Share

Chapter 4

Sudah sebulan Lia bekerja pada perusahaan ayahnya. Tetapi pertemuan dengan ayahnya masih bisa dihitung dengan jari. Itu pun dalam keadaan beramai-ramai dan tidak bisa bertemu berduaan secara pribadi. Sangat sulit bagi Lia untuk bisa berbicara berdua dengan ayahnya secara pribadi dari hati ke hati.

Dan hari ini adalah kesempatan besar baginya untuk bisa saling bertatap muka langsung dengan ayah kandungnya tersebut. Karena hari ini ada rapat tahunan pemegang saham PT. Catur Nusa Persada.

Jadi bisa dipastikan ayahnya sebagai komisaris besar pasti akan hadir di sana. Masalahnya sekarang adalah Lia bangun kesiangan karena semalaman ia tidak bisa tidur. Ia hanya membolak balik tubuhnya dengan gelisah karena merindukan ibunya.

Di tempat kerjanya yang dulu, ia biasa ke kantor dengan menggunakan mobil. Tapi sejak ibunya sakit-sakitan dan memerlukan uang banyak, dia telah menjual si Frank. Frank adalah nama mobil kesayangannya. Dia menamakannya Frank, agar mirip dengan nama tokoh transpoter. Karena konon katanya nama adalah doa, makanya dia menamakan  mobilnya Frank, agar kelak mobilnya bisa sehebat mobilnya si Frank. Masuk akal bukan?

Saat ini di rumahnya hanya tersisa si Thor. Thor adalah nama motor ninja warriornya, yang biasa ia gunakan dalam ajang balap liar.

Dan di tempat kerjanya yang sekarang, Lia selalu menggunakan angkot atau taksi online bila hendak ke kantor. Tetapi jika melihat waktunya sudah mepet seperti ini, sepertinya ia tidak akan tiba tepat waktu. Jam-jam seperti ini adalah jam-jam padat merayap.

Lia tidak ingin datang terlambat. Ia tidak ingin menimbulkan kesan buruk pada saat event-event penting seperti ini. Di waktu terbatas seperti ini Lia memutuskan akan mengendarai si Thor saja ke kantor. Bila ia mengebut, tidak sampai setengah jam pasti ia sudah sampai di sana.

Demi kepraktisan karena bermotor, Lia mengenakan celana bahan hitam dan tank top crop berwarna putih. Dia juga mengunakan jaket jeans sebagai pengganti blazer. Ia berniat akan menggunakan blazer hitamnya setiba di kantor saja. Dengan helm full face kesayangannya, Lia pun langsung mulai mengebut dan membelah jalan raya. Sepanjang jalan yang dilewatinya semua mata memandang kagum pada Lia. Tubuh rampingnya meliuk-liuk indah dan luwes mengebut di sepanjang jalan.

Sembari berkendara, Lia memindai jam di pergelangan tangannya. Lima belas menit lagi tepat pukul delapan. Lia mengebut kencang hingga ke parkiran. Selamat. Ia masih mempunyai waktu sekitar enam menit lagi.

Namun akibat ulah mengebutnya, Satpam dan tukang parkir menggelengkan kepala. Mereka takjub melihat Lia yang tiba dengan motor besar dan dalam kondisi mengebut pula.

Lia berpikir apabila dia mengganti blazernya di kantor, pasti akan lama karena harus melalui lift yang penuh di jam-jam sibuk seperti ini. Dia langsung membuka jaket jeansnya menyisakan tank top putih seperutnya. Setelah melipat jaketnya dan memasukkannya di bagasi motornya, dia pun mulai memakai blazer hitamnya. Entah mengapa tiba-tiba saja perasaannya mendadak tidak enak. Dia merasa seperti sedang diperhatikan.

Mam to the pus! Lia melihat ada sekitar dua belas orang berbusana formal berikut ayahnya Pak Aksa dan Pak Arya, sedang memperhatikannya dengan mata tidak berkedip. Sepertinya para petinggi baru tiba, dan Pak Aksa beserta Pak Arya menyambut kedatangan mereka di pintu utama.

Kadung malu, Lia mencoba berjalan seanggun mungkin mendekati rombongan itu.

