Candra menghela nafas lelah, wajahnya sayu. Gaya rambutnya tak baraturan, tubuhnya ia jatuhkan ke sisi ranjang tempatnya. Ayana yang melihat sebisa mungkin menghirup udara lebih banyak, menghilangkan rasa curiga yang saban hari muncul di benaknya. Bagaimana tidak, sejak tiga minggu terakhir ini Ayana rasakan ada sikap yang berbeda dari Candra. Perubahan itu membuat pikiran buruk kerap muncul di kepalanya. Seperti malam ini, Candra bahkan pulang dengan begitu larut padahal jadwal praktiknya hanya sampai pukul enam sore tapi Candra tidak memberi tahu Ayana bahwa dirinya akan melembur sampai jam dua pagi. Bukan sekali dua kali, tetapi yang Candra lakukan itu hampir tiap kali. "Lembur lagi Mas? Kata Haris kamu beberapa hari ini cuma praktek seharian, ada dokter jaga lain yang menggantikanmu tiap malam loh" selidik Ayana memilih untuk terus terjaga dari tidurnya. Candra berdecak saat merasa dirinya di sudutkan. "Gak sopan ya kamu nanyanya, suami pulang kerja itu bukannya di sambut ram
Haris menatap tajam ke arah ruangan vluip yang di tempati Hanin, ia begitu kesal melihat wajah wanita licik itu. Ingin ia melabrak tapi ia cukup tau diri, biarkan saja waktu yang akan membongkar segalanya.Dari kejauhan Candra begitu antusias berjalan dengan kedua tangan memegang bucket bunga. Jelas sekali dari raut wajahnya ia nampak seperti tengah di mabuk asmara."Haris, kenapa lu ada di depan ruangan ini?" Candra bertanya dengan penuh selidik ketika Candra mendekati Haris.Haris tersenyum sinis,"harusnya gue yang tanya, ngapain kamu sepagi ini temuin dia? Sebenarnya wanita yang lu cintai itu siapa? Ingan dosa Can," peringat Haris berlalu begitu saja melewati Candra.Tak ingin ambil pusing, Candra hanya mengendikkan bahu lalu memasuki ruangan Hanin yang sudah nampak begitu rapi.Hanin menatap Candra dengan penuh keceriaan, kedua bola matanya berbinar ketika ia tau jika dibalik sana Candra menyembunyikan sesuatu untuk dirinya. "Tara..." girangnya Candra memperlihatkan sebuah buket
Dengan setelan serba hitam, Marteen termenung menatap gundukan tanah merah yang masih basah itu, matanya tak henti-hentinya meneteskan cairan bening di pipi tirusnya. Tangannya bahkan memeluk erat batu nisan yang terpasang rapi di atas gundukan tanah tersebut."Mah, kenapa harus secepat ini? Bahkan Marteen belum sempat loh buat mamah bangga" batinnya berteriak, penyesalan demi penyesalan datang beruntun memenuhi kepalanya."Marteen, cucuku. Bangun nak, ikhlaskan kepergian ibumu. Biarkan dia beristirahat dengan tenang, bukan hanya kamu yang kehilangan tapi oma sama oppa juga. Kami kehilangan anak semata wayang kami saat ini, bangkitna"Pilu, begitu pilunya nenek Marteen berkata. Bahkan semua sahabat Marteen yang masih setia menunggunya kini ikut menangis menyaksikannya, tak terkecuali Tika. Ia bahkan seperti begitu amat merasakan kesedihan yang tengah Marteen rasakan, ikatan batin keduanya bahkan seolah terikat kuat. Perih, amat perih sekali rasanya. Apa ini yang tengah Marteen rasakan
Memasuki rumah Ayana masih saja diam seribu bahasa, wajah judesnya bahkan begitu kentara kali ini membuat Candra yang berdampingan dengannya pun takut untuk bertanya membuat ia memutuskan untuk lebih dulu membersihkan diri.Sementara itu dengan tak semangatnya Ayana melepaskan jas hujannya seraya berdecak, kedua tangannya berkacak pinggang bahkan kedua pipinya telah kembang kempis menahan emosi. "MAS!" geram Ayana meneriaki Candra yang sudah memasuki kamar mandi namun jejak kakinya masih tertinggal di lantai."Apa sih, Mas udah buka baju juga" keluh Candra keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk.Bukannya marah, Ayana malah dengan susab payah menahan diri untuk tidak tergoda dengan ketampanan suaminya. Entahlah, air yang menetes dari rambut menambah kesan cool."Gak usah becanda deh, bengong begitu" sungut Candra kembali memasuki kamar mandi dengan gerutuan kecil keluar dari mulutnya. Hembusan napas lega kini keluar dari mulut Ayana, gelengan serta kekehan kecil ak lup
