"Apa-apaan, sialan?!"
Aku mengumpat sambil memberontak melepaskan diri.
Tapi James lebih kuat jadi aku tetap terseret bersamanya.
Dia membawaku ke restoran cepat saji di seberang sekolah.
"Aku traktir," katanya.
Kemudian seenak jidat memesan makanan untukku.
"Aku tidak mau makan."
Sampai kapan kau mau melakukan ini ....
"Kau belum makan siang," katanya tak mengindahkanku.
Dia menyeretku duduk dan membawa makanan ke meja.
Kalau dipikir-pikir, sudah lama aku tidak makan di sini. Walau hanya di seberang jalan.
Biasanya aku memilih makan di kafetaria atau di rumah Cindy pesan antar.
"Sudah kubilang aku tak mau berteman denganmu."
James menyodorkan hotdog padaku tapi aku tak mengambilnya.
Lalu dia memaksaku, seperti Cindy. Dia selalu memaksaku.
"Aku tahu kau tidak akan makan sampai besok pagi di kafetaria, jadi aku akan menemanimu makan siang ini. Makan, Cath."
Jadi aku menggigit hotdog-nya sekali.
"Cindy sudah cerita padaku," katanya lagi.
"Dia memintaku memastikan kau makan sebelum pulang."
Mulutku berhenti mengunyah.
Menatap James yang terlihat biasa-biasa saja, raut wajahnya tenang.
"Aku baru tahu kau manja sekali pada Cindy," tambahnya lagi.
Dan aku secara refleks melemparkan hotdog di tanganku padanya. Mengotori seragamnya yang sekarang penuh saus.
"Astaga, tidak perlu sampai melemparkan makanan."
"Kau memancingku," kataku tak peduli.
Lalu, aku berdiri.
"Aku sudah makan, aku pergi."
"Sial, Cath!" umpat James sambil membersihkan seragamnya dengan tisu. "Itu baru satu gigit."
Tapi aku sudah keluar dari sana dan tidak berniat kembali.
Walau mengejutkan, aku senang Cindy masih memerhatikan.
Kakiku tidak langsung membawaku pulang.
Perpustakaan di ujung jalan tiba-tiba seolah menarikku mendekat. Tapi aku berhenti di depan pintu masuk perpustakaan.
Hampir saja menabrak seseorang yang keluar dari dalam.
Perasaan aneh itu akhirnya melepaskanku.
Dia yakin seratus persen jika aku akan masuk ke dalam.
Dan, sialnya dia benar.
Ketika aku masuk, teriakan di ujung rak membuat semuanya menjengit kaget.
Begitu pun aku, mataku mencari-cari di sela-sela rak dan buku.
Petugas perpustakaan sudah lebih dahulu mendekati sumber suara.
Teriakan kali ini terdengar lebih jelas.
"Tolong panggil ambulans!"
Beberapa orang malah mendekat menuju suara tersebut.
Aku melihat sekeliling namun tidak ada yang memegang ponselnya. Jadi aku yang memanggil nomor darurat.
Aku juga ikut berdiri dan mendekat, mencari tahu mengapa aku menelepon nomor darurat.
Tidak banyak orang yang berkumpul jadi aku dengan mudah melihat seorang cowok yang terduduk dan berlumur darah.
Aku menjelaskan keadaan dengan tenang pada petugas yang menerima teleponku.
Dari seragamnya, cowok itu berasal dari sekolahku.
Sayangnya aku tak bisa melihat wajahnya.
Wajahnya tertunduk—perasaan aneh sialan ini sepertinya sedang mempermainkanku.
Kenapa…
Kenapa ada Archer di sini?
Aku langsung mendekat dan menepuk pelan wajahnya.
"Archer. Archer, kau baik-baik saja?"
Kelopak matanya bergerak.
"Apa kau bisa mendengarku?" tanyaku pelan, berusaha untuk tidak panik.
Orang lain hanya memerhatikannya, untungnya petugas perpustakaan berusaha menghentikan pendarahannya dengan menekan luka di perutnya.
Aku masih bisa merasakan napasnya.
"Archer, apa kau bisa membuka matamu?"