"Selamat pagi Bapak-Bapak sekalian". Lia mencoba menyapa ramah seolah-olah tidak ada kejadian.

"Selamat pagi juga."

Lia seperti mendengar koor karena mereka semua menjawab secara serempak kecuali Pak Aksa. Set dah!pasti habis dia ini nanti diceramahi oleh si Boss bermulut tajam itu. Lia berdoa dalam hati agar Boss besarnya tidak mengomelinya hari ini.

Saat semua rombongan mulai bergerak menuju ruang meeting khusus di samping lobby kantor, Lia kaget saat Aksa menggamit lengan kanannya  menuju ke lorong yang agak sepi.

"Kamu ini punya otak tidak hah? Apa maksud kamu mengebut dan pamer kelihaian ngetrack kamu di kantor? Kamu mau merusak citra perusahaan ini dengan membuat mereka semua berpikir bahwa semua staff di sini adalah para setan jalanan, begitu?" 

Sarapan paginya telah dihidangkan bukan?

"Apa juga maksud kamu memamerkan tubuh setengah telanjangmu di parkirkan, dan membuat seluruh mahkluk yang memiliki hormon testoteron di sana langsung on? Apa kamu ingin merubah perusahaan ini menjadi hotel dalam tanda kutip."

Aksa begitu marah hingga urat-urat di lehernya terlihat menonjol. Wajahnya memerah bahkan sampai ke telinga-telinganya.

Lia tahu dia salah. Tetapi itu semua bukanlah hal yang disengajanya. Yang dia pikirkan hanyalah bagaimana caranya agar tiba di kantor secepat mungkin. Dan cara yang paling praktis dan efisien menurutnya adalah ya mengendarai si Thor. Tapi dia sama sekali tidak menyangka kalau urusannya malah menjadi panjang seperti ini.

"Maafkan saya, Pak. Tadi saya hanya takut terlambat dan mengacaukan jadwal meeting pagi ini. Makanya saya mencari jalan pintas tercepat sebisa saya. "Lia menunduk, tidak mau memandang wajah emosi Aksa. Ia takut tidak bisa mengontrol emosinya. Sementara ia masih butuh bekerja di sini. Misinya belum tercapai.

"Kamu pikir mereka semua bisa meeting dengan tenang sekarang ini? Saya yakin, yang ada diotak mereka semua saat ini adalah bayangan tubuh telanjangmu, berikut fantasi seksual mereka alih-alih ide-ide segar dan angka-angka yang seharusnya mereka presentasikan."

Tidak begitu juga. Otakmu saja yang seperti itu kali, batin Lia.

"Saya yakin, begitu kamu masuk ke dalam ruangan, mereka seolah-olah akan melihatmu telanjang walau kamu sudah menutupinya dengan blazermu itu. Pandangan mereka terhadapmu tidak akan sama lagi seperti sebelumnya Lia."

Cukup sudah!

"Mengapa Bapak sangat yakin sekali mereka seperti itu? Bisa saja mereka memaklumi bahwa saya sedang menghemat waktu untuk berganti pakaian. Tidak semua orang otaknya ngeres seperti Bapak!" 

Mampus Lia keceplosan.

"Bullshit! Kami sama-sama laki-laki. Saya tahu dengan pasti apa yang ada dalam otak mereka semua saat ini. Oleh karena itu kamu tidak saya izinkan mengikuti meeting hari ini. Saya telah menunjuk Nadira untuk menggantikanmu. Sekarang kamu masuk ke ruangan saya dan tunggu hingga rapat ini selesai. Case closed!" Aksa berlalu setelah meneriakkan perintah.

Gagal lagi! Niatnya ingin mendekati ayahnya lagi-lagi gagal. 

Sabar Lia. Orang sabar rencana lancar.

Dengan lesu Lia mulai berjalan menuju ke ruangan Aksa. Benaknya sibuk memikirkan rencana-rencana selanjutnya.

Sementara di ruangan meeting, Aksa merasa suasananya sudah tidak kondusif. Masing-masing dari mereka, terlihat melamun dengan pikiran masing-masing. Sesuai prediksinya mereka pasti sedang berfantasi dengan membayangkan tubuh seksi Lia. Mengapa dia bisa seyakin itu? Ya! Karena saat ini dia sendiripun sedang membayangkan tubuh mulus dan seksi itu ada dalam pelukannya. Jangan salahkan dia, salahkan saja hormon testoteronnya.

