Share

BAB 08

Penulis: Langit Parama
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-02 11:30:33

‘Malam ini, aku sudah buat jadwal dengan pria yang aku berikan kartu namanya padamu.’

Ucapan Kaisar semalam membuat perut Djiwa terlilit pagi ini. Malam ini, Djiwa tidak bisa kabur lagi. Dia harus bertemu dengan pria yang akan menghamilinya.

Djiwa mengusap wajahnya frustasi. “Kalau semisalkan Mami tahu, apa dia gak marah nanti? Apalagi ... kalau anaknya gak mirip sama Mas Kai.”

Djiwa merasa tak enak hati jika memberikan keturunan yang tidak sesuai garis darah keluarga Kaisar. Ia merasa terbebani, tapi juga tak ingin mengecewakan siapa pun.

“Djiwa.”

Gadis itu tersentak ketika namanya dipanggil oleh pemilik wajah tampan namun sedingin es, dengan suara berat dan dalam yang langsung

membuat siapa pun menegakkan punggung.

Atasan sekaligus kakak iparnya, Radja.

Pria itu menatapnya tajam, sembari mengulurkan sebuah berkas pada Djiwa. Gadis itu segera bangkit dari duduknya dan melangkah cepat

menghampiri Radja.

“Scan ini, lalu kirim ke WA pribadi saya dalam bentuk P*F,” ujar Radja dingin, tak sedikit pun menoleh. Tatapan pria itu tetap terpaku pada

layar laptop di depannya.

“Baik, Pak,” jawab Djiwa sopan.

Hanya butuh sekitar lima menit, ponsel Radja berdenting notifikasi pesan masuk.

Pria itu segera memeriksanya, pesan dari nomor tak

dikenal—namun dia tahu kalau itu nomor Djiwa.

Hal pertama yang dia lakukan bukanlah membuka pesan tersebut, melainkan memeriksa foto profil di sana.

Sebuah foto pernikahan antara Djiwa dengan adik kandungnya, Kaisar. Keduanya mengenakan pakaian pengantin adat jawa berwarna putih.

Untuk sesaat tatapannya biasa-biasa saja, namun diam-diam menyimpan sesuatu.

Djiwa di meja kerjanya diam-diam melirik ke arah Radja yang tampak begitu fokus dengan layar laptop di hadapannya, tanpa dia tahu pria itu meliriknya dari ekor mata.

“Aku harus ngomong,” gumam Djiwa pelan seraya berdiri dari kursinya, melangkah menghampiri meja kerja Radja.

Pria itu sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari layar laptop, tangannya masih sibuk menekan setiap alfabet di keyboard.

“Pak ....” panggil Djiwa dengan nada pelan namun jelas di telinga Radja.

“Hm?” sahut pria itu singkat, masih fokus pada laptop.

“A-ada yang ingin saya bicarakan,” ucap Djiwa penuh kehati-hatian, sementara jantungnya berdebar sangat cepat.

Akhirnya, kali ini Radja mengalihkan tatapannya dari layar laptop.

“Apa?”

Djiwa menelan ludahnya susah payah, tak sanggup mengeluarkan kata-kata yang sudah dia siapkan sejak semalam.

“Katakan, Djiwa!” Radja buka suara, nadanya dingin dan tegas membuat gadis itu tersentak.

“Pak, saya boleh minta bantuan Bapak hari ini? Hari ini ... aja, saya janji lain kali saya gak akan minta bantuan Bapak lagi,” mohon gadis itu dengan suara lirih.

Radja menyatukan kedua tangannya di atas meja, jemarinya saling mengait, sementara tatapannya mengunci Djiwa tanpa berkedip.

“Bantuan apa itu?” suara baritonnya datar, kedua alis tebalnya saling mendekat.

Djiwa menelan ludah sebelum membuka suara. “Malam ini … sepulang kerja, saya pengen jenguk kakek di rumah sakit. Tapi, saya boleh, gak, minta bantuan Bapak untuk bilang ke keluarga kalau saya lembur?”

Tatapan Radja langsung menyipit. Ada sesuatu yang samar, antara geli dan tidak percaya melintas di matanya.

Sudut bibir pria itu terangkat membentuk senyum tipis yang sama sekali tidak menenangkan.

