Keputusan sang nenek untuk menempatkan Vana di rumah Alatas itu tak terbantahkan. Tidak ada yang bisa mengubah keputusan wanita yang telah menjadi ratu di rumah itu bahkan Fandra sekalipun. Pria itu kini pergi entah kemana membuat Vana kebingungan di sana.
“Jangan khawatir, dia memang seperti itu, menyebalkan,” bisik Fiona, adik Fandra itu yang sejak tadi duduk tepat di samping Vana menonton sang kakak yang marah.
Vana hanya meliriknya sekilas, paham dengan apa yang Fiona katakan. Dia kemudian mengedarkan pandangannya ke ruang yang cukup besar itu.
“Seperti istana,” gumamnya pelan.
Fiona yang mendengarnya dan terkekeh. Dia merasa Vana itu lucu, bukan merendahkannya atau maksud buruk lainnya. Entah mengapa, begitu dia melihat Vana kemarin, gadis remaja itu ikut menyambut hangat seperti sang nenek.
“Mau jalan- jalan?” tawar Fiona. Dia menatap Vana.
“Jalan?”
“Ya. Ayo! Aku akan menjadi guidemu, Kak Vana,” ujar Fiona semangat. Dia bahkan mengulurkan tangannya ala prince.
Meskipun kebingungan, tapi Vana menerima uluran tangan Fiona sambil terkekeh. Mansion itu cukup luas, mustahil tidak ada yang menarik bagi orang yang baru pertama kali menginjakan kakinya di tempat itu seperti Vana.
Sepanjang keliling mansion yang dimulai dari lantai atas itu Fiona berceloteh banyak hal, mengenalkan ruang demi ruang yang mereka temui, salah satunya adalah kamar Vana yang ternyata berhadapan dengan kamar Fandra.
“Itu adalah kamar … kakakmu?” tanya Vana shock. Seketika otaknya membayangkan bagaimana dia bertemu pria pemarah itu setiap hari? Ah, sungguh sial sekali baginya.
“Ya. Kenapa?” Fiona bertanya. Tapi Vana menggelengkan kepalanya.
Melanjutkan acara jalan dan mengenalkan ruang di lantai atas. Usai dua kamar itu, ada dua kamar lain tak jauh dari sana. Fiona mengatakan kalau kamar miliknya sendiri ada di bawah, tepat di belakang yang menghadap taman. Dia mengaku kalau begitu suka dengan warna hijau dan kesejukan dan itu tepat di bawah kamar Vana.
Tak hanya terdapat kamar, lantai dua juga terdapat ruang santai dengan sofa dan meja berbahan kayu jati. Serta pernak pernik lain, furniture yang berkelas senada dengan dinding mansion yang putih bersih dengan paduan warna lain yang sepadan. Usai ruang santai itu, ternyata terdapat sebuah ruang lain, pintunya ada di belakang rak televisi. Fiona mengajak Vana untuk masuk ke sana, mengenalkannya sebagai gudang buku.
“Ini khusus perbukuan, ini perpustakaan,” katanya terkekeh, merasa lucu sendiri yang awalnya mengatakan tempat itu sebagai gudang.
Pandangan Vana mengedar, tempat itu cukup besar. Ada lantai dua di dalamnya dengan tangga besi minimalis yang meliuk. Di atasnya terdapat ruang untuk membaca, di bawahnya terdapat sofa ukuran kecil yang nyaman. Kaca jendela yang besar membuat matahari menerobos masuk, menampilkan juga taman belakang mansion. Vana berdiri di depan kaca itu, terdiam cukup lama.
“Ini taman belakang,” kata Fiona ikut berdiri di samping Vana. “Itu adalah gubug kesayangan Kakek. Ketika banyak masalah, Beliau suka menyendiri di sana. Tapi sejak Kakek meninggal, tidak ada yang ke sana selain Kak Fandra,” lanjutnya dengan nada suara terdengar sedih.
“Itu berarti dia, di sana?” Vana menatap Fiona. Tapi gadis itu menggeleng.
“Tidak. Aku yakin dia tidak di sana. Dia pergi dengan mobilnya,” ungkap Fiona.
Gadis yang Fandra sebut kampungan itu mengangguk paham. Sedikit tidak tertarik dengan pria arogan seperti Fandra. Bibirnya bahkan berkedut, sepertinya mengatai Fandra. Fiona yang melihat itu hanya tertawa kecil.
Dari tempat mereka berdiri itu, gubuk yang dimaksud tampak terlihat kecil dari sana. Mereka harus menyebrangi taman yang luasnya menyerupai lapangan golf, dengan berbagai tanaman, pohon, dan danau kecil. Taman itu terlihat begitu indah dengan bunga di sepanjang jalan setapak yang terdapat di sana menuju gubuk.
