Jika bisa memilih, mungkin malam minggu ini akan Ayana habiskan dengan bermain bersama teman-teman mengelilingi kota Jogya atau sekedar nongkrong minum kopi di cafe milik Ilham, sahabatnya. Bukan duduk manis dengan memakai baju feminim di tengah-tengah orang tuanya serta dihadapan Keluarga Nugroho Aditama. Sungguh itu bukan fasionnya.
Kedua keluarga itu nampak asik berbincang begitu hangat seolah tak ada masalah yang sedang ditutupi rapat-rapat oleh keluarga Ayana.
Helaan nafas gusar, sudah beberapa kali ia lontarkan. Perbincangan hangat mereka entah kenapa membuat Ayana begitu ngantuk mendengarnya, seolah tak peduli dengan apa yang sedang mereka perbincangkan Ayana memilih untuk diam menunduk sambil berharap ada seseorang yang menghubunginya dengan urusan yang sangat penting.
Sungguh, ia tak tau harus melakukan apa sekarang. Ayah dan bundanya sedari tadi duduk menghimpit Ayana agar tak ada celah untuk kabur setelah perdebatan panas satu jam yang lalu dengan ibunya harus berakhir dengan kedatangan mereka.
"Mengapa harus gue, woy!" jeritan hati Ayana meronta-ronta.
Ini diluar dugaannya, tak pernah sekalipun terpikir olehnya untuk menjadi wanita pengganti sang kakak, setelah terpaksa dirinya harus mengalah dari sang ayah yang memintanya sebagai pengganti sang kakak dengan sangat memaksa. Kini Ayana tengah duduk manis dihadapan keluarga terhormat sebagai calon istri dari salah putra tunggalnya tersebut yang sampai detik ini bahkan belum Ayana ketahui siapa pria itu, membuat ia begitu risih apalagi penampilannya kali ini sungguh membuatnya tak nyaman.
"Putri kamu cantik banget Herlan, sepertinya saya tak akan sia-sia menjodohkan mereka. Sungguh, mereka akan sangat serasi jika disandingkan" ujar Nugroho dengan senyuman hangat memperhatikan Ayana.
"Ah, bisa aja kamu Nug. Ini putri bungsu kami, maaf ya keinginanmu untuk menjodohkan putramu dengan putri keduaku harus gagal" ucap Herlan dengan tak enak hati pada Nugroho.
Nugroho hanya tersenyum, memaklumi. Ia tahu, putri kedua Herlan itu begitu modis dan sangat kekinian jadi mana mungkin ia dengan mudahnya menerima perjodohan yang kedua keluarga ini rancang dari jauh-jauh hari sebelum mereka dewasa. Perjodohan yang menurutnya sudah kuno. Ya, Herlan tau sikap Adinda bagaimana, itu sebabnya Nugroho begitu senang kala Herlan memutuskan untuk mengganti perjanjian mereka kala itu dengan menggantikan putri keduanya dengan putri bungsunya sebagai jodoh dari putra tunggalnya.
"Tidak apa-apa Lan, yang penting salah satu putrimu berjodoh dengan putraku. Haha"
"Syukurlah kalau begitu, ayo jamuannya dimakan sembari menunggu kedatangan putramu, Nug"
"Iya, maafkan putraku yang suka telat ya, Lan. Biasalah orang so sibuk mah gitu,"
"Gak papa loh, saya ngerti. Kaya yang gak pernah muda aja, haha"
Cklek...
Suara knop pintu terbuka membuat semua pasang mata beralih pada pintu tersebut. Entah kenapa jantung Ayana rasanya berdebar hebat, saat melihat sepatu pria yang baru saja muncul dari balik pintu tersebut. Sungguh ia tak bisa membayangkan bagaimana dirinya akan dijodohkan dengan pria tua, keriputan bahkan tak berdaya seperti aki-aki. Ah, membayangkan itu saja membuat Ayan begitu tak lagi ada harapan hidup.
"Can...d" ucap Ayana dengan menelan salivanya susah payah ketika melihat lebih detail sosok pria yang baru saja datang.
