Ayana mematung di bibir pintu, menyaksikan perdebatan kecil antara suaminya dengan Haris yang berujung Haris mengalah dan meninggalkan suaminya. Haris yang terlampau kesal pun hanya menyapa Ayana dengan senyum paksanya.Sementara itu Ayana melihat Candra tengah mengusap kasar wajahnya dan memandang lekat kearah pintu keluar tepat ke arahnya.Ayana berdehem, ia mulai melangkah, menghampiri Candra."Ada masalah apa kamu sama kak Haris, Mas?" tanya Ayana.Candra begitu gelagapan, takut pertengkaran Haris dan dirinya di dengar Ayana secara detail."Apa kamu menguping?" tuduh Candra.Ayana mengedikkan bahu, duduk di sofa sembari melepaskan ranselnya."Gak sengaja dengar, tapi kok dia bicaranya mengarah ke topik yang jangan sia-siakan aku. Kenapa emangnya Mas, kamu selingkuh?" selidik Ayana dengan mata yang menyipit.Candra terkesiap, buru-buru ia mengubah air mukanya yang kusut menjadi ceria lagi. "Enggaklah, gak mungkin aku selingkuhin kamu. Tadi tuh Haris ngomong gitu karena Mas bah
Seperti malam-malam sebelumnya, setiap kali Marteen turun kejalanan ia selalu menjadi nomor satu diantara pebalap yang lain bahkan Leo mengakui jika Marteen berhak menjadi pebalap dunia. Saat ia sampai di garis finish Leo dan Guntur begitu antusias, para wanita yang berperawakan seperti gitar spanyol pun menghampirinya, dengan tubuh di elok-elokan untuk menggoda Marteen."Lo menang lagi Ten, kita bangga sama lo. Yakan?" Seru Guntur meminta persetujuan dari kedua sahabatnya.Jelas Leo mengangguk setuju, hanya Asep yang menghela napas berat dengan istigfarnya berkali-kali."Ten, lu gak henti-hentinya ya buat jantung gue gak aman. Gak Ayana, gak Lu sama aja deh. Kalau lu mau jadi pembalap ya harusnya lu daftar aja, jangan jadi pembalap liar kaya gini ya. Gue mohon," khawatir Asep dengan menepuk pundak Marteen pelan.Dengan dinginnya Marteen turun dari motor, menerima sejumlah uang dari lawan yang jumlahnya tidak sedikit. Satu unit motor matic bahkan berhasil Marteen dapatkan."Tenang aja
Dering telepon berkali-kali mengganggu tidur Leo dan Guntur bahkan kenyaringan suaranya mampu mengganggu konsentrasi Asep yang tengah menjalankan shalat subuh yang terpaksa ia laksanakan di kamar kost Leo yang jauh dari mesjid."Siapa sih, ganggu aja. Baru juga tidur," gerutu Guntur mematikan ponselnya dan melanjutkan tidurnya kembali.Belum lima menit, kini giliran ponsel Leo yang berdering, suaranya tak kalah nyaring dari ponsel milik Guntur barusan.Dengan setenga sadar, Leo berdecak mengangkat panggilan yang masuk ke ponselnya."Hallo, kenapa? Ini siapa, ganggu orang tidur aja!"{Leo, kamu dimana? Sama yang lainkan? Cepetan kerumah sakit, Ibunya Marteen meninggal}"Becanda lu garing, mana ada." Bantah Leo.{Saya serius, cepetan kesini. Kabari yang lain juga!}"Iya," malas Leo mematikan teleponnya secara sepihak. Niat hati ingin kembali melanjutkan tidurnya, namun beberapa notif pesan dari Ayana yang sudah lama tak ada kini bertengger di ponselnya membuat ia penasaran.Untuk apa Ay
Dengan setelan serba hitam, Marteen termenung menatap gundukan tanah merah yang masih basah itu, matanya tak henti-hentinya meneteskan cairan bening di pipi tirusnya. Tangannya bahkan memeluk erat batu nisan yang terpasang rapi di atas gundukan tanah tersebut."Mah, kenapa harus secepat ini? Bahkan Marteen belum sempat loh buat mamah bangga" batinnya berteriak, penyesalan demi penyesalan datang beruntun memenuhi kepalanya."Marteen, cucuku. Bangun nak, ikhlaskan kepergian ibumu. Biarkan dia beristirahat dengan tenang, bukan hanya kamu yang kehilangan tapi oma sama oppa juga. Kami kehilangan anak semata wayang kami saat ini, bangkitna"Pilu, begitu pilunya nenek Marteen berkata. Bahkan semua sahabat Marteen yang masih setia menunggunya kini ikut menangis menyaksikannya, tak terkecuali Tika. Ia bahkan seperti begitu amat merasakan kesedihan yang tengah Marteen rasakan, ikatan batin keduanya bahkan seolah terikat kuat. Perih, amat perih sekali rasanya. Apa ini yang tengah Mart