“Ayo, aku akan mengenalkan ruang lain,” ujar Fiona mengajak Vana lagi.
Perhatian Vana yang tertuju ke gubuk itu teralihkan. Ada perasaan yang entah soal tempat kecil itu. Mungkin dia penasaran bagaimana rupanya.
Langkah kecil Vana mengikuti Fiona. Gadis remaja itu begitu anggun dan feminim dengan dress selutut tapi gaya berjalannya sungguh lucu. Vana menduga Fiona adalah tipe gadis feminim yang susah diatur. Dia juga memiliki gaya tersendiri dengan cara bicara yang khas, dan ceplos begitu saja. Vana jadi teringat akan sang adik.
Sekitar sepuluh meter dari ruang santai, tepat di belakang kamar kosong, terdapat sebuah tangga spiral yang menuju ruang bawah tanah. Sepanjang jalan itu Fiona terus bicara, mengenalkan ruangan itu.
“Di sini ada lebih banyak tempat lagi. Bisa langsung ke taman lewat jalan sini,” terangnya sambil menuruni anak tangga yang melingkar turun.
Lagi- lagi Vana terpana melihat ruang lain itu. Tempat itu sangat klasik, dengan dinding bata spiral yang indah. Ada perapian juga di sana, furniture sederhana yang memikat. Tema tempat itu klasik dan cerah mengedepankan kaca besar yang menghadap taman belakang. Sama seperti tempat lain, di sana juga terdapat sofa. Ada kamar mandi juga, kulkas, rak dan lainnya.
“Pintu ini terkunci karena menyatu dengan gudang wine, serta minuman permentasi lain,” bisik Fiona di samping Vana.
“Siapa yang tempati ini?” tanya Vana karena melihat cangkir putih di atas meja dekat sofa.
Perhatian Fiona tertuju pada cangkir mug itu.
“Hampir semua ruang yang isi adalah Kak Fandra. Katakanlah, lantai dua adalah wilayah kekuasaannya,” jelas Fiona.
Dahi Vana mengerut, itukah sebabnya Fandra tampak murka setelah tahu kalau Vana tinggal di kamar yang berhadapan dengannya? Uh, Vana mendesah berat membayangkan berada di wilayah kekuasaan sang iblis. Itu julukan baru Vana untuk Fandra.
Membuka pintu kaca, angin menyerbu masuk ke ruangan itu. Vana melangkahkan kakinya keluar dari sana setelah puas berkeliling ruang baru itu. Taman yang luas dengan rumput hijau yang terawat. Vana berinisiatif untuk melepaskan alas kakinya dan bertelanjang kaki menginjak rerumputan. Dia begitu bahagia, berlari mendekati pepohonan.
Fiona yang melihat itu takjub. Dia bagai kakak yang melihat tingkah adiknya. Vana menggerakan tangannya mengajak Fiona untuk turut serta bermain dengannya. Tentu saja dengan senang hati Fiona mengikuti, berlari di taman luas itu yang terlihat sepi.
Kedua gadis itu tampak bersenang- senang, berlarian di taman itu. Hadirnya Vana membuat Fiona merasa begitu bebas. Fiona juga membantu Vana beradaptasi dengan cepat di rumah itu. Padahal di dalam hatinya, Vana merasa bersalah telah meninggalkan sang ibu dan adiknya demi memenuhi janji yang dia buat.
Mereka bermain kerjar- kejaran dan Vana menuju kembali ke tempat semula tanpa memperhatikan depannya. Dia berlari sambil tertawa.
Duk!
Pada akhirnya menabrak seseorang dengan cukup keras. Baik Vana atau orang itu, sama- sama terkejut bukan main. Tangan kekar yang menahan pinggang Vana itu kehilangan keseimbangan dan akhirnya jatuh terbaring di rumput hijau dengan posisi Vana di bawah, sosok itu di atasnya. Untunglah dua tangannya bertopang di sisi tubuh sehigga tubuhnya tak sepenuhnya menimpa Vana yang memejamkan matanya. Namuan sialnya, kecelakaan itu menjadi kesempatan bagi dua benda kenyal untuk bertemu dan saling membentur. Memberikan kejutan tambahan.
