Share

BAB 07

Author: Langit Parama
last update Last Updated: 2025-12-02 11:30:24

Radja baru saja tiba di Reinard Grand Corporation, perusahaan besar milik keluarganya yang beroperasi di dalam dan luar negeri.

Langkahnya tegas dan berwibawa saat memasuki gedung megah yang tinggi menjulang lima puluh lantai di depannya.

Begitu pria matang berusia tiga puluh tiga tahun itu melangkah masuk, suasana lobi langsung berubah.

Para karyawan yang sebelumnya asyik berbincang ringan sontak merapikan posisi masing-masing, berdiri lebih tegak, dan memberi jalan untuknya lewat.

Aura otoritas Radja memaksa ruangan untuk diam tanpa perlu ia mengucap sepatah kata pun.

Kakinya melangkah menuju lift khusus para petinggi perusahaan—lift yang hanya bisa diakses menggunakan kartu identitas eksekutif.

Tak sampai satu menit, benda logam persegi panjang itu akhirnya sampai di lantai empat puluh sembilan. Lantai dimana ruangannya berada.

Tangannya terulur hendak membuka pintu ruangannya, namun pandangannya terlebih dulu jatuh pada meja kerja sekretaris yang terletak di depan pintu—posisi standar sekretaris eksekutif.

Detik berikutnya, ia masuk ke ruangannya sambil menekan sebuah nomor di ponselnya.

“Halo, Pak, ada yang bisa saya bantu?” suara Arga—asistennya—terdengar di seberang.

“Pindahkan meja sekretaris di depan ruangan saya ke dalam. Letakkan tepat di sebelah kanan meja saya,” perintah Radja, nadanya tegas tanpa ruang sanggah.

“Baik, Pak.”

Radja berjalan menuju meja kerjanya, lalu duduk dengan tenang di kursi kebesarannya—kursi hitam elegan yang memancarkan wibawa seorang pewaris utama keluarga Reinard.

_____

Kini Djiwa telah tiba di perusahaan, diantar sopir dan Mbok Inem. Ia turun dari mobil dengan napas yang sedikit tertahan, mencoba menenangkan degup gugup di dadanya.

Ia tidak menyangka hari ini Tuhan berpihak padanya. Mobil pribadi keluarga Reinard yang biasa digunakan untuk mengantar Mbok belanja bulanan kebetulan pagi itu akan ke supermarket.

Dan Djiwa mengambil kesempatan itu untuk ikut dengan mereka, meski dia harus meminta maaf berkali-kali karena jarak supermarket dengan perusahaan sangat berbeda jauh.

“Permisi,” sapa Djiwa pelan ketika melihat salah satu karyawan berdiri tak jauh dari lobi lift.

“Iya, ada yang bisa saya bantu, Mbak?” tanya pria itu—Arga, sambil melirik Djiwa dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sepertinya karyawan baru, batinnya.

“Perkenalkan, nama saya Adjiva Nadjwa … dipanggil Djiwa. Saya karyawan baru, sekretarisnya Mas Radja. Eh—maksud saya, Pak Rajendra. CEO perusahaan ini.”

Djiwa mengulurkan tangan. Arga menyambutnya dengan sopan.

“Jadi kamu sekretaris barunya Pak Rajendra?”

“I-iya,” jawab Djiwa cepat, gugup tapi berusaha terlihat percaya diri.

“Baik, kalau begitu ikut saya.” Arga melepaskan genggamannya dan berjalan lebih dulu, diikuti Djiwa dari belakang.

Mereka menaiki lift khusus ke lantai empat puluh sembilan—lantai VIP tempat ruangan Radja berada.

Begitu pintu lift terbuka, Arga membawanya masuk ke area kerja yang luas, mewah dan tenang.

Tatapannya terhenti pada papan akrilik persegi panjang di atas meja kerja. Di bagian atas tercetak jabatan CEO, dan tepat di bawahnya tertera nama lengkap Radja beserta gelarnya.

