Gendhis menyipitkan pandangannya, rasa haus yang amat sangat memenuhi mulut dan tenggorokannya. Samar ia dengar suara orang tengah mengobrol, tapi kantuk yang menggantung di matanya memaksa Gendhis kembali memejamkan mata.
"Semisal saya tinggal pulang dan nggak ada yang nemenin, apa aman, Dok?" Suara berisik di sebelahnya semakin terdengar jelas oleh Gendhis. Seseorang tengah mengobrol dengan dokter, membicarakan kondisinya. "Silakan, ada perawat kami yang bisa diandalkan. Pasien juga baru boleh makan setelah lewat tengah malam," balas suara berat lain. Gendhis mengenal suara bariton seksi ini, milik sebuah nama yang menghuni sisi lain hatinya. Kali ini, Gendhis berusaha lagi membuka mata. Kantuk seketika menyerang, tapi ia tak menyerah. Ia harus tahu, siapa pemilik suara berat yang mengobrol di sampingnya. "Kalau gitu, gue balik dulu, bisa berantakan kerjaan kalau gue lama-lama di sini. Nanti gue kirim orang buat jagain lo," pamit si perempuan paruh baya berdandan menor, saat melihat Gendhis membuka matanya. Gendhis mengangguk lemah, ia tatap langkah perempuan itu hingga menghilang di balik pintu. Lalu, pandangan buramnya beralih pada sosok dokter bertubuh tinggi tegap yang berdiri di sebelahnya. "Ada keluhan pengin muntah?" tanya dokter yang menangani dan bertanggungjawab atas Gendhis. Gendhis menggeleng, "Rai, ini kamu ya?" tebaknya masih belum yakin. Adalah dokter yang menangani Gendhis sejak dari IGD hingga kini dirawat pasca operasi, lelaki familiar di ingatan Gendhis. Sosok masa lalu yang masih membekas sangat kentara di hati dan pikiran Gendhis. Muda, tampan, pintar, misterius, adalah 'imej' yang melekat pada sosok Rai Damian Christopher Wisanggeni. Tumbuh dalam didikan keras keluarga besar mafia, Rai tak hanya mewarisi sifat dingin dan kaku ayah tirinya. Sosok sang ibu yang menjadi tenaga medis dengan kemampuan sangat mumpuni pun menurun pada Rai. Bakat dan kecerdasannya membawa Rai sukses menjadi dokter spesialis obgyn di usia yang sangat muda, 30 tahun. "Saya harap Mbak lebih berhati-hati ke depannya, K.E.T bukan kasus sepele, jangan sampai Mbak dibawa ke IGD lagi karena kasus yang sama," ucap dokter itu, terdengar gemas tapi juga khawatir. "Sebenarnya saya harus bicara dengan wali Mbak, entah siapapun itu, tapi sepertinya Mbak memang hanya mengandalkan diri sendiri. Tugas saya sebagai wali Mbak akan selesai setelah Mbak diijinkan pulang," tuturnya lebih lanjut. "Kenapa Dokter mau nolongin saya?" tanya Gendhis berubah sopan. Meski jauh di lubuk hatinya, ia yakini bahwa dokter di sebelahnya ini adalah orang yang sama dengan cinta pertamanya belasan tahun lalu. Sikap antipatif dan canggung yang Rai tunjukkan membuatnya merasa perlu untuk balas bersikap sopan. "Saya harus karena situasi kemarin sangat mengancam nyawa Mbak. Orang yang mengantar Mbak ke sini tidak berani dimintai tanda tangan persetujuan operasi. Sepertinya dia juga kaget waktu tau mengenai kondisi kesehatan Mbak Gendhis," terang Rai. Dalam getir, Gendhis tersenyum miris. "Nggak ada yang tau kalau saya hamil," terang Gendhis, "nggak ada yang boleh tau," tandasnya. Terdengar helaan napas panjang dari dokter itu sekarang. Gendhis menutup kembali matanya. Tubuhnya yang semula ia paksakan untuk kuat, kini mulai melemah seiring rasa kantuk kuat yang kembali menyerang. Samar-samar, saat sebelum Gendhis masuk ke alam mimpi, Rai menatap Gendhis dengan tatapan yang sulit diartikan. Diusapnya lembut punggung telapak tangan Gendhis dengan sentuhan yang mengambang. "Kalau malam itu nggak pernah terjadi, apa mungkin kamu hidup normal dan jadi perempuan yang bahagia tanpa harus menderita kayak