Archer membuka matanya perlahan, matanya sayu menatapku.
"Cath."
"Jangan bicara," sergahku. "Sebentar lagi ambulans datang, kau akan baik-baik saja."
Tak berapa lama hingga ambulans datang.
Dua orang petugas memindahkan Archer ke atas tandu. Aku mengikuti menuju ambulans. Ingatan tentang Archer berputar di kepalaku.
Seharusnya Archer berada di Paris, bukan London.
Aku tak menyangka bertemu dengannya lagi. Dengan keadaan yang seperti ini.
Apa yang dilakukannya di London, di perpustakaan dekat rumahku.
Mengapa dia ditusuk, apa yang selama ini terjadi padanya.
Mengapa dia memakai seragam sekolahku.
Apa yang terjadi?
***
Sebuah sentuhan membuatku menoleh. Petugas perpustakaan menyodorkan tasku, juga tas yang tidak kukenal. "Ini tasmu dan tasnya." Aku tidak berkata apa-apa selain menerima kedua tas itu dengan tangan gemetar. Aku ikut masuk ke dalam ambulans. Archer dibaringkan di kasur dan petugas ambulans sibuk memasang alat pernapasan, juga menghentikan pendarahannya. Tanpa sadar aku menggenggam tangannya dengan tanganku yang masih gemetar. Archer masih dalam keadaan sadar, karena aku merasakan tangannya yang kaget akibat genggamanku. "Kau akan baik-baik saja," kataku pelan. Aku bisa merasakan genggamannya, walau begitu lemah. Pikiranku tidak fokus, tapi kuusahakan agar tidak tampak di wajahku. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan. Sangat banyak. Aku bahkan tak peduli alasan perasaan aneh ini membawaku pada Archer. Aku tak bisa peduli dalam keadaan ini. Aku menemani Archer di ruang darurat. Menjawab pertanyaan dokter yang bisa kujawab. Aku juga mencoba menghubungi
Lithia mengangkat panggilanku dan memberikan sapaan dengan pertanyaan tanpa habis. Aku tak menjawab satu pun pertanyaannya. "Pinjamkan aku baju, Lith. Tolong antarkan ke rumah sakit." 'Rumah sakit? Apa yang kau lakukan di sana?' "Akan kujelaskan di sini," kataku lalu memutuskan panggilan. Aku kembali memerhatikan tanganku yang berdarah. Ini darah Archer. "Kau berhutang cerita padaku," kataku, menatap Archer yang menutup matanya. Aku tahu dia tidak benar-benar tidur. Aku berjalan menuju toilet untuk membersihkan darahnya dariku. Aku tidak ingin membuat Lithia heboh karena penampilanku. Tidak terlalu lama hingga Lithia datang bersama pakaian bersih. "Apa yang terjadi?" tanyanya berusaha untuk tidak histeris. "Kau berdarah." Aku tersenyum. "Bukan darahku." Aku mengganti seragamku dengan kaos navi polos dan rok putih selutut. Aku ingin protes tentang rok ini, tapi aku mengurungkannya. Setidaknya diriku yang sekarang sudah layak dilihat. "Apa yang terjadi?" tanya Lithi
Aku kembali ke ruangan Archer. Aku telah mengecek wajahku di cermin sebelum kembali, setidaknya aku tidak terlihat seperti telah menangis. Dia masih terlelap di kasur, membuatku merasa lega. Aku berjalan perlahan agar tidak membangunkannya. Lalu duduk di sampingnya. Jemariku perlahan memeluk jari kelingkingnya, takut membuatnya terbangun. Aku memerhatikannya untuk beberapa saat, kemudian tersadar jika badanku juga lelah. Aku merebahkan kepalaku di sisi kasurnya yang kosong, jemariku masih menggenggam kelingkingnya. Tak lama hingga aku ikut terlelap. Saat aku bangun, kurasakan ada kain yang menutupiku.
