Share

BAB 09

Author: Langit Parama
last update Last Updated: 2025-12-02 11:30:42

“Mas …?” Inggrit baru saja keluar dari kamar mandi setelah buang air besar ketika mendapati ranjang kosong.

Alisnya langsung terangkat kesal. Ia menoleh kanan kiri, melihat selimut berantakan tapi tak ada jejak suaminya.

“Pasti di ruang kerja,” gumamnya sambil manyun. “Kenapa gak nikah aja sekalian sama laptop-nya, sih?”

Ia menghempaskan tubuh ke kasur sambil mendesah panjang, menatap langit-langit.

“Aku tidur sendiri lagi malem ini,”

_____

Di sisi lain, di kamar hotel yang diterangi lampu utama yang menyala terang, Radja berdiri beberapa meter dari Djiwa.

Gadis itu duduk di tepi ranjang, tubuhnya kaku, kedua tangannya meremas seprai. Bola matanya melebar tak percaya melihat sosok pria yang muncul setelah lampu menyala.

“Sejak kapan kakekmu dipindah ke hotel?” suara Radja terangkat dingin, ujung bibirnya melengkung sinis. Tatapannya menusuk seperti bilah tipis.

“M-Mas Radja.”

Djiwa melirik tubuhnya yang hanya dibaluti lingerie tipis, menampilkan warna kulit dan lekukan tubuhnya yang seksi bak gitar spanyol itu.

Ia cepat-cepat bangkit dari duduknya untuk meraih mantel coat-nya, lalu menutupi tubuhnya dengan benda itu. Kemudian menatap Radja lagi.

“Ke-kenapa ... Mas Radja bisa ada di sini?” tatapannya beralih pada kartu akses kamar hotel di tangan pria itu. “Mas Radja dapet itu dari mana?”

Djiwa melirik ke arah pintu kamar yang tertutup, seolah memastikan apakah ada pria lain lagi yang akan menyusul ke kamar itu menggunakan kartu lain.

“Tidak ada siapapun, selain kita berdua di kamar ini,” kata Radja seolah mengerti apa yang saat ini ada di pikiran Djiwa.

“Mas ....” Djiwa menunduk, tak sanggup menatap wajah dingin pria itu.

“Apa maksudnya ini, Djiwa? Kenapa kamu ada di sini? Untuk apa kamu di sini sambil menunggu seorang pria?” tanya pria itu, namun Djiwa tak sanggup menjawabnya.

Radja maju lagi satu langkah, kali ini jarak mereka hampir dekat jika saja Djiwa tidak mundur beberapa langkah ke belakang secara refleks.

“Jelaskan pada saya, apa maksud dari ucapan kamu ‘Saya sudah memakai apa yang Mas Kaisar suruh. Saya sudah lakukan semuanya, sesuai permintaan suami saya.’”

Nada bicaranya dingin, sama sekali tak sama dengan nada bicara Djiwa yang gugup sebelumnya.

“Jawab!” desak Radja dengan nada menyentak, membuat Djiwa berjenggit.

“Mas, saya ... saya,” ucapan Djiwa tercekat di tenggorokan.

Gadis itu tak tahu harus menjelaskan apa, tak tahu harus mulai dari mana. Tidak mungkin juga dia mengatakan kalau ini semua atas perintah sang suami.

Jika Radja tahu, lalu dia memarahi sang adik—bukannya nanti yang terkena imbasnya adalah dirinya sendiri?

Lebih dari itu, dia diceraikan oleh sang suami dan kakeknya tidak lagi mendapatkan biaya rumah sakit.

“Apa Kaisar yang menyuruh kamu?” Radja kembali membuka suara, nada bicaranya dingin dan mendesak Djiwa agar menjawab.

Kedua tangan gadis itu saling meremat jemari, tangannya berkeringat dingin. Tak hanya itu, jantung Djiwa seakan ingin keluar dari tempatnya.

Radja membuang napas kasar. “Jika kamu tidak mau memberitahu saya semuanya, maka saya—“

“Iya, Mas.” Djiwa akhirnya membuka suara, “Saya akan menjelaskan semuanya sama Mas Radja. Tapi ...,” ia menelan ludah berat. “Jangan salahkan Mas Kaisar.”