“Baru satu minggu bekerja, kamu sudah berani mengajak saya untuk berbohong?” sebelah alisnya terangkat, nada suaranya sinis namun terkontrol.

“Maaf,” Djiwa menunduk lebih dalam. “Saya ... saya tidak bermaksud seperti itu, Pak. Tapi kali ini saya benar-benar merindukan kakek saya, jadi saya ingin sekali menjenguknya.”

Radja mendengus pelan, hampir seperti tawa yang tertahan namun penuh ketidaksabaran.

“Kamu pikir, hanya dengan bawa-bawa nama kakek, saya akan luluh?” kedua alis tebalnya menyatu, tatapannya menusuk dengan jelas menunjukkan ketidaksukaan.

Tapi ketika matanya menangkap raut Djiwa yang mulai merosot—bahunya menurun, bibirnya gemetar menahan cemas—ekspresi Radja berubah tipis, nyaris tak terlihat.

“Djiwa …,” suaranya merendah, tetap dingin namun lebih terkendali. Ia menghela napas panjang, seolah sedang menimbang sesuatu yang berat.

“Pastikan kamu memang benar mau menemui kakek kamu.” Ucapannya tegas, mengandung peringatan halus yang sulit diartikan—antara memberi izin atau justru menantang niat gadis itu.

Djiwa segera mengangkat pandangannya, senyumnya sulit dijelaskan, antara bahagia dan getir. “Terima kasih banyak, Pak.”

_____

Malam itu, meja makan keluarga Reinard tampak penuh seperti biasa—hanya satu kursi yang tetap kosong, milik Djiwa.

Percakapan mengalir di antara Radja, Inggrit, Sultan, Fairish, Kaisar, dan Sekar tetapi tak ada satu pun yang menyebut nama Djiwa.

Hingga akhirnya, Sekar yang penasaran lantaran bertanya. “Di mana Djiwa, Kai?” tanyanya pada anak bungsunya tersebut.

“Oh, iya, Mi,” Kaisar tampak terkejut dan segera menegakkan punggungnya. “Aku lupa kabarin Mami, kalau malam ini Djiwa pulang telat karena lembur kerjanya.”

“Lembur?” Sekar mengucapkan kata itu sambil melirik ke arah putra sulungnya, Radja.

Begitu juga Inggrit dan Fairish yang tampak penasaran melirik ke arah pria itu yang begitu tenang seolah tak menyadari tiga pasang mata tengah menatap ke arahnya.

“Kalau memang lembur, lalu kenapa atasannya ada di sini?” Sekar berkata sembari bertanya pada putra sulungnya.

Radja mengangkat pandangannya, menatap Kaisar lebih dulu yang langsung menunduk ketika mata mereka bertemu.

“Hari ini memang banyak sekali pekerjaan,” kata Radja sembari menatap sang ibu. “Kinerja Djiwa juga bagus selama satu minggu ini, meski terhitung baru dan tidak punya pengalaman.”

“Dan malam ini, saya memberikan pekerjaan sekaligus ujian. Apakah dia bisa bekerja dibawah tekanan saya, yang tentunya tidak akan ada habisnya kerjaan,” jelas pria itu tenang.

Mereka yang sudah puas dengan jawaban itu, termasuk Sekar—lantas kembali melanjutkan makannya.

Sementara Kaisar akhirnya bisa bernapas lega, karena Radja benar-benar termakan akting Djiwa yang ingin bertemu dengan sang kakek.

_____

Di sisi lain, Djiwa baru saja melangkah masuk ke kamar hotel yang dipesan oleh suaminya.

Ia mendekati ranjang king–size yang tertata rapi, meletakkan tasnya di atas nakas, lalu perlahan membuka mantel coat yang membungkus tubuh mungilnya.

Di baliknya, lingerie hitam berenda yang tadi sore dengan gugup ia kenakan di kantor—lingerie yang dibeli suaminya dan diminta untuk dipakai malam ini.

Semua ini bukan keinginannya. Tapi perintah. Perintah yang tak bisa ia tolak.

“Tenang … tenang, Djiwa,” bisiknya pelan, menepuk dadanya sendiri.

Ia menggantung mantelnya, mematikan lampu utama hingga hanya lampu tidur remang yang tersisa, membuat bayangan-bayangan halus jatuh di kulitnya.

Jantungnya mulai berdentum ketika suara klik terdengar dari arah pintu.

