Beranda / Romansa / Can is mine / Wanita pengganti

Share

Wanita pengganti

Penulis: AkaraLangitBiru
last update Terakhir Diperbarui: 2021-02-09 08:17:23

Dan disinilah Ayana sekarang, diruangan serba putih khas rumah sakit dengan satu bangsal tempat untuk pasien di periksa. Ia duduk dengan sangat terpaksa di bangsal tersebut, matanya tak henti-henti melihat tajam kearah pria yang sedang membersihkan lukanya.

"Ditahan ya, ini pasti perih" ucapnya ketika sebuah kapas basah mendarat di jempol kaki Ayana. Bukannya menjerit, ia malah mengeluarkan decakan malas dari mulutnya. 

"Ck. Emangnya gue cewek apaan? Luka gini doang gak tahan," ucap Ayana menyombongkan diri membuat pria di depannya dengan sengaja menekan luka tersebut. 

"Rasain tuh! Gak sakitkan?" kesal laki-laki tersebut membuat rintihan kecil keluar dari mulut Ayana. 

"Buset, gak gitu juga kali! Cari perkara aja ya lu, dasar menyebalkan!" protes Ayana.

"Terserah!" jawab laki-laki tersebut dengan kembali fokus mengobati lukanya. Hening kembali tercipta diantara mereka, Candra dengan fokus mengobati lukanya sementara Ayana sibuk memikirkan kondisi sang kakak yang entah sudah sadar atau belum saat ini. 

"Selesai, tanggung jawab saya ke kamu sudah selesai!" ujar Candra sambil membereskan perlengkapan p3k nya. 

"Tanggung jawab lu emang udah selasai, tapi ingat! Lu kalau gak bisa bawa mobil. Mending jalan kaki!" ucap Ayana pedas sambil beranjak pergi dengan jalan terpincang-pincang. 

"Heh! Bukannya bilang makasih malah... Dasar preman! Gak ada sopan-sopannya!" ujar Candra kesal melihat punggung Ayana yang semakin menjauh dari pandangannya.

Lagi, lagi hati Ayana kembali merasakan nyeri ketika ia baru saja memasuki ruang UGD dan mendapati ayah dan ibunya sedang mengelus puncak kepala sang kakak dengan sayang. Iri, ia begitu iri. Tak pernah sekali pun ia merasakan elusan sayang dari kedua orangtuanya saat ia sudah menginjak ramaja, sungguh ia tak pernah merasakan lagi hal semacam itu dari mereka apalagi dari ibunya. 

"Darimana kamu, Ay? Kaki kamu kenapa?" tanya Handoko, senyuman hambar ia tampilkan. Bahkan, hanya sang Ayah yang peduli padanya sementara ibunya? Ia seakan tak peduli. 

"Dari ruangan dokter yang barusan, Yah. Abis ngobatin luka Aya" jawab Ayana mendekati Handoko. 

"Memangnya kaki kamu kenapa? Jatuh dari motor, ya? Makannya ayah bilang juga apa, hati-hati" ujar Handoko begitu mengkhawatirkan sang putri. Ayana hanya tersenyum kecil, lalu mengangguk sebagai jawaban. 

"Ibu bilang apa, gak usah so! Gaya-gayaan pakai motor, perempuan itu harusnya bersikap ayu bukan seperti preman!" omelan Heni, sang bunda membuat Ayana hanya mampu tersenyum kecut. Bahkan disaat-saat begini saja, ibunya masih berani mengomelinya tanpa rasa khawatir sedikit pun padanya.

"Ibu ini ngapain? Putrinya sakit malah diomelin, kesian bu" tegur Handoko. 

"Gak papalah, Yah. Emang ini salah Aya kok," ucap Ayana. Handoko mengangguk sambil tersenyum padanya. 

Tak butuh waktu lama, Dinda tersadar dari pingsannya. Dengan memegang kepalanya ia merintih kesakitan membuat Ayana dan orangtuanya yang sedang duduk sontak menghampiri. 

"Alhamdulillah nak, kamu sudah sadar" seru Heni dengan mengecup puncak kepala Dinda penuh sayang. 

"Biar Aya panggil dokter," ucap Ayana sambil berlalu pergi menemui dokter yang menyebalkan tadi. Siapa lagi kalau bukan Candra. 

Gubrak! 