Sial, laki-laki itu. Laki-laki yang ia benci dan membuat ia sial setengah mati tadi siang. Mengapa dia kesini? Apa dia mau tanggung jawab atas perbuatannya?
"Nah, itu dia yang kita tunggu. Sini nak, calon istrimu sudah menunggu" ucap Nugroho membuat Ayana sontak melotot tajam.
Jadi? Candra? Dosen menyebalkan itu? Calon suaminya? Bagaimana bisa? Ah, ini tidak mungkin! Ia kira yang akan dijodohkan dengannya pria tua bangka seperti yang ada di film-film.
"M...maaf, saya telat" ucap Candra dengan sudut mata memandang kearah Ayana yang tengah menunduk.
"Gak papa nak Can, ayo silahkan duduk" ucap Herlan mempersilahkan.
"Terimakasih Om," ucapnya lembut.
"Ngapain aja kamu di rumah sakit? Bukankah ayah sudah bilang kalau malam ini kamu harus menemui calon istrimu," omel Nugroho pada putra sulungnya.
"Maaf ayah, banyak pasien yang harus Can tangani,"
"Loh, gak usah diomeli lah Nug. Kami memaklumi," sela Herlan membuat Nugroho mengangguk.
"Oh iya nak, kenalkan ini putri bapak. Namanya Ayana Ayu Wiratmi Kencanasari, ayo nak perkenalkan dirimu" ucap Herlan pada putri bungsunya dengan lembut sementara Ayana hanya melirik malas kearah Candra yang memandangnya datar.
"Dia sudah tau Ayah, Aya gak perlu mengenalkan diri lagi padanya" ucap Ayana malas. Herlan pun sontak mencubit tangan purtinya tersebut dengan pelan, memberikan isyarat agar bisa bersikap sedikit lebih sopan didepan semua orang.
"Loh, jadi kalian sudah saling kenal?" tanya Ratih, ibu dari Candra dengan antusias.
"Iya tan, kami saling kenal. Dia salah satu dosen menyebalkan di kampus," jawab Ayana dengan jujur membuat kedua orangtua Candra sontak tertawa sementara Candra kini telah memandang tajam Ayana serta memaki habis-habisan dalam hati.
"Jadi kamu salah satu anak muridnya Candra?" tanya Nugroho masih dengan gelak tawa.
"Bisa dikatakan begitu, Om. Mohon berikan pengertiannya om, sama putra om ini agar dia gak pelit kalau kasih nilai, kesihan saya dan teman-teman hampir stres ngadepin ntuh dosen" jujurnya lagi membuat Herlan kembali menegur Ayana dengan isyarat.
"Hahahaha, tenang saja nak. Nanti kalau kalian sudah menikah pasti dia akan sangat dermawan memberikan nilainya pada temanmu apalagi padamu," ucap Nugroho membuat semua orang tertawa sementara lagi, lagi Candra hanya mengelus dada menahan sabar dengan kelakuan perempuan dihadapannya.
"Maaf ya Nug, Tih, nak Can. Aya kalau bicara suka ceplas-ceplos gak bisa disaring dan sedikit gak sopan" ucap Heni tak enak hati pada mereka.
Ayana hanya melirik malas sang ibu, kemudian berdiri hendak berpamitan meninggalkan mereka.
"Emmm... Maaf om, tante bukan Aya ingin meninggalkan kalian tapi malam ini Aya sudah ada janji buat kerja kelompok bareng, Aya pamit ya" pamitnya dengan kebohongan yang ia lontarkan. Mana ada gadis pemalas ini suka kerja kelompok di malam minggu? Yang ada bukan kerja kelompok yang ia lakukan, melainkan kerja bakti untuk membantu sesama yang sudah Ayana lakukan rutin dengan para teman tongkrongannya.
"Aya!" sergah Herlan berhasil menghentikan langkahnya.
Ia memejamkan matanya sejenak. Dalam hatinya ia berdoa agar Ayahnya tak mengomeli dirinya dihadapan keluarga pria menyebalkan itu. Sungguh memalukan kalau itu benar-benar terjadi.
