Share

[1] 8 - Satu gigit

"Apa-apaan, sialan?!"

Aku mengumpat sambil memberontak melepaskan diri.

Tapi James lebih kuat jadi aku tetap terseret bersamanya.

Dia membawaku ke restoran cepat saji di seberang sekolah.

"Aku traktir," katanya.

Kemudian seenak jidat memesan makanan untukku.

"Aku tidak mau makan."

Sampai kapan kau mau melakukan ini ....

"Kau belum makan siang," katanya tak mengindahkanku.

Dia menyeretku duduk dan membawa makanan ke meja.

Kalau dipikir-pikir, sudah lama aku tidak makan di sini. Walau hanya di seberang jalan.

Biasanya aku memilih makan di kafetaria atau di rumah Cindy pesan antar.

"Sudah kubilang aku tak mau berteman denganmu."

James menyodorkan hotdog padaku tapi aku tak mengambilnya.

Lalu dia memaksaku, seperti Cindy. Dia selalu memaksaku.

"Aku tahu kau tidak akan makan sampai besok pagi di kafetaria, jadi aku akan menemanimu makan siang ini. Makan, Cath."

Jadi aku menggigit hotdog-nya sekali.

"Cindy sudah cerita padaku," katanya lagi.

"Dia memintaku memastikan kau makan sebelum pulang."

Mulutku berhenti mengunyah.

Menatap James yang terlihat biasa-biasa saja, raut wajahnya tenang.

"Aku baru tahu kau manja sekali pada Cindy," tambahnya lagi.

Dan aku secara refleks melemparkan hotdog di tanganku padanya. Mengotori seragamnya yang sekarang penuh saus.

"Astaga, tidak perlu sampai melemparkan makanan."

"Kau memancingku," kataku tak peduli.

Lalu, aku berdiri.

"Aku sudah makan, aku pergi."

"Sial, Cath!" umpat James sambil membersihkan seragamnya dengan tisu. "Itu baru satu gigit."

Tapi aku sudah keluar dari sana dan tidak berniat kembali.

Walau mengejutkan, aku senang Cindy masih memerhatikan.

Kakiku tidak langsung membawaku pulang.

Perpustakaan di ujung jalan tiba-tiba seolah menarikku mendekat. Tapi aku berhenti di depan pintu masuk perpustakaan.

Hampir saja menabrak seseorang yang keluar dari dalam.

Perasaan aneh itu akhirnya melepaskanku.

Dia yakin seratus persen jika aku akan masuk ke dalam.

Dan, sialnya dia benar.

Ketika aku masuk, teriakan di ujung rak membuat semuanya menjengit kaget.

Begitu pun aku, mataku mencari-cari di sela-sela rak dan buku.

Petugas perpustakaan sudah lebih dahulu mendekati sumber suara.

Teriakan kali ini terdengar lebih jelas.

"Tolong panggil ambulans!"

Beberapa orang malah mendekat menuju suara tersebut.

Aku melihat sekeliling namun tidak ada yang memegang ponselnya. Jadi aku yang memanggil nomor darurat.

Aku juga ikut berdiri dan mendekat, mencari tahu mengapa aku menelepon nomor darurat.

Tidak banyak orang yang berkumpul jadi aku dengan mudah melihat seorang cowok yang terduduk dan berlumur darah.

Aku menjelaskan keadaan dengan tenang pada petugas yang menerima teleponku.

Dari seragamnya, cowok itu berasal dari sekolahku.

Sayangnya aku tak bisa melihat wajahnya.

Wajahnya tertunduk—perasaan aneh sialan ini sepertinya sedang mempermainkanku.

Kenapa…

Kenapa ada Archer di sini? 

Aku langsung mendekat dan menepuk pelan wajahnya.

"Archer. Archer, kau baik-baik saja?"

Kelopak matanya bergerak.

"Apa kau bisa mendengarku?" tanyaku pelan, berusaha untuk tidak panik.

Orang lain hanya memerhatikannya, untungnya petugas perpustakaan berusaha menghentikan pendarahannya dengan menekan luka di perutnya.

Aku masih bisa merasakan napasnya.

"Archer, apa kau bisa membuka matamu?"

Archer membuka matanya perlahan, matanya sayu menatapku.

"Cath."

"Jangan bicara," sergahku. "Sebentar lagi ambulans datang, kau akan baik-baik saja."

Tak berapa lama hingga ambulans datang.

Dua orang petugas memindahkan Archer ke atas tandu. Aku mengikuti menuju ambulans. Ingatan tentang Archer berputar di kepalaku.

Seharusnya Archer berada di Paris, bukan London.

Aku tak menyangka bertemu dengannya lagi. Dengan keadaan yang seperti ini.

Apa yang dilakukannya di London, di perpustakaan dekat rumahku.

Mengapa dia ditusuk, apa yang selama ini terjadi padanya.

Mengapa dia memakai seragam sekolahku.

Apa yang terjadi?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status