Tanpa permisi, tanpa ketuk pintu ataupun mengucapkan salam. Ayana membuka pintu dengan sekali gebrakan membuat Candra yang sedang fokus membaca data-data pasiennya terperanjat kaget. 

"Kamu ini apa-apaan sih, gak ada sopan-sopannya! Bisa gak, kalau buka pintu itu pake etika!" kesal Candra. 

Dengan santainya, Ayana menghampiri Candra dengan tangan bersidekap dada. 

"Kakak gue udah siuman, noh sana pergi. Periksa dia, takutnya ada saraf yang ke geser diotaknya!" ucap Ayana. Candra hanya terdiam sembari memperhatikan sikap santai perempuan dihadapannya itu.

"Kamu itu saudaranya, tapi kaya yang gak peduli sama sekali dengannya" aneh Candra. Ayana menggeleng, dengan senyum miring.

"Emang gak peduli gue! Noh sana periksa," kekeh Ayana. 

"Tuhkan," ucap Candra mendengus sebal sambil beranjak pergi terlebih dahulu untuk memeriksa Dinda. 

***

"Pokonya, Dinda gak mau dijodohkan! Dinda gak mau!" teriakan dari ruangan UGD membuat Ayana dan Candra menghentikan langkahnya di ambang pintu yang masih tertutup. 

"Tapi nak, ini impian Ayah. Kamu mau ya, pliss"

"Enggak! Dinda gak mau! Kalau Ayah ngotot jodohin Dinda, Dinda gak segan-segan buat bunuh diri lagi!" ancam Dinda. 

"Iya sayang, gak akan. Nanti biar ibu yang bujuk ayah, jangan gitu lagi ya. Ibu gak mau kehilangan kamu, Yah tolonglah. Batalin perjodohan ini, atau kalau gak bisa jangan Dinda yang Ayah jodohin masih adakan putri ayah yang lain"

Ayana berdecak sebal mendengar penuturan sang bunda yang selalu membela kakaknya, dengan kesal Ayana membuka pintu begitu kasar membuat semua perhatian tertuju padanya. Candra hanya menggeleng, mengikuti Ayana dari belakang.

"Mohon maaf ibu, bapak. Permisi biar saya periksa dulu ya," ucap Candra dengan lemah lembut. Heni dan Handoko mengangguk dengan sedikit mundur dari posisinya. 

"Ikut ayah sebentar," bisik Handoko pada Ayana. 

Kedua alisnya bertaut bingung, "Kemana?" tanya Ayana. 

"Ikut saja, ayah tunggu di depan" bisiknya lagi. Ayana semakin dilanda kebingungan, dengan pelan ia berjalan mengikuti sang ayah yang lebih dulu keluar dari ruangan tersebut. 

"Ada apa, Yah?" tanya Ayana ketika baru saja keluar dari ruangan tersebut. 

"Ayah mau bicara sesuatu, tapi bukan disini. Ayo, ikut ayah" ujar Handoko menarik pergelangan tangan Ayana dan membawanya ketaman rumah sakit.

Keduanya duduk berdampingan di kursi taman tersebut dengan saling bungkam. Mereka malah sibuk dengan pemikirannya masing-masing, hingga Ayana yang tak sabar pun memilih untuk bersuara.

"Ada apa? Kenapa Ayah membawa Aya kesini?" tanya Ayana yang dilanda penasaran sedari tadi. 

"Ayah gak tau apa kamu akan menerima permintaan Ayah atau tidak. Yang jelas kamu adalah satu-satunya harapan ayah sekarang,"

Jleb! 

Mendengar perkataan begitu membuat Ayana curiga, apa ayahnya akan menjadikan ia sebagai pengganti dari sang kakak yang telah ibunya minta tadi. 

"Maksudnya?" tanya Ayana. 

"Kamu jelas sudah tahu pembahasan Ayah ini akan kemana, kamu mau kan jadi pengganti kakakmu dalam perjodohan ini? Ayah mohon sama kamu, kamu mau ya. Ayah gak mau kalau perjodohan ini batal, persahabatan ayah dengan Om Nugroho hancur begitu saja. Ayah mohon kamu harus mau ya?" pintanya. 

Helaan napas pelan Ayana lakukan, dugaannya benar ternyata Ayahnya menginginkan ia untuk menjadi pengganti sang kakak, bahkan permintaannya itu seperti nada perintah yang tak boleh Ayana bantah. 