Sebelah alis Radja terangkat sinis. “Kenapa? Jika dia yang meminta melakukan ini, kenapa tidak boleh disalahkan?”

Djiwa tak menjawab, lebih tepatnya dia tak tahu harus menjawab apa.

“Apa dia meminta kamu untuk jual diri?” tebak Radja asal, tapi itu rasanya sangat tidak masuk akal. Kaisar sama sekali tidak kekurangan uang.

“Mas ...,” lirih Djiwa pelan. “Saya gak tahu harus mulai dari mana. Tapi saya mohon, jangan hakimi saya dulu, saya bisa jelasin ini semua.”

“Silakan, jelaskan pada saya sekarang,” balas Radja dengan nada menurun satu oktaf.

Dengan air mata yang luruh membasahi kedua buah pipinya. Akhirnya Djiwa mulai menjelaskan, suaranya putus-putus karena isaknya, namun tetap jelas.

Dan Radja, pria itu mendengarkan tanpa menyela sedikit pun.

Ia terkejut saat mengetahui fakta itu, bahwa adiknya ingin memiliki anak laki-laki yang akan dijadikan pewaris—namun bukan dari darah keturunan Reinard.

“Dasar licik,” desis Radja, begitu pelan namun cukup untuk membuat udara kamar terasa ikut mengencang.

Ia melangkah mendekat, sorot matanya gelap, penuh perhitungan.

Siapa pun tahu, menjadi pewaris keluarga Reinard bukan sekadar kehormatan—itu berarti kekuasaan, kendali, dan masa depan keluarga mereka.

Dan Radja menginginkan itu. Ia menginginkan seorang anak laki-laki. Tapi yang tidak pernah ia bayangkan adalah sang adik memilih jalan sebusuk ini.

“Kenapa Kaisar tidak mau menyentuh kamu?” tanyanya, suaranya menggigit. “Kenapa harus hamil dengan pria lain?”

Djiwa menunduk, menelan ludah yang terasa tajam di tenggorokannya.

“Karena Mas Kai tidak mencintai saya,” jawabnya lirih. “Makanya dia enggan menghabiskan malam dengan saya, Mas.”

Ia menarik napas perlahan, seolah setiap kata yang keluar menyakitinya sendiri.

“Mas Kai juga bilang, dia terpaksa menikahi saya karena wasiat dari mendiang kakek Afnand.”

Radja terdiam. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, sembari menyatukan kedua alisnya seolah menyusun sebuah piramida.

Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis yang membuatnya tampan berkali-kali lipat, namun dalam waktu bersamaan terlihat menyeramkan.

Sebuah kombinasi yang sempurna—begitu pikirnya dengan getir.

Keluarga besar mereka membutuhkan seorang anak laki-laki, dan Djiwa ditumbalkan menjadi alat untuk melahirkan pewaris itu.

Ibunya memberi tenggat waktu tiga bulan. Tiga bulan untuk hamil, atau semua tekanan akan jatuh ke bahu Kaisar lagi dan tentu yang paling dirugikan Djiwa.

Dan Radja. Radja sendiri sudah lama menginginkan anak laki-laki. Hasrat itu tak pernah benar-benar padam sampai sekarang.

Pria itu melangkah maju, setiap langkahnya membuat lantai kamar seperti ikut menegang.

Hingga ia berhenti tepat di hadapan Djiwa—yang tak bisa mundur lagi karena pahanya telah menempel pada tepian ranjang hotel.

Tak ada tempat kabur. Tak ada ruang bernapas. Hanya jarak yang semakin mengecil dan tatapan Radja yang semakin sulit ditebak.

“Seperti yang kamu tahu, dua anak saya perempuan.” Suara Radja rendah, mantap, seolah setiap kata telah ia timbang.

“Tapi saya tetap membutuhkan anak laki-laki. Keluarga ini membutuhkan ahli waris itu. Dan kamu, diberi waktu tiga bulan untuk hamil.”

