Share

Chapter 5

Lia telah mentransfer uang seratus juta kepada Tante Nabila. Tinggal seratus juta lagi. Besok ia berniat untuk menjual si Thor dan beberapa perhiasan peninggalan ibunya. Apa boleh buat, walaupun ia sangat sedih karena akan kehilangan barang kenang-kenangan dari ibunya, tetapi ini ia lakukan demi menyelamatkan nyawa orang. Lia yakin, ibunya di alam sana juga pasti memahami keputusan yang ia ambil.

Lia terus menerus melamun  hingga menabrak sesosok tubuh yang langsung menahan tubuhnya agar tidak terjatuh.

"Ma—maaf saya tidak sengaja." Lia meminta maaf dan kaget begitu melihat siapa orang yang telah ditabraknya.

"Pak Komisaris? Sekali lagi maafkan saya ya, Pak? Saya sungguh tidak sengaja, soalnya saya...."

Lia terdiam seketika ketika melihat ayahnya memegang kalung pemberian ibunya. Rupanya kalungnya putus dan terjatuh karena tersangkut arloji ayahnya. Lia melihat ayahnya memandangi kalung itu dengan teliti. Ayahnya tampak terkejut saat melihat inisial S dan A di kalung itu.

"Amira...."

Lia mendengar ayahnya mendesiskan nama ibunya dengan penuh kerinduan.

"Apa hubunganmu dengan Amira, Nak?" Lia melihat mata ayahnya mulai berkaca-kaca.

"Panjang ceritanya, Pak. Apakah Bapak punya waktu? Agar saya akan menceritakan semuanya kepada Bapak."

Lia merasa sudah saatnya dia membuka tentang siapa jati dirinya yang sebenarnya kepada ayah kandungnya.

"Tentu saja, Nak. Tetapi Bapak hendak menemui seorang kerabat di Grand Swiss Belhotel. Kita berbicara di sana saja mau Nak?"

"Iya, bisa Pak."

Lia mengikuti langkah ayahnya menuju parkiran. 

"Eh tapi saya belum izin kantor, Pak." Lia tiba-tiba teringat kewajibannya sebagai karyawan. Saking senangnya bisa berbicara berdua dengan ayahnya, telah membuatnya melupakan segalanya.

"Sebentar,"

Lia melihat ayahnya mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.

"Nadira tolong katakan pada Pak Aksa, sekretarisnya masuk agak siang ya, iya ... Camelia. Terima kasih."

"Sudah saya izin 'kan Lia? Ayo sekarang pakai seatbeltnya, kita segera berangkat."

Dan mobil Lamborghini Aventador itupun mulai melaju mulus membelah padatnya jalan raya.

"Maafkan Bapak yang tidak sabaran ini ya, Nak. Bapak sungguh sangat penasaran ada hubungan apa antara kamu dengan Amira?"

"Boleh Lia tau siapa itu Amira, Pak?" ucap Lia. Ia hanya ingin memastikan perasaan apa yang dipunyai oleh ayahnya terhadap ibunya. Ayahnya merenung sejenak. 

"Amira adalah salah seorang dari mahasiswi yang magang di perusahaan Bapak. Dia adalah seorang gadis cantik yang sangat lembut. Diam-diam Bapak terpesona kepadanya. Tetapi Bapak tidak bisa terang-terangan memperlihatkan rasa suka Bapak terhadapnya. Karena sesungguhnya Bapak sudah berkeluarga." Sembari menyetir ayahnya mulai bercerita

"Rupanya Amira pun menaruh hati kepada Bapak. Bapak sering memergokinya diam-diam selalu mencuri pandang kepada Bapak. Hingga suatu hari saat kami lembur hanya berdua di kantor, kami terbawa suasana hingga melakukan perbuatan yang  seharusnya tidak boleh kami lakukan.

Setelah semuanya terjadi, Bapak berulang-ulang kali meminta maaf. Bapak juga mengatakan padanya apabila dia hamil maka Bapak akan bertanggung jawab. Bapak memberikan sebuah kalung yang Bapak design khusus dengan inisial SA yaitu Surya dan Amira."