Pegangan pintu bergerak, dan pintu itu terbuka perlahan. Siluet seorang pria masuk, namun wajahnya tak terlihat dalam gelap.

Djiwa menelan ludah keras.

“An–anda sudah datang?” suaranya bergetar, telapak tangannya dingin. “Saya … saya sudah memakai apa yang Mas Kaisar suruh. Saya sudah lakukan semuanya, sesuai permintaan suami saya.”

Pria itu tidak segera menjawab. Ia hanya melangkah maju, satu langkah, dua langkah, hingga bayangannya memenuhi ruang remang itu.

“Maaf, kalau … saya terlihat canggung. Saya ingin mengatakan, kalau saya mau melakukannya dengan keadaan lampu utama tidak dinyala—”

Lampu kamar tiba-tiba menyala.

Djiwa terbelalak.

Dadanya serasa berhenti berdetak ketika ia melihat siapa yang berdiri hanya setengah meter darinya.

“M-Mas Radja?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 09

    “Mas …?” Inggrit baru saja keluar dari kamar mandi setelah buang air besar ketika mendapati ranjang kosong. Alisnya langsung terangkat kesal. Ia menoleh kanan kiri, melihat selimut berantakan tapi tak ada jejak suaminya. “Pasti di ruang kerja,” gumamnya sambil manyun. “Kenapa gak nikah aja sekalian sama laptop-nya, sih?” Ia menghempaskan tubuh ke kasur sambil mendesah panjang, menatap langit-langit. “Aku tidur sendiri lagi malem ini,” _____ Di sisi lain, di kamar hotel yang diterangi lampu utama yang menyala terang, Radja berdiri beberapa meter dari Djiwa. Gadis itu duduk di tepi ranjang, tubuhnya kaku, kedua tangannya meremas seprai. Bola matanya melebar tak percaya melihat sosok pria yang muncul setelah lampu menyala. “Sejak kapan kakekmu dipindah ke hotel?” suara Radja terangkat dingin, ujung bibirnya melengkung sinis. Tatapannya menusuk seperti bilah tipis. “M-Mas Radja.” Djiwa melirik tubuhnya yang hanya dibaluti lingerie tipis, menampilkan warna kulit dan lekukan tubuh

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 08

    ‘Malam ini, aku sudah buat jadwal dengan pria yang aku berikan kartu namanya padamu.’Ucapan Kaisar semalam membuat perut Djiwa terlilit pagi ini. Malam ini, Djiwa tidak bisa kabur lagi. Dia harus bertemu dengan pria yang akan menghamilinya.Djiwa mengusap wajahnya frustasi. “Kalau semisalkan Mami tahu, apa dia gak marah nanti? Apalagi ... kalau anaknya gak mirip sama Mas Kai.”Djiwa merasa tak enak hati jika memberikan keturunan yang tidak sesuai garis darah keluarga Kaisar. Ia merasa terbebani, tapi juga tak ingin mengecewakan siapa pun.“Djiwa.” Gadis itu tersentak ketika namanya dipanggil oleh pemilik wajah tampan namun sedingin es, dengan suara berat dan dalam yang langsungmembuat siapa pun menegakkan punggung. Atasan sekaligus kakak iparnya, Radja.Pria itu menatapnya tajam, sembari mengulurkan sebuah berkas pada Djiwa. Gadis itu segera bangkit dari duduknya dan melangkah cepatmenghampiri Radja.“Scan ini, lalu kirim ke WA pribadi saya dalam bentuk PDF,” ujar Radja dingin, t

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 07

    Radja baru saja tiba di Reinard Grand Corporation, perusahaan besar milik keluarganya yang beroperasi di dalam dan luar negeri. Langkahnya tegas dan berwibawa saat memasuki gedung megah yang tinggi menjulang lima puluh lantai di depannya. Begitu pria matang berusia tiga puluh tiga tahun itu melangkah masuk, suasana lobi langsung berubah. Para karyawan yang sebelumnya asyik berbincang ringan sontak merapikan posisi masing-masing, berdiri lebih tegak, dan memberi jalan untuknya lewat. Aura otoritas Radja memaksa ruangan untuk diam tanpa perlu ia mengucap sepatah kata pun. Kakinya melangkah menuju lift khusus para petinggi perusahaan—lift yang hanya bisa diakses menggunakan kartu identitas eksekutif. Tak sampai satu menit, benda logam persegi panjang itu akhirnya sampai di lantai empat puluh sembilan. Lantai dimana ruangannya berada. Tangannya terulur hendak membuka pintu ruangannya, namun pandangannya terlebih dulu jatuh pada meja kerja sekretaris yang terletak di depan pintu—po

