan dari siswa paling berprestasi kita." Seseorang diatas podium mempersilakan Star bergabung. Star berdiri dari tempatnya duduk di barisan paing depan. Dia tersenyum lebar dan berjalan pelan ke atas podium dengan perutnya yang sudah mulai membuncit. "Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih pada Tuhan Yang Maha Esa." Star memulai pidatonya dengan ucapan terima kasih pada berbagai pihak. "Terakhir terima kasih untuk keluargaku. Papa, Mama, adik-adik, Mertua, serta suami dan anak-anakku." Star tersenyum penuh haru ke arah keluarganya duduk. Hanya ada Harvie dan kedua orang tua Star di sana, tapi itu saja sudah lebih dari cukup. Lagi pula akan sangat merepotkan kalau anak-anak juga ikut ke acara wisudanya, jadi Helena dan Peter yang mendapat jatah menjaga anak-anak. "Mungkin banyak yang bingung bagaimana saya membagi waktu jadi ibu rumah tangga dan kuliah, tapi ... Saya bisa jadi seperti ini karena keluarga saya. Karena punya suami yang mendukung ser
"Star ada diatas main sama anak-anak." Hera memberitahu ketika melihat Harvie. "Thank you, Ma." Harvie segera berlari ke lantai atas, tempat anak-anak biasa bermain. Ini sudah hari ketiga sejak Star menginap di rumah orang tuanya dan dia sudah amat sangat rindu dengan keluarga kecilnya. "Star?" Harvie membuka pintu ruang bermain dengan pelan dan menemukan kalau semua penghuninya tengah tertidur di atas karpet tebal. Star tertidur dengan laptop yang terbuka, dikelilingi oleh Yvonne, Marvel, Amora dan Benedict. Pemandangan yang sangat manis dan Harvie sungguh berharap bisa punya keluarga besar seperti ini. Tidak ingin mengganggu istirahat mereka, Harvie mengendap-ngendap untuk mematikan laptop Star. Dan dia mulai memindahkan satu persatu manusia itu ke kamar masing-masing. *** "Sudah bangun?" Star mengerjap perlahan mendengar suara Harvie yang sudah dia rindukan. Star pikir dia masih bermimpi dan mengeratkan pelukannnya pada Harvie. "Masih ngantuk ya?" Harvie bertanya de
Star mengetukkan kaki ke teras rumah dengan wajah amat kesal. Irina yang berdiri di sebelahnya dengan memegang setumpuk kertas, tidak berani menatap bosnya itu. "Daddy ke mana sih?" tanya Star dengan ketus. "Biar saya teleponkan." Irina segera bergerak cepat mengambil ponselnya dan menyerahkannya pada Star untuk bicara. "Daddy tahu sudah berapa lama aku nungguin?" tanya Star dengan luar biasa ketusnya. "Maaf, Sayang. Rapatnya selesai lebih lama dar ..." "I don't care. Kan aku sudah bilang berhenti kerja dan suruh Brian yang urus semuanya. Susah banget ya gak kerja selama beberapa bulan?" "Gak bisa gitu, Sayang. Soalnya ini proyek be ...." "Lebih penting proyek atau anakmu? Datang dalam lima menit atau aku pulang ke rumah Mama." Star mematikan sambungan secara sepihak. Setelah penolakan yang dilakukan Star tempo hari, dia akhirnya melakukan test kehamilan karena merasa khawatir. Tentu saja hasilnya positif, dan membuat Star mengamuk. Sekali lagi, Star bukannya tidak mau punya
"Mami. Mami." Marvel berlari-lari untuk menghampiri ibunya yang sedang mengerjakan tugas akhir kuliahnya. Star yang sedang sakit kepala pun refleks tersenyum melihat bocah empat tahun itu. "Kenapa sayang?" Star mengangkat Marvel dan mendudukkan anak yang kini sudah membulat itu di pangkuannya. "Vel mo ade." Usia Marvel sudah empat tahun lebih, tapi belum bisa bicara lancar seperti Yvonne dulu. Dia memang terlambat mulai bicara, jadi kosakatanya masih minim. "Marvel mau adek?" tanya Star dengan ekspresi sedikit horor. "Maksudnya mau punya adek?" Ekspresi Star terlihat makin horor saja ketika anak bungsunya ini mengangguk. Kenapa juga si Marvel bisa tiba-tiba minta adek? "Kenapa Marvel mau minta adek?" tanya Star penasaran. "Lion punya ade," jawab Marvel dengan senyum mengembang. Sepertinya pria kecil Star itu mulai memikirkan indahnya punya adik lagi. “Rion?” Star mengumpat dalam hati. Lain kali Star tidak akan membiarkan Marvel main dengan Rion. “Kakak Von uga.” "Ka