Share

Bab 7 Memberi Pilihan

Kini keduanya telah duduk di restaurant hotel dimana Puteri menginap, khususnya diruangan VIP.

Tak ada meja luas atau kursi makan yang indah.

Puteri heran, namun dia malas untuk bertanya.

"Ayo duduklah, kita makan dilesehan saja" ujar suaminya.

Sejenak Puteri berfikir, dan beberapa saat baru dia mengerti keinginan suaminya. Walau ditempat mewah sekalipun, suaminya ingin makan duduk dilantai, seperti kebiasaan ayah dan dirinya yang tidak suka makan dimeja makan.

Ada permadani mewah dan lembut. ukurannya tidak begitu luas, kira- kira dua kali dua meter.

Rani segera mengambil posisi agak kesudut, dan dikuti oleh suaminya.

"Tadi siang makan dimana ?" tanya Akbar setelah keduanya duduk diatas permadani mewah.

"Dikamar" jawab Rani singkat.

"Maaf ya, dalam beberapa hari ini mas mungkin terlalu sibuk, karena mas harus mengganti jadwal operasi pasien !"

Tidak lama kemudian pramusaji datang membawa hidangan yang dipesan pak Akbar. Setelah hidangan tersusun rapi, pramusaji langsung undur diri meninggalkan ruangan tersebut.

Puteri sedikit heran memandangi banyaknya hidangan, tapi kenapa piring cuma satu.

Dia melihat kearah suaminya, yang memang sedari tadi memandanginya tanpa dia sadari.

"Kok piring satu mas?" tanya Puteri pelan, pelan sekali seperti orang berguman.

"Kita akan makan satu piring berdua selamanya!"

Baru Puteri ingat setelah perkataan suaminya itu.

Segera puteri mengisi nasi dan beberapa lauk kedalam piring yang agak lebar ukurannya.

"Makan mas?"ajaknya, setelah meletakkan piring yang telah dia isi dengan nasi dan lauk pauk.

Posisi duduk berhadapan yang hanya dibatasi satu piring, membuat wajah keduanya hanya berjarak kira- kira setengah meter saja.

Hal yang sederhana, namun siapapun yang melihatnya pasti mengatakan, terlalu romantis.

Beberapa kali Akbar menyuapi Puteri dan istrinya itu menerimanya, namun tidak dengan Puteri dia tidak akan menyuapi Akbar, baginya Akbar mempunyai istri yang lebih berkewajiban dan berhak untuk suaminya itu.

Siang tadi Puteri banyak berfikir panjang untuk kehidupannya kelak sebelum dan sesudah kabar menceraikannya. Setiap selesai solat dia akan berlama lama duduk diatas sajadah dan memikirkan nasibnya.

Ikhlas dan pasrah, sudah pasti Puteri lakukan, tidak akan banyak menuntut dan protes karena dia hanya sebuah iklan yang datang dan pergi tiba-tiba.

Doanya hanya satu semoga suaminya itu tidak meminta haknya pada dirinya, itu saja pintanya.

Selesai dengan makan sepiring berdua, pak Akbar mulai membuka obrolan.

"Lagi mikirin apa tadi, kok makan sambil melamun." tanyanya.

"Puteri cutinya berapa hari mas ?" bukannya menjawab, Puteri malah bertanya balik.

"Kamu maunya berapa hari ruhi ?"

Puteri yang mendengar ucapan sang suami, merasa ada nama lain disebut suaminya, Puteri mengerutkan kedua alisnya.

Sedangkan pak Akbar yang melihat respon istri kecilnya itu, tersenyum tipis sambil mengelap mulutnya dengan beberapa tissu.

"Ruhi...mulai saat, mas akan memanggilmu dengan panggilan Ruhi." jawab Akbar, tanpa mendengar pertanyaan dari istrinya.

Puteri yang tahu arti Ruhi dari bahasa Arab adalah ruh atau jiwa, terdiam dan mulai mengerti, kenapa suaminya itu menyematkan panggilan Ruhi untuknya .

Seandainya saja suaminya itu bukan pria beristri dan bukan pria yang menurutnya sudah tua, pasti dia akan tersanjung sekali dengan semua perlakuan romantis ini.

Tapi sayang, diperlakukan seperti itu semakin membuat Puteri membentengi hati, dia tidak mau jatuh cinta pada pria yang ada didepannya, kasihan Bu Nova. Puteri dapat membayangkan dan merasakan sakit hati yang dialami madunya.