"Aya... "

"Pokoknya kamu harus mau!" tegasnya. 

"Kalau Aya menolak bagaimana?" tanya Ayana emosi. 

"Kamu mau Ayah menanggung malu? Kamu mau Ayah sakit-sakitan gara-gara ini? Apa kamu mau kehormatan keluarga kita tercoreng gara-gara ini?"

"Tapi yah," bantah Ayana. 

"Ayah gak mau tau, pokoknya kamu harus mau!" potong sang Ayah dengan nada tegas. 

Lagi, dan lagi Ayana harus menerima dengan lapang dada keinginan sang Ayah. Menjadi wanita pengganti sang kakak, meski dalam hati ia ingin menolak keras tapi lagi, lagi permintaan bernada perintah itu kembali membuat nyalinya ciut. Mengapa harus dirinya? Mengapa harus dirinya yang selalu mengalah? 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Can is mine   EPILOG (CAN IS MINE)

    "Bunda! Bangun, shalat subuh yuk"Teriakan dua orang yang berbeda nada suara itu begitu mengganggu waktu tidur Ayana pagi ini. Bukannya bangun, Ayana malah sengaja menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya membuat kedua laki-laki beda usia itu berkacak pinggang tak terima. Keduanya saling menatap lekat seolah memberi pesan jika keduanya telah merencanakan sesuatu. SatuDuaTiga"Ayo bangun Bunda, nanti subuhnya telat!"Keduanya kembali berteriak dengan menarik kuat selimut yang tengah Ayana kenakan. Sabiru sudah tidak sabar, ia menaiki ranjang dan memeluk Ayana erat. "Bunda, ayo dong" Sabiru kembali membangunkan Ayana dengan mencium wajah cantiknya. Menyadari ada yang tidak beres membuat Ayana segera membuka mata, ia memeluk Sabiru erat. "Sayang, Ummah masih ngantuk. Kalian duluan aja ya nanti Ummah nyusul" Sabiru menggeleng, ia menarik lengan Ayana untuk segera bangun dari pembaringan. "Ayo bunda, kita berjamaah sama Ayah"Kedua mata Ayana memicing, indra pendengarann

  • Can is mine   akhir dari cerita

    Mata Bisma menyala, jarum suntik yang ia pegang pun mampu dipatahkannya. Ia semakin tersulut emosi, dimana otak Ayana kali ini? Bukankah telat satu jam saja nyawa Sabiru taruhannya sementara jarak pesantren dan rumah sakit ini bisa ditempuh tiga puluh menit belum proses pengecekan golongan darah dan kesehatan. "TOLONGLAH PAHAM, AYA! DIA AYAHNYA, DIA YANG PALING BERHAK MENOLONG SABIRU!" teriak Bisma begitu kencang. Candra begitu syok mendengar pernyataan Bisma, ia pun turun dari ranjang pasien menghampiri Ayana yang berdiri kaku diambang pintu."Apakah yang Bisma katakan itu benar?" tanya Candra tak percaya. Ayana masih membeku enggan menjawab. Kedua tangan Candra terangkat, ia mengguncang tubuh Ayana. "Jawab Aya, apakah itu benar?"Melihat pemandangan tersebut membuat Bisma semakin geram, ia tidak mau membuang banyak waktu hanya karena ini. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah Sabiru, ia ingin Sabirunya selamat. "Aya aku tidak akan pernah memaafkamu jika Sabiruku tidak selamat," lir

  • Can is mine   Biarlah takdir yang bercerita

    Selepas kepergian Candra, Ayana menangis sesenggukan dengan Sabiru yang sudah tertidur dipelukannya. Dengan datar Bisma mengambil sabiru untuk ia tidurkan lalu menyuruh Ayana untuk menjauh agar tidak mengganggu Sabiru. Ayana menurut, ia menjauh dari Sabiru dan terduduk di kursi tunggu yang tersedia diruangan tersebut. "Kenapa tidak jujur saja? pernyataan yang kamu lontarkan itu suatu kebohongan yang suatu saat akan merugikan kamu sendiri" Bisma menyodorkan tisu pada Ayana dengan kecewa. Kenapa Ayana seolah-olah kembali memberikan harapan besar padanya padahal jelas-jelas ia akan kembali merasakan sakitnya kembali ditolak oleh Ayana. Ayana mendongak, ia menerima tisu tersebut untuk menghapus ingusnya. Bisma duduk disampinya, mendengarkan tangis Ayana yang tidak mau berhenti itu dengan setia."Kenapa dia datang disaat aku hampir saja berhasil melupakannya?" tanya Ayana disela tangisnya. "Yang dia bilang itu benar Ya, pertemuan kalian itu sudah menjadi takdir Tuhan. Kamu tidak bisa