Bahkan tadi dia melihat mata si Arya hampir lepas dari tempatnya. Dua client nampak menelan ludah dengan tatapan penuh nafsu. Beberapa yang lain menatap tanpa kedip kedua dad* kembar Lia yang seolah-olah minta dibebaskan dari tank top seperutnya.

Gila! Dirinya sekarang ini pun tiba-tiba mengeras dan meminta pelepasan secepatnya.

Bila tadi dia memaksakan Lia ikut masuk ke ruangan ini, bisa dipastikan meeting pasti buyar karena para 

Pesertanya akan sibuk menatapi Lia dalam fantasi membayangkannya sebagai objek seksual.

"Oke Nadira, sekarang bagikan berkas-berkas ini dan siapkan proyektor untuk presentasi."

Aksa sangat ingin cepat-cepat menyelesaikan meeting ini dan segera mencari tante lux di kamar mandi untuk meredakan ketegangannya.

===================

Sementara Lia terduduk lesu di ruangan Aksa. Sia-sia dia mengebut bila hasilnya dia tidak dapat bertemu dengan ayahnya.

Saat-saat seperti ini entah kenapa dia jadi sangat merindukan Ibunya. Biasanya saat ia sedih, saat kecewa maupun bahagia, ia akan membagi semuanya dengan ibunya. Dan kini dia benar-benar merasa sendirian.

Lia menelungkupkan wajahnya pada meja kerja Aksa. Tetes demi tetes air matanya mulai menganak sungai. Isakan-isakannya terdengar begitu menyedihkan di ruangan yang sepi ini.

Sekonyong-konyong ia merasakan seseorang mengelus lembut kepalanya. Dia tergagap. Cepat-cepat dia menghapus air matanya dan memandang orang yang mengelus kepalanya.

"P—pak Komisaris!" Lia terkejut melihat ayahnya yang tiba-tiba muncul di depannya. Air matanya yang tadi sempat terhenti malah makin mengalir deras.

Terima kasih Tuhan! Terima kasih atas pertemuan yang tidak terduga-duga ini.

"Kenapa kamu menangis, Nak?" Mendengar panggilan Nak dari ayahnya membuat Lia sangat bahagia. Lidahnya sampai terasa kelu karena gugup.

"Kamu pasti dimarahi oleh Aksa bukan? Jangan terlalu dimasukkan hati semua omongannya ya. Dia memang seperti itu orangnya. Tegas dan tanpa tedeng aling-aling kalau sedang marah.

Tetapi kamu tadi juga salah, karena membuka jaket di tempat umum. Itu tidak baik dilihat orang, Nak. Apalagi tadi semuanya laki-laki. Lain kali jangan begitu lagi ya? Berpikirlah dua kali sebelum bertindak."

Entah mengapa Lia malah merasa nyaman diomeli secara halus oleh ayahnya. Rupanya begini rasanya bila sedang dinasehati oleh seorang ayah.

"Maaf, Pak. Bukan maksud saya seperti itu. Saya hanya ingin cepat-cepat supaya tidak terlambat. Lain kali saya akan lebih hati-hati lagi," ucap Lia sungguh-sungguh. Ia sangat bahagia bisa bertemu dengan ayahnya.

"Bagus. Jadikan kejadian hari ini sebagai pelajaran. Oh ya, namamu Camelia ya? Kamu tinggal di mana, Nak? Boleh saya memanggilmu begitu? Karena sepertinya kamu itu seusia anak saya." Ayahnya tersenyum.

"Bo—boleh saja, Pak. Iya nama saya Camelia. Cukup dipanggil Lia saja, Pak. Saya tinggal di daerah Gatot Subroto, Pak." Lia menjawab gugup. Tidak setiap hari ia bisa berbincang-bincang dengan ayahnya bukan?

"Tinggal dengan orang tua?"

Wajah Lia mendung dengan seketika.

"Ibu saya baru meninggal kira-kita sebulan yang lalu. Sementara ayah saya, sudah tidak ada bersama kami sejak saya ada dalam kandungan ibu saya, Pak."

Lia menjawab dengan hati-hati pertanyaan ayahnya.