Waktu seolah berhenti untuk beberapa menit ketika kedua benda kenyal itu saling bersentuhan. Dua pasang mata itu saling membulat terkejut tapi sesaat keduanya terpana oleh sorot mata masing- masing yang begitu dekat. Sementara itu Fiona yang berlari di belakang Vana otomatis menghentikan larinya begitu menyaksikan apa yang terjadi. Dia menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan, membulatkan matanya. Dia jelas terkejut sekaligus cemas akan keadaan Vana tapi tak berani mendekat ketika sadar siapa yang ditabrak Vana tadi. Tanpa kata Vana segera mendorong tubuh kekar itu. Meskipun shock, dia tak mengeluarkan suara yang mungkin bisa saja memanggil seluruh penghuni mansion itu. Biarlah Fiona yang menjadi saksi atas insiden itu. “Apa yang kau lakukan?” Setelah kesadarannya kembali sepenuhnya, Vana protes keras. “Kau yang salah. Di mana matamu, hah?” balas pria itu tak mau kalah. “Mana aku tahu kau ada di sana. Iiiiiih, sialan!” sungut Vana sambil melap bibirnya yang masih merasakan keh
Di kamarnya Vana berada di kamar mandi. Rusuh sekali dia membasuh wajahnya dengan air, berulang kali berkumur, membersihkan bibirnya seolah telah ternoda. Dia membasuh lagi wajahnya berulang kali.“Sialan!” Dia mengumpat sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya basah dan memerah. “Kenapa harus dia?” tanyanya tak mengerti.Terdiam beberapa saat, Vana kembali teringat akan kecerobohannya tadi. Kedua tangannya bertumpu di sisi wastafel. Pintu kamar mandinya tertutup.Bayangan itu memenuhi pikirannya, memutar kembali kecelakaan yang terjadi dan lagi- lagi mengulang adegan itu bagai film yang di putar lalu di pause, dan kembai di play. Wajah Vana memerah karenanya.“Sialan! Aku pasti sudah gila!” rutuknya kembali membasuh wajah terutama bagian bibirnya.Padahal dia tak perlu melakukannya sampai segitunya. Lagian itu hanya kecelakaan, tidak sengaja tapi kenapa Vana merasa begitu marah?“Kenapa harus dia? Seseorang yang bahkan aku tidak mengenalnya dengan baik,” katanya begitu men
Setelah menjelajahi lorong yang seolah tak bertepi. Vana berpikir Fiona mengerjainya karena ketika gadis remaja itu mengatakan kalau akan segera sampai di ruangan sang nenek, usai berbelok itu masih harus berjalan menyusuri lorong dan Vana tak yakin seberapa panjang itu.Berbelok ke arah kiri, sisi kanan dan kirinya hanya dindin marmer dengan sentuhan putih dan pink pastel. Warna yang tak begitu terang tapi cukup hangat dan terkesan manis.“Maaf, tapi rumah ini selalu banyak lorong dan tangga. Yeah, dan kamar, serta ruang lain,” terang Fiona memberi tahu Vana.Gadis itu hanya mengangguk saja sudah bosan dengan langkah kakinya yang mulai pegal.Ada sebuah pintu dengan bingkai putih gading di depan sana. Seorang penjaga menyambut mereka dan membukakan pintu. Kali ini pelayan pria dengan setelan jas hitam.“Ayo masuk,” ajak Fiona pada Vana yang memperhatikan sekitarnya. Masih elegand dengan tema putih dan pink.Melangkahkan kakinya melewati pintu, Vana terpesona dengan tempat itu. Nuasa
Rungan itu hening meskipun banyak orang di sana, diam sampai sang ratu memberikan instruksi untuk memulai.“Baiklah, kita mulai,” ujar sang ratu memberi perintah pada sekretarisnya.Seorang pria paruh baya menghampirinya. Sejak tadi berdiri tak jauh dari kursi sang ratu. Vena memperhatikannya, pria itu menaruh sebuah berkas di depan nenek.Semua pandangan tertuju pada berkas di atas meja itu yang entah apa isinya.“Ini berisi peraturan untuk keluarga ini, terkhusus untuk Vana,” kata nenek.Mendengar namanya di sebutkan Vana menatap sang ratu bingung tapi wanita tua itu hanya tersenyum lembut padanya lain dengan Fandra yang mendengus.“Pertama, Nenek akan memperkenalkan Vana sebagai anggota baru kita,” lanjutnya dengan tangan kanan mengarah pada Vana. “Untuk semua orang yang ada di sini, berlaku untuk para pelayan dan penjaga perlakukan Vana seperti tuan kalian,” tegasnya mengumumkan.Di ruangan itu tak hanya terdapat keluarga tapi juga kepala pelayan, sekretaris, dan kepala lain yang