Rajendra Afnand Reinard, MBA.

Djiwa segera beralih pada Arga, mengekori pria itu dan berhenti tepat di depan sebuah meja rapi dengan perlengkapan yang masih baru.

“Nah, ini meja kerja kamu,” ujarnya sambil menunjuk meja tersebut.

Djiwa mengangguk kecil, tersenyum lembut. “Terima kasih, Pak.”

“Iya, sama-sama. Kamu duduk dulu saja. Sebentar lagi Pak Rajendra datang.”

“Iya, Pak. Sekali lagi terima kasih, ya. Mohon bimbingannya, soalnya saya benar-benar karyawan baru. Baru pertama kali kerja.”

Alis Arga terangkat. Baru pertama kali kerja? Dalam hati ia mendengus kecil. Bagaimana bisa CEO merekrut sekretaris tanpa pengalaman? Apa pakai jalur orang dalam?

“Oh … begitu.” Arga menyembunyikan ekspresi herannya. “Kalau begitu, saya permisi dulu.”

Djiwa mengangguk singkat, masih dengan perasaan gugup yang menempel di dadanya.

Gadis cantik itu melirik sekeliling—setiap sudut ruangan tampak begitu mewah, mulai dari furniture premium hingga jendela full kaca yang memperlihatkan panorama kota dari ketinggian.

“Ya Tuhan … aku gugup banget,” gumamnya pelan sambil meletakkan tas dan ponselnya di atas meja kerja barunya. “Aku butuh ke kamar mandi sebentar. Nenangin diri dulu dari tremor.”

Tanpa menunggu, ia melangkah cepat menuju kamar kecil yang berada di dalam ruangan VIP tersebut.

Pada saat yang hampir bersamaan, pintu ruangan terbuka—memperlihatkan sosok Radja masuk dengan aura dominan yang langsung memenuhi ruangan.

Langkahnya terhenti ketika melihat meja kerja Djiwa. Keningnya berkerut pelan. Barang-barang ada, tapi orangnya tidak.

“Ke mana dia?” gumamnya rendah sambil mendekat ke meja tersebut.

Ting.

Ponsel Djiwa yang tergeletak di atas meja berbunyi, menampilkan notifikasi pesan masuk. Secara refleks, mata Radja turun ke layar ponsel itu—dan sontak tatapannya mengeras.

| Mas Kai

[Wa, temui pria di kartu nama kemarin secepatnya.]

Di dalam toilet, Djiwa menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Gadis itu melakukannya sambil menatap refleksinya dari cermin wastafel.

“Bisa, Djiwa ... kamu pasti bisa,” gumamnya menyemangati diri. “Semalem aku udah searching apa aja yang dilakuin sekretaris selain ngurus kerjaan, aku pasti bisa! Semangat.”

Klek.

Djiwa terlonjak kaget saat pintu toilet dibuka dari luar. Ia terkejut mendapatkan Radja berdiri di ambang pintu dengan tatapan dingin seperti biasa.

Bola mata Djiwa membulat kaget. “M-Mas …?” ucapnya terputus ketika Radja melangkah masuk dengan santai.

Tatapan Djiwa langsung tertuju pada tisu bekas yang tadi ia pakai, masih tergeletak di tepi wastafel. Panik, ia hendak meraihnya.

Namun sebelum tangannya sampai, Radja lebih dulu bergerak.

Dengan satu gerakan ringan dan presisi, ia mengulurkan kedua tangannya ke wastafel dan menyalakan kran air untuk mencuci tangan.

Di saat yang bersamaan—tanpa sedikit pun memberi jeda atau memperhatikan ruang pribadi, tangan kanan pria itu melingkari pinggang ramping Djiwa.

Gerakan yang tampak natural bagi Radja, namun cukup membuat napas Djiwa tertahan di tenggorokan, ditambah jantungnya yang berdetak cepat.

