Share

5. Kecelakaan

Keputusan sang nenek untuk menempatkan Vana di rumah Alatas itu tak terbantahkan. Tidak ada yang bisa mengubah keputusan wanita yang telah menjadi ratu di rumah itu bahkan Fandra sekalipun. Pria itu kini pergi entah kemana membuat Vana kebingungan di sana.

“Jangan khawatir, dia memang seperti itu, menyebalkan,” bisik Fiona, adik Fandra itu yang sejak tadi duduk tepat di samping Vana menonton sang kakak yang marah.

Vana hanya meliriknya sekilas, paham dengan apa yang Fiona katakan. Dia kemudian mengedarkan pandangannya ke ruang yang cukup besar itu.

“Seperti istana,” gumamnya pelan.

Fiona yang mendengarnya dan terkekeh. Dia merasa Vana itu lucu, bukan merendahkannya atau maksud buruk lainnya. Entah mengapa, begitu dia melihat Vana kemarin, gadis remaja itu ikut menyambut hangat seperti sang nenek.

“Mau jalan- jalan?” tawar Fiona. Dia menatap Vana.

“Jalan?”

“Ya. Ayo! Aku akan menjadi guidemu, Kak Vana,” ujar Fiona semangat. Dia bahkan mengulurkan tangannya ala prince.

Meskipun kebingungan, tapi Vana menerima uluran tangan Fiona sambil terkekeh. Mansion itu cukup luas, mustahil tidak ada yang menarik bagi orang yang baru pertama kali menginjakan kakinya di tempat itu seperti Vana.

Sepanjang keliling mansion yang dimulai dari lantai atas itu Fiona berceloteh banyak hal, mengenalkan ruang demi ruang yang mereka  temui, salah satunya adalah kamar Vana yang ternyata berhadapan dengan kamar Fandra.

“Itu adalah kamar … kakakmu?” tanya Vana shock. Seketika otaknya membayangkan bagaimana dia bertemu pria pemarah itu setiap hari? Ah, sungguh sial sekali baginya.

“Ya. Kenapa?” Fiona bertanya. Tapi Vana menggelengkan kepalanya.

Melanjutkan acara jalan dan mengenalkan ruang di lantai atas. Usai dua kamar itu, ada dua kamar lain tak jauh dari sana. Fiona mengatakan kalau kamar miliknya sendiri ada di bawah, tepat di belakang yang menghadap taman. Dia mengaku kalau begitu suka dengan warna hijau dan kesejukan dan itu tepat di bawah kamar Vana.

Tak hanya terdapat kamar, lantai dua juga terdapat ruang santai dengan sofa dan meja berbahan kayu jati. Serta pernak pernik lain, furniture yang berkelas senada dengan dinding mansion yang putih bersih dengan paduan warna lain yang sepadan. Usai ruang santai itu, ternyata terdapat sebuah ruang lain, pintunya ada di belakang rak televisi. Fiona mengajak Vana untuk masuk ke sana, mengenalkannya sebagai gudang buku.

“Ini khusus perbukuan, ini perpustakaan,” katanya terkekeh, merasa lucu sendiri yang awalnya mengatakan tempat itu sebagai gudang.

Pandangan Vana mengedar, tempat itu cukup besar. Ada lantai dua di dalamnya dengan tangga besi minimalis yang meliuk. Di atasnya terdapat ruang untuk membaca, di bawahnya terdapat sofa ukuran kecil yang nyaman. Kaca jendela yang besar membuat matahari menerobos masuk, menampilkan juga taman belakang mansion. Vana berdiri di depan kaca itu, terdiam cukup lama.

“Ini taman belakang,” kata Fiona ikut berdiri di samping Vana. “Itu adalah gubug kesayangan Kakek. Ketika banyak masalah, Beliau suka menyendiri di sana. Tapi sejak Kakek meninggal, tidak ada yang ke sana selain Kak Fandra,” lanjutnya dengan nada suara terdengar sedih.

“Itu berarti dia, di sana?” Vana menatap Fiona. Tapi gadis itu menggeleng.

“Tidak. Aku yakin dia tidak di sana. Dia pergi dengan mobilnya,” ungkap Fiona.

Gadis yang Fandra sebut kampungan itu mengangguk paham. Sedikit tidak tertarik dengan pria arogan seperti Fandra. Bibirnya bahkan berkedut, sepertinya mengatai Fandra. Fiona yang melihat itu hanya tertawa kecil.