Selama menunggu Cindy dan Lithia menjemputku, aku hanya menatap bayanganku di cermin toilet rumah sakit. Entah berapa lama. Aku juga memberitahu adikku bahwa aku tidur di tempat temanku, meminta maaf karena lupa memberitahu lebih cepat. Namun yang menjemputku justru Nanda. Terkutuklah Cindy dan Lithia. Dia juga menungguku berganti sebelum mengantarkanku ke sekolah. "Aku ingin meminta maaf," katanya di perjalanan. "Kupikir kau juga menyukaiku." "Aku memang menyukaimu," kataku pelan. "Namun seperti yang kubilang, perasaanku tidak akan bertahan lama."
"Well, kalian tidak pandai berbohong," ejekku. "Kau bahkan juga tidak bisa menyamarkan niatmu padanya," ringis Cindy pelan. Tapi aku mendengarnya. Aku mengelak, "Bukannya kau yang menceritakan bahwa aku suka dia." "Mana mungkin aku menceritakan hal seperti itu padanya," balas Cindy. Lithia memijat kepalanya, tapi tak menengahi kami. "Kalau bukan kau siapa lagi?" "Dia tahu sendiri, Cath. Aku juga kaget ketika dia kembali dan mengatakan kau menolaknya. Maksudku, dia bodoh atau gila?!" "Keduanya," kataku sambil terkekeh. "Setidaknya senyumnya manis." "Oh, Cath. Aku minta maaf kemaren membentakmu," ucap Cindy lalu memelukku. "Nanda tidak pernah membahas tentang percintaannya apalagi mengatakan orang yang disukanya. Aku kaget saja." Aku membalas pelukannya erat. "Aku juga minta maaf, seharusnya mulutku perlu diberi sedikit penyaring." Kami memisahkan diri ketika mendengar teriakan dari luar. Spontan saja kami keluar kelas dan mencari sumber suara. Entah mengapa aku seperti
Aku menjawab pertanyaan Lithia itu tanpa banyak pikir. "Aku baru saja melukainya." Hanya untuk mendapatkan umpatan kesal dari Cindy. "Sebelum ini, bodoh!" Juga Lithia yang biasanya menegur Cindy saat dia mengumpat, kali ini dia hanya menatapku saja dengan mulut membisu. Pada akhirnya aku yang mengalah. Aku berusaha mengingat-ingat insiden yang pernah aku alami, tapi tidak ada. Selain masa SMP-ku yang tidak terekam di kepalaku, tentu saja. "Tidak pernah." "Tapi mengapa ada bekas jahitan?"
Ketika aku membuka mataku, pandanganku masih belum terlalu jelas. Suara orang bercakap-cakap membuatku mencoba memicingkan mata. "Kau benar tidak ingin cerita?" Suara yang tenang namun menuntut itu adalah suara Lithia. Aku masih belum jelas melihat sosoknya tapi itu dia. "Aku sudah berjanji." Aku juga mengenali suara itu. Rad, adikku. Entah apa yang mereka bahas. Yang jelas, Lithia terdengar frustrasi di setiap katanya. Aku mencoba menggerakkan tanganku ketika Lithia kembali bersuara. "Dia tidak ingat—Cath, kau sadar?" Hanya erangan kecil yang sanggup kukeluarkan. Operasi tadi sepertinya menguras habis tenagaku. Dan penglihatanku masih belum membaik, tapi aku sudah bisa melihat sedikit bayangan Lithia dan Rad di kedua sisiku. "Kau bodoh," ucap Rad, nyaris seperti dirinya yang biasa. Dibandingkan aku, mulut Rad lebih tidak bisa diatur. Dia selalu bicara seenaknya. "Apa sih yang kau lakukan dua hari ini sampai tidak bisa melindungi diri." Itu bukan pertanyaan, d
"Ini jam berapa?" Hallie mengeluarkan ponsel dari sakunya. "Satu siang." Dia memperbaiki letak selimutku dan menyodorkan air agar aku minum. Aku hanya menghirup sekali. "Rad benar," ucapnya sambil menggeleng. Dia merapikan rambutku. Baik sekali dia memerhatikan aku yang berantakan ini. "Apa?" "Kau terlalu impulsif." Aku membela diriku. "Seperti dia tidak saja." Hallie tertawa. Aku baru sadar ternyata dia masih memakai seragam sekolahnya.