"Ruhi...! Mas ada dua pilihan untukmu, kamu ingin tinggal dirumah kita sendiri atau tinggal satu rumah dengan Bu Nova." tutur Akbar yang tengah mengupas buah bangga madu untuk cuci mulut mereka. "Bu Nova menawarkannya padamu, dia menyuruh saya untuk membujukmu agar kita tinggal bersama."

"tapi kalau kamu tidak mau tinggal bersamanya, ya..tidak apa- apa, mas, faham kok ," ujarnya.

"Aku terserah mas saja, mana baiknya." jawab Puteri. Walau sebenarnya dia membantah untuk tinggal bersama, namun untuk meminta tinggal dirumah lain, bukankah suaminya itu akan membeli rumah dahulu, dan harga rumah bukankah mahal- mahal. Dan yang pasti dia tidak mau memakan harta pak Akbar. Dan akan dipastikan, Puteri tidak akan mengambil se senpun harta pak Akbar seperti tuduhan madunya.

Dan pemikiran pasrah dan ikhlas kembali menguasai hati dan fikirannya.

"Kalau kita cari rumah lain, mas belum sempat untuk melihatnya. Sebaiknya kita terima tawaran Bu Nova ya ? untuk sementara saja." ucap pak Akbar. Puteri hanya mengangguk.

" Dua hari lagi, kita akan tinggal bersama, nanti kamar kita akan ada dilantai dua, untuk lantai dua kamu bebas untuk lakukan apapun disitu.

Dan lantai dasar itu tempat Bu Nova, dia yang memberi batasan itu." tutur pak Akbar.

" Mimpi apa aku, sepertinya aku tidak pernah mengambil hak orang, tapi kenapa perjalanan takdirku seperti ini." ucap Puteri dalam hati.

***

Waktu menunjukkan jam sepuluh malam, ketika mobil yang ditumpangi pak Akbar berhenti di kediaman dia bersama istri pertamanya.

Pak Budi, sopir pribadi pak Akbar langsung membukakan pintu mobil ketika mobil sudah berhenti didepan teras rumahnya.

"Belum tidur ma? tanya pak Akbar begitu dia melihat istrinya masih duduk disofa, didalam kamar mereka.

"Kenapa handphone mas mati,?" tanpa menjawab pertanyaan suaminya, Bu Nova langsung bertanya dengan suara kesal.

"ponsel Papa kehabisan daya." Akbar langsung masuk kedalam kamar ganti, untuk menukar pakaiannya, dia tidak lagi mandi karena tadi sudah mandi dikamar hotel yang ditempati Puteri.

"Papa enggak mandi,?"

"Sudah tadi, dihotel." jawab Akbar jujur.

"Wahh...dari rumah sakit, papa langsung menemui perempuan itu dari pada mama istri pertama papa. Luar biasa sekali pengaruhnya dihati papa sekarang ya?" ucap Bu Nova dengan aroma cemburu yang begitu kental.

Pak Akbar yang sudah menaikkan kakinya sebelah keatas tempat tidur, mengurungkan niatnya untuk berbaring, dia duduk dipembaringan memperhatikan istri yang sudah bersamanya selama dua puluh lima tahun, sedang emosi dan cemburu yang dalam, dan dia memahami hal itu.

"Enggak mungkin kan, papa membiarkannya dihotel sendirian tanpa siapapun, setidaknya papa melihat dia masih disana." ucapnya lembut.

"Kenapa papa tidak langsung bawa dipindah disini saja ?" tanya Bu Nova.

"Mama yakin, sanggup satu rumah ? Papa harap, mama menyuruhnya tinggal bersama kita, bukan karena mama punya rencana yang tidak baik."

"Papa curiga sama mama, baru satu hari papa menikahi perempuan murahan itu tapi sudah menghilangkan kepercayaan papa dengan mama yang sudah dua puluh tahun bersama." rasa cemburunya semakin memuncak di barengi emosi, setelah suaminya mulai curiga terhadapnya.

"Sudahlah ma ? semenjak mama dan Rizal berulah dibelakangku, terlalu banyak masalah yang ku hadapi. Papa letih ! jangan berdebat lagi ." tutur pak akbar, kemudian dia langsung membaringkan tubuhnya ditempat tidur, mengistirahatkan otak serta tubuhnya yang sudah terlalu capek.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
patuh dan penurut boleh aja nyet, tapi g bego dsn tolol juga
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status