Djiwa mengangkat wajahnya perlahan, alisnya bertaut bingung.

Radja mencondongkan tubuh sedikit, menatapnya tanpa berkedip.

“Daripada kamu hamil dengan pria asing yang tidak punya satu tetes pun darah keluarga kami …,” ia berhenti sejenak, rahangnya mengeras, “Lebih masuk akal kalau kamu mengandung anak itu dari saya. Darah Reinard tetap murni, dan masalahnya selesai.”

Djiwa terpaku. Napasnya tercekat di tenggorokan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 09

    “Mas …?” Inggrit baru saja keluar dari kamar mandi setelah buang air besar ketika mendapati ranjang kosong. Alisnya langsung terangkat kesal. Ia menoleh kanan kiri, melihat selimut berantakan tapi tak ada jejak suaminya. “Pasti di ruang kerja,” gumamnya sambil manyun. “Kenapa gak nikah aja sekalian sama laptop-nya, sih?” Ia menghempaskan tubuh ke kasur sambil mendesah panjang, menatap langit-langit. “Aku tidur sendiri lagi malem ini,” _____ Di sisi lain, di kamar hotel yang diterangi lampu utama yang menyala terang, Radja berdiri beberapa meter dari Djiwa. Gadis itu duduk di tepi ranjang, tubuhnya kaku, kedua tangannya meremas seprai. Bola matanya melebar tak percaya melihat sosok pria yang muncul setelah lampu menyala. “Sejak kapan kakekmu dipindah ke hotel?” suara Radja terangkat dingin, ujung bibirnya melengkung sinis. Tatapannya menusuk seperti bilah tipis. “M-Mas Radja.” Djiwa melirik tubuhnya yang hanya dibaluti lingerie tipis, menampilkan warna kulit dan lekukan tubuh

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 08

    ‘Malam ini, aku sudah buat jadwal dengan pria yang aku berikan kartu namanya padamu.’Ucapan Kaisar semalam membuat perut Djiwa terlilit pagi ini. Malam ini, Djiwa tidak bisa kabur lagi. Dia harus bertemu dengan pria yang akan menghamilinya.Djiwa mengusap wajahnya frustasi. “Kalau semisalkan Mami tahu, apa dia gak marah nanti? Apalagi ... kalau anaknya gak mirip sama Mas Kai.”Djiwa merasa tak enak hati jika memberikan keturunan yang tidak sesuai garis darah keluarga Kaisar. Ia merasa terbebani, tapi juga tak ingin mengecewakan siapa pun.“Djiwa.” Gadis itu tersentak ketika namanya dipanggil oleh pemilik wajah tampan namun sedingin es, dengan suara berat dan dalam yang langsungmembuat siapa pun menegakkan punggung. Atasan sekaligus kakak iparnya, Radja.Pria itu menatapnya tajam, sembari mengulurkan sebuah berkas pada Djiwa. Gadis itu segera bangkit dari duduknya dan melangkah cepatmenghampiri Radja.“Scan ini, lalu kirim ke WA pribadi saya dalam bentuk PDF,” ujar Radja dingin, t

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 07

    Radja baru saja tiba di Reinard Grand Corporation, perusahaan besar milik keluarganya yang beroperasi di dalam dan luar negeri. Langkahnya tegas dan berwibawa saat memasuki gedung megah yang tinggi menjulang lima puluh lantai di depannya. Begitu pria matang berusia tiga puluh tiga tahun itu melangkah masuk, suasana lobi langsung berubah. Para karyawan yang sebelumnya asyik berbincang ringan sontak merapikan posisi masing-masing, berdiri lebih tegak, dan memberi jalan untuknya lewat. Aura otoritas Radja memaksa ruangan untuk diam tanpa perlu ia mengucap sepatah kata pun. Kakinya melangkah menuju lift khusus para petinggi perusahaan—lift yang hanya bisa diakses menggunakan kartu identitas eksekutif. Tak sampai satu menit, benda logam persegi panjang itu akhirnya sampai di lantai empat puluh sembilan. Lantai dimana ruangannya berada. Tangannya terulur hendak membuka pintu ruangannya, namun pandangannya terlebih dulu jatuh pada meja kerja sekretaris yang terletak di depan pintu—po