"Oh maaf. Saya sungguh tidak bermaksud ingin membuatmu makin bersedih dengan menanyakan prihal mereka berdua. Hanya saja...."

"Hanya saja?" Lia menjadi penasaran dengan kata-kata ayahnya yang menggantung dan terkesan ragu-ragu.

"Wajahmu, Nak. Wajahmu mirip sekali dengan seseorang yang pernah saya kenal di masa lalu. Astaga, ternyata memang begitu mirip." 

Ayahnya memandangnya dalam-dalam. Ada sorot mata yang penuh dengan kerinduan yang kental terlihat di sana. Tetapi entah siapa orang yang dikenang oleh ayahnya. Apakah ibunya? Mungkinkah? 

Begitulah keadaan mereka berdua. Saling memandang dalam-dalam saat Aksa tiba-tiba masuk dan memandangi posisi mereka berdua yang tampak begitu intim.

"Lho, Pak Komisaris. Ternyata Bapak ada di sini. Rapatnya sudah dimulai sepuluh menit yang lalu." 

Aksa terlihat tidak nyaman dan serba salah mendapati situasi yang akward seperti ini.

"Oke. Mari kita kembali keruang meeting, Pak Aksa."

Ayahnya menepuk pelan bahu Aksa sambil berjalan keluar. Lia sempat melihat tajamnya tatapan Aksa yang nampak seperti melecehkannya.

Biarlah... biarlah Aksa dengan segala pemikiran kelirunya. Dia tidak memperdulikannya. Yang penting sudah ada sedikit kemajuan untuk mendekati ayahnya. Tinggal sedikit waktu lagi, Lia akan memberitahukan semuanya kepada ayahnya itu.

Dia hanya ingin menjaga perasaan istri ayahnya dan anak-anak ayahnya yang lain. Karena kalau dirinya diakui sebagai anak oleh ayahnya, maka sudah dapat dipastikan istrinya akan marah. Karena itu artinya suaminya sudah berselingkuh di belakangnya.

Itu lah hal yang sangat ingin Lia jaga. Dia hanya ingin ayahnya tau dia anaknya, tanpa perlu memberitahu keluarganya yang lain. Ini adalah demi kebaikan untuk semua pihak, agar tidak ada yang tersakiti nantinya.

Dan ternyata Aksa juga berubah pikiran. Ia membawanya turut serta dalam rapat. Nadira mendadak tidak enak badan. Maka dirinyalah yang menggantikan Nadira. Namun karena ia terus menatap ayahnya selama meeting, ia jadi kehilangan konsentrasi. Akibatnya pekerjaannya bersalahan.

"Kamu kalau kerja jangan bengong melulu bisa tidak? Lihat, ini kan laporan keuangan tahun lalu? Yang saya minta kan laporan keuangan tahun ini? Kalau kerja otaknya diberdayakan dong?" Suara bentakan Aksa membuat semua peserta rapat memandang kepada Lia.

"Maaf, saya akan segera membawakan laporan keuangan yang terbaru." Lia berjalan keluar dengan mata berair. Ia tahu kalau dirinya salah. Namun tidak seharusnya Aksa bersikap sekasar itu padanya, di hadapan orang banyak. Kalau tidak demi ayahnya, betapa inginnya Lia meninggalkan tempat terkutuk ini.

Sementara itu, Aksa terdiam kala menatap mata Lia yang berair. Ia merasa sudah keHatinya merasa tidak enak saat melihat kata-kata yang diucapkan dengan bibir gemetar dan air mata yang nyaris berlinang di pipi sekretarisnya. Dalam hati Aksa sedikit menyesal telah kehilangan kontrol memarahi begitu kasar di hadapan semua orang. 

"Maaf Pak Aksa, dokumen itu bukan Bu Lia yang menyiapkan, tapi saya. Saya yang kurang teliti melihat tanggal dokumen. Saya minta maaf, Pak." 

Aksa terdiam melihat Nadira meminta maaf dengan wajah pias dan sorot mata ketakutan. Astaga, dia telah memaki orang yang tidak bersalah sama sekali hanya karena merasa cemburu. Eh Cemburu? Karena apa? Dia sendiri pun tidak bisa menjawab nya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status