  • Can is mine   takdir tuhan

    Tiga tahun berlaluSenja, kelabu masih saja menjadi peneman hari-hari Candra sejak tiga tahun terakhir setelah ia tidak pernah menemukan Ayana dimana pun. Kedua orangtua pun tidak ada yang memberitahu kemana perginya Ayana sebenarnya. Sejak tigak tahun terakhir pula, hidup Candra diambang keputus asaan. Ia begitu bingung ingin melanjutkan hidupnya seperti apa sementara kehidupan telah berakhir sejak penyesalan terbesarnya itu."Sudah tiga tahun loh, lu gak mau bangkit melupakannya? Gue aja udah punya anak tiga loh" sindir Haris menemui Candra yang tengah terduduk di balkon kantornya. Ya, Candra kembali bekerja di rumah sakit miliknya sebagai CEO sejak ayahnya mengetahui jika Candra sudah putus dengan Hanin. Candra tak tergerak untuk menjawab, ia masih saja menikmati senja yang akan kembali digantikan dengan gelapnya malam. "Gue masih menunggu dia balik, sekali pun dia sudah bukan jadi istri gue tapi gue akan tetap menjadi miliknya. Gue gak mau nikah dengan siapa pun kecuali dengan

  • Can is mine   sebenarnya yang terjadi

    Hari-hari berikutnya adalah penderitaan bagi Candra, sesak yang menggunung dihatinya tidak akan pernah runtuh sebelum ia meminta maaf pada Ayana dan Ayana memaafkannya. Menyesal, merasa bersalah dan rindu yang amat besar membuat hari-hari Candra menjadi sangat kelabu.Untuk menuntaskan semuanya pagi ini bahkan Candra bergegas untuk menjemput Ayana dan meminta maaf padanya, wajah yang sayu itu kini sudah menatap sendu pekarangan rumah Herlan. Disana nampak begitu sepi pagi ini dan Candra tidak begitu yakin kalau Herlan akan mengizinkannya masuk. Namun bukan Candra namanya kalau tidak mencoba. Ia berusaha menguatkan hatinya, bersikap bodo amat memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah tersebut. Beberapa penjaga bahkan menyambutnya dengan ramah. Menghela nafas dalam, Candra keluar dari mobil dan berjalan menuju depan pintu rumah tersebut. Belum sempat Candra mengetuk pintu tiba-tiba Adinda keluar dari rumah tersebut dengan pakaian dinasnya. "Kamu, sedang apa disini?" tanya Adinda beg

  • Can is mine   Kehilangan

    Sudah hampir tiga bulan sejak perpisahan Candra dengan Ayana, kini dirinya sudah kembali terbiasa menjalani hari-hari. Melakukan pekerjaan rumah tanpa di bantu oleh Ayana. Keterbiasaan itu entah kenapa menjadikan hatinya suram untuk menjalani hari-hari. Ia merasa harinya kurang lengkap tanpa ada pengganggu di hidupnya. Siapa lagi kalau bukan Ayana. Sudah hampir tiga bulan juga Candra tak lagi menjadi seorang CEO dirumah sakit miliknya atau pun di perusahaan milik ayahnya. Hidup Candra kembali lagi kemassa dimana ia hanyalah seorang pegawai rumah sakit biasa di salah satu rumah sakit swasta. Haris, yang merupakan sahabatnya pun tak peduli dengannya. Entah, mungkin ini memang hukuman baginya atas apa yang ia lakukan pada Ayana dulu. Candra menarik napas dalam, menatap kearah sebrang rumah sakit. Dimana ia melihat seseorang yang tidak asing baginya, perempuan yang sedari dulu ia cintai tengah menunggunya duduk santai menikmati secangkir kopi andalan yang disajikan di kafe tersebut.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status