Masih dalam suasana tegang karena perdebatan Vana dan Fandra, keduanya sama-sama memalingkan muka setelahnya membuat penonton merasa geli. “Sudah, simpan dulu pertikaian kalian. Nenek sengaja memanggil bukan untuk melihat kalian bertengakar,” ujar nenek. Nada suaranya tidak ada kemarahan, malah terlihat begitu senang. Vana melirik Fandra dari balik bulu matanya tapi hanya sekilas lalu memalingkan muka, kesal sekali karena sang tuan muda. “Baiklah. Nenek akan mulai, kalian dengarkan dengan baik, Vana …” Nenek menatapnya Vana mengangguk. “Bagus. Maka kita akan mulai,” lanjutnya. Semua orang mendengarkan dengan baik, termasuk Vana. Nenek mengumpulkan semua orang untuk memperkenalkannya juga tapi Fandra justru mengacau dengan mendebatnya. Menyebalkan sekali bukan. “Baik. Pertama, kamu akan tinggal di rumah itu untuk waktu yang tak tentu, tapi selama tinggal di sini kamu harus melakukan serangkaian latihan untuk menjadi bagian dari keluarga Alatas,” jelas sang ratu untuk aturan pertama
“Sudah. Kamu bisa pergi ke kamarmu sekarang, Vana. Kita akan makan siang bersama,” kata nenek.“Ah. Baik. Terima kasih,” balas Vana seramah mungkin.Gadis itu melirik sekitarnya beberapa saat. Mulai dari sang ratu, lalu menatap putra dan menantunya yang merupakan orang tua dari Fandra, lalu pada saudaranya kakak dan adik juga kakak ipar dari Fandra mereka semua tersenyum pada Vana. Senyum tulus yang menyambut hadirnya dengan baik. Meskipun bingung, Vana menundukan kepalanya sekilas dan bangun dari duduknya.Tiga pelayan yang berdiri tak jauh dari nenek itu bergerak memberi jalan pada Vana sambil tetap menundukan. Begitu Vana lewat ketiganya mengekor. Entah akan pergi ke mana dia karena yang lain masih tetap di sana.Berjalan melewati pintu yang tadi Vana lalui bersama Fiona. Tapi langkahnya terhenti ketika pembahasan mulai terdengar lagi dari arah depan. Entah apa yang menahan langkah Vana sampai gadis itu tak bergerak. Untunglah dia tersembunyi begitu juga tiga pelayannya.“Nenek su
Ruang ballroom itu ada banyak pilar, tapi di tengahnya kosong melompong hanya ada gambar bunga teratai dari lantai marmer dan meja bundar di tengah. Lampu hias Kristal yang cukup besar terdapat tiga menggantung di langit- langit. Tangga berlapis karpet merah selebar tiga meter menuju atas, di samping tangga itu terdapat sebuah sofa. Dari balik pilar rupanya terdapat beberapa pintu dan entar datangnya dari pintu mana Fandra ada di sana.Kedua tangan kekarnya melingkar di pinggung Vana yang kecil berbalut dress. Untuk beberapa saat mereka terdiam. Tatapan Fandra juga tertuju pada wajah Vana.Ketiga pelayan yang menyaksikan masih tegang tapi menonton apa yang terjadi dengan diam. Dua dari mereka bahkan menahan senyumnya.Yang pertama kali sadar adalah Vana. Dia segera melepaskan tangan Fandra dari pinggangnya dan mundur dua langkah sambil menundukan pandangannya dari pria itu. Bagaimanapun juga Vana malu.“Woah. Siapa ini?” Suara baritone dari arah belakang Fandra mengusik keduanya untuk
Kembali turun mengelilingi ruang demi ruang yang ada di mansion itu, Vana nyaris bosan tapi dia memperhatikan ruangan dan merekamnya dalam otak. Mungkin dia yang akan pergi sendirian nanti, bagaimana kalau tersesat.Ruang makan itu berada di bangunan utara sementara kediaman nenek berada di barat begitu juga kediaman, maksudnya kamar ibu dan ayah Fandra berada di barat supaya bisa mengontrol nenek dengan mudah. Tentu saja, setiap ruangan itu ukurannya besar dan luas, Vana tidak bisa mengira-ngira berapa luasnya yang pasti seukuran orang kaya raya.Bila kediaman sang ratu di barat, ruang makan dan dapur di utara, ballroom dan segala macam untuk penyambutan tamu di timur, maka kediaman pangeran arogan di selatan.“Banyak sekali ruangannya,” desah Vana tanpa suara ketika kakinya terus berjalan sementara otaknya mengingat-ingat di mana saja para penghuni berada. “Selatan itu adem seharusnya, bukan panas. Tapi, dia dingin, masuk akal juga,” lanjutnya mendumel sendiri.“Lewat sini, Nona,” t