Dari tempat mereka berdiri itu, gubuk yang dimaksud tampak terlihat kecil dari sana. Mereka harus menyebrangi taman yang luasnya menyerupai lapangan golf, dengan berbagai tanaman, pohon, dan danau kecil. Taman itu terlihat begitu indah dengan bunga di sepanjang jalan setapak yang terdapat di sana menuju gubuk.

“Ayo, aku akan mengenalkan ruang lain,” ujar Fiona mengajak Vana lagi.

Perhatian Vana yang tertuju ke gubuk itu teralihkan. Ada perasaan yang entah soal tempat kecil itu. Mungkin dia penasaran bagaimana rupanya.

Langkah kecil Vana mengikuti Fiona. Gadis remaja itu begitu anggun dan feminim dengan dress selutut tapi gaya berjalannya sungguh lucu. Vana menduga Fiona adalah tipe gadis feminim yang susah diatur. Dia juga memiliki gaya tersendiri dengan cara bicara yang khas, dan ceplos begitu saja. Vana jadi teringat akan sang adik.

Sekitar sepuluh meter dari ruang santai, tepat di belakang kamar kosong, terdapat sebuah tangga spiral yang menuju ruang bawah tanah. Sepanjang jalan itu Fiona terus bicara, mengenalkan ruangan itu.

“Di sini ada lebih banyak tempat lagi. Bisa langsung ke taman lewat jalan sini,” terangnya sambil menuruni anak tangga yang melingkar turun.

Lagi- lagi Vana terpana melihat ruang lain itu. Tempat itu sangat klasik, dengan dinding bata spiral yang indah. Ada perapian juga di sana, furniture sederhana yang memikat. Tema tempat itu klasik dan cerah mengedepankan kaca besar yang menghadap taman belakang. Sama seperti tempat lain, di sana juga terdapat sofa. Ada kamar mandi juga, kulkas, rak dan lainnya.

“Pintu ini terkunci karena menyatu dengan gudang wine, serta minuman permentasi lain,” bisik Fiona di samping Vana.

“Siapa yang tempati ini?” tanya Vana karena melihat cangkir putih di atas meja dekat sofa.

Perhatian Fiona tertuju pada cangkir mug itu.

“Hampir semua ruang yang isi adalah Kak Fandra. Katakanlah, lantai dua adalah wilayah kekuasaannya,” jelas Fiona.

Dahi Vana mengerut, itukah sebabnya Fandra tampak murka setelah tahu kalau Vana tinggal di kamar yang berhadapan dengannya? Uh, Vana mendesah berat membayangkan berada di wilayah kekuasaan sang iblis. Itu julukan baru Vana untuk Fandra.

Membuka pintu kaca, angin menyerbu masuk ke ruangan itu. Vana melangkahkan kakinya keluar dari sana setelah puas berkeliling ruang baru itu. Taman yang luas dengan rumput hijau yang terawat. Vana berinisiatif untuk melepaskan alas kakinya dan bertelanjang kaki menginjak rerumputan. Dia begitu bahagia, berlari mendekati pepohonan.

Fiona yang melihat itu takjub. Dia bagai kakak yang melihat tingkah adiknya. Vana menggerakan tangannya mengajak Fiona untuk turut serta bermain dengannya. Tentu saja dengan senang hati Fiona mengikuti, berlari di taman luas itu yang terlihat sepi.

Kedua gadis itu tampak bersenang- senang, berlarian di taman itu. Hadirnya Vana membuat Fiona merasa begitu bebas. Fiona juga membantu Vana beradaptasi dengan cepat di rumah itu. Padahal di dalam hatinya, Vana merasa bersalah telah meninggalkan sang ibu dan adiknya demi memenuhi janji yang dia buat.

Mereka bermain kerjar- kejaran dan Vana menuju kembali ke tempat semula tanpa memperhatikan depannya. Dia berlari sambil tertawa.

Duk!

Pada akhirnya menabrak seseorang dengan cukup keras. Baik Vana atau orang itu, sama- sama terkejut bukan main. Tangan kekar yang menahan pinggang Vana itu kehilangan keseimbangan dan akhirnya jatuh terbaring di rumput hijau dengan posisi Vana di bawah, sosok itu di atasnya. Untunglah dua tangannya bertopang di sisi tubuh sehigga tubuhnya tak sepenuhnya menimpa Vana yang memejamkan matanya. Namuan sialnya, kecelakaan itu menjadi kesempatan bagi dua benda kenyal untuk bertemu dan saling membentur. Memberikan kejutan tambahan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status