gini?" ###"Ada yang mau ditanyakan?" Gendhis bungkam, ia hanya menatap tajam pada sosok tampan berjas snelli dengan masker menutupi separuh wajahnya itu. Tiga hari pasca operasi, Gendhis dipindahkan ke ruang perawatan setelah kondisinya dipastikan stabil. "Kapan dia bisa dibawa pulang, Dok?" Wida—perempuan berpenampilan mencolok yang tak pernah berada jauh dari sisi Gendhis, sang mucikari veteran. "Harus dilihat perkembangannya Bu," jawab dokter di sebelah ranjang Gendhis, Dokter Christ, atau Gendhis mengenalnya sebagai Rai. "Kamu jijik sama aku?" tanya Gendhis tiba-tiba, menatap tajam pada Rai. "Ya?" Rai mengernyit tak mengerti. "Ah, aku bener. Sikapmu yang begini… aku paham kok,” ujar Gendhis terdengar kecewa. “Kupikir malam itu aku emang cuma mimpi." "Sepertinya sudah tidak ada pertanyaan lagi. Kalau gitu, saya permisi.” Menatap punggung Rai yang berlalu, hati Gendhis seakan runtuh bak gletser di kutub. Perih menyayat bukan hanya pada bekas luka operasinya, tapi di dalam da
"Ada tindakan medis yang perlu saya lakukan?" tanya Rai seraya berdiri dari kursinya. Gendhis tertegun, ia amati Rai yang sibuk memberesi beberapa barangnya, pun juga mengganti masker di wajahnya dengan yang baru. Untuk sepersekian detik, Gendhis terhenyak. Pria di hadapannya ini benar-benar Rai-nya 13 tahun lalu, cinta pertamanya. "Terima kasih sudah mendonorkan darah untuk saya," sebut Gendhis terbata, berubah dalam mode formal yang canggung. "Juga, terima kasih sudah menyelamatkan nyawa saya.” "Sudah kewajiban saya," balas Rai singkat. "Suster Tiwi akan mengantar Mbak kembali ke kamar rawat," ucapnya sembari memberi kode pada perempuan di pintu, perawat yang dimaksud. "Gendhis Kemuning Btari, nama saya," ujar Gendhis. "Barangkali Dokter lupa," tandasnya menusuk. Kini giliran Rai yang mematung, gerakannya yang sudah siap menenteng tas, terhenti. Tatapan matanya berubah, menusuk pada sang pasien yang masih berusaha menahan tangis di kursi rodanya itu. Lelaki itu memberik
"Banyak staf perawat bertanya ke saya, apa hubungan Dokter dengan pasien K.E.T itu," sebut Suster Tiwi mengiringi langkah Rai menuju parkiran di hari lain seusai praktik di poli. "Terus Mbak Tiwi jawab apa?" balas Rai tak acuh. "Rumor tersebar, mereka pikir Dokter Christ adalah salah satu pelanggannya di rumah bordil," kata Tiwi hati-hati. "Ya biar aja mereka nganggap begitu." "Tapi banyak yang nggak rela, Dokter kan maskot ketampanan rumah sakit kita, masa jajan di rumah bordil. Nggak mungkin kan Dok?" Rai tersenyum, "Menurut Mbak Tiwi, saya begitu nggak?" tanyanya. "Enggak," tegas Suster Tiwi. "Dok, jangan ya," pintanya sudah seperti kakak bagi Rai. "Iya," sahut Rai geli. "Gendhis, hari ini dia bisa pulang. Mbak sudah buatkan surat kontrolnya untuk dua minggu ke depan?" tanyanya. "Siap, sudah Dokter!" balas Suster Tiwi. Rai mengangguk, lantas melambai ringan pada Tiwi sebelum akhirnya keduanya berpisah di simpang antara lobi dan arah IGD. Seolah takdir me
Rai menghela napas panjang sambil meneguk air putihnya bernafsu. Ia meraup wajahnya untuk mengusap peluh, sengaja menghindari bersitatap dengan Ben, sang ayah angkat. "Tumben kalah," gumam Ben justru duduk di sebelah Rai. "Ada isinya apaan itu kepala?" tanyanya. "Otak dan organ lainnya, Ketua," balas Rai sekenanya. "Perempuan," tebak Ben sangat tepat. "Ada satu perempuan di kepalamu, tapi bukan Kiara, Christ," ulangnya. "Selalu ada Ane-san," balas Rai tersenyum. "Siapa? Setelah sekian lama, hatimu tergerak?" "Ben," Rai lagi-lagi meneguk air putihnya. "Aku pusing," keluhnya. "Aku tau, kalah dariku membuktikan kalau sesuatu terjadi dengan kepalamu.""Gimana dong?" "Selesaikan. Sejak kapan klan Wisanggeni lemah sama perempuan?" tantang Ben. "Dia beda, dan iya, dia memang kelemahanku," ungkap Rai jujur. "Sampai apa?" tanya Ben sambil menyulut rokoknya. "Melibatkan perasaan? Ranjang?" "Aku harus ke rumah sakit," balas Rai menghindar. "Ah, aku harus bilang Ane-san kalau anak kes