Cerita ayahnya membuat Lia merenung. Kisah cinta kedua orang tuanya begitu rumit.

"Sebulan setelah kejadian itu, Amira menghilang seperti ditelan bumi. Bapak kehilangan jejaknya, Lia. Detektif swasta yang Bapak sewa pun tidak dapat menemukan keberadaannya. Tahun demi tahun berlalu, Amira tidak pernah diketemukan lagi. Tetapi dia tetap abadi di sini."  Ayahnya menunjuk hatinya.

Ayahnya ternyata mencintai ibunya dan ayahnya juga bersedia bertanggung jawab. Air mata lega dan bahagia Lia berderaian.

"Wanita itu juga selalu menyimpan nama Bapak di hatinya, sehingga dia tidak pernah menikah dan menolak semua pria-pria yang ingin memilikinya. Seumur hidupnya dia hanya jatuh cinta sekali saja pada seorang laki-laki. Dan laki-laki beruntung itu adalah Bapak."

"Amira itu adalah ibu saya, Pak. Kesalahan hari itu yang dia lakukan dengan bapak telah menghadirkan saya dalam rahimnya. Dia pergi bukan karena dia tidak mencintai Bapak, tetapi justru karena dia sangat mencintai Bapak. Dia tidak ingin kehamilannya merusak rumah tangga Bapak. Pak, sampai nafas terakhirnya pun, nama Bapaklah yang selalu disebut oleh ibu. Ibu jugalah yang menyuruh saya mencari Bapak dan menyerahkan kembali kalung yang Bapak titipkan padanya dan sepenuh hati dijaganya selama dua puluh tiga tahun lamanya."

Air mata Lia sudah menganak sungai. Mengalir tiada hentinya. Dia lega karena telah melaksanakan amanah ibunya.

"Ja—jadi kamu adalah anakku? Anak kandungku?" Ayahnya menangis tersedu-sedu. Ayahnya sampai menghentikan mobilnya di pinggir jalan karena shock dan tidak bisa menyetir dengan baik.

"Iya, saya anak Bapak. Anak kandung Bapak. Betapa saya sangat ingin memanggil Bapak, Ayah. Bertahun-tahun lalu saya selalu berharap, akan tiba hari di mana ada seseorang yang bisa saya panggil ayah." Suara Lia tersendat. Emosinya membuat suaranya bergetar.

"Seseorang yang bisa membela saya setiap saya diejek sebagai anak haram. Setiap ada perayaan hari ayah di sekolah, saya selalu bingung karena ibu guru selalu menyuruh kami semua untuk menulis surat yang harus diberikan kepada ayah masing-masing. Dan saya selalu bingung karena tidak punya ayah. Saya tidak tahu kepada siapa saya harus memberikan surat itu," adu Lia sedih.

"Hingga akhirnya surat-surat itu saya tumpuk di kardus. Setiap tahun saya menulisnya dan kemudian menyimpannya di sana. Ada 19 surat di sana, Ayah. Maukah Ayah nanti membacanya?" pinta Lia dengan suara serak. Ayahnya tidak menjawab. Namun ia menghentikan kendaraannya di pinggir jalan. Sepertinya ayahnya juga mengalami hal yang sama dengan dirinya. Keterkejutan yang berbuah bahagia.

"Oh anakku. Maafkan Ayah karena sudah menelantarkanmu, sayang. Ayah tidak tahu akan kehadiranmu. Kalau saja .... "

Pak Surya tidak dapat melanjutkan kata-katanya akibat tangis yang menyesakkan dadanya. Mereka lagi tidak memerlukan lagi kata-kata. Mereka hanya berpelukan erat. Meluapkan rasa kerinduan dan hilangnya moment-moment yang harusnya mereka lalui sebagai ayah dan anak. Dan kata-kata saja tidaklah cukup mewakilinya.