"Candra baru saja datang, kenapa kamu malah pergi? Ayo, duduk sini. Temani dia ngobrol!" ujar Herlan dengan tegas.
Ayana pun berbalik badan dengan cepat. Melontarkan tatapan protes pada pria paruh baya tersebut yang tak lain adalah ayahnya sendiri.
Baru saja ia hendak membuka mulut untuk berprotes namun suara berat sang ayah menghentikannya. Seakan ayahnya tau apa yang ada di benak Ayana saat ini.
"Ayah tidak menerima penolakan, ayo duduk sini. Temani dia, ini juga demi kebaikan kalian kedepannya agar kalian bisa saling mengenal satu sama lain"
Oh, come on. Bisakan ayah memahami gadisnya ini? Sungguh, Ayana benar-benar tak ingin berbicara dengan pria yang sudah ia anggap sebagai musuhnya.
"Tapi Ayah, tugas Aya numpuk. Besok sudah harus dikumpulkan, Aya gak bisa temani dia," keluh Ayana dengan binar mata memohonnya.
"Lagian, Aya juga... "sambunya yang terpotong.
"Tidak papa Om, kalau Aya gak mau menemani saya ngobrol. Saya cuma mau minta izin saja pada Om dan tante agar Aya biar saya antarkan kerumah temannya" potong Candra dengan melirik Ayana sekilas.
"Wih, dengar Lan. Candra sudah main gerak cepat daripada kita. Tau aja kalau ini malam minggu, gimana Lan. Diijinin ka? Ijinin lah, biar mereka bisa malam mingguan," sela Nugroho dengan antusias.
"Saya tidak bisa nolak kalau ini Nug, ayo nak Can. Om ijinkan, kalian pergi aja"Dasar pria bodoh! Bisa-bisanya ia menawarkan diri untuk mengantar gadis yang selama ini ia benci.
Kira-kira apa yang akan lakukan padanya? Kenapa ia berubah so baik sekali padanya dan bahkan begitu manis pada keluarganya? Tidak seperti biasa yang bersikap datar dan menyebalkan.
"Bunda! Bangun, shalat subuh yuk"Teriakan dua orang yang berbeda nada suara itu begitu mengganggu waktu tidur Ayana pagi ini. Bukannya bangun, Ayana malah sengaja menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya membuat kedua laki-laki beda usia itu berkacak pinggang tak terima. Keduanya saling menatap lekat seolah memberi pesan jika keduanya telah merencanakan sesuatu. SatuDuaTiga"Ayo bangun Bunda, nanti subuhnya telat!"Keduanya kembali berteriak dengan menarik kuat selimut yang tengah Ayana kenakan. Sabiru sudah tidak sabar, ia menaiki ranjang dan memeluk Ayana erat. "Bunda, ayo dong" Sabiru kembali membangunkan Ayana dengan mencium wajah cantiknya. Menyadari ada yang tidak beres membuat Ayana segera membuka mata, ia memeluk Sabiru erat. "Sayang, Ummah masih ngantuk. Kalian duluan aja ya nanti Ummah nyusul" Sabiru menggeleng, ia menarik lengan Ayana untuk segera bangun dari pembaringan. "Ayo bunda, kita berjamaah sama Ayah"Kedua mata Ayana memicing, indra pendengarann
Mata Bisma menyala, jarum suntik yang ia pegang pun mampu dipatahkannya. Ia semakin tersulut emosi, dimana otak Ayana kali ini? Bukankah telat satu jam saja nyawa Sabiru taruhannya sementara jarak pesantren dan rumah sakit ini bisa ditempuh tiga puluh menit belum proses pengecekan golongan darah dan kesehatan. "TOLONGLAH PAHAM, AYA! DIA AYAHNYA, DIA YANG PALING BERHAK MENOLONG SABIRU!" teriak Bisma begitu kencang. Candra begitu syok mendengar pernyataan Bisma, ia pun turun dari ranjang pasien menghampiri Ayana yang berdiri kaku diambang pintu."Apakah yang Bisma katakan itu benar?" tanya Candra tak percaya. Ayana masih membeku enggan menjawab. Kedua tangan Candra terangkat, ia mengguncang tubuh Ayana. "Jawab Aya, apakah itu benar?"Melihat pemandangan tersebut membuat Bisma semakin geram, ia tidak mau membuang banyak waktu hanya karena ini. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah Sabiru, ia ingin Sabirunya selamat. "Aya aku tidak akan pernah memaafkamu jika Sabiruku tidak selamat," lir
