"Star gak ikut balik ya, Tante. Masih ada janji lain." Yang empunya nama memberitahu Helena, saat grup arisan itu mulai bubar. "Oh, ada janji sama siapa? Harvie ya?" tanya Helena dengan senyum menggoda. "Dengan orang tua saya Tan, tapi katanya Kak Harvie mau datang kalau sempat," jawab Star dengan jujur. "Maaf, ya Tante. Saya belum ngajak Tante dulu." Star segera melanjutkan, takut Helena tersinggung. "Oh, gak apa-apa kok Sayang. Tante bisa ngerti. Perkenalan orang tua akan ada ditahap berikutnya kok." Helena tersenyum riang. Helena bukan hanya sekedar tersenyum karena senang mendengar Harvie akan bertemu orang tua Star, tapi juga tersenyum mengejek dan penuh kemenangan. Dia dari ibu-ibu yang selalu mengatakan Harvie tidak akan serius dengan perempuan manapun, dan senyum yang mengejek Derina. Helena tahu Derina anak baik. Tapi sekali lagi, Helena tidak ingin Derina jadi mantunya. Alasannya sederhana, Derina itu masih keluarga dan Helena tidak suka pernikahan antar keluarga.
Harvie menghela napas lelah. Dia menatap ibunya yang baru saja naik ke mobil sambil pamitan dengan teman-temannya di lobi hotel. Enggan berpapasan dengan mobil sang ibu, Harvie memilih menunggu. Harvie bukannya tak mau, tapi hanya malas menjelaskan kehadirannya di sini. Apalagi sepertinya Harvie sudah sedikit terlambat. Walau Harvie malas mengikuti acara ini. Tapi karena Harvie terlanjur janji, dia akan datang. "Kak Harvie?" Harvie langsung memutar matanya dengan kesal. Itu adalah suara Derina, tapi bagaimana bisa perempuan itu ada di sini? Harvie malas berurusan dengan Derina yang menurutnya terlalu clingy. Harvie terus berjalan menuju ke area lift, tanpa mempedulikan Derina yang mengejarnya. "Kak Harvie? Ngapain di sini?" tanya Derina setelah berhasil mengejar Harvie. Pria itu sedang menunggu lift. "Apa itu urusanmu?" "Aku kan hanya ingin tahu. Tidak boleh ya?" tanya Derina lembut. "Aku akan makan malam dengan pacarku," jawab Harvie santai. "Dan sayangnya tidak
"Ehm, mau makan malam dulu?" tanya Harvie ragu-ragu, melirik Star yang bersandar di jendela mobil. Sudah semenjak duduk di dalam mobil sport Harvie, Star diam sambil memandang keluar jendela. Tentu bukan hal yang mudah mendengar orang tuamu, berniat menjual tubuhmu pada seorang lelaki tua. Siapapun pasti akan sedih dan Harvie tidak pandai menghibur orang yang sedang bersedih. "Sudah terlalu malam untuk makan." Star menjawab tanpa mengalihkan pandangannya. "Yakin tidak lapar?" tanya Harvie lagi. "Tidak baik makan semalam ini, Om." "Ini baru jam delapan lewat, Star." Star menoleh menatap Harvie yang kali ini tidak marah dipanggil om. Itu tentu saja membuatnya sedikit bingung, karena bukan hanya tidak marah. Lelaki itu bahkan terlihat biasa saja. “Apa Anda sakit?” tanya Star dengan ekspresi heran. “Apa maksud pertanyaanmu itu? Kau sedang menyumpahiku?” Kali ini Harvie terlihat kesal. “Tidak. Maksudku, tumben anda tidak marah ketika saya memanggil Anda Om.” Harvie menghel
“Kenyang banget.” Harvie mendesah puas sambil memegangi perutnya. “Katanya tadi makan di sini bisa bikin sakit perut,” ucap Star dengan nada menggoda. Tentu saja Star akan mengejek Harvie. Secara pria itu makan dua porsi, sementara dirinya hanya makan setengah saja. Itupun sisanya juga dihabiskan oleh Harvie. Star jadi heran bagaimana mungkin badan Harvie bisa sebagus itu? Padahal porsi makannya saja luar biasa. Belum lagi dia suka makan junk food. “Aku hanya khawatir dengan perutmu. Biasanya perempuan tidak pernah makan di tempat seperti itu.” Harvie mengelak dengan lincahnya. “Terima kasih perhatiannya.” Star mengangguk setuju, tapi senyum tipis di wajah Star membuat Harvie merasa diejek. “Aku serius,” sergah Harvie sedikit kesal. “Saya tidak bilang anda main-main, Daddy.” Harvie memutar bola matanya, gemas dengan jawaban Star. Tapi kali ini, dia akan membiarkan gadis itu. Anggap saja ini balasan karena sudah diajak ke tempat makan enak. “Jadi habis ini mau ke mana?” tanya
