"Kudengar kau menolak cowok yang disukai Cindy."
James mencegat samping mejaku setelah kelas Mrs. Nessie selesai.
Aku hanya diam duduk di kursi, sama sekali tak mengindahkannya.
Gosip itu ternyata memang cepat tersebar dan menyampaikan fakta yang salah.
Maksudku, jika orang lain tidak tahu tentu mereka juga berpikir yang Cindy maksud adalah cowok yang disukainya.
Tentu saja Cindy menyukai Nanda, tapi dalam artian yang berbeda.
James menggeser kursi untuk duduk di dekat mejaku.
"Aku tau kau memang agak kurang ajar. Tapi yang ini kau terlalu kurang ajar."
Aku menatapnya datar.
Memerhatikan setiap sudut wajahnya, tak mengerti mengapa aku pernah menyukai cowok ini.
Dia memang tampan, tapi dia tidak setampan Nanda.
"Coba saja kalau kau berani mengadu tentang Lith padaku nanti."
James tersenyum padaku, dia kelihatan agak konyol.
"Maaf, aku salah omong."
Lanjutnya, tak lupa menghapus senyum bodoh itu dari wajahnya.
"Tapi benar kau menolak cowok yang disukai Cindy?"
Aku menarik ponselku keluar dari kantong baju, tidak ada notifikasi.
Tentu saja, apa yang kuharapkan.
"Urus saja urusanmu," ujarku tidak berniat bercerita apa-apa.
Aku membuka youtube, mungkin saja ada sesuatu yang bisa kutonton.
James meletakkan tangannya di mejaku. Dia melihatku lamat-lamat.
"Kau berubah ... hmm.. dulu kau tidak sedingin ini padaku."
Itu karena dulu aku menyukaimu, James.
Dan sekarang sudah tidak.
"Katakan apa yang kulakukan yang membuatmu menjaga jarak dariku, apa karena aku mengganggu Lithia?"
Aku ingat sekarang, James yang perhatian yang membuatku suka padanya.
Tapi sayangnya aku sudah muak diperhatikan—ayolah! Jangan tiba-tiba muncul dan mengacaukan narasiku.
Aku tak pernah bilang aku muak diperhatikan.
Aku hanya berhenti menyukainya sebelum dia menembak Lithia, aku terlebih dahulu bosan untuk mengetahui lebih banyak tentang James.
Aku tidak muak, siapa juga yang benci diperhatikan.
Hanya kau, perasaan aneh bodoh, satu-satunya yang tak suka diperhatikan.
"Bersikap baik padaku tidak akan membuat Lith datang padamu."
"Ngomong apa kau, Cath."
James menghela napas.
"Sikapku padamu tidak ada hubungannya dengan Lithia. Kau temanku."
Dia menyebutku temannya, aku juga menganggap dia temanku—tapi aku merasa canggung dan aneh.
Aku tidak mengatakan apa-apa, tapi mulutku terbuka.
"Tidakkah kau sadar sikapku, aku tak ingin kau menjadi temanku, atau hanya sekedar berbicara tentang pelajaran. Aku tidak mau."
Hei!
Berhenti mengacau dan jangan bicara sembarangan.
Aku sekasar itu aku tahu tapi jangan buat seolah aku yang mengatakannya.
Parasit terkutuk.
Dan James diam.
Matanya mencari-cari di mataku, entah apa yang dicarinya.
Wajahku tetap kaku, perasaan aneh ini membuatku merasa tidak ada kehidupan di wajahku, tubuhku.
Maksudku, dia mengambil alihnya segampang itu.
Seolah diriku hanya robot yang mengikuti dua perintah yang saling bersilangan. Dan tubuhku mengikuti perintah dengan otoritas lebih tinggi. Yang mana bukanlah aku.
Oh, sialan sekali.
"Aku akan menganggap tidak mendengarnya untuk kali ini," katanya.
Dia menggeser kursinya kembali ke tempatnya semula.
"Aku tidak terlalu peduli omongan anak lain tentang sekasar apa mulutmu dan menjauhimu, tapi kau sendiri harus berusaha menahannya sebelum kau benar-benar sendirian."
Terima kasih dukungannya, James.
Itu sangat berarti jika aku bisa mengontrol tubuhku lagi dan menahannya seperti ucapanmu.
Sayangnya, tidak.
James tidak lagi di sampingku, dia kembali ke tempat duduknya.
Seusai pelajaran ketika aku menggendong tasku untuk pulang, kali ini James tak mencegat mejaku tapi menarikku ikut bersamanya.