"Ini hari Rabu kan?" Rai meneliti kalender di mejanya. Sudah mendekati jam 9 malam, Rai baru saja menyelesaikan praktiknya di poli Obgyn. Wajahnya tampak gusar, seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Sudah hampir dua minggu semenjak Rai menandatangi surat kepulangan Gendhis dari rumah sakit dan perempuan itu tidak lagi muncul untuk sekadar kontrol bagaimana kondisinya. Padahal, Rai sudah menjadwalkan dua kali kunjungan demi memantau luka bekas operasi yang baru saja Gendhis jalani. "Ada yang kelupaan, Dok?" tanya Suster Tiwi perhatian. "Apa pasien K.E.T yang kita pulangkan dua minggu lalu itu ada dateng kontrol ke Dokter Andri?" tanya Rai sambil pura-pura sibuk memberesi bawaannya. "Sepertinya nggak ada riwayat kunjungan kontrol ke Dokter Andri juga, Dok," jawab Suster Tiwi. "Perlu saya tanyakan ke Suster Ana?" tawarnya. "Boleh kalau nggak ngrepotin Mbak Tiwi," ujar Rai sungkan. "Nggak kok Dok, sebentar saya cek dulu ke bagian pendaftaran dan Suster Ana ya Dok," pamit S
"Di sini boleh ngerokok nggak?" gumam Rai tampak masih meneliti sekitarnya, tak memedulikan Gendhis yang mematung beku ke arahnya. "Ha?" hanya kata itu yang keluar dari mulut Gendhis. Ia syok, kaget dan tak menduga bahwa tamu level VIP-nya adalah Rai. "Ruangan ini ber-AC? Aku pengin ngerokok," ucap Rai sengaja bangun dari posisi duduknya dan mendekat ke arah jendela di mana ada pemandangan luar yang langsung mengarah ke taman. "Setelah hari ini, kita bisa pindah ke hotel aja kan? Jangan di sini?" tanyanya berbalik ke arah Gendhis. "Rai, kamu ngapain di sini?" tegur Gendhis setelah menguasai keadaan. Ia sama sekali tak menjawab pertanyaan Rai padanya. "Bu Wida nggak ngomong apa-apa?" gumam Rai, "aku udah urus semuanya ke dia, sampe dua minggu ke depan," tandasnya. "Kamu gila?" mata Gendhis membulat. "Kenapa? Kamu nolak ngelayanin aku?" "Mau kamu apa sih? Setelah bersikap nggak kenal ke aku selama di rumah sakit, sekarang tiba-tiba kamu muncul dan jadi pelangganku?" Rai tersenyu
"Kamu nggak dateng di dua kali jadwal kontrol yang kukasih," gumam Rai seraya membuka kemasan kasa waterproof di tangannya. "Kamu ganti sendiri kassa-nya?" tanyanya fokus pada luka bekas operasi di perut bagian bawah Gendhis itu. Gendhis tak langsung menjawab, sejenak pikirannya melayang jauh, ia seperti ditampar kuat oleh sikap Rai yang di luar ekspektasinya. Rai yang ia pikir akan dengan mudah menidurinya justru memperlakukannya seperti perempuan baik-baik lainnya."Seharusnya kamu juga harus di USG, biar bisa kucek ada perdarahan nggak di dalam. Tapi aku terbatas bawa alat, cuma buat ganti kassa aja yang bisa kulakuin di sini. Kamu nggak dateng kontrol ke poliku, tapi juga nggak bikin jadwal sama dokter Obgyn lain, kondisimu bisa aja fatal tanpa pengawasan, Ndhis," omel Rai. Gendhis yang mendengar omelan Rai bukannya takut tapi justru tersenyum. Hatinya terasa damai, afirmasi positif dari kalimat Rai membuatnya merasa berharga dan dianggap ada. Kenangan lama mereka tiba-tiba data