Selepas kepergian Candra, Ayana menangis sesenggukan dengan Sabiru yang sudah tertidur dipelukannya. Dengan datar Bisma mengambil sabiru untuk ia tidurkan lalu menyuruh Ayana untuk menjauh agar tidak mengganggu Sabiru. Ayana menurut, ia menjauh dari Sabiru dan terduduk di kursi tunggu yang tersedia diruangan tersebut. "Kenapa tidak jujur saja? pernyataan yang kamu lontarkan itu suatu kebohongan yang suatu saat akan merugikan kamu sendiri" Bisma menyodorkan tisu pada Ayana dengan kecewa. Kenapa Ayana seolah-olah kembali memberikan harapan besar padanya padahal jelas-jelas ia akan kembali merasakan sakitnya kembali ditolak oleh Ayana. Ayana mendongak, ia menerima tisu tersebut untuk menghapus ingusnya. Bisma duduk disampinya, mendengarkan tangis Ayana yang tidak mau berhenti itu dengan setia."Kenapa dia datang disaat aku hampir saja berhasil melupakannya?" tanya Ayana disela tangisnya. "Yang dia bilang itu benar Ya, pertemuan kalian itu sudah menjadi takdir Tuhan. Kamu tidak bisa
Tiga tahun berlaluSenja, kelabu masih saja menjadi peneman hari-hari Candra sejak tiga tahun terakhir setelah ia tidak pernah menemukan Ayana dimana pun. Kedua orangtua pun tidak ada yang memberitahu kemana perginya Ayana sebenarnya. Sejak tigak tahun terakhir pula, hidup Candra diambang keputus asaan. Ia begitu bingung ingin melanjutkan hidupnya seperti apa sementara kehidupan telah berakhir sejak penyesalan terbesarnya itu."Sudah tiga tahun loh, lu gak mau bangkit melupakannya? Gue aja udah punya anak tiga loh" sindir Haris menemui Candra yang tengah terduduk di balkon kantornya. Ya, Candra kembali bekerja di rumah sakit miliknya sebagai CEO sejak ayahnya mengetahui jika Candra sudah putus dengan Hanin. Candra tak tergerak untuk menjawab, ia masih saja menikmati senja yang akan kembali digantikan dengan gelapnya malam. "Gue masih menunggu dia balik, sekali pun dia sudah bukan jadi istri gue tapi gue akan tetap menjadi miliknya. Gue gak mau nikah dengan siapa pun kecuali dengan
Hari-hari berikutnya adalah penderitaan bagi Candra, sesak yang menggunung dihatinya tidak akan pernah runtuh sebelum ia meminta maaf pada Ayana dan Ayana memaafkannya. Menyesal, merasa bersalah dan rindu yang amat besar membuat hari-hari Candra menjadi sangat kelabu.Untuk menuntaskan semuanya pagi ini bahkan Candra bergegas untuk menjemput Ayana dan meminta maaf padanya, wajah yang sayu itu kini sudah menatap sendu pekarangan rumah Herlan. Disana nampak begitu sepi pagi ini dan Candra tidak begitu yakin kalau Herlan akan mengizinkannya masuk. Namun bukan Candra namanya kalau tidak mencoba. Ia berusaha menguatkan hatinya, bersikap bodo amat memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah tersebut. Beberapa penjaga bahkan menyambutnya dengan ramah. Menghela nafas dalam, Candra keluar dari mobil dan berjalan menuju depan pintu rumah tersebut. Belum sempat Candra mengetuk pintu tiba-tiba Adinda keluar dari rumah tersebut dengan pakaian dinasnya. "Kamu, sedang apa disini?" tanya Adinda beg
Sudah hampir tiga bulan sejak perpisahan Candra dengan Ayana, kini dirinya sudah kembali terbiasa menjalani hari-hari. Melakukan pekerjaan rumah tanpa di bantu oleh Ayana. Keterbiasaan itu entah kenapa menjadikan hatinya suram untuk menjalani hari-hari. Ia merasa harinya kurang lengkap tanpa ada pengganggu di hidupnya. Siapa lagi kalau bukan Ayana. Sudah hampir tiga bulan juga Candra tak lagi menjadi seorang CEO dirumah sakit miliknya atau pun di perusahaan milik ayahnya. Hidup Candra kembali lagi kemassa dimana ia hanyalah seorang pegawai rumah sakit biasa di salah satu rumah sakit swasta. Haris, yang merupakan sahabatnya pun tak peduli dengannya. Entah, mungkin ini memang hukuman baginya atas apa yang ia lakukan pada Ayana dulu. Candra menarik napas dalam, menatap kearah sebrang rumah sakit. Dimana ia melihat seseorang yang tidak asing baginya, perempuan yang sedari dulu ia cintai tengah menunggunya duduk santai menikmati secangkir kopi andalan yang disajikan di kafe tersebut.