Setelah kepergian Candra yang menghampiri Marteen, Ayana bergegas menghampiri Tika, menerobos hujan yang tiada henti. Wajah Tika begitu syok, tangannya gemetar. Bajunya bahkan sudah di penuhi dengan cipratan tanah, kotor. Bahkan kali ini tubuhnya meluruh, terduduk di permukaan tanah dengan wajah menunduk. "Gak mungkin, ini gak mungkin" desisnya menepis semua kenyataan yang ada. Dengan ragu Ayana memberikan payung padanya, "Jangan menyiksa diri dengan sengaja berdiam diri di tengah-tengah hujan" ujar Ayana dingin. Sulit baginya untuk bisa bersikap ramah seperti sebelum-sebelumnya, luka yang Tika ciptakan padanya begitu membekas di ingatan. Fitnah, itu yang paling Ayana benci. Fitnah yang Tika ciptakan terhadapnya begitu keterlaluan.Tika mendongak, ia mengusap wajahnya kasar. "Tidak usah so peduli, gue gak mau hutang budi" ketusnya. Ayana menghela napas jengah, perlahan tubuhnya ia bungkukkan mensejajarkan diri dengan Tika. "Bisa-bisanya ya lo masih mikir hutang budi. Gue g
Candra menghela nafas lelah, wajahnya sayu. Gaya rambutnya tak baraturan, tubuhnya ia jatuhkan ke sisi ranjang tempatnya. Ayana yang melihat sebisa mungkin menghirup udara lebih banyak, menghilangkan rasa curiga yang saban hari muncul di benaknya. Bagaimana tidak, sejak tiga minggu terakhir ini Ayana rasakan ada sikap yang berbeda dari Candra. Perubahan itu membuat pikiran buruk kerap muncul di kepalanya. Seperti malam ini, Candra bahkan pulang dengan begitu larut padahal jadwal praktiknya hanya sampai pukul enam sore tapi Candra tidak memberi tahu Ayana bahwa dirinya akan melembur sampai jam dua pagi. Bukan sekali dua kali, tetapi yang Candra lakukan itu hampir tiap kali. "Lembur lagi Mas? Kata Haris kamu beberapa hari ini cuma praktek seharian, ada dokter jaga lain yang menggantikanmu tiap malam loh" selidik Ayana memilih untuk terus terjaga dari tidurnya. Candra berdecak saat merasa dirinya di sudutkan. "Gak sopan ya kamu nanyanya, suami pulang kerja itu bukannya di sambut ram
Haris menatap tajam ke arah ruangan vluip yang di tempati Hanin, ia begitu kesal melihat wajah wanita licik itu. Ingin ia melabrak tapi ia cukup tau diri, biarkan saja waktu yang akan membongkar segalanya.Dari kejauhan Candra begitu antusias berjalan dengan kedua tangan memegang bucket bunga. Jelas sekali dari raut wajahnya ia nampak seperti tengah di mabuk asmara."Haris, kenapa lu ada di depan ruangan ini?" Candra bertanya dengan penuh selidik ketika Candra mendekati Haris.Haris tersenyum sinis,"harusnya gue yang tanya, ngapain kamu sepagi ini temuin dia? Sebenarnya wanita yang lu cintai itu siapa? Ingan dosa Can," peringat Haris berlalu begitu saja melewati Candra.Tak ingin ambil pusing, Candra hanya mengendikkan bahu lalu memasuki ruangan Hanin yang sudah nampak begitu rapi.Hanin menatap Candra dengan penuh keceriaan, kedua bola matanya berbinar ketika ia tau jika dibalik sana Candra menyembunyikan sesuatu untuk dirinya. "Tara..." girangnya Candra memperlihatkan sebuah buket
Dengan setelan serba hitam, Marteen termenung menatap gundukan tanah merah yang masih basah itu, matanya tak henti-hentinya meneteskan cairan bening di pipi tirusnya. Tangannya bahkan memeluk erat batu nisan yang terpasang rapi di atas gundukan tanah tersebut."Mah, kenapa harus secepat ini? Bahkan Marteen belum sempat loh buat mamah bangga" batinnya berteriak, penyesalan demi penyesalan datang beruntun memenuhi kepalanya."Marteen, cucuku. Bangun nak, ikhlaskan kepergian ibumu. Biarkan dia beristirahat dengan tenang, bukan hanya kamu yang kehilangan tapi oma sama oppa juga. Kami kehilangan anak semata wayang kami saat ini, bangkitna"Pilu, begitu pilunya nenek Marteen berkata. Bahkan semua sahabat Marteen yang masih setia menunggunya kini ikut menangis menyaksikannya, tak terkecuali Tika. Ia bahkan seperti begitu amat merasakan kesedihan yang tengah Marteen rasakan, ikatan batin keduanya bahkan seolah terikat kuat. Perih, amat perih sekali rasanya. Apa ini yang tengah Marteen rasakan