"Minggu depan aku bakalan dateng lagi di jam yang sama," ucap Rai setelah merapikan peralatan yang ia bawa ke dalam tas kecil serbaguna. "Aku udah nggak pa-pa kan? Harusnya aku yang bayar, tapi malah kebalik, kamu yang ke sini dan bayar mahal ke Mami," ungkap Gendhis. "Kamu tetep perlu USG. Dateng aja di jadwal poli Obgyn buka, nggak harus sama aku kalau kamu emang sibuk banget dan nggak bisa nyesuaiin jadwalmu sama jadwal jam praktik poliku. Ada satu lagi dokter kandungan yang praktik di rumah sakit. Kamu bisa dateng ke dia buat minta USG," balas Rai. "Aku nggak akan ambil uang dari kamu, tapi potongan yang udah masuk ke Mami nggak bisa kuminta lagi.""Aku nggak peduli sama uangku, kamu tau itu."Lantas sepi. Baik Rai maupun Gendhis terdiam lagi, larut dalam pikiran masing-masing. Jemari Gendhis bergerak-gerak saat saling menaut kiri dan kanan, pandangan matanya tertuju ke lantai kamar. Sementara Rai sudah selesai memberesi peralatann
Setelah Rai berucap mengenai perpisahan mereka, Gendhis memilih kembali ke kamarnya. Ia tak mau terlibat banyak pada Rai, takut ia tak kuasa melepaskan apa yang menjadi bebannya selama ini. "Sarapan dulu," sambut Rai saat Gendhis keluar dari dalam kamar keesokan paginya."Kamu masak?" tanya Gendhis takjub. Rai mengangguk, "Nggak bisa tidur dari jam 3 tadi, makanya cari kegiatan.""Badan kamu nggak pa-pa? Kamu abis kena sabet pedang dari Ben ya Rai!" "Udah diobatin Ann, nggak masalah," kata Rai santai. Gendhis manggut-manggut. Ia menarik salah satu kursi makan di seberang Rai, lantas duduk menghadapi meja penuh makanan itu. Hatinya tiba-tiba terenyuh, mungkin saja Rai sengaja memasak untuknya karena hari ini adalah hari di mana perceraian mereka akan didaftarkan."Unagi kabayaki," sebut Rai saat Gendhis mengamati masakannya. "Belut?" tebak Gendhis mengernyitkan dahinya. "Anggeplah begitu," jawab Rai. "Kalau mau yang familiar ada ayam teriyaki," tambahnya."Kapan beli bahan makana
Rai menepis lengan Gendhis yang memeluknya, "Nggak usah ikut campur," katanya. "Kamu udah begini, nggak usah gengsi kenapa?" sengal Gendhis kesal. "Ben minta sampe habis nafasku," balas Rai. Perlahan ia menegakkan punggungnya, menantang Ben lagi."Apa sebegitu besar keinginan kamu menceraikanku, Rai?" ucap Gendhis menggigit bibir bawahnya menahan tangis yang siap tumpah lebih banyak. "Sampe kamu ngerasa harus ngalahin Ben juga?" bisiknya tersendat, hancur sudah hatinya. Rai menoleh Gendhis setelah mendengar ucapan pilu istrinya. Ia tertegun beberapa saat, darah di tulang selangkanya tak henti mengalir, melewati liat otot 'abs' di perutnya. Jika boleh jujur, Rai terbentur antara mempertahankan egonya atau menjaga hati Gendhis. Harus ia akui, setelah bercinta semalam dengan Gendhis, hatinya tergerak untuk sedikit mempertimbangkan keputusannya bercerai. Namun, bukankah sumber dari kesakitannya saat ini adalah Gendhis? Istrinya itu yang membuat Ben harus menyelenggarakan pertemuan mend
"Nggak perlu," ucap Rai membuat Gendhis yang sudah hampir berdiri mengurungkan niatnya. "Ini masalahku, kehormatanku, biar kubela sampe akhir! Nggak perlu ikut campur," desisnya teguh pendirian. "Tapi kamu bisa luka lebih parah dari ini, Rai," desis Gendhis, ia takut Rai terluka tentu saja. "Aku nggak akan mati di tangan Ben, nggak usah lebai," dumal Rai kesal. Jika boleh jujur, ia kecewa pada Gendhis yang membuatnya harus melalui ini. Seandainya niatan mereka bercerai tidak sampai ke telinga Ben, pertemuam seperti ini tentu saja tidak perlu terjadi. "Ayo!" seru Bastian sudah menghunus pedangnya tepat di depan wajah Rai. "Ahli pedang lebih milih buat motong perutnya ketimbang kehilangan kehormatan," tantangnya memprovokasi.Tak menjawab Bastian, Rai langsung berdiri, ia tangkis hunusan pedang dari pamannya itu dengan katana miliknya. Mereka bertemu lagi di tengah aula, saling lempar pandang serius. "Baru sembuh dari lukamu bukan berarti otakmu juga boleh berlaku pengecut, Christ!"