Tanpa mereka berdua sadari, ada sepasang mata yang menatap mereka dengan kemarahan yang luar biasa. Semua kekagumannya terhadap wanita itu mulai berguguran satu demi satu.

Ketika mobil mewah itu mulai berjalan, pemilik mata tajam itupun mulai mengikuti di belakangnya.

==================

"Ru, Om sudah sampai di hotel ini. Heru yang ke lobby atau bagaimana ini?

"........................................."

"Hahahaha kalau bicara di lobby takut banyak telinga yang ikut mendengar ya, Ru?hahahaha. Iya... iya namanya bisnis ya, Ru? Yo wes, Om ke kamarmu aja ya? Kamar 205 kan? Lho kamunya tidak ada di kamar? Oh ya sudah, Om ambil card dengan resepsionis saja ? Ok, Om ke sana duluan ya?" 

Lia melihat ayahnya mematikan ponselnya dan menarik lengannya masuk ke dalam lift.

Setiba di kamar 205 ayahnya membuka pintu kamar sambil memeluk bahunya dengan sayang. Lia yang sedang mabuk kasih sayang ayahnya pun membalas pertunjukan kasih sayang itu dengan menyandarkan kepalanya pada dada bidang ayahnya.

Dan pemilik sepasang mata tajam itu terlihat meremukkan kaleng coke yang belum sempat di minumnya. Dia langsung meninggalkan hotel itu dengan dada yang bergemuruh.

Sementara di dalam kamar, Ayahnya masih tidak puas-puasnya bertanya-tanya tentang ibunya dan masa-masa kecil Lia.

Ayahnya sedang mengelus-elus sayang rambutnya, saat tiba-tiba pintu terbuka dan sesosok pria tampan tampak menaikkan sebelah alisnya melihat adegan yang sedang berlangsung tepat di depan matanya itu.

"Eh Heru, sini masuk. Ini berkas-berkasnya sudah Om bawa semua. Rupanya kamu serius ya mau buka cabang di sini?" 

Ayahnya nampak menepuk akrab pria yang dipanggilnya Heru itu.

"Ini siapa Om?" Netra hitam pria itu menatapnya tajam. Rasa penasaran tampak begitu kental dalam tatap matanya.

"Oh kenal kan ini a—"

"Kenalkan saya Camelia Wiryaatmaja, karyawati di P.T Catur Nusa Persada."

Lia langsung memotong kata-kata ayahnya yang ingin memperkenalkannya sebagai anaknya. Dan itu sangat berbahaya bagi kehidupan rumah tangga ayahnya. Dia tidak ingin Bu Citra, istri ayahnya itu sakit hati. Menurutnya sangat riskan membuka jati dirinya yang sebenarnya saat ini.

Dan sepertinya ayahnya pun mulai menyadari kekeliruannya itu. Karena ayahnya langsung terdiam dan membiarkan Lia memperkenalkan dirinya sendiri.

"Kenalkan saya Tegar Putra Mahameru, cukup dipanggil Heru saja. Saya ini masih terhitung keponakan jauh Pak Surya, Boss kamu."

Heru menjabat erat tangan Lia. Lia merasakan Heru mulai mengelus-elus telapak tangannya dengan kurang ajar dan menatap bibir Lia dengan tatapan melecehkan.

Oh mau coba-coba dia rupanya.

Lia langsung meremas kuat tangan Heru dengan teknik aikido yang dipelajarinya. Dia melihat wajah Heru mulai berubah karena kesakitan.

Lia tersenyum miring. Kena kamu, Brengsek. Tapi Lia tidak memperkirakan kalau Heru ternyata bisa membalikkan serangannya dan menarik Lia dengan teknik yang sama, cuma dia memutar telapak tangannya mencengkram erat pergelangan tangannya.

Bukan hanya itu dia menarik pergelangan tangannya satu arah kedepan, sehingga tubuh Lia tertarik 90 derajat dan jatuh dengan mulus ke pelukan Heru.

"1 -1, Camelia."