“HARVIE!” Harvie yang masih tertidur lelap, sama sekali tidak mendengar ketukan di pintu itu. Bahkan ketika gagang pintu bergerak berulang kali, tanda seseorang berusaha masuk ke kamarnya yang terkunci, dia masih bergeming. Ketika pintu itu berhasil terbuka dua menit kemudian, Harvie masih tidak bergerak. Lelaki itu benar-benar tertidur lelap, membuat wanita yang masuk ke kamarnya kesal setengah mati. Dengan kekuatan penuh wanita itu memukul lengan Harvie berkali-kali. “Auw.” Harvie tersentak begitu mendapat pukulan pertama. Dia pun terus menjerit tiap mendapatakan pukulan berikutnya. “Auw, Ma. Sakit.” Harvie berusaha menghentikan tangan sang mama agar berhenti memukulinya. “Siapa suruh dibangunin baik-baik gak juga bangun?” “Iya. Ini Harvie bangun.” Harvie memekik dan berusaha beranjak bangun, masih sambil menangkis pukulan ibunya. “Ngapain kamu bisa ada di sini?” tanya Helena ketus begitu anaknya sudah duduk dengan benar. “Mama ini gimana sih? Gak pulang dimarahin, pulang
"Kenapa lama sekali baru sampai?" Harvie langsung protes begitu melihat Star yang duduk santai di ruang tamu di luar ruang kerjanya. "Oh, meetingnya sudah selesai?" Star segera menyimpan ponselnya dan bangkit dari sofa. Harvie memperhatikan Star dengan kening berkerut. Baru kali ini dia melihat gadis itu memakai celana jeans dan kaos. Ditambah dengan tas ransel mungil, membuat Star terlihat lebih muda dari usianya. Itu membuat Harvie sakit kepala. Dia benar-benar akan dicap sebagai om-om yang memelihara anak dibawah umur. "Kenapa duduk di sini?" tanya Harvie pada Star. "Sekretarisnya, ehm... Kak Harvie suruh duduk di sini." Star sedikit ragu-ragu harus memanggil Harvie daddy atau kak. "Bukankah kita sudah setuju soal panggilan?" Harvie terdengar tidak senang. Bagaimana ibunya mau percaya kalau dia dan Star serius pacaran kalau cara memanggil Star saja labil begitu? Mana di kantor ini banyak mata-mata ibunya, jadi Harvie harus terlihat mesra dengan Star jika berada di luar ruang
Star melangkah dengan senang. Dia merasa bersyukur tindakan isengnya menambah pasal pada kontrak terbaru itu kini bisa membantunya. Untungnya Harvie tidak menyadari hal itu sama sekali. Sekarang Star berdiri di dekat tempat drop off, sedang berpikir ingin melakukan apa sebelum pulang ke rumah Dia ingin sekali pergi makan di cafe yang biasa didatanginya, tapi dia harus menghemat uang. Lagipula mobil pribadi Irina juga ditarik, jadi uang yang dikeluarkan untuk transportasi juga harus diperhitungkan. Untung saja Star sudah sering naik kendaraan umum, juga tidak keberatan makan tahu tempe saja. Dirinya bahkan pernah menginap di kamar Hillary yang tidak punya pendingin ruangan dan dia bisa bertahan. “Hm, memang lebih baik naik MRT saja.” Star mengangguk sembari memperhatikan aplikasi ojek onlinenya yang baru akan ditutupnya. “Kenapa dengan MRT?” Star menoleh ke arah suara yang terasa sangat dekat. Dan wajah seorang lelaki yang hanya berjarak kurang dari sepuluh senti, membuatnya ter
"Maaf Pak. Saya pikir Pak Harvie sudah setuju dengan isi kontraknya. Jadi saya langsung proses," Brian memilih langsung berkata jujur, apalagi ketika melihat wajah atasannya. Kata-kata asisten pribadinya itu membuat Harvie memejamkan mata dan menunduk dengan kesal. Ini tidak bisa dibiarkan. Lima puluh juta itu tidak besar, tapi Harvie tidak rela memberikannya pada anak ingusan seperti Star. Apalagi dia sama sekali tidak diberi jatah. "Coba cek ke resepsionis. Kalau Star belum pergi suruh dia naik lagi," Harvie memberii perintah pada Brian. Dengan cepat Brian menyambar telepon yang ada di meja Harvie, setelah meminta izin untuk menggunakannya lewat gestur tangan. Lebih cepat menggunakan telepon di ruangan Harvie, ketimbang harus pergi ke tempatnya. "Ehm, Pak." Brian memanggil Harvie ragu-ragu setelah menutup telepon. "Apa lagi? Kali ini anak itu bikin masalah apa lagi? Atau udah pulang dia?" tanya Harvie kesal. "Iya, Pak. Sepertinya Nona Star memang sudah pulang, tapi ...." H