Rembulan malam telah tenggelam, menghilang di gantikan dengan sinar matahari yang terbit dengan malu-malu. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, tapi Candra masih asik duduk melamun di kursi meja makan. Ada hati kecil yang menyesal saat ini, luka di wajahnya bahkan masih terasa perih. Setelah malam itu, sepertinya Candra akan benar-benar kehilangan Ayananya. Kemarahan Herlan nampaknya akan mengibarkan bendera permusuhan. Pikirnya. Candra meringis saat melihat pemandangan rumah yang begitu acak-acakan tidak seperti biasanya yang nampak rapi dan harum. Ia menghembuskan nafas kasar ketika cucian yang menggunung seperti melambai-lambai kearahnya. Ini baru beberapa hari Ayana pergi dari rumahnya namun Candra sudah dibuat stres dengan pekerjaan rumah yang menggunung. Kenapa harus takut jika Ayana pergi kan ada Hanin yang akan merawatnya, menggantikan posisi Ayana. Pikirnya Candra begitu dulu tapi Candra salah. Setelah malam itu, Hanin malah seperti terkesan menjauh. Ia begitu sulit d
Mobil berplat nomor dinas itu berhenti tepat di pekarangan rumah Candra. Nampak Herlan bersama kedua ajudannya keluar dari mobil tersebut, mata Herlan memejam lama saat kakinya hendak melangkah ke depan pintu rumah yang sedikit terbuka. Samar-samar Herlan mendengar suara perempuan yang tengah asik berbincang dengan menantunya itu, tentu saja bukan Ayananya. Tangan Herlan terangkat hendak mengetuk pintu, namun dihalangi oleh kedua ajudannya."Izin komandan, sebaiknya jika memang komandan ingin memastikan benar tidaknya jika menantu komandan itu berselingkuh sebaiknya kita tunggu dulu jangan dulu masuk, kita intip saja dari jendela dan dengarkan percakapannya" ujar Roni salah satu ajudan yang paling keluarga Herlan percayai.Herlan menurunkan tangannya, ia menuruti apa yang dikatakan Roni. "Ayo tuan sebaiknya kita intip disini," ajak Roni sedikit menjauhi pintu utama tepat pada jendela besar yang hanya di tutupi kain gorden yang sangat tipis. Dari sana terlihat jelas Candra tengah du
Lantunan surat Al-Baqarah terdengar melangalun lembut menghiasi kamar kos-koasan berukuran 2.5 m kali 3 m itu.Si pembaca begitu menjiwai setiap ayat demi ayat yang ia lantunkan. Apalagi saat ia membaca dan merenungi salah satu arti dari surat al-baqarah ayat 216 yang berbunyi :كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ࣖ“Diwajibkan atasmu berperang, padahal itu kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui”Melalui surat Al Baqarah 216 Allah telah menjelaskan bahwa kewajiban perang harus dilaksanakan meski hal tersebut bukan sesuatu yang menyenangkan. Dalam ayat tersebut menyebutkan bahwa “boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu” yang berarti peperangan