"Ada apaan ini Kak?" tanya Gendhis panik, ia cengkeram kuat pergelangan tangan Danisha yang mendekatinya. "Ben marah banget pas denger soal Christ mau nyeraiin kamu," balas Danisha. "Makanya dia sengaja ngumpulin orang kita yang terlibat di acara pernikahan kalian buat ngasih pelajaran sama si bangsat itu!" tambahnya. "Tapi pedang yang dipake beneran kan, Kak? Kalau Rai kenapa-napa gimana? Dia belom sembuh dari sakitnya lho Kak," ucap Gendhis khawatir. "Christ biasa terluka pas latihan, kamu nggak perlu panik. Tenang ya.""Nggak bisa Kak, dia bakalan ngehadapin tiga lawan sekaligus lho.""Benji sama Ben punya teknik main pedang yang beda. Hitung-hitung latihan. Kalau Bas, kamu tahu sendiri dia cuma punya satu tangan, harusnya bukan lawan yang berat buat Christ," ucap Danisha tenang sekali. "Ann," sambut Gendhis pada Ann yang mendekat. "Kalau dia kenapa-napa gimana?" tanyanya."Nggak pa-pa. Kalau dia luka, nanti diobatin," balas Ann setenang Danisha.Tak lagi bisa berbuat apa-apa,
Ini adalah kali pertama Gendhis diajak untuk ikut dalam acara resmi perkumpulan. Ia yang semula menganggap bahwa rumah besar adalah rumah milik Ben, hanya bisa menganga takjub saat kedatangannya bersama Rai disambut banyak orang dan mereka membungkuk untuk memberi penghormatan. "Kamu nggak bilang kalau ini acara resmi," bisik Gendhis susah-payah mengimbangi langkah lebar Rai yang tak ingin menggunakan kursi roda lagi. "Aku juga nggak tau kalau ada acara," jawab Rai. "Ben marah, makanya dia bikin acara begini," desisnya. "Marah kenapa?" "Entahlah," jawab Rai singkat. Beriringan, dikawal Ardi dan Rudy, Gendhis serta Rai masuk ke halaman utama rumah besar. Suasana asri khas Jepang nampak memanjakan mata. Meski kebingungan dengan apa yang akan terjadi di acara pertemuan ini, Gendhis tak memiliki firasat apapun mengenai dirinya dan juga Rai. Sepengetahuannya, Ben mengadakan acara perkumpulan dan ia juga Rai diminta untuk ikut memeriahkan. "Tunggu di sini dulu, Ben sama Ann belom siap
Terbangun keesokan paginya dalam kondisi yang masih telanjang, Rai kaget bukan main. Namun, ia berusaha untuk cepat menguasai diri, tak mau membangunkan Gendhis yang juga masih terlelap nyaman di pelukannya."Bajingan emang lo," umpat Rai lirih pada dirinya sendiri. Menyadari bahwa dirinya yang mabuk semalam adalah si bajingan tak tahu malu, Rai meraup wajahnya frustasi. Ia yang dipengaruhi oleh alkohol memang sangat berbahaya, racauan dan tindakannya bisa sangat di luar kendali. "Bourbon sialan!" sungut Rai mengacak rambutnya kesal, masih tersisa rasa pahit di tenggorokannya, juga pening di kepalanya. "Dua orang dewasa, bercinta dalam hubungan resmi yang masih suami-istri, wajar," gumamnya berusaha menenangkan dirinya sendiri. Ia kenakan brief boxer-nya hati-hati, takut membangunkan Gendhis.Mendengar suara orang mengumpat, Gendhis menggeliat kecil. Beberapa kali ia memicingkan mata, masih enggan terbangun dari tidur berkualitasnya. Namun, begitu hidungnya mencium aroma maskulin ya