***
Yang memenuhi pandanganku hanyalah baju biru polos yang menutupi punggung bidang Brian. Aku bisa mendengar mereka berdebat dengan kalimat memutar-mutar karena Brian yang terus-terusan mengalihkan topik. Bukan berarti Archer tak paham maksud Brian, mereka berteman bertahun-tahun, mustahil jika Archer tak mengenal Brian dengan baik.“Kita tak memerlukan itu.”“Kau tak pernah dengar tentang darling, Arsh?”“Tidak ada makhluk yang omnipoten, menyingkirlah.”“Sepertinya—”Brian berhenti bicara saat aku mengetuk punggungnya dengan telunjukku yang tak berdarah beberapa kali. Dia memalingkan wajahnya dari Archer dan melihat ke arahku. Mata kami bertemu.“Tak perlu melakukan itu.”Brian mengangkat sebelah alis sesaat, jika aku tak sedang mengamatinya aku akan kelewatan detail itu. Dia diam beberapa sebelum bergeser dari hadapanku sambil berujar, “Kau yang bilang.” Aku tak lagi menanggapinya karena sibuk mengelap mulutku yang berdarah dengan ujung lengan bajuku. Entah kenapa bau amis yan
“Apa kau pikir kami akan mengikuti keinginanmu begitu saja?” “…Tidak.” Tentu saja tidak, dia pikir aku gila? Aku tak pernah sekali pun punya niat begitu! Yang terakhir kuingat tentang mereka itu aku hanya kelahi dari mereka dan mereka menjauhiku! …Atau begitu adanya dari ingatanku. Brian menimpali sambil melirikku. “Dia bahkan berani mengambinghitamkan Uriel.” Aku ingin membantah tapi instingku berteriak keras untuk tidak melakukannya, jadi aku menutup mulutku rapat-rapat bahkan ketika Archer mengalihkan topik dan mulai membahas tentang Pseudotopia. “Kau sama sekali tak mau cerita?” Aku mau… Tidak! Aku tak mau. Meskipun aku tahu mereka tahu apa yang terjadi secara garis besar, mendengarnya langsung dariku tetap saja… Aku tak mau mereka tahu. Beberapa helai rambutku tertiup angin dan nyaris menyakiti mataku, untung saja aku segera merapikannya sambil menatap Archer lurus. Ini pertama kalinya aku benar-benar melihat wajahnya semenjak dari rumah sakit beberapa bulan lal
Aku duduk tegak seperti murid teladan. Sambil menjelaskan apa-apa saja yang kuingat pada dua orang yang terdiam semenjak aku mengutarakan kecurigaan yang sebelumnya kubahas dengan Tahoka. Mereka tahu sekarang separah apa masalah yang sedang aku hadapi—bukan, kita hadapi. “…Karena itu, meski pun ingatanku kacau balau. Jangan beritahu aku, jangan koreksi ingatanku yang salah. Sepertinya ‘aku’ berpikir kemampuanku tak boleh dipakai, setidaknya sampai Ragnarök berakhir.” “Kau pikir mungkin ada seseorang yang memakai visi untuk menebak semua tindakanmu.” Aku mengangguk setuju pada komentar Brian ketika Archer sekali lagi menusukku dengan pertanyaan tajamnya yang sama sekali tak kusangka.
“Kenapa malah kau yang marah?” Aku tertawa, berpikir bahwa pria bersisik di hadapanku saat ini terlihat sangat menggemaskan. Ah, membuatku teringat pada Cindy… Jadinya aku tertawa sambil merengut. “Aku tak suka, hng … valkeri.” Tahoka menatapku curiga. “Kenapa ekspresimu, hng … begitu?” “...Kau terlihat menakutkan saat marah.” “Tentu saja, hng … keturunan hidra harus, hng … terlihat menakutkan!” Tapi kau terlihat menggemaskan? Nyaris saja aku keceplosan mengatakannya melihat mata
Tahoka menepuk meja pelan sambil mengunyah kue kering yang saat ini tinggal setengah. “Ayahku, hng … bilang dunia berwujud, hng … segalanya. Aku tak paham, hng … apa, hng … kau paham?” Aku menggumam mengulang perkataan Tahoka. “Berwujud segalanya…” Mataku berkilat saat bertanya, “Bagaimana orang tuamu bisa tersesat masuk Pseudotopia?” “Katanya, hng … mencari pintu masuk, hng … Shangri-La.” “Pintu masuk? Bukannya satu-satunya cara menyebrang ke Shangri-La itu melalui gerbang dimensi di Lemuria?” “Bukan itu, Cath. Hng … Tapi pintu yang, hng … mengabaikan aturan, hng … hukum Shangri-La.” “Pintu seperti itu benaran ada?” Aku tak percaya. Mengabaikan aturan hukum dunia itu sama saja seperti pencipta semesta dan pencipta semesta itu adalah mitos. Itu sudah seperti rahasia umum. Aku tak paham kenapa orang tua Tahoka senang sekali bepergian dan meninggalkan anak kesayangannya jadi tukang pungut mayat begini. Yang membuatku tak bisa berkata-kata, Tahoka menyukai kegiatannya i
Tahoka merengut. Dia mengamatiku dari atas sampai ke bawah sebelum bertanya yang terdengar seperti menuduh.“Apa yang kau lakukan, hng … hingga tubuhmu, hng … kacau begini?”Aku mengangkat bahu. Dia masih sama, kebiasaannya membuang napas nyaring di tengah-tengah kalimat. Kupikir dia sudah berhenti melakukan itu, ternyata tidak. “Kita bicara di bahteramu saja.”Tahoka membawaku ke kapalnya sambil mengomel. “Berapa kali kubilang, hng … namanya Vila, hng … bukan bahtera.”Aku pura-pura tak dengar, mengikuti di belakangnya sambil mengamati kapal yang sekarang sudah berubah eksterior lagi. Lupakan vila, melihat kapal yang besarnya keterlaluan ini, lebih baik namanya istana saja sekalian. Lihatlah kilauan perak di dindingnya.Saat pertama kali aku masuk ke dalam kapal ini, kupikir interiornya akan serupa dengan kapal pesiar mewah yang sering kulihat dalam iklan. Tapi kenyataan itu kejam.Selain ruang pribadinya yang memakan tempat sekitar seperempat kapal, sisanya merupakan tempat