Posisi mereka begitu dekat hingga Djiwa bisa melihat jelas rahang tegas Radja yang ditumbuhi bulu-bulu halus dari pantulan cermin.

Radja tetap setenang batu. Seolah menyentuh pinggang Djiwa hanyalah gerakan refleks yang sama saja dengan mengancingkan jasnya.

Djiwa menelan ludah. Ia ingin menyingkirkan tangan Radja, namun tubuhnya seperti menolak perintah. Ia hanya berdiri kaku, membiarkan sentuhan itu sampai Radja selesai membasuh tangannya.

Radja berdehem pelan, menatap refleksi dirinya sendiri, kemudian melirik Djiwa dari cermin—singkat, namun cukup untuk membuat jantung gadis itu melompat.

Jarak ini sangat dekat, bahkan terlalu dekat sehingga keduanya sama-sama bisa mencium aroma tubuh masing-masing. Radja yang maskulin dan tegas, serta Djiwa yang soft dan fresh.

“Mas …,” Djiwa akhirnya membuka suara, mencoba mengatur napas. Tatapan mereka bertemu dalam pantulan kaca. “Djiwa gak kelihatan, ya?”

Radja akhirnya menarik diri.

Tangannya meraih tisu, mengelap sisa air dari kedua telapak tangannya dengan gerakan terukur, sebelum membuang tisu itu ke tempat sampah tanpa menoleh sedikit pun.

“Begitu, ya?” sebelah alisnya terangkat tipis, dingin namun tetap tenang. “Saya kira tidak ada orang di sini. Biasanya, tidak ada yang berani masuk ke toilet pribadi saya.”

Bola mata Djiwa kembali membesar. Napasnya tercekat, rasa malu menjalari seluruh tubuhnya. Ia buru-buru menunduk, hampir refleks.

“Maaf, Mas. Saya gak tahu, saya benar-benar gak bermaksud pakai sembarangan. Saya mohon maaf banget.”

Radja menatapnya datar, sorot matanya mengiris tanpa perlu meninggikan suara.

“‘Pak.’” ucapnya tegas, memberikan penekanan. “Saya atasan kamu di sini, bukan ‘kakak ipar’ kamu. Hindari memanggil saya dengan sebutan yang sama seperti di rumah. Itu menandakan kamu belum bisa bekerja secara profesional.”

Nada suaranya tidak keras—tapi cukup untuk membuat dada Djiwa serasa diremas.

“I-iya, Pak. Saya minta maaf,” Djiwa masih menunduk, tak berani menatap langsung ke mata Radja yang dingin dan keras.

Tanpa memberikan tanggapan, Radja lantas meninggalkan toilet tersebut.

Djiwa mengangkat kepalanya, lalu beralih menatap ke cermin wastafel. Tangannya terangkat mengusap dadanya yang berdegup kencang.

“Ya Tuhan, baru pertama kali kerja udah ngelakuin kesalahan,” lirihnya pelan.

Ia mengetuk kepalanya sendiri tak terlalu kuat, “Bodoh kamu, Djiwa.”

Djiwa masih saja berceletuk sendiri di toilet, sampai suara Radja memanggilnya dari luar.

“DJIWA!” suaranya meninggi satu oktaf, membuat Djiwa buru-buru meninggalkan toilet.

“Iya, Pak. Ada yang bisa saya lakukan?” tanya gadis cantik itu ketika berdiri di depan meja kerja Radja, berusaha tetap terlihat profesional setelah insiden tak sopannya tadi.

Radja menatapnya lurus, dingin, tanpa sedikit pun keraguan. “Buatkan saya kopi,” perintahnya pendek dan tegas.

Djiwa segera mengangguk. “Se-segera, Pak,” ujarnya sebelum bergegas keluar dari ruangan. Pintu tertutup pelan.

Radja mengikuti langkah ringan Djiwa dengan tatapannya—hening, penuh kalkulasi.