Dia berbisik kecil di telinga kirinya.

"Lho... lho... Lia kenapa jatuh?" Kamu sakit, Nak? Kamu belum makan ya?"

Ayahnya nampak khawatir dan langsung menarik tangannya dari pelukan Heru.

"Ah nggak apa-apa kok, Pak. Cuma agak  pusing sedikit." Lia langsung berdiri tegak dan menghindari tangan ayahnya. Bagaimanapun di mata orang lain kedekatannya dengan ayahnya pasti memancing asumsi yang tidak-tidak.

Tiba-tiba ponsel ayahnya berbunyi," Saya terima telepon dari Tante Citra dulu sebentar ya, Ru?"

Ayahnya langsung melangkah keluar kamar. Tentu saja ayahnya memerlukan privacy saat berbicara dengan istrinya.

Lia langsung ingin menyusul keluar sebelum satu lengan Heru langsung menutup pintu kamar.

"Maaf saya mau keluar, Pak. Tidak baik kita berduaan di dalam kamar."

"Kamu tidak usah sok suci deh. Emangnya kamu berdua-duaan dengan Om saya itu baik?"

"Saya bu- "

"Sudah tidak usah menyangkal. Saya bukan anak kemarin sore yang tidak bisa melihat kedekatan yang lebih dari sekedar atasan dan bawahan."

Oh mulai mengarang bebas rupanya si Heru ini. 

Baik lah, lo jual gue beli cash dah.

"Oke, semerdeka asumsi Bapak saja deh, mau menilai saya seperti apa. Saya tidak perduli kok, Pak. Saya ulangi ya? Saya. Tidak. Peduli."

Lia menunjukkan wajah santai seperti tidak ada kejadian.

"Jadi berapa tarif kamu? Coba sebutkan nominal yang biasa kamu tawarkan. Saya mau tahu tarif kamu short time, long time dan all in juga."

Heru mulai menebar jala. Dia tahu hanya wanita yang mata duitan saja yang mau menjadi selingkuhan laki-laki yang lebih cocok jadi ayahnya.

Coba kalau dipancing harta, paling kemakan juga umpannya.

"Sayangnya saya tidak memakai tarif buat para pelanggan saya, Pak. Karena saya ini istimewa. Saya mau main kalau saya suka sama orangnya saja, Pak.

Misalnya nih Pak. Kalau Bapak mau booking saya, terus saya juga nggak bakalan mau laki-laki modelan seperti Bapak ini. Orang seperti Bapak pasti perabotannya sudah hambar karena sering dipakai bermacam-macam cara oleh wanita di luar sana. Jadi maaf-maaf saja ya, Pak. Saya tidak tertarik sama sekali dengan tawaran Bapak."

"Sialan, kamu belum tahu saja seperti apa rasa perabotan saya. Kalau kamu sudah rasakan, pasti kamu bakalan ketagihan."

Lia mulai berhitung sampai sepuluh sebelum membalas omongan tidak senonoh laki-laki ini.

"Aduh, Bapak jangan naif deh, Pak. Yang tahu tentang kehebatan perabotan Bapak itu kan lawan main Bapak. Kali aja mereka ber ah uh ah, dan bilang kalau perabotan Bapak itu hebat, biar bisa cepet-cepet selesai dan cepet-cepet dibayar gitu, Pak. Kasihan ih si Bapak, nggak tau trick para wanita panggilan."

Lia melihat wajah Heru sudah memerah menahan amarah mendengar kata-kata absurdnya.

Mampus lo, emang enak gue kata-katain.

Darah tinggi-darah tinggi dah elo hahaha.

"2-1 ya skornya sekarang, Pak." Lia berbisik di telinga Heru meniru gayanya tadi.

Belum sempat Heru membalas perkataan Lia, Om nya telah masuk ke kamar dan membawa Lia pergi.

Lia bahkan sempat mengedipkan sebelah matanya pada Heru.

Awas kau berandal kecil, tunggu saja pembalaskanku. Heru membathin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status