Gendhis tak kuasa menolak dorongan dalam dirinya saat Rai justru menariknya naik ke ranjang. Mereka masih saling berpagutan, bertukar rindu yang tertahan karena keadaan. Meski dipengaruhi alkohol, Rai tahu bahwa ia tengah menciumi sosok Gendhis. Hatinya menginginkan Gendhis, terbukti dari bagaimana ia kelimpungan mencari Gendhis hingga ke kasino hanya untuk memastikan tak ada satu orangpun yang berani menyentuh sang istri."Rai," Gendhis memaksa melepas pagutan. Ia sudah ada dalam posisi berbaring, Rai ada di atasnya setengah menindih. Ditangkupnya kedua pipi sang suami, sorot mata Rai tampak redup, dipenuhi gairah. "Bukannya tugas istri itu ngelayanin suami?" bisik Rai, sengaja berbisik di samping telinga Gendhis, mengembus napas hangatnya. Sekuat apapun mulut Rai menolak kehadiran Gendhis, hatinya bertolak belakang. Tubuhnya bak sakau saat berada jauh dari sang istri, candu yang Gendhis tanamkan dalam jiwa Rai membuat Rai tak kuasa menahan diri untuk tidak menyentuhnya."Aku harap
"Lo cuma cemburu, Christ, ngaku aja!" ledek Danisha menahan tawa gemasnya. "Inget dia aja enggak, gimana mau cemburu," elak Rai gengsi. "Kepala lo nggak inget, tapi hati lo nggak bisa lupa. Mata lo tuh, kayak serigala ngincer mangsa kalau liat Gendhis ngobrol sama pelanggan kita.""Dia ngaku sebagai istri gue tapi tempel sana tempel sini. Istri Aniki, begitu?" "Halah," Danisha mencibir, "anak kecil udah punya istri masih mau nikah lagi, lo sadar deh mending Christ. Fokus aja dapetin tahta ketua tanpa harus nikahin Kiara. Nyakitin Gendhis pada akhirnya bakalan bikin lo hancur kalau sampe ingatan lo balik lagi.""Gue malah mau nyeraiin dia sebelum nikah sama Kiara," ucap Rai mantap. "Yakin? Nggak bakal nyesel? Lo kecintaan banget sih sama Gendhis sebelom separuh otak lo itu ilang. Serius gue nggak peres," sahut Danisha apa adanya. "Jangan sampe nyesel kayak Ben dulu," ujarnya memberi peringatan. "Ben emang kenapa?""Lo lupa kalau Ane-san pernah ngilang selama 3 tahun karena Ben yan
"Kamu akhirnya kerja di sini, Gendhis," sapa Axel sengaja mencegat Gendhis yang baru selesai mengantar minuman. "Hai," senyum Gendhis terbit, "iya, di sini lebih baik ketimbang di rumah bordil," ungkapnya blak-blakan. "Serius, aku nggak tau gimana ceritanya kamu bisa sampai di sana. Aku perlu denger ceritanya dari kamu langsung," ujar Axel. "Boleh bawain aku vodka dan kita ngobrol bentar?" pintanya. Gendhis mengangguk, dipesankannya minuman keras permintaan Axel pada bartender, kemudian ia bawakan kembali ke meja yang Axel pesan untuk dirinya sendiri itu. Teman lama ini sudah tak berjumpa bertahun-tahun. Terakhir bertemu, suasana sedikit tidak mengenakkan karena Rai yang sengak dan ketus menanggapi Axel. "Setelah diseret Papa dari bar, aku dijual ke rumah bordil, sejak itulah aku jadi pelacur buat bertahan hidup," lirih Gendhis pilu. "Aku minta maaf karena nggak bisa ngelakuin apa-apa buat bantu kamu saat itu, posisiku serba salah," sesal Axel tulus. Gendhis menggeleng cepat, "N