Begitu bayangan gadis itu menghilang di balik pintu, pria itu menghembuskan napas singkat, lalu memalingkan wajah.

Matanya jatuh pada satu benda pipih yang terletak di atas meja kerja gadis itu—ponsel Djiwa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 09

    “Mas …?” Inggrit baru saja keluar dari kamar mandi setelah buang air besar ketika mendapati ranjang kosong. Alisnya langsung terangkat kesal. Ia menoleh kanan kiri, melihat selimut berantakan tapi tak ada jejak suaminya. “Pasti di ruang kerja,” gumamnya sambil manyun. “Kenapa gak nikah aja sekalian sama laptop-nya, sih?” Ia menghempaskan tubuh ke kasur sambil mendesah panjang, menatap langit-langit. “Aku tidur sendiri lagi malem ini,” _____ Di sisi lain, di kamar hotel yang diterangi lampu utama yang menyala terang, Radja berdiri beberapa meter dari Djiwa. Gadis itu duduk di tepi ranjang, tubuhnya kaku, kedua tangannya meremas seprai. Bola matanya melebar tak percaya melihat sosok pria yang muncul setelah lampu menyala. “Sejak kapan kakekmu dipindah ke hotel?” suara Radja terangkat dingin, ujung bibirnya melengkung sinis. Tatapannya menusuk seperti bilah tipis. “M-Mas Radja.” Djiwa melirik tubuhnya yang hanya dibaluti lingerie tipis, menampilkan warna kulit dan lekukan tubuh

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 08

    ‘Malam ini, aku sudah buat jadwal dengan pria yang aku berikan kartu namanya padamu.’Ucapan Kaisar semalam membuat perut Djiwa terlilit pagi ini. Malam ini, Djiwa tidak bisa kabur lagi. Dia harus bertemu dengan pria yang akan menghamilinya.Djiwa mengusap wajahnya frustasi. “Kalau semisalkan Mami tahu, apa dia gak marah nanti? Apalagi ... kalau anaknya gak mirip sama Mas Kai.”Djiwa merasa tak enak hati jika memberikan keturunan yang tidak sesuai garis darah keluarga Kaisar. Ia merasa terbebani, tapi juga tak ingin mengecewakan siapa pun.“Djiwa.” Gadis itu tersentak ketika namanya dipanggil oleh pemilik wajah tampan namun sedingin es, dengan suara berat dan dalam yang langsungmembuat siapa pun menegakkan punggung. Atasan sekaligus kakak iparnya, Radja.Pria itu menatapnya tajam, sembari mengulurkan sebuah berkas pada Djiwa. Gadis itu segera bangkit dari duduknya dan melangkah cepatmenghampiri Radja.“Scan ini, lalu kirim ke WA pribadi saya dalam bentuk PDF,” ujar Radja dingin, t

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 07

    Radja baru saja tiba di Reinard Grand Corporation, perusahaan besar milik keluarganya yang beroperasi di dalam dan luar negeri. Langkahnya tegas dan berwibawa saat memasuki gedung megah yang tinggi menjulang lima puluh lantai di depannya. Begitu pria matang berusia tiga puluh tiga tahun itu melangkah masuk, suasana lobi langsung berubah. Para karyawan yang sebelumnya asyik berbincang ringan sontak merapikan posisi masing-masing, berdiri lebih tegak, dan memberi jalan untuknya lewat. Aura otoritas Radja memaksa ruangan untuk diam tanpa perlu ia mengucap sepatah kata pun. Kakinya melangkah menuju lift khusus para petinggi perusahaan—lift yang hanya bisa diakses menggunakan kartu identitas eksekutif. Tak sampai satu menit, benda logam persegi panjang itu akhirnya sampai di lantai empat puluh sembilan. Lantai dimana ruangannya berada. Tangannya terulur hendak membuka pintu ruangannya, namun pandangannya terlebih dulu jatuh pada meja kerja sekretaris yang terletak di depan pintu—po