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 06

    “Mas,” panggil Djiwa lirih ketika dirinya dan sang suami masuk ke kamar usai makan malam. Kaisar langsung berbalik badan, menatap Djiwa dengan tatapan dingin dan tajam. Sudut bibir pria itu terangkat membentuk senyum miring. “Pinter kamu sekarang. Kamu tahu kalau Mas Radja itu paling ditakuti keluarga ini, makanya kamu minta bantuan dia.” Djiwa mengerutkan kening, tak paham dengan ucapan sang suami. “Ma-maksud Mas apa?” “Gak usah pura-pura bodoh!” sentak Kaisar dengan nada tinggi, suaranya naik satu oktaf. Ia mengangkat tangannya, dan menunjuk Djiwa tajam. “Kamu pasti ngadu, kan, ke Mas Radja? Kamu pasti ngeluh ke dia, kalau kamu capek dijadikan babu selama ini.” Karena Kaisar pun tahu, meski sikap kakaknya keras—Radja paling tidak tegaan dengan orang yang benar-benar datang padanya sambil mengadu dan menangis. Kaisar yakin, Djiwa melakukan hal tersebut—menurut bayangannya sendiri. “Makanya itu, kamu ngemis-ngemis kerjaan ke Mas Radja supaya bisa bebas dari kerjaan rumah, iya?

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 05

    “Kamu, ya?!” seru Sekar tajam, menunjuknya seolah ia baru saja melakukan kejahatan besar—padahal Djiwa melakukannya dengan sangat hati-hati. “Potong kuku saya gak bener!” Ruangan mendadak senyap—kecuali denyut jantung Djiwa yang serasa memukul-mukul dadanya dari dalam. Radja menoleh sekilas—hanya cukup untuk melihat Djiwa terduduk dan Sekar memegangi jari tangannya dramatis. Ekspresi Radja tetap datar, tanpa satu pun emosi yang bisa dibaca. Sementara Inggrit tersenyum miring. Tatapannya jelas—ia tahu apa yang terjadi barusan bukan kecelakaan. Melainkan ibu mertuanya dengan sengaja melakukan drama itu. Anggita, bocah lima tahun itu, spontan berdiri dari karpet, wajahnya cemas melihat Djiwa terjatuh. Ia hendak berlari menghampiri, tapi suara ibunya memotong tajam. “Duduk, Anggita.” Suara Inggrit dingin dan tegas. Tak menyisakan ruang untuk membantah. Anak kecil itu terhenti, menatap ibunya sejenak, sebelum kembali duduk dan pura-pura bermain—meski matanya masih melirik Djiwa deng

  • Candu Dekapan Kakak Ipar   BAB 04

    “Mas ...,” lirih Djiwa sembari bangkit dari duduknya, tangannya yang gemetar meraih kartu nama itu. “Kenapa harus bahas ini lagi, sih, Mas?” “Kenapa?” tatapan Kaisar semakin tajam. “Oh ... jadi kamu pikir ucapan aku tadi pagi itu cuma main-main? Kamu pikir aku cuma gertak kamu soal biaya rumah sakit kakek kamu, huh?” Djiwa menunduk, jemarinya meremas kuat kartu nama itu sampai hampir kusut. “Mas, tapi … Djiwa gak sanggup,” suaranya pecah, hampir tak terdengar. “Djiwa gak bisa ngelakuin hal kayak gitu.” Kaisar mendekat, langkahnya tenang namun mengancam hingga tak ada jarak di antara mereka. “Kamu harus sanggup,” ujarnya dingin. “Karena kamu gak punya pilihan.” Djiwa mengangkat wajah, matanya berkaca-kaca. “Mas … tolong. Jangan paksa Djiwa kayak gini. Kalau soal biaya rumah sakit, Djiwa—” “Berhenti.” Satu kata, namun cukup untuk membungkamnya. Kaisar menatapnya lama, tajam, seolah menembus ke dalam dada Djiwa yang sudah sesak sejak tadi. “Kamu mau tahu kenapa aku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status