Sebulan sejak kepergiannya Marteen mendadak berubah menjadi seorang yang ambisius dan super dingin. Semua tugas kuliah yang terbengkalai bahkan bisa ia selesaikan sekejap mata, pelajaran-pelajaran yang tak ia sukai pun mulai ia usahakan untuk mempelajarinya. Asep dan teman-temannya bahkan geleng-geleng kepala melihat perubahan drastisnya, bagaimana tidak perubahan Marteen itu begitu kentara sekali. Ia juga mendadak religius melebihi Asep, secara terang-terangan bahkan Marteen mengakui kalau dirinya mualaf dihadapan semua orang tak terkecuali keluarganya. Awalnya respon neneknya begitu marah dan tak terima, tapi keyakinan Marteen mampu meluluhkan hatinya. Seperti saat ini, senja yang biasanya ditemani secangkir kopi dan beberapa cemilan di tongkrongan tidak lagi Marteen lakukan. Kali ini ia memilih memisahkan diri, berkumpul dengan anak-anak remaja mesjid menghapal ayat-ayat al-quran sembari menunggu adzan magrib tiba. Demikian dengan Asep, dirinya kini disibukan dengan bisnis baru
"Tanpa Om, kamu tidak akan ada didunia ini" sekali lagi pria dewasa itu mendesis pelan. Bibir Tika masih bungkam, ia tak paham apa yang tengah di bicarakan ayah Marteen itu. "Hahaha. Om, ini bukan komedi. Gak lucu deh" ditengah ketegangan keduanya tawa Leo tiba-tiba pecah hingga sudut matanya berair. Tika melirik ke arah Leo dengan tatapan tajam, mengisyaratkan untuk Leo diam. Leo yang menyadari isyarat tersebut pun mengangguk paham dengan kembali memasang wajah serius. "Saya tidak sedang bercanda, dengarkan nak. Ini saatnya kamu tau, sebenarnya kamu itu putri-""Kita selesaikan dirumah, aku tidak mau menanggung malu hanya keributan kecil seperti ini. Kalau perlu Marteen juga harus ikut," begitu gemetar Tika memotong pembicaraan. Tika menghela napas untuk menenangkan diri, sejujurnya ia sudah tau akan kemana arah pembicaraan mereka kali ini. Marwan pasti hendak memberi tau kalau dia sudah menjadi ayah sambungnya. "Yasudah, ayo kamu ikut Om ke mobil" ajaknya. Tika menggeleng cep
Mata Ayana megerjap-ngerjap, menyesuaikan cahaya lampu di kamarnya. Di tatapnya jam weker yang terpasang rapi di atas nakas.Sudah hampir pukul setengah satu, namun Ayana tidak menemukan Candra di sampingnya. Ia melenguh, beranjak dari tidurnya mencari-cari keberadaan Candra di tiap ruangan. "Sudah lupa rumah sendiri rupanya," desis Ayana duduk di sofa ruang tamu.Netranya menatap fokus kearah foto pernikahannya yang menjadi pajangan dinding satu-satunya di rumah itu. Ya sepertinya Candra tidak pandai atau tidak berniat untuk mendekorasi rumah ini senyaman mungkin, buktinya banyak sekali tembok-tembok polos disekitarnya.Bibir Ayana berkedut, berjalan menghampiri foto pernikahan mereka. Ditatapnya nanar foto tersebut, tangannya terulur mengusap foto tersebut yang begitu besar. Perasaan tak enak menyeruak kedalam batinnya, menyimpan sisa-sisa kesedihan dibenaknya. "Apa foto ini akan selamanya terpajang indah disini atau hanya sementara digantikan dengan foto yang lain. Mungkin kons
"Kenapa diam? Apa yang saya ucapkan itu benar adanya bukan? Jawab Mas, aku ini istri kamu loh" Ayana bertanya dengan tatapan tajam, kedua tangannya ia letakan di bahu Candra berharap lelaki dihadapannya menjawab pertanyaannya dengan jujur. "Apa yang harus Mas jawab, sementara itu benar adanya"Perih. Jawaban itu membuat Ayana sukses membelalakkan mata. Hati Ayana sakit, bahkan sangat sakit ketika Candra tak mengelak dan justru membenarkan semua perkataan itu. Ini memang yang Ayana inginkan, tapi jika tau rasanya akan semenyakitkan ini lebih baik Ayana menarik kata-katanya tadi dan membiarkan Candra terus berbohong."Sekarang kamu pilih Mas, wanita itu atau aku?" Ayana kembali bertanya dengan memberi pilihan, gemuruh sesak di dadanya semakin menghimpit. Candra tersenyum sinis, menatap sekilas kearah Ayana yang memegang kedua bahunya. Di lepaskannya kedua tangan Ayana secara kasar olehnya, seakan kini amarahnya kembali terbangun."Jelas dia, dari dulu wanita yang aku cintai hanya