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 06

    “Mas,” panggil Djiwa lirih ketika dirinya dan sang suami masuk ke kamar usai makan malam. Kaisar langsung berbalik badan, menatap Djiwa dengan tatapan dingin dan tajam. Sudut bibir pria itu terangkat membentuk senyum miring. “Pinter kamu sekarang. Kamu tahu kalau Mas Radja itu paling ditakuti keluarga ini, makanya kamu minta bantuan dia.” Djiwa mengerutkan kening, tak paham dengan ucapan sang suami. “Ma-maksud Mas apa?” “Gak usah pura-pura bodoh!” sentak Kaisar dengan nada tinggi, suaranya naik satu oktaf. Ia mengangkat tangannya, dan menunjuk Djiwa tajam. “Kamu pasti ngadu, kan, ke Mas Radja? Kamu pasti ngeluh ke dia, kalau kamu capek dijadikan babu selama ini.” Karena Kaisar pun tahu, meski sikap kakaknya keras—Radja paling tidak tegaan dengan orang yang benar-benar datang padanya sambil mengadu dan menangis. Kaisar yakin, Djiwa melakukan hal tersebut—menurut bayangannya sendiri. “Makanya itu, kamu ngemis-ngemis kerjaan ke Mas Radja supaya bisa bebas dari kerjaan rumah, iya?

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 05

    “Kamu, ya?!” seru Sekar tajam, menunjuknya seolah ia baru saja melakukan kejahatan besar—padahal Djiwa melakukannya dengan sangat hati-hati. “Potong kuku saya gak bener!” Ruangan mendadak senyap—kecuali denyut jantung Djiwa yang serasa memukul-mukul dadanya dari dalam. Radja menoleh sekilas—hanya cukup untuk melihat Djiwa terduduk dan Sekar memegangi jari tangannya dramatis. Ekspresi Radja tetap datar, tanpa satu pun emosi yang bisa dibaca. Sementara Inggrit tersenyum miring. Tatapannya jelas—ia tahu apa yang terjadi barusan bukan kecelakaan. Melainkan ibu mertuanya dengan sengaja melakukan drama itu. Anggita, bocah lima tahun itu, spontan berdiri dari karpet, wajahnya cemas melihat Djiwa terjatuh. Ia hendak berlari menghampiri, tapi suara ibunya memotong tajam. “Duduk, Anggita.” Suara Inggrit dingin dan tegas. Tak menyisakan ruang untuk membantah. Anak kecil itu terhenti, menatap ibunya sejenak, sebelum kembali duduk dan pura-pura bermain—meski matanya masih melirik Djiwa deng

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 04

    “Mas ...,” lirih Djiwa sembari bangkit dari duduknya, tangannya yang gemetar meraih kartu nama itu. “Kenapa harus bahas ini lagi, sih, Mas?” “Kenapa?” tatapan Kaisar semakin tajam. “Oh ... jadi kamu pikir ucapan aku tadi pagi itu cuma main-main? Kamu pikir aku cuma gertak kamu soal biaya rumah sakit kakek kamu, huh?” Djiwa menunduk, jemarinya meremas kuat kartu nama itu sampai hampir kusut. “Mas, tapi … Djiwa gak sanggup,” suaranya pecah, hampir tak terdengar. “Djiwa gak bisa ngelakuin hal kayak gitu.” Kaisar mendekat, langkahnya tenang namun mengancam hingga tak ada jarak di antara mereka. “Kamu harus sanggup,” ujarnya dingin. “Karena kamu gak punya pilihan.” Djiwa mengangkat wajah, matanya berkaca-kaca. “Mas … tolong. Jangan paksa Djiwa kayak gini. Kalau soal biaya rumah sakit, Djiwa—” “Berhenti.” Satu kata, namun cukup untuk membungkamnya. Kaisar menatapnya lama, tajam, seolah menembus ke dalam dada Djiwa yang sudah sesak sejak tadi. “Kamu mau tahu kenapa aku

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status