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 06

    “Mas,” panggil Djiwa lirih ketika dirinya dan sang suami masuk ke kamar usai makan malam. Kaisar langsung berbalik badan, menatap Djiwa dengan tatapan dingin dan tajam. Sudut bibir pria itu terangkat membentuk senyum miring. “Pinter kamu sekarang. Kamu tahu kalau Mas Radja itu paling ditakuti keluarga ini, makanya kamu minta bantuan dia.” Djiwa mengerutkan kening, tak paham dengan ucapan sang suami. “Ma-maksud Mas apa?” “Gak usah pura-pura bodoh!” sentak Kaisar dengan nada tinggi, suaranya naik satu oktaf. Ia mengangkat tangannya, dan menunjuk Djiwa tajam. “Kamu pasti ngadu, kan, ke Mas Radja? Kamu pasti ngeluh ke dia, kalau kamu capek dijadikan babu selama ini.” Karena Kaisar pun tahu, meski sikap kakaknya keras—Radja paling tidak tegaan dengan orang yang benar-benar datang padanya sambil mengadu dan menangis. Kaisar yakin, Djiwa melakukan hal tersebut—menurut bayangannya sendiri. “Makanya itu, kamu ngemis-ngemis kerjaan ke Mas Radja supaya bisa bebas dari kerjaan rumah, iya?

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 05

    “Kamu, ya?!” seru Sekar tajam, menunjuknya seolah ia baru saja melakukan kejahatan besar—padahal Djiwa melakukannya dengan sangat hati-hati. “Potong kuku saya gak bener!” Ruangan mendadak senyap—kecuali denyut jantung Djiwa yang serasa memukul-mukul dadanya dari dalam. Radja menoleh sekilas—hanya cukup untuk melihat Djiwa terduduk dan Sekar memegangi jari tangannya dramatis. Ekspresi Radja tetap datar, tanpa satu pun emosi yang bisa dibaca. Sementara Inggrit tersenyum miring. Tatapannya jelas—ia tahu apa yang terjadi barusan bukan kecelakaan. Melainkan ibu mertuanya dengan sengaja melakukan drama itu. Anggita, bocah lima tahun itu, spontan berdiri dari karpet, wajahnya cemas melihat Djiwa terjatuh. Ia hendak berlari menghampiri, tapi suara ibunya memotong tajam. “Duduk, Anggita.” Suara Inggrit dingin dan tegas. Tak menyisakan ruang untuk membantah. Anak kecil itu terhenti, menatap ibunya sejenak, sebelum kembali duduk dan pura-pura bermain—meski matanya masih melirik Djiwa deng

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 04

    “Mas ...,” lirih Djiwa sembari bangkit dari duduknya, tangannya yang gemetar meraih kartu nama itu. “Kenapa harus bahas ini lagi, sih, Mas?” “Kenapa?” tatapan Kaisar semakin tajam. “Oh ... jadi kamu pikir ucapan aku tadi pagi itu cuma main-main? Kamu pikir aku cuma gertak kamu soal biaya rumah sakit kakek kamu, huh?” Djiwa menunduk, jemarinya meremas kuat kartu nama itu sampai hampir kusut. “Mas, tapi … Djiwa gak sanggup,” suaranya pecah, hampir tak terdengar. “Djiwa gak bisa ngelakuin hal kayak gitu.” Kaisar mendekat, langkahnya tenang namun mengancam hingga tak ada jarak di antara mereka. “Kamu harus sanggup,” ujarnya dingin. “Karena kamu gak punya pilihan.” Djiwa mengangkat wajah, matanya berkaca-kaca. “Mas … tolong. Jangan paksa Djiwa kayak gini. Kalau soal biaya rumah sakit, Djiwa—” “Berhenti.” Satu kata, namun cukup untuk membungkamnya. Kaisar menatapnya lama, tajam, seolah menembus ke dalam dada Djiwa yang sudah sesak sejak tadi. “